Di mataku, Drey itu laki-laki kuat. Dia nggak pernah mengeluh walau sedang sakit, hampir seperti Mom. Dia pernah demam sampai pucat waktu kami baru pulang dari Stoneberg, tapi nggak ada yang tahu. Mom baru tahu waktu memegang tangannya. Waktu Dave meninggal juga dia selalu bersembunyi di ruangan lain kalau mau menangis. Dia nggak mau bikin orang lain sedih atau khawatir. Kali ini Drey nggak bisa apa-apa. Dia meringkuk di pelukan Mom seperti orang sakit. Dia nggak menutupi tangisannya, sama seperti semua orang di rumah ini.
Drey menemukan kakek saat menunggunya ke ruang ibadah. Di pangkuan kakek masih ada kitab suci yang terbuka. Saat Drey melepaskannya tadi, wajah kakek mirip sekali dengan posisinya saat tidur. Mata terpejam rapat seperti menahan sakit dan bibir yang sedikit membuka. Drey melakukan CPR terus menerus sampai tim medis datang dan menyatakan kakek sudah meninggal. Lalu, Drey membawa kakek ke kamar dan menyelimutinya seperti sedang tidur.
Kelihatannya, Drey menyesal sudah terlambat bangun. Berkali-kali Drey menjambak rambutnya sendiri dan menggigiti bibirnya. Archie sampai nggak berani dekat-dekat dia. Anak itu terus menggenggam tanganku. Padahal, aku sendiri nggak tahu caranya berhenti menangis.
Di tengah kekacauan dan kesedihan atas kematian kakek ini, Drey masih sempat mengamuk karena mobil jenazah Maserati-nya belum sampai. Dia mau kakek diantar ke pemakaman dengan mobil yang disukainya.
“I DON'T GIVE A f*****g s**t! I WANT THAT f*****g CAR RIGHT NOW!”
Lima menit kemudian, Drey marah-marah lagi pada semua orang yang ditemui. Kalau sudah begini, aku kasihan sama Mom. Dia harus menenangkan dua orang, sedang dia sendiri sudah menangis sampai matanya bisa melek. Drey baru berhenti saat mom berkata, “Apa kamu nggak tahu kalau kami juga berduka, My Lord? Marah sama orang nggak bikin Bapak bangun lagi.”
Wajah Drey merah seperti ditampar. Dia menunduk dan minta maaf dengan suara pelan. Lalu, dia menyepi ke ruang ibadah sampai pelayat datang.
Drey dan Syeikh memimpin proses pemakaman. Drey sempat muntah waktu akan memandikan kakek, bukan karena jijik yang jelas. Drey nggak jijik waktu membantu membersihkan popok baby Vi. Mungkin Drey benar-benar sedih. Mom memberinya sekotak tisu dan handuk basah sebelum dia memandikan jenazah lagi.
Ah, suasana muram ini kurasakan lagi. Wajah-wajah sedih dengan mata merah ini kulihat lagi. Rasanya seperti dejavu. Kukira, dulu itu terakhir kalinya aku melihat keluargaku menangis sampai nggak bisa tidur.
“Claire, kamu nggak mau makan?” tanya Mom dengan suara bindeng.
“Aku makan kalau Mom makan,” jawabku menoleh. Mom diam saja. Kurasa Mom nggak punya tenaga lagi untuk mendebatku. Archie saja menolak makan, kok.
Inilah yang dinamakan dengan perkabungan. Ini adalah pesta kematian. Ini bukan untuk almarhum. Perkabungan itu untuk kami yang masih hidup. Kami ingin merayakan kesedihan dan menikmati rasa sakit saat melepas almarhum.
Heath menelepon setelah orang-orang selesai mendoakan jenazah kakek. Karena semua orang dewasa sibuk, aku yang mengangkat HP Drey.
“Halo, Heath. Maaf semua orang sibuk di sini.”
“Aku tahu, Claire. Maaf aku mengganggu.” Suara Heath terdengar serak dan lemas, bukan tegas seperti biasa.
“Kenapa kamu nggak ke sini?”
Dia menarik napas panjang. “Sepertinya aku tidak bisa ke sana sekarang. Sesuatu terjadi pada Rosie. Dia... mengalami... kecelakaan.”
“Astaga! Dia baik-baik saja?”
“Dokter masih menyatakan dia dalam keadaan kritis. Aku...” Heath terdengar bernapas berat. Ada suara ingus dari hidungnya. “Aku hanya bisa berdoa.”
“Glacie mana? Aku pengin ngomong sama dia. Aku pengin... kasih dia kekuatan.”
“Maaf, Claire. Dia tidak ingin berbicara saat ini. Aku sudah menawarinya untuk bicara denganmu atau Savanna. Kami di Houston. Aku... harus pergi, Claire. Aku akan menelepon lagi nanti malam. Waktu LA.”
“Sampaikan salamku untuk Glacie. Semoga Rosie cepat sembuh.”
“Terima kasih,” jawabnya sebelum menutup telepon.
Musim dingin kali ini sepertinya jadi musim dingin paling buruk dalam hidup kami.
Baru saja aku mau bilang ke Drey tentang berita ini, kehebohan lain terjadi. Archie mengamuk melarang orang-orang memasukkan kakek ke dalam peti.
“Jangan bawa kakekku! Jangan! Aku mau tidur sama kakek dulu. Aku mau peluk kakek dulu. Aku mau kakek!”
Mom memeluk Archie kuat-kuat dan membawa anak itu ke kamar. Jadi, cuma aku yang menemani Drey ke makam.
Kuusap lengan Drey sepanjang jalan karena dia menangis terus. Kadang dia memukuli kemudi seperti orang marah. Aku jadi takut kalau Drey begini. Yang bisa menjinakkan dia cuma Mom soalnya.
Rintik hujan kecil menyambut kami di pemakaman keluarga yang sepi ini. Drey membuka payung untuk kami dan menggandengku menuju makam Kakek. Tangannya gemetar dan dingin. Telapaknya basah, mungkin karena mencengkeram setir terlalu kuat tadi. Kalau kulonggarkan genggaman tanganku, Drey akan mengeratkan genggamannya sampai tanganku kebas.
Hujan makin deras. Aku merapat pada Drey karena air hujannya hampir seperti es. Dengan satu tangan yang nggak digandeng Drey, kurapatkan lagi topi buluku. Setelah peti mati kakek datang, baru drey melepaskanku. Dia ikut dalam proses pemakaman kakek sampai tanah makam itu ditutup lagi.
Dulu, waktu pemakaman Daddy, aku nggak terlalu memperhatikan karena sibuk mengelu-elus Red (kucing persiaku). Aku nggak mengikuti misa dengan benar. Kini, aku melihat jelas bagaimana Drey melakukan semua proses pemakaman walau nggak mengerti istilah-istilahnya dalam ajaran Islam.
Saat Drey melompat ke luar lubang makam dibantu seorang temannya, Steve baru datang. Dia berlari ke arah kami. Dia pakai mantel panjang yang terlihat mahal. Dia nggak keberatan waktu Drey yang tangannya kotor memeluknya. Mereka ngobrol pelan sebentar sebelum berdiri di sisi kanan kiriku.
Selain Heath, Drey punya dua sahabat lain, Steve Thompson dan Adam Rockwood. Steve yang punya anak seusiaku di London adalah pengacara terkenal di New York. Dia menyelesaikan kasus-kasus keren, termasuk Penyerbuan Harlem yang heboh beberapa waktu lalu. Kalian pasti kenal sama Adam Rockwood yang punya gedung tertinggi di New York itu. Sejak kuliah sampai sekarang mereka lengket sekali. Mereka bilang sih mereka saudara.
Drey mengambil segenggam tanah basah, membiarkan tangan kurus pucatnya kotor. Rambutnya sudah basah terkena hujan. Setelah puas dengan genggaman tanah itu, dia berdiri, membuang lagi tanah dan membersihkan tangan dengan sapu tangan dari kantong jasnya. Steve menepuk bahunya beberapa kali sebelum kami pergi dengan mobil masing-masing.
Di rumah, Archie sudah nggak tantrum lagi. Dia dan mom menunggu kami sambil minum cokelat panas dan marshmallow. Mom juga sudah nggak menangis lagi. Mata mereka bengkak, sama seperti semua orang di rumah ini.
“Apa kalian mau cerita apa yang terjadi di sana?” tanya Mom.
Drey mencium Mom dan memeluk Archie. Anak itu nggak melepaskan pelukan sampai Drey menggendongnya ke ruang tengah. Aku dan mom mengikuti mereka. Drey mendudukkan Archie di karpet bulu. Aku duduk di samping Archie, melepas mantel dan meletakkan sembarangan. Biasanya, mom akan mengomel kalau aku begini. Kali ini mom malah merapatkan pelukannya padaku, membuatku lebih hangat.
“Maaf tidak mengajakmu ke pamakaman. Tidak boleh ada yang mengamuk di pemakaman. Itulah kenapa waktu itu kami meninggalkan Glacie dan anak-anak saat pemakaman Dave. Tapi... suatu saat kamu harus ke sana untuk melihat juga.” Dia mendekatkan dahi pada dahi Archie. “Tapi berjanjilah untuk tidak menangis.”
Archie menggosok mata sampai pipinya merah lagi. “Aku berjanji.”
“Terima kasih,” kata Drey lagi. Dia menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya pelan, terlalu pelan sampai jadi lama banget. Drey mengulang cara bernapas seperti itu beberapa kali sampai Juanita memberi kami cokelat.
“Aku tahu, kematian bukan hal yang mudah. Belakangan kita menghadapi kematian orang-orang yang kita cintai. Ini berat.” Dia bernapas berat beberapa kali. “Aku ... sangat egois. Aku berpikir hanya aku yang sedih. Aku melupakan kalian. Maafkan aku yang bertingkah b******k seharian ini.”
Mom menggenggam tangan Drey. “Kami mengerti, My Lord.”
“Terima kasih, Sweet Cake.” Dia menarik napas dalam-dalam. “Sekarang hanya tinggal kita berempat. Aku ....” Dia tertawa pelan saat air mata turun lagi di pipinya. “Aku merasa seperti Rosie.” Dia menghapus air mata sambil tersenyum. Saat akan bicara lagi, dia menggeleng dan menunduk seperti orang yang nggak sanggup ngomong lagi. Mom memeluknya seperti memeluk Archie.
Aku bergeser mendekati Archie dan merangkul bahunya. Anak itu diam saja. Dia hanya memperhatikan ayahnya yang diciumi Mom.
“Kita semua mencintai kakek,” kata Drey dengan wajah merah. “Kakek adalah orang yang memberiku kekuatan. Dia jauh lebih berharga daripada seluruh Syailendra.” Dia melihat pada Archie, “Bukan generasimu, Nak,” katanya lagi. “Kalian harus belajar melihat kematian karena mungkin suatu hari kalian akan melihat kematianku. Saat itu aku akan sangat merepotkan karena kalian akan mengurus jenazahku. Kuharap kalian bersabar.”
“My Lord,” bisik Mom sambil meremas tangan Drey, seperti memohon agar Drey nggak ngomong gitu lagi.
“Kamu satu-satunya laki-laki di rumah ini setelah aku meninggal, Arcturus Drean Syailendra. Kamu yang harus menjaga Mom dan Claire.” Dia menarik napas dalam-dalam.
Apa sih maksudnya? Kenapa Drey ngomong begini di saat kami semua menangis?
“Daddy jaga kesehatan,” kata Archie yang hidungnya ingusan banyak banget.
“Kamu takut mati ya, Drey?” tanyaku sambil menghela napas cepat, berusaha membuang kejengkelan. “Kamu nggak perlu ngomong gini sih di saat seperti ini.”
Dia tersenyum. “Dulu, kuhabiskan seumur hidup untuk mencoba mati, Claire.” Drey melepas kancing kemejanya sambil berkata, “Aku tidak pernah takut pada kematian sampai aku bertemu dengan kalian. Kalian alasanku tetap hidup dan takut mati.”
Archie membelalakkan mata saat Drey melepas kemejanya. Kurasa, aku juga.
Selama ini kami nggak pernah lihat Drey melepas baju. Walau saat kami berlibur di pantai, Drey tetap pakai kaus atau kemeja. Dia nggak peduli Dave mengejeknya nggak berani buka baju. Berenang di kolam belakang juga Drey pakai baju renang yang menutupi badan. Aku sempat berpikir di badan Drey ada tato yang banyak seperti Dad, mungkin tatonya memalukan. Makanya Drey malu memperlihatkan pada kami. Ternyata yang terlihat lebih buruk dari itu. Punggung Drey penuh bekas luka yang mirip luka cambukan. d**a dan perutnya juga. Di bagian belakang lengan atasnya ada luka yang mirip goresan pisau tanda orang indian. Apa Drey menghabiskan masa kecil di penjara penyiksaan?
Mommy menunduk sambil memegangi kemeja Drey. Mommy sudah tahu?
Aku baru ingat untuk bernapas lagi waktu Drey bilang, “Sejak kematian nenek, aku merasa tidak punya pegangan. Aku tidak tahu lagi siapa yang bisa kuajak bicara. Aku menyakiti diri sendiri, Nak. Berkali-kali aku mencoba bunuh diri karena merasa hidupku terlalu buruk. Tuhan menolongku dengan mengutus Mommy. Tanpa dia, mungkin aku sudah benar-benar mati.” Drey menjilat bibirnya yang gemetar. “Dulu, aku tidak tahu kenapa aku dibiarkan hidup. Aku mengumpat Tuhan. Sekarang aku baru tahu kalau aku hidup untuk menjaga kalian. Aku hidup untuk memeluk kalian.”
Archie mendekati ayahnya. Kukira, dia mau memeluk Drey. Ternyata dia menyentuh luka di d**a dan punggung ayahnya. “Apa ini sakit, Dad?”
Drey mengangguk. “Tidak seberapa dibanding sakit di dalam hatiku.”
“Kenapa?”
“Karena besar di keluarga jahat itu tidak menyenangkan, Nak.”
“Itu kenapa Dad nggak mau mengajak kami ketemu saudara Dad?”
Drey mengangguk. “Lebih baik begitu.”
Archie memeluknya. “Sabar ya, Dad. Dad nggak usah malu lagi dengan luka ini. Buatku, Dad tetap ayah nomor satu di dunia.”
Mom tersenyum sambil menangis. Aku beranjak ke samping Mom dan memeluknya, melepaskan perasaanku sendiri. Jujur saja, aku merinding dan takut pada bekas luka Drey. Sakit hati yang bagaimana yang membuatnya menyakiti diri sendiri begitu?
Drey punya banyak uang. Seharusnya dia bisa menghilangkan luka-luka itu. Kalau dia memutuskan untuk tetap menjaga bekas luka itu, aku yakin pasti ada alasan kuat.
Kami berpelukan berempat. Mom menciumi Drey sambil bilang betapa bangganya dia pada Drey. Mungkin Drey butuh kekuatan untuk bisa mengakui bekas-bekas luka itu.
Archie berbisik padaku, “Nanti aku juga bakal bilang ke Mila kalau aku punya bekas luka jatuh di lutut dan siku. Pasti dia bangga padaku.”
Sebagai bonus karena hari ini sedang berkabung, aku nggak mengejeknya, walau sebenarnya aku sangat ingin mencubit pipinya yang bulat itu.
Ada suara langkah sepatu yang ringan. Kami menoleh. Adam dan Steve masuk sambil ngobrol pelan. Begitu melihat kami, mereka langsung memeluk Drey dan menyalami Mom. Adam menggendong Archie dan menjabat tanganku sambil berkata, “Kalian anak paling kuat yang pernah kutemui.”
Archie menggeleng. “Rosie dan Mila anak yang kuat. Kami belum seberapa.”
Mendengar jawaban itu, Adam tertawa. “Sebentar lagi kamu harus menjadi pengacara seperti orang itu. Aku suka kemampuan bicaramu,” katanya sambil menepuk bahu Steve yang sedang bicara pelan dengan Drey. “Seharusnya kamu membagi kemampuan berkelakarmu pada Mr. Grahamm.”
Ah ya! Aku baru ingat soal Heath. “Drey, tadi Heath telepon. Aku baru ingat.”
Drey menoleh mendengar kalimatku. Ekspresinya tegang, seperti menungguku melanjutkan kalimat.
“Heath nggak bisa ke sini. Sesuatu terjadi pada Rosie. Mereka ada di rumah sakit Houston sekarang,” jelasku lagi.
Drey mendesis, lalu menepuk bahu Steve sebentar sebelum berjalan cepat menuju ruang kerja. Mungkin dia menghubungi Heath. Mom ikut menyusul Drey juga.
“Apa kami harus khawatir?” tanya Adam padaku.
“Entahlah. Bagaimana kabar ibumu?” tanyaku pada Adam. “Apa dia sudah sembuh?”
Adam menarik bibir ke bawah dan menggeleng. “Aku tidak yakin. Sejak serangan jantung itu ibuku mengalami dementia. Ibuku menolak bertemu siapa pun kecuali Venus.” Dia nyengir. “Sebagai anak bungsu yang paling tampan, aku patah hati.”
“Semoga ibumu lekas sembuh,” kataku sungguh-sungguh. Lalu, aku memikirkan keluarga Drey. Mereka sahabat Drey. Aku yakin mereka tahu tentang keluarga Drey juga.
“Apa kalian pernah bertemu dengan keluarga Drey?”
Archie menoleh mendengar pertanyaanku. Alisnya mengerut.
Mereka berpandangan sebentar, lalu Steve menarik ujung bibir ke bawah. “Tentu saja. Tapi, tidak dekat. Bagaimana denganmu?” Steve menatap Adam. Ekspresinya seperti orang yang ingin mengejek. Adam menggeleng dan menyumpah beberapa kali dengan suara pelan. Apa dia kira kami nggak bisa mendengar umpatannya?
Steve terkekeh. “Kami tidak pernah benar-benar dekat dengan keluarganya, Claire. Ada apa? Kalian harus membuat tugas sekolah tentang pohon keluarga?”
Aku menggeleng. “Tidak. Drey baru menceritakan tentang keluarganya. Aku hanya ingin bertanya pada kalian.
Adam mengangkat alis. “Kalau ada orang yang punya kehidupan penuh misteri, itu pasti Drey Syailendra.”
Sebenarnya, aku ingin bertanya lagi. Tapi Mom keburu datang
Saat Mommy berjalan ke arah kami dengan wajah sedih, seekor anjing besar menerobos masuk dengan suara gonggongan nyaring. Mommy yang takut anjing melompat ke sofa di belakang Steve sambil menjerit. Lalu, ada lelaki berambut cokelat terang-nyaris pirang mengejar anjing itu sambil berteriak, “Herbert!”
Nggak peduli seberapa keras Mom menjerit, anjing itu mengejarnya. Dengan sigap, Drey menarik tali anjing itu dengan keras. Anjing itu jatuh. Suara mendengking nyaring.
“What the f**k!” protes lelaki itu.
Drey berbalik, menarik anjing besar itu sampai terseret di lantai. Dia melotot.”WHAT THE f**k ARE YOU DOING?!”
Sebelum cowok itu berhasil bicara, Adam lebih dulu berkata, “Sepertinya kita harus mengubur orang lagi malam ini.”
***