6. The Queen

2325 Kata
“DIKELUARKAN?!” Archie menatapku penuh kekaguman. “Baru hari pertama?” Dia membelalakkan mata. “Kamu hebat, Claire!” Archie masih berdecak kagum dengan berlebihan. Aku senang. Seperti itulah rasanya punya adik. Aku merasa punya pengikut yang selalu mengagumi sekaligus iri padaku. “Claire berbuat kesalahan,” kata Drey mengambil semua kesenanganku. “Dia akan dihukum mulai malam ini.” “Aku turut berduka,” kata Archie lagi. “Jadi, Claire boleh nggak sekolah, Dad?” tanya Archie setelah menelan sepotong besar daging. “Dia akan sekolah lagi. Aku sudah mencari beberapa sekolah bagus.” Drey minum sebentar, lalu melihat padaku. “Masalahnya, sekolahmu tadi memberikan rekomendasi buruk. Tidak akan ada yang menerimamu sampai kamu mendapat rekomendasi dari psikolog.” “I love it,” kataku dengan mulut penuh yang langsung dapat teguran spontan dari Mom dan Kakek. “Jadi, kamu bakal ke psikolog, Claire?” tanya Archie lagi. “Jangan harap.” Kali ini aku menelan dulu makananku. “Tanpa sekolah, aku baik-baik saja. Nggak perlu repot.” “Claire, memangnya kenapa kamu sampai mukul guru?” tanya Kakek dengan nada bicara yang bikin aku pengin memeluknya dan menangis. Tapi, aku sudah terlanjur makan steak dengan banyak mozarella kesukaanku. Aku nggak boleh menangis sekarang. Jadi, aku menunduk, melilitkan mozarella di garpu dan makan dengan lahap. Hot plate yang masih panas menguapkan bumbu dan mozarella. Uapnya menabrak wajahku. Kuharap bisa menyembunyikan wajahku yang mungkin sekarang berwarna merah. “Sayang, Mom hanya ingin kalian mendapat pengalaman sosial. Mom nggak berharap kalian dapat nilai terbaik, dipuji guru, atau penghargaan. Kalian sudah jadi juara di hati kami. Mom cuma nggak mau kalian jadi seperti Mom.” Ruang makan hening. Satu-satunya suara cuma dari garpuku yang berusaha melilitkan keju ke sekitar potongan terakhir daging dengan berlebihan. “Claire, aku memintamu ke sekolah karena ingin melihatmu jadi anak yang lebih baik daripada aku atau Drey. Ini bukan hanya karena kami bertanggung jawab pada Martin. Ini karena kami mencintaimu. Andai kamu tahu bagaimana kami berpikir siang malam tentang masa depan kalian berdua, Claire.” Mommy mulai terisak. Glacie dan Karin selalu bilang Mom ratu drama karena mudah sekali menangis. Biasanya aku nggak masalah dengan sifat ini. Kali ini aku pengin menutup wajah Mom dengan lap. “Kalau nggak sekolah memangnya aku nggak punya masa depan?” ketusku setelah mengunyah dan menelan makanan. “Claire, masa depan itu bukan tentang apa pekerjaanmu dan berapa banyak uang yang kamu hasilkan. Drey nggak perlu mengeluarkan uang buatmu. Ayahmu punya uang yang cukup untuk buat have fun seumur hidup tanpa kerja. Kami berpikir tentang pembentukan karaktermu, tentang lingkunganmu, tentang jiwamu.” Mom membelai tanganku. “Kami bukan orang normal, Claire. Kami nggak bisa seperti Tundra dan Karin yang punya kehidupan sosial. Kami nggak bisa jadi orang baik yang dicintai banyak orang seperti Dave. Kami juga nggak bisa jadi periang seperti Glacie, atau ramah seperti Heath. Kami ini produk gagal. Akhirnya kami kesulitan membesarkan kalian dengan cara yang baik.” “Berbeda dengan anak lain bukan berarti kami salah, kan?” “But look at you now! Saat anak lain bisa menghadapi masa remaja atau mungkin pacaran, kalian malah di rumah saja. Mom senang melihatmu melukis, tapi Mom sedih melihatmu belum mengenal orang lain. Mom senang melihat Archie bermain lego dan membuat robot. Tapi, Mom lebih senang dia bermain dengan anak lainnya. Mom ingin melihatnya berebut permen sama anak lain.” “Anak sekarang makan g***a, Mom,” koreksiku. Akhirnya Mom tersenyum juga. Setelah berdeham dan melirik pada Drey, Mom memasang wajah serius lagi. “Kami mencintai kalian. Keputusan yang kami buat bukan untuk menjerumuskan kalian. Kami ingin melihat kalian jadi manusia yang lebih baik dari kami.” Mom meremas tanganku. “Martin dan Irene pasti bahagia melihatmu, Claire. Kamu akhirnya bisa pirouette[1] dengan baik waktu latihan balet. Kamu membaca banyak buku. Hanya satu yang harus kamu coba, Claire, sekolah.” Aku bukan anak yang terlahir untuk sekolah. Aku nggak bisa mengikuti aturan anak-anak sekolahan. Mereka mengejek dan merendahkan anak lain yang nggak mengikuti standar mereka. Aku sudah pernah melihat bagaimana sekolah. Aku nggak mau lagi. Aku diam saja, menelan sendiri pendapat yang nggak bisa kuungkapkan. Sekalipun Mom dan Drey sudah memancing agar aku bicara, aku cuma diam saja sampai selesai makan. Setelah Drey dan kakek pergi, sementara Mom berbicara dengan Juanita, Archie mendekatiku. Dia berusaha tersenyum dan mencari perhatianku. Tapi, aku nggak bernafsu melakukan apa pun. Aku cuma duduk saja, memegangi gelas kaca berisi air putih setengah. “Apa aku harus menusukkan garpu ke tanganmu biar kamu mau ribut sama aku, Claire?” Archie mengeluh keras-keras setelah kucuekin. “Aku mau siap-siap,” kataku sambil berdiri. “Mau ke mana?” “Ayahmu mau menghukumku, kan?” Aku berlalu begitu saja, nggak lagi melihatnya. “Ayahku sekarang jadi ayahmu juga, sama seperti ibuku yang jadi ibumu juga dan kakekku yang jadi kakekmu juga.” “Aku tahu,” kataku sambil berlalu. Sudah cukup urusan ayah-ayahan ini. Drey sendiri nggak mempermasalahkan ini. Kenapa mereka ribut? Saat ke perpustakaan untuk mengambil buku Charles Darwin lagi, kulihat HP Mom di meja. Aku menelepon Ryn di Jakarta. Dari semua anak yang ada di bumi, Ryn yang paling mengerti aku. Anak itu punya hati paling bersih dan senyum paling tulus. Cuma dia yang kupercaya untuk diajak ngobrol banyak. Seharusnya sekarang di Jakarta jam 9 pagi. Mungkin Ryn masih sekolah. Di sekolahnya nggak dilarang bawa HP. Jadi, kalau nggak ada guru, dia bisa meneleponku. “Claire?” Suara di belakang Ryn ramai sekali. Seorang anak cowok berteriak di dekatnya, membuat suara seperti monster. Ryn menjeriti anak itu. Kutunggu dia sampai berhasil mengusir anak yang mengganggunya. “Tumben kamu telepon.” Dia tertawa, lalu mendengus kesal, sepertinya masih berkelahi dengan anak yang mengganggunya tadi. “Gimana kamu? Sehat?” “Sehat. Mom juga sudah sehat,” jawabku sambil mencari posisi nyaman di sofa. “Kamu lagi istirahat?” “Gurunya nggak ada. Anak-anak jadi liar gini.” Dia tertawa mengikik. “Aku sedih kamu nggak bisa ke sini Juni kemarin. Aku kangen banget sama kamu.” “Sama. Aku juga,” kataku jujur. “Desember nanti kita ketemu, kan? Kamu ikut, kan?” Dia menjerit senang. “PASTI, DONG! Nanti aku mau ke musium dulu. Aku bawain oleh-oleh buat kamu. Katanya, di musium ada yang jual kalung dari gigi buaya. Kayak gading gajah gitu. Bisa diukir. Aku punya tabungan banyak. Nanti kubelikan buat kamu.” Kubayangkan dia tertawa lebar dengan mata sipitnya yang makin sipit. Dia anak turunan Cina-Jawa yang cantik. Matanya sipit, seperti ibunya, tapi memiliki warna iris mata yang hitam dan besar seperti ayahnya. Bentuk wajah dan warna kulit yang dia dapat dari ibunya cantik banget. Aku sering berpikir dia itu kartun Jepang yang jadi nyata. “Kamu tahu nggak kalau ngasih kado tuh harusnya nggak bilang-bilang?” Dia tertawa lagi. “Biar kamu nggak kaget aja. Eh, aku mau kencing dulu. Di sekolah ada razia. Kalau ketahuan bawa HP nanti disita.” “Kukira di sekolahmu dibebasin.” “Habis ada yang ketahuan lihat video bokep katanya. Anak kelas enam. Bapaknya sampai dipanggil.” Dia mendengus. “Aku main t****k aja dimarahin Papa katanya nggak ada gunanya. Papa lebih suka aku main game biar belajar strategi. Eh, sudah ya. Nanti kalau kamu belum tidur, teleponan lagi aja.” “Nggak bisa. Aku mau dihukum Drey.” “Kenapa?” “Aku dikeluarin dari sekolah.” “Ha?” “Aku hajar guru.” “Dia jahatin kamu?” Sebenarnya, aku nggak mau cerita, tapi semua keluar dengan sendirinya. Aku ceritakan semua yang terjadi tadi pagi. Ryn sampai nggak jadi kencing. Dia mendengarkan sampai akhirnya setelah aku cerita dia bilang, “Kalau jadi kamu, aku bakal hajar mukanya juga.” Kuucapkan terima kasih buat anak itu. Bukan cuma karena dia mendengarkan cerita yang nggak bisa kuceritakan ke orang lain, tapi juga karena sudah mendukungku. Ryn nggak bohong. Dia pasti akan menghajar siapa saja yang bilang hal buruk tentang keluarganya. Dia bukan anak pemarah seperti aku, tapi dia sayang banget sama keluarga kami, seperti Tundra. Dia cerita nanti bakal bikin kejutan di ulang tahun Glacie. Obrolan dengan Ryn bikin suasana hatiku jadi lebih baik. Aku baca bab pertama bukunya Darwin. Kucatat beberapa hal yang membingungkan dan menarik perhatianku di sticky note kuning yang kutempelkan di setiap halamannya. Heath yang mengajariku. Dengan begini, aku tahu apa yang kudapat dan apa yang harus lebih kugali dari buku yang k****a. Jam sepuluh malam aku keluar kamar untuk menjalani hukumanku bersama Drey. Rumah sudah sepi. Selain bunyi air di beberapa akuarium, air terjun di sudut ruang makan, dan gelombang kecil kolam renang yang menabrak dinding kaca ruang keluarga, nggak ada suara lain. Bahkan kucing-kucing sudah tidur nyenyak di kamar kucing. Sebenarnya, aku juga ngantuk. Aku menguap sepanjang jalan dan merapatkan outer-ku. Drey berdiri di depan layar proyektor besar. Dia memegang remot dan satu tangan lagi di pinggang. Dia pakai mantel panjang yang kedodoran. Rambut gelapnya yang berantakan, mirip orang-orangan sawah. Saat melihatku, dia tersenyum dan melambaikan tangan, memintaku mendekat. “Claire,” panggilnya pelan. “Apa kamu ingat pembicaraan terakhirku dengan Martin?” Mana kutahu. Saat ngobrol terakhir di London, mereka menyuruhku bermain dengan kucing dan Archie. “Dia ingin melihatmu tumbuh menjadi gadis yang santun dan penyayang. Dia tidak berharap terlalu banyak. Bisa melihatmu tersenyum dengan orang-orang yang menyayangimu saja sudah merupakan hal luar biasa untuknya. Ini alasan kami mengirimmu ke sekolah.” Dia diam sebentar, membelai tanganku. “Aku mencintaimu, Claire. Kamu mengingatkanku pada diriku sendiri bertahun-tahun lalu. Kamu mendapat ujian hidup sebelum kamu mengerti cara menghadapi hidup. Tapi, kamu berhasil melaluinya. Semua itu menyebabkan luka di sini.” Dia menyentuh dadaku dengan telunjuk, lalu memperhatikan wajahku. “Bagaimana rasanya?” Apa? Rasa apa? Rasanya ditinggalkan? Rasanya disakiti? Rasanya tumbuh dengan lingkungan yang pamer mereka dapat cinta ibu dan aku nggak? Rasanya kehilangan semua anggota keluarga? Rasanya melihat banyak kematian? Rasanya harus memendam semua kekesalan ini? “Sakit,” kataku dengan sesak yang terasa menyumpal tenggorokanku. “Aku mengerti.” Drey menyalakan proyektor dengan remot di tangannya. Di tengan ruangan sekarang ada video Dad tersenyum pada kami. Dad yang tampan dan baik melambai dengan penuh semangat dalam video itu. Rambut pirangnya yang sama denganku, sedang berewoknya yang berwarna lebih gelap terlihat lebat. Kulit Dad yang cokelat terlihat pucat, tapi mata biru terangnya menyala. Mata itu seperti mengatakan pada semua orang kalau di dalam tubuh rapuhnya, Dad baik-baik saja. Suara Requiem milik Mozart terdengar sangat menjengkelkan untuk mengiringi video itu. “Jujur saja, aku tidak pernah merindukan orangtuaku. Aku tidak mengenal mereka. Aku terlahir dan dibesarkan dengan ambisi. Aku tidak pernah bisa mencintai mereka karena mereka tidak pernah mengajarkanku cara mencintai. Tapi, kamu pasti merindukannya. Aku sendiri kadang ingin bicara dengannya. Aku menekan nomor teleponnya, lalu sadar kalau ponselnya ada di laci meja kerjaku.” Drey mengeluarkan ponsel Dad dari saku mantelnya. “Untukmu. Jangan beri tahu Archie. Kamu bisa jaga rahasia ini?” Dia tersenyum. Aku mengangguk. “Bisakah kamu lukis ayahmu di video ini? Aku ingin kamu mengingat lagi apa yang diharapkannya darimu.” Drey menggenggam dua tanganku. “Nak, orangtua memang menjengkelkan. Kami memberi aturan dan melarang banyak hal. Itu bukan untuk kesenangan kami. Itu demi kalian. Itu karena kami mencintai kalian. Kamu anak kami, Claire. Kamu kakak Archie. Kamu mendapat tanggung jawab penuh untuk membantu kami mencintai dan mendidik Archie. Di sini ...,” Drey menyentuh bahuku, “Ada tanggung jawab besar yang harus kamu panggul. Kamu anak sulung kami. Kamu yang akan membantu Mommy jika terjadi sesuatu padaku.” Dia diam. Matanya seperti bercahaya, basah. Pantulan cahaya proyektor pada mata cokelat besarnya menciptakan kilauan, satu kelebihan yang diwariskan pada Archie. Drey meninggalkanku di studio bersama mozart, dan video Dad. Dad tersenyum dalam video tahun baru terakhir kami di London. “Kamu akan menjadi ratu suatu hari nanti, Nak. Sekarang, kamu ratu di hatiku.” Dad menyentuh hidungku dengan jari yang belepotan krim kue. Aku sampai lupa rasa tangannya yang kasar dengan noda nikotin di sela jari perokoknya. Aku lupa gigi-giginya yang kekuningan dan rusak karena rokok. Aku lupa dengan berewoknya yang malas dicukur, juga kulitnya yang cokelat karena sering memancing di laut tanpa baju. Aku juga lupa rasanya memarahinya karena banyak hal. Aku merindukannya. Jam tiga dini hari Drey kembali ke studio. Aku nggak lihat jam, tapi Drey selalu bangun pada jam tiga. Dia membawakanku biskuit dan s**u hangat, lalu memperhatikan lukisan yang kubuat semalaman. “Maafkan aku, Drey,” kataku jujur. “Maaf aku sudah mengecewakan kalian. Aku janji akan memulai lagi. Aku akan jadi anak yang lebih baik.” Dia memelukku. “Kamu anak baik yang kami cintai, Claire.” Dia mengusap kepalaku, tersenyum, dan meninggalkanku lagi. Mungkin dia bergabung dengan Kakek Rinto di ruang ibadah seperti biasanya. “Aku janji bakal jadi ratumu, Dad. Aku akan jadi ratu yang baik seperti yang Dad mau,” bisikku pada lukisan Dad yang baru kubuat. Aku menepati janji. Aku akan masuk sekolahnya Archie, Cedar Hill School. Untuk itu, aku harus mengikuti konseling dengan psikolog yang ditentukan. Miss Checks bukan psikolog ramah seperti Ratna Cooper, teman Heath. Miss Checks sepertinya punya masalah dengan ingatannya sendiri. Dia sering lupa meletakkan benda. Aku jadi merasa dia nggak kompeten. Tenang saja, aku nggak mengomentari ini, kok. Aku bersikap seolah semua baik-baik saja. Drey terlihat senang mengantarku menemui Miss Checks dua kali dalam seminggu setelah mengantar Archie jam sembilan pagi. Selebihnya, aku tetap sekolah di rumah dan mulai berlatih balet lagi di Nada's Ballet Academy. Mom sudah bisa tertawa ceria lagi setelah dirawat dua minggu di rumah. Kakek Rinto membuatkan Mom genta nada dari kayu yang dipasang di depan jendela Mom. Tulisan di tengah genta nada besar itu “Best Mom” memang sangat cocok untuknya. Sayang, kebahagiaan yang kuharapkan hancur di musim dingin tepat beberapa hari sebelum Drey ulang tahun. Pagi-pagi, aku terbangun karena raungan Drey. Raungan memilukan itu terdengar ke penjuru rumah besar. Raungan kesakitan yang membuatku bergidik. Drey di tengah ruang keluarga, meringkuk di atas tubuh lain. Saat Juanita menyalakan lampu, hidupku yang berubah jadi gelap. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN