5. Anger

3509 Kata
Malam itu Drey menemaniku sampai tertidur lagi. Dia bercerita tentang petualangan waktu memancing dengan Dad dulu. Dia menceritakan bagaimana Dad mengajarkannya memancing dan membuat acara memancing jadi menyenangkan. “Sekalipun Heath suka memancing, aku tetap tidak mau melakukannya. Baru Martin yang membuatku mau masuk ke air dan basah. Aku merindukannya.” “Apa Dad tahu aku merindukannya?” “Tentu, Claire. Dia melihatmu di tempat lain. Jangan menangis, Claire. Kami memang tidak bisa mencintaimu seperti Martin. Tapi, Kami berusaha memberi yang terbaik untukmu.” Aku tahu, kok. Aku sangat tahu. Semua orang di sini mencintaiku sampai kadang aku merasa nggak pantas ada di sini. Mereka terlalu baik buat aku yang masih seperti ini. Dulu, waktu awal tinggal di sini, Drey mengantarku ke sekolah Minggu. Di sana aku bertemu dengan anak-anak baik. Mereka semua seperti sudah nggak punya nafsu keduniawian. Yang mereka lakukan adalah menuruti apa kata orangtua dan melakukan yang terbaik demi membuat orangtua mereka tersenyum. Mereka nggak datang terlambat atau melamun atau bermain atau memikirkan hal lain, nggak seperti aku yang memikirkan banyak hal saat mendengar siapa pun bicara. Aku memikirkan baju yang dipakainya, rambutnya, atau mungkin aksen bicaranya yang mengingatkanku pada orang lain. Mereka bilang, aku anak bermasalah karena sudah nggak punya orang tua. “Kami mengerti kalau kamu merasa tertekan berada di keluarga yang bukan keluargamu, apalagi mereka juga berbeda denganmu. Kami hanya berharap kamu memperbaiki lagi sikapmu sebelum bergabung lagi dengan kami. Kasihan anak-anak nanti bisa tertular yang kamu lakukan,” kata salah seorang ibu yang kelihatannya ketua perkumpulan itu. Sejak berada di rumah ini aku nggak merasa berbeda. Aku anak Mom dan Drey. Aku kakak Archie. Aku cucu Kakek. Ucapan perempuan itu membuatku terluka. Dia mengingatkanku bahwa aku bukan apa-apa di sini. Sekali pun Mom dan Drey nggak pernah membedakan aku dan Archie. Seperti pagi ini, Bukan cuma aku yang diomelin karena menolak sekolah. Archie juga. Mommy yang masih lemas bersandar di kursi, menatap Archie dengan tatapan sedih, sementara Archie menolak menatap Mom karena tahu, tatapan itu pasti membuatnya luluh. “Dulu Daddy juga sering lari kalau disuruh ngaji.” Kakek meletakkan sendoknya, nggak menghabiskan sarapan nasi kuningnya. “Daddy dulu sembunyi kalau disuruh ngaji.” Drey tersedak tehnya. Dia menutup hidung dengan lap. “Pak,” katanya pelan. Mom juga tertawa. Kakek Rinto memangku Archie sambil bercerita lagi, “Kakek dulu bingung menghadapi Daddy-mu. Dia sangat cerdas. Ada saja akalnya buat bohongi kakek.” “Daddy berdosa,” kata Archie dengan wajah syok. “Anak kecil nggak boleh bohong.” “Daddy sudah minta maaf, Cu.” Kakek mengusap kepala Archie, lalu menoleh padaku yang duduk di sebelahnya. “Hari itu, nenek menangis di depan Daddy. Nenek bilang, 'Apa yang harus Bude lakukan lagi, Nak? Bude cuma mau lihat kamu jadi orang bener.' Daddy menangis seperti kamu. Persis begini.” “Sejak itu, dia jadi rajin mengaji?” tanya Mom, memegangi lengan Drey. “Jelas ndak,” jawab kakek yang membuat kami semua tertawa. “Daddy cuma mau ngaji kalau nenek yang ngajar.” Mommy tertawa geli sampai wajahnya merah. “Claire, Archie ... kakek, Mommy, dan Daddy menyuruh kalian sekolah bukan biar kalian sengsara. Kami ingin melihat kalian jadi anak yang berhasil lahir batin. Saat kami mati nanti, kalian bisa hidup sendiri.” Seharusnya Kakek nggak bilang begitu. Drey nggak akan mati. Mommy juga nggak akan mati. Kakek juga nggak akan mati. Mereka semua bakal terus hidup sampai aku dan Archie jadi kakek-nenek juga. “Nggak ada dari kalian yang boleh mati,” kata Archie seolah mendengar suara hatiku. “Semua yang hidup pasti akan mati, Cu.” “Tapi bukan orang di rumah ini.” Archie hampir menjerit. “Bukan kucing di rumah ini juga.” “Adik bayimu sudah meninggal, Archie,” jelas Mom. “Sebelum dia mengenal dunia, Tuhan sudah mengambilnya. Tuhan lebih sayang padanya.” Kami semua diam. Aku memandangi sarapanku yang tinggal separuh, berharap semua makanan itu punya mulut dan mengatakan kalau yang diucapkan orang-orang dewasa di sini salah. Ke mana lagi kami akan pergi kalau orang-orang dewasa meninggal semua? Siapa lagi yang mencintai kami kalau mereka semua pergi? “Dan sebelum Kakek meninggal,” kata Kakek lagi setelah bernapas berat, “Kakek ingin mendengar Claire memanggil Daddy.” Aku mendongak cepat pada kakek. Kaget. Kok bisa kakek memikirkan itu? Kakek sudah tahu kan kalau aku sudah punya Daddy Martin? “Daddy Drey memang ndak akan bisa menggantikan Daddy Martin, Nduk. Tapi, Daddy Drey tetap ayahmu di sini. Ayah yang membesarkanmu dan mendidikmu.” Ada gumpalan besar di tenggorokanku yang ingin sekali untuk kumuntahkan. Rasanya, aku pengin membanting apa saja untuk bilang kalau Kakek salah. Aku sayang sama Drey, tapi bukan berarti aku bisa menjadikannya ayahku. Hanya Martin Johansson ayahku. Nggak akan ada yang lain. Tapi, siapa yang tega berkata kasar pada Kakek? Senyumnya bikin sesuatu di dalam diriku malu. Matanya yang sudah agak pudar karena umur selalu menatap dengan binar lembut, persis seperti Mom. Akhirnya, aku menunduk lagi. “Kalian itu mirip sekali Daddy waktu dimarahi dulu. Nggak bisa ngomong apa-apa, tapi besoknya sudah nggak keruan lagi. Nenekmu sampai capek teriak-teriak.” “Daddy suka berkelahi?” tanya Archie. Kali ini suaranya sedikit lebih ceria. Kakek tertawa. “Daddy-mu selalu pulang babak belur. Dulu badannya kecil sekali. Sampai SD badannya nggak tumbuh. Jadi, dia diejek. Daddy-mu selalu melawan.” “Daddy luka?” tanya Archie lagi. “Luka. Kepalanya pernah sampai bocor.” “Daddy menangis?” Kakek menggeleng. “Daddy-mu baru menangis waktu lukanya diobati sama Nenek.” “Obatnya perih?” “Bukan obatnya yang perih, tapi doa yang diucapkan oleh Nenek.” Kakek tersenyum. “Nenek memberikan doa agar Daddy jadi anak saleh yang punya anak pintar seperti kalian.” Drey tersenyum, lalu menunduk. Tangannya memainkan sendok teh di meja. Sepertinya, dia membayangkan nenek. Drey selalu berkaca-kaca kalau kami menceritakan tentang nenek. “Kuharap Ibu tidak malu mempunyai anak sepertiku.” Kakek menjawab pelan, “Ibu tahu semua tentang kamu, Nak. Bapak yakin, kalau sekarang Ibu ada di sini, pasti Ibu bangga sama kamu. Anak yang dulu nakalnya minta ampun sudah bisa punya anak seperti Archie. Bapak saja bangga.” Dia tersenyum sambil menggumamkan terima kasih. Drey sama denganku, dibesarkan oleh orang yang bukan orangtuanya. Kurasa, itu yang membuatnya mengerti tentangku. Setelah sarapan selesai, dengan tertatih Mom menghampiriku. Pelukannya menghapus panas di dalam dadaku. Mom membisikkan kata cinta yang banyak sebelum Drey menggendongnya kembali ke kamar, meninggalkan aku dan Archie yang berpandangan. “Aku juga sayang kamu, Claire. Walau aku tahu kamu yang nmenyembunyikan Bumblebee-ku di freezer, aku tetap sayang sama kamu.” Aku mengangkat bahu. “Mau kusebutkan semua kenakalanmu?” Dia memasukkan tangan ke saku celana. “Nggak usah. Aku masih ingat semua.” Malam itu, aku berdoa lagi. Sebelum tidur, aku berlutut dan meminta kepada Tuhan agar nggak lagi mencabuti nyawa orang yang kucintai. Kalau memang harus ada yang mati, biar saja orang lain. Aku juga boleh kalau Tuhan mau. Aku ingin melihat keluarga baruku menua semua. Aku ingin lihat kami berpelukan begini sampai aku jadi setua kakek Rinto. * Hari bersekolah itu datang juga. Di akhir musim panas, kami harus masuk sekolah seperti anak-anak normal lainnya. Archie ada di Cedar Hill School, sekolah anak orang kaya dan aku di sekolah biasa seperti keinginanku. Archie memakai seragam rapi yang sudah dibikin kaku. Kemeja putih di dalam setelan kotak-kotak hitam yang mengingatkanku pada rok lama Mom. Aku memakai kemeja dan jaket jins Dad. Agar meyakinkan, aku membawa tas yang cuma kuisi alat lukis dan sebuah buku catatan. Aku nggak tahu bagaimana kondisi sekolah di Amerika. Aku akan masuk kelas tujuh. Sekolah memberikan catatan buku apa yang harus kumiliki dan Drey sudah membelikannya. Selama seminggu terakhir, aku sudah membaca tiga di antaranya, yaitu Sejarah Amerika, Sastra dan Budaya Dunia Modern, dan Fisika Jilid 3. Pagi yang kuharap penuh keberuntungan ini diawali dengan komentar Archie, “Kenapa sih cewek-cewek suka pakai baju ayahnya?” “Kalau kamu punya ayah yang sudah meninggal, kamu pasti ingin mengenangnya dengan cara apa pun. Jangan pikirkan itu! Drey tetap akan terus bersama kita. Dia bakal hidup sampai lebih tua dari kakek Rinto buat main sama anak-anak kita.” Archie mengangguk. “Aku pernah lihat Dad menangis waktu berdoa salat Jumat, lalu memelukku. Dad menyuruhku menjagamu dan mom kalau terjadi sesuatu padanya. Dad kuat. Mana mungkin dia kenapa-napa. Malaikat maut nggak akan berani mencabut nyawa Dad.” Seharusnya Archie mengurus dirinya sendiri daripada mengurusi jaketku atau kematian. Usahanya untuk nggak sekolah luar biasa, mulai dari pura-pura muntah, sampai pura-pura e*k. “Dad,” tanya Archie waktu Mom dan Drey masuk mobil. “Apa kalau aku sakit perut boleh nggak sekolah?” Mommy tertawa. “Dulu kamu pengin banget masuk sekolah, lho. Masa kamu nggak ingat kamu nangis pengin sekolah waktu Claire masuk kelas balet?” “Itu aku waktu masih kecil, Mom. Waktu itu aku masih terlalu naif buat kenal dunia.” Drey ngakak keras sekali sampai harus menghentikan mobil. Karena tahu anaknya mudah tersinggung, Mom menepuk bahu suaminya. Terlambat. Archie sudah marah. “Maaf, Son. Hanya saja ... kamu tidak perlu mengenal dunia dulu. Kamu hanya perlu mengenal teman-temanmu. Iya kan, Claire?” Aku diam saja. Kuakui, usaha Drey dan Mom bagus sekali. Untuk mengantar kami di hari pertama sekolah, Drey pakai mobilnya yang paling merakyat, Jaguar F Pace. SUV hitam ini bakal jadi sorotan di sekolah negeri yang kutuju. Untuk sekolah Archie yang penuh dengan anak selebriti, mobil ini memang tidak akan terlalu jadi pusat perhatian. Dandanan Drey yang cuma pakai kaus lengan panjang dan celana denim hitam sih biasa saja. Tapi, dress Armani dan flat shoes Furla mom jelas bikin orang-orang menonton kami. Mom memang nggak berniat menyombong. Begitulah pakaiannya sehari-hari. Drey yang memilihkannya. Kadang, Drey meminta pendapatku atau Glacie tentang baju yang ingin dibelinya untuk Mom. Kututup kepalaku dengan hoodie jaket biar nggak ada yang memperhatikan. Siapa pun pasti tahu aku anak pungut karena tampangku berbeda sekali dengan mereka. Rambut mereka semua hitam gelap, sedang aku pirang gelap. Mereka semua punya mata hitam dan cokelat, nggak seperti aku yang biru terang. Seharusnya aku minta izin untuk mewarnai rambut dan memakai lensa kontak. “Cobalah untuk bertahan sampai akhir tahun di sini ya, Sayang.” Mom menggenggam tanganku waktu kami menunggu di ruang kepala sekolah. Drey sedang berbisik pada Archie, mungkin menjelaskan tentang sekolahku. Sebenarnya, sekolah negeri ini nggak buruk, kok. Mungkin karena lingkungan di sekitarnya juga anak-anak orang kaya semua. Nggak ada lantai lembab karena banyak anak meludah sembarangan, nggak ada WC bau pesing, dan nggak ada anak bau karena nggak mandi. Beberapa anak menatapku dengan heran di koridor tadi, mungkin karena aku anak baru yang nggak pernah mereka lihat sebelumnya. Di gedung sekolah ini kelas empat sampai SMA ada di satu gedung utama, sementara anak yang lebih kecil ada di gedung lain yang lebih kecil juga. Mungkin biar mereka nggak terinjak anak-anak yang suka bermain basket atau skateboard di koridor. Kepala sekolahku bapak-bapak botak yang warnanya mirip anak babi, pink. Dia juga sering berkeringat sampai harus membawa handuk kecil warna putih yang mirip wash lap. Dia memakai kemeja krem yang agak kebesaran dan celana kain cokelat tua yang juga agak kebesaran. Mungkin Bapak ini dulunya gendut, lalu menyusut karena minum obat pelangsing. Suaranya hampir nggak bisa terdengar karena masih memakai earphone. Dari tadi aku sibuk mendengarkan Alessia Cara. Kukira, nggak ada yang tahu. Ternyata waktu keluar dari ruang kepala sekolah, Drey menarik tanganku dan melepas earphone-ku. “Jangan ulangi ini, Miss Johansson. Kamu bukan hanya tidak menghargai orang lain. Kamu juga tidak mendapatkan informasi mengenai sekolah barumu.” “Aku memang nggak niat lama kok di sini.” “Oh, ya?” Drey menunduk agar wajah kami sejajar. “Dengar, Nak. Aku akan menghukummu kalau kamu tidak bisa bertahan selama satu bulan di sekolah ini.” Aku tersenyum. “Try me!” kataku sambil merampas earphone dari tangan Drey dan berbalik ke koridor sekolah. Hukuman Drey tuh nggak ada apa-apanya. Drey bukan orangtua yang suka memukuli anaknya. Dia juga bukan orangtua yang jahat. Hukuman terberat yang kuterima selama ini adalah membersihkan halaman panti asuhan gara-gara melempar rumah orang dengan batu. (Mereka punya anjing yang nggak berhenti menyalak walau sudah malam.) Aku sendiri nggak tahu apa yang dipikirkan Drey waktu menyuruhku menyapu halaman panti. Bagiku, itu pengalaman yang lumayan seru. Aku kenal beberapa anak di panti asuhan itu. Kasihan, sebagian besar dari mereka nggak pernah kenal orangtua mereka. Ada juga yang sengaja dimasukkan situ karena orangtuanya nggak mau dan nggak mampu membesarkan mereka. Padahal, mereka anak yang lucu, loh. Sekarang mereka mirip anjing dan kucing di pet shop, menunggu ada yang mau adopsi mereka. Aku nggak keberatan kok disuruh membersihkan panti asuhan lagi. Jadi, aku memilih untuk menonjok muka siapa saja yang terdengar mengejekku pagi ini. Kalian sudah tahu kemampuanku, kan? Mulanya, kukira yang jadi korbanku cewek rambut merah yang berusaha berjalan seperti bebek cacingan dengan p****t diangkat. Aku yakin dia pakai celana dalam berbusa tebal biar pantatnya bisa terlihat besar, kelihatan kok dari celana ketatnya. Ternyata, yang harus kuhadapi anak cowok gendut tukang palak. Dia menghadang jalanku di koridor bersama tiga temannya. “Anak baru, Orang kaya?” katanya dengan suara serak karena pita suaranya tertutup lemak. Aku yakin kalau malam dia ngorok juga. “Kenapa? Orangtuamu miskin, ya?” Dua temannya berusaha menahan tawa. Dia nggak. Tatapannya galak, berusaha membuatku takut. “Mau berbagi uang dengan orang miskin ini?” Aku memutar mata. Ini gaya tukang palak tahun Elvis Presley masih sekolah. Seharusnya dia belajar memalak dengan lebih baik. “Aku nggak punya dompet,” kataku jujur. “Kalau uang aku punya.” Kukeluarkan beberapa lembar puluhan dolar kusut yang belum sempat kuhitung dari saku celana. “Tapi ada syaratnya,” kataku sebelum memberikan uang itu. “Apa? Aku harus jadi pacarmu?” Anak itu terkekeh. “Nggak. Seleraku bukan cowok gendut yang hidungnya pesek dan punya banyak freckles seperti kamu.” Kulipat lagi uangku dan kumasukkan ke kantong. “Aku nggak tahu di mana kelasku. Jadi, tolong kamu merangkak seperti anjing buat menunjukkan di mana kelasku pagi ini.” Kukira mereka agak pintar, ternyata mereka b**o. Mendengar tawaranku, mereka terlihat berpikir. Yang benar saja, mereka mempertimbangkan merangkak ke kelas demi beberapa puluh dolar? Mereka beneran miskin, ya? Apa mereka mau beli n*****a? “Nggak mau!” protes anak kurus yang dari tadi cuma mengangguk saja. “Aku nggak mau merangkak seperti anjing. Aku nggak mau diperintah sama cewek kurus ini.” Astaga! Apa dia nggak tahu kalau badannya tuh kurus banget? “Oke. Kalau gitu, kalian nggak dapat uangnya.” “Aku mau uang!” teriak anak gendut itu. Dia melihat temannya dengan kesal. Tanpa aba-aba, dia meninju temannya. Anak lain di belakangnya ikut marah dan membalas tinju tersebut. Sekarang, tiga anak kurus berkelahi melawan anak gendut. Salah satu dari mereka menendang anak lain di koridor. Nggak sengaja sih, tapi anak itu tersinggung dan membalas tendangan mereka. Aku mundur untuk melihat empat anak berkelahi. Seorang guru perempuan datang melerai dengan suara tinggi melengking. Pertunjukan selesai. Aku berbalik untuk menuju kelasku sendiri. “Tunggu, Young Lady!” teriak guru itu dengan suara meninggi. “Kamu yang menyebabkan mereka begini?” “Anak itu meminta uangku. Kubilang padanya untuk merangkak ke kelasku kalau mau uang. Kita nggak bisa mengambil uang orang begitu saja tanpa melakukan apa-apa, kan?” “Kamu menyuruhnya merangkak?” Mata guru itu memicing sampai hanya tinggal segaris tipis. “Iya,” jawabku tegas. “Kenapa kamu sejahat itu?” “Aku nggak memaksanya. Kalau dia memang mau uangku, dia harus melakukan sesuatu untukku. Itu namanya kerja. Kalau tidak, dia bisa masuk penjara anak atas tuduhan pemerasan dan kenakalan.” “Dia terlalu muda untuk penjara anak.” “Dia terlalu muda untuk jadi perampok, Ma'am. Di lembaga pendidikan permisif terhadap kenakalan seperti inilah mental anak-anak Amerika dihancurkan.” “Oh, ya? Lalu kamu apa?” Guru itu menunduk sampai wajahnya sejajar dengan wajahku. Tatapannya dingin dan penuh celaan. “Kamu anak berkebangsaan Inggris yang dibesarkan keluarga Asia beragama kejam itu, kan? Aku sudah melihat catatanmu setelah kalian keluar dari ruang kepala sekolah tadi. Apa yang terjadi padamu, Little Missy? Apa mereka mencuci otakmu dan menjadikanmu sama jahatnya dengan mereka?” Aku ingat apa kata Dad tentang keluarga Drey. “Kamu tidak akan melihat keluarga yang mau berkorban untuk orang lain seperti mereka, Claire. Ketulusan dalam diri mereka yang harus kamu teladani. Mereka membela orang yang mereka cinta dengan sepenuh hati. Lihat yang mereka lakukan pada kita!” Inilah kenapa aku nggak ingin sekolah dan ketemu dengan orang-orang. Perbedaan agama di dalam keluarga ini. Orang-orang di sini sedang kena wabah membenci orang berdasar agamanya, sama seperti Shawn Collins itu. Aku masih ingat bagaimana orang-orang melihat Karin yang memakai kerudung dengan penuh celaan. Aku nggak mau keluargaku dilihat seperti itu. Mereka orang baik. Mereka memang nggak pernah peduli pada apa yang dipikirkan orang lain. Tapi, aku peduli. Aku sakit hati setiap mendengar dan melihat orang lain menjelekkan mereka karena agama yang mereka anut. Aku sedih setiap mendengar orang mengaitkan ketertutupan mereka terhadap kehidupan sosial karena agama yang mereka percaya. Ini nggak adil. Ini membuatku pengin memukul wajah orang. Dan aku benar-benar memukul wajah orang sekarang. Hidung guru perempuan itu berdarah. Dia jatuh ke lantai sambil menjerit berlebihan. Nggak usah tunggu sampai akhir jam pelajaran, mereka langsung menelepon Drey. Mereka melapor pada Drey kalau aku mengadu domba anak-anak agar berkelahi dan memukul guru yang melerai. Guru perempuan itu mengatakan aku punya kelainan jiwa akut. Aku harus dimasukkan ke rumah sakit jiwa dan dijaga ketat. Aku bersyukur mom nggak perlu ikut. Aku cuma perlu menghadapi mata bulat penuh kekesalan Drey, bukan tangisan mom. “Apa yang harus kulakukan, Claire?” tanya Drey setelah kami ada di dalam mobil lagi. “Bawa aku pulang,” jawabku berusaha tenang. “Kamu tidak ingin bercerita tentang kejadian tadi?” “Kamu sudah mendengar ceritanya.” “Tidak, Nak. Itu cerita versi mereka. Aku yakin ada cerita lain versimu.” “Kamu nggak akan percaya padaku.” “Kapan aku tidak mempercayaimu?” Memang, sih. Drey selalu mendengarkan omonganku. Dia selalu menunggu sampai aku menyelesaikan cerita dan nggak pernah memotong. Tapi, tetap saja berat menceritakan padanya apa yang dilakukan guru tadi. Aku nggak mau Drey merasa menjadi beban untukku karena keyakinannya. “Kalau kamu tidak bicara, kita tidak akan ke mana-mana.” Drey menyandarkan punggung ke kursi dan menghela napas panjang. “Kukira kita bisa jadi teman, Claire.” Aku tetap diam saja. Drey nggak akan bisa lama di dalam mobil, kok. Anaknya itu sebentar lagi pasti meminta pihak sekolah untuk meneleponnya. Mau taruhan? Drey memutar Mozart dan memejamkan mata. “Ada kantong jeli di ice box untuk mengompres tanganmu.” “Kenapa ada ice box di sini?” “Karena di telepon mereka bilang kamu menghajar orang.” Dia membeli ice box untukku? Dia tahu kalau tanganku bakal sakit? “Kamu memang sering berantem seperti kata Kakek, ya?” Dia tertawa. “Dulu, aku kecil sekali. Aku jadi bahan ejekan anak-anak lain dan kakak-kakakku.” Dia menarik napas dalam, lalu menatapku. “Saat itu aku tahu, satu-satunya cara agar tidak diganggu adalah jadi yang terkuat. Aku menghajar anak yang lebih kuat dariku.” “Lalu kamu jadi jagoan?” “Aku jadi bajingan.” Dia diam sebentar, lalu melanjutkan, “Claire, kamu tidak bisa melukai orang lain tanpa melukai diri sendiri. Setiap kamu berbuat jahat pada orang lain, satu kebaikan dalam dirimu mati. Lalu, kamu tumbuh menjadi manusia tanpa hati.” Dia menggeleng. “Itu tidak enak, Claire. Aku tahu rasanya.” “Kamu baik, kok.” Dia berbalik, menatap mataku. “Karena aku bertemu orang-orang yang mengajarkanku jadi baik. Istriku, ayahmu, Dave, keluarga kita. Mereka mengembalikan diriku. Aku tidak ingin kamu besar dengan dendam dan kemarahan seperti aku.” Dia diam lagi, membasahi bibir beberapa kali. “Mau bercerita kenapa kamu menghajar calon gurumu?” “Karena dia bajingan.” Drey diam, menungguku melanjutkan cerita. Tapi, aku nggak akan melanjutkan. Aku menutup mulut rapat-rapat lagi. HP-nya berbunyi. Dari napas panjang yang dikeluarkan, itu pasti dari sekolah Archie. Dia menerima telepon itu dengan suara tegasnya yang biasa, suara yang bisa membuat orang takut. Dia diam untuk mendengarkan orang yang bicara di telepon selama beberapa menit. Lalu, dia mengucapkan terima kasih dan menutup telepon. Embusan napasnya mengatakan kalau Archie juga dalam masalah. Cuma, karena dia nggak buru-buru menyalakan mobil lagi, kelihatannya bukan masalah besar. Dia sempat menunduk pada setir selama beberapa saat, lalu berkata, “Aku akan menghukummu. Aku akan menghukummu karena tidak bisa bertahan di sekolah selama satu bulan dan karena tidak mengatakan yang sebenarnya padaku.” “Hukum saja. Jangan kasihani aku.” Ini lebih baik daripada mengatakan pada mereka apa yang dikatakan guru tadi. Aku nggak mau mereka berhenti mempercayai apa yang mereka yakini. Aku nggak mau melihat mereka berhenti berdoa hanya karena aku. Drey menarik napas panjang, lalu menggeleng. “Nanti malam setelah semua orang tidur, kamu ke studioku.” Eh? Hukuman kali ini di studionya? Aku nggak membersihkan halaman panti lagi? Buat apa? Nggak mungkin kan hukumannya melukis atau belajar nyanyi? Apa Drey mau aku masuk ke paduan suara lagi? ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN