Walau anjing yang namanya Herbert itu besar sekali, Adam dan Steve kelihatannya lebih takut sama Drey. Mereka memegangi Drey sampai wajah mereka merah. Drey memberontak, bersikeras menghajar laki-laki itu. Alasannya, pertama Drey nggak suka ada hewan atau orang asing yang masuk rumahnya dan kedua, Drey nggak suka ada yang bikin nangis istrinya. Kukira, laki-laki itu sudah terbirit-b***t melihat Drey meradang. Ternyata dia malah berdiri tegak, memegangi anjing besarnya.
“Maafkan aku,” katanya dengan suara tenang. “Anjing ini agak stres karena dikurung di rumah terus. Begitu keluar dari mobil, dia langsung lari ke rumah yang pintunya terbuka.” Dia menarik tali anjingnya saat anjing itu akan lari. “Aku Fred Erickson. Aku baru pindah di rumah sebelah.”
Ah! Aku ingat sekarang!
“Uncle Fred?” tanyaku pelan, berharap nggak salah orang.
Dia memperhatikanku dengan alis berkerut, cukup lama sebenarnya. Anjingnya sampai menggonggong lagi minta perhatian.
“Claire Johansson?”
Ah, syukurlah!
Kuulurkan tangan. “Maaf, aku tidak tahu nama belakangmu, Uncle Fred.”
Kukira, dia hanya akan menjabat tanganku, ternyata dia memelukku sambil berkata, “Astaga, kamu sudah besar sekali, Sayang. Aku sangat merindukan kalian.” Dia melepaskanku setelah puas memelukku. “Apa yang kamu lakukan di sini? Di mana Martin?” tanya Uncle Fred sambil memandang sekeliling.
“Dad sudah meninggal di London beberapa tahun lalu. Aku jadi anak di keluarga ini. Kamu keluarga Caleb?”
“Sebentar! Meninggal?” Dia mengerutkan kening lagi. “Apa yang bisa membunuh jagoan seperti dia?”
“Kanker paru-paru,” jawabku cepat. “Paru-parunya tinggal separuh.”
Uncle Fred mundur. Wajahnya pucat. Setelah fase terkejut yang dramatis itu, dia menyumpah dan menggosok wajah keras-keras.
Aku menoleh pada Drey untuk menjelaskan, “Uncle Fred teman Dad sejak kuliah. Dulu Uncle Fred sering ke Surabaya. Lalu, tiba-tiba dia tidak pernah menampakkan diri lagi.”
“Martin mengusirku. Kami bertengkar tentangmu. Aku menyarankan agar kamu mendapat pengasuhan perempuan. Aku menyarankan memasukkanmu ke asrama atau membayar pengasuh untuk menjagamu,” kata Uncle Fred sambil menarik tali anjingnya karena anjing itu akan mendekati mom. “Maafkan aku, Miss.”
“Dia istriku.” Drey mengulurkan tangan untuk menjabat tangan Uncle Fred, tapi bukan untuk berteman. Ekspresi Drey masih seperti srigala haus darah. “Drey Syailendra.”
“Oh, maaf.” Uncle Fred menyambut tangan Drey, lalu mengernyit, sepertinya Drey mematahkan jari-jarinya.
“Aku mendengar tentangmu dari Seraphine. Terima kasih banyak atas bantuanmu. Tapi, aku tidak menyangka Miss ... uhm ... maksudku, Mrs. Syailendra istrimu. Kukira dia masih sekolah.” Wajah Uncle Fred terlihat kesakitan lagi. Sepertinya sekarang jarinya sudah benar-benar patah.
Wajah Mom bersemu merah. “Jangan konyol. Aku sudah punya anak.” Mom menunjuk Archie yang memasukkan tangan ke kantong celana.
“Di mana Seraphine?” tanya Archie.
Uncle Fred menunjuk pintu. “Di dalam mobil bersama Caleb. Kami pindah ke rumah sebelah malam ini.”
“Wow!” seru Adam. “Kurasa pasukan bersenjatamu harus mengawasi pergerakan di rumah sebelah juga.”
Drey melirik jahat pada Adam, lalu memberi kode dengan tangan agar penjaganya yang berpakaian serba hitam dan bersenjata itu pergi. Sepertinya Heath harus memecat semua penjaga di rumah ini. Mana bisa dia melindungi kami kalau gerakan mereka lambat sekali?
“Aku punya sesuatu,” kata Uncle Fred cepat. Dia menunjukkan HP pada Drey. Aku juga ikut melihat HP itu. Ada foto Uncle Fred dan Dad yang masih muda. Mereka sama-sama memakai setelan resmi di depan sebuah benda besar yang mirip robot.
“Itu proyek sistem keamanan kami.” Uncle Fred tersenyum. “Kami tim yang sangat hebat. Dia pemikir ulung dan aku eksekutor dengan kemampuan luar biasa.”
Archie ikut mengintip. Jadi aku memperlihatkan HP itu kepadanya juga. “Ayahmu tampan, ya,” kata Archie sambil tersenyum. “Aku ingat ayahmu lucu sekali kalau bercanda. Nggak seperti kamu.”
“Terima kasih,” kataku, menahan diri untuk nggak mencubitnya. Aku menoleh pada Drey, mengubah ekspresi ke mode merengek, “Boleh aku ikut ke rumah sebelah, Drey?”
Drey baru mau membuka mulut untuk menjawab, Archie lebih dulu memotong, “Aku akan menjaga Claire. Dia cuma kangen sama Caleb, kok.”
Kelihatannya Drey ingin menolak permintaanku. Tapi dia menoleh pada Mom yang memberi kode, “Biarkan saja.”, lalu mengangguk pada kami.
Untuk laki-laki dengan kecemburuan setinggi Drey, wajar kalau dia merasa nggak nyaman dengan Uncle Fred. Bukan hanya gayanya yang ceria, wajahnya juga tampan. Matanya sebiru mata Caleb. Dia jangkung, sama seperti Drey, Adam, dan Steve. Bibirnya merah tebal pada bagian atas dengan dagu melengkung tanpa belahan. Alisnya tebal, sama dengan Caleb. Di rambut cokelat terangnya ada uban keperakan yang cocok dengan berewok tipisnya. Caranya berbicara sambil tersenyum itu membuat orang jadi mudah percaya padanya. Kurang lebih, begini penilaianku dan Dad dulu.
Ah, setampan apa pun Uncle Fred, seharusnya Drey nggak perlu khawatir. Dia kan tahu mom itu ratu bucin. Mom nggak bakal melihat cowok lain selain dia.
Aku dan Archie mengikuti Uncle Fred dengan langkah cepat menyeberangi halaman rumput ke rumahnya. Aku melompat sedikit waktu penyiram rumput otomatis mulai hidup. Uncle Fred menyumpah saat melihat mobilnya nggak ada di depan rumah. Mobil itu sudah terparkir di garasi.
“Sudah kubilang pada anak itu untuk tidak menyetir,” gerutunya sambil mengikat anjing ke tiang di garasi.
“Memangnya kenapa?” tanyaku bingung. “Dia hanya ingin membantumu.”
Uncle Fred nyengir. “Mobilku bukan mobil sembarangan, Claire. Aku melakukan modifkasi rumit. Aku hanya khawatir padanya. Kalian mau masuk? Perusahaan jasa pindah rumah sudah meletakkan barang di dalam. Kami hanya perlu mengaturnya.” Uncle Fred membuka pintu ganda di depan rumah dan mengulurkan tangan untuk memeprsilakan kami masuk. “Kurasa kalian lebih paham rumah ini dibanding aku.”
“Kami pernah ke sini beberapa kali,” kata Archie. “Mag dan Tom Erickson sangat baik. Mereka memberi kami kue dan permen organik. Mom sampai meniru mereka membelikanku permen dari madu manuka.”
“Madu manuka? Aku tidak menyangka mereka juga mendalami holistik.” Dia mengulurkan tangan di depan pintu untuk mempersilakan kami masuk.
Lagi-lagi, Caleb berdiri di kegelapan seperti pencuri. Archie saja sampai melompat ke pelukanku melihat Caleb begitu. Wajahnya lebih tirus dari yang terakhir kuingat. Di bawah matanya ada lingkaran hitam. Kostum dan topi hitam membuatnya terlihat menyeramkan.
“Mana adikmu?” tanya Uncle Fred sambil menyalakan lampu utama.
Caleb menelengkan kepala ke bagian dalam rumah. “Memilih kamar.” Dia menatap Archie. “Dia di lantai dua kalau kamu mau menemuinya.”
Archie menggeleng. “Nggak baik menemui gadis sendirian di kamarnya.”
Uncle Fred tertawa. “Siapa yang mengatakan seperti itu?”
“Pamanku,” jawab Archie. “Ayah dari gadis yang kusukai.”
“Kukira, kamu menyukai Seraphine,” kata Caleb sambil menyeringai.
“Berteman bukan berarti kami punya hubungan spesial.” Archie menghela napas cepat. “Ini yang kukhawatirkan saat berteman dengan cewek. Orang lain menganggap perlakuanku spesial. Aku tidak ingin membuat cewek sakit hati karena berpikir aku serius.”
Caleb dan Uncle Fred terdiam. Hanya membuka mulut seperti ikan paus yang mengisap plankton. Aku jadi pengin tertawa. Walau baru ulang tahun yang ketujuh, anak sebesar kunci lemari ini sangat pantas memberi ceramah tentang hubungan orang dewasa.
Setelah kembali bernapas, Uncle Fred bilang pada Archie, “Kalau begitu, apa kamu tidak keberatan kalau kuajak melihat-lihat rumah ini?”
“Sebenarnya, aku sudah hapal letak rumah ini. Tapi, sepertinya kamu ingin memberikan kesempatan pada Caleb untuk mendekati Claire. Aku setuju. Aku kasihan pada Claire dia apatis sekali soal cinta.” Dia nggak memedulikanku yang melotot padanya. Dia malah berpaling pada Caleb. “Hibur kakakku. Dia sedih karena kakek kami meninggal pagi tadi. Kalau kamu sakiti dia, aku akan membuatmu menyesal pindah ke sini,” kata Archie sebelum menggandeng tangan Fred masuk ke bagian dalam rumah.
“Apa aku baru diancam anak sekecil hamster?” tanya Caleb dengan wajah mengejek.
Aku tertawa. “Dia itu seperti paku, kecil dan menyakitkan.”
Sebenarnya, aku pengin banyak tanya ke dia, tapi nggak tahu pertanyaan mana yang harus kuajukan lebih dulu. Saat sudah dapat pertanyaan, kami malah ngomong bersamaan.
“Kamu dulu,” kataku sambil mengangkat bahu.
“Itu gaun pemakamanmu?”
Aku melihat dress hitam yang kupakai dan mengangguk. Bukan baju yang istimewa. Ini cuma dress rajut selutut dengan lengan panjang dan tanpa hiasan sama sekali. Kata Mom, tidak baik memakai hiasan berlebihan untuk berkabung.
“Manis,” katanya sambil memasukkan tangan ke kantong celana.
Sudah banyak orang yang memujiku selama ini, tapi pujian dari anak laki-laki muda yang nggak ada hubungan kekerabatan denganku baru kali ini kudengar. Mungkin ini yang membuat wajahku jadi terasa panas.
“Thanks,” jawabku berusaha mengesampingkan lonjakan detak jantung yang tiba-tiba datang. Sekarang giliranku untuk bertanya, “Kenapa baru kembali sekarang?”
Dia menarik napas panjang lewat hidung dan mengatupkan bibir rapat-rapat sesaat sebelum menjawab, “Dalam perjalanan pulang ayahku menghajar ibuku sampai mati. Aku menghajarnya dan menendangnya ke jalanan saat mobil berjalan lagu. Kubawa mobil sampai ke rumah Uncle Fred di Santa Monica. Kami bersembunyi di Maine untuk menghindari ayahku. Kami baru berani kembali ke sini setelah mendengar ayahku dipenjara karena terlibat urusan dengan kartel. Seraphine butuh udara yang lebih hangat dan teman.”
Aku bingung harus tersenyum menguatkan atau bersedih. Keduanya terasa nggak pas untuk menanggapi cerita Caleb. Dia menceritakannya dengan tenang seolah bukan ibunya yang mati dan bukan ayahnya yang dipenjara. Kalau aku, mungkin nggak bakal berhenti meraung kalau Mom diapa-apakan Drey.
“Kamu sedih?” tanyaku benar-benar penasaran.
Kalian tahu, Caleb tersenyum. “Ibuku yang membuat hidupnya sendiri menderita. Dia tahu Dad seburuk itu, tapi tetap memilih kembali padanya. Mom membuatku merasa jadi pecundang yang nggak bisa melakukan apa-apa. Dengan begini, aku dan Seraphine bisa bebas. Uncle Fred nggak menikah dan mencintai kami.”
“Kenapa dia tidak menikah?”
Caleb mengangkat bahu. “Dia jatuh cinta pada gadis virtual. Selama bertahun-tahun dia mengembangkan teknologi untuk menjadikan gadis itu manusia.”
Astaga! Bucin lagi! Kali ini lebih parah. Apa enaknya pacaran sama komputer?
Dia memasukkan tangan ke saku jaket, memandangiku. Perlahan senyumnya mengembang lebar. “Bagaimana denganmu?”
“Selain meninggalnya kakekku dan kabar buruk dari sepupu Archie yang tinggal di Houston, kurasa aku tidak punya kesialan lain.”
Dia nyengir. “Merindukanku?”
Kenapa dia bertanya begini?
“Aku hampir tidak memikirkanmu sampai hari ini namamu disebut oleh Uncle Fred.”
Aku jujur, kok. Aku bilang 'hampir', kan? Itu berarti ada kalanya aku memikirkan dia juga. Maksudku, dia dan Seraphine.
Dia tertawa pelan. “Aku kecewa.”
“Kenapa?”
“Aku terus memikirkanmu.” Dia buru-buru menambahkan, “dan anak sebesar paku itu.”
“Thanks.” Mungkin karena kami adalah teman yang pernah menolongnya. Mungkin juga karena dia punya janji sama Drey karena berutang banyak.
“Sudah bersekolah?” tanyanya dengan senyum mengejek.
“Setelah gagal di hari pertama, aku harus berhadapan dengan psikolog. Mereka mengizinkanku uji coba sekolah bulan ini.”
Aku sama sekali nggak merasakan kebanggaan, berbeda dengan Mom yang sampai menangis terharu waktu tahu aku boleh sekolah lagi.
“Cedar Hill School.” Aku menambahkan cengiran pasrah untuk mengungkapkan kalau aku nggak punya pilihan lain.
Dia menutup mulutnya dan tertawa. “No way! Aku juga akan sekolah di tempat itu. Fred bilang dia pernah bersekolah di situ dan akan sangat bangga kalau kami sekolah di situ juga. Padahal, aku sudah mengantongi beasiswa ke MIT. Aku sudah mengikuti ujian kesetaraan dan lulus.”
“Hah? MIT? Otakmu itu kapasitasnya penuh?”
Dia menyeringai lagi. “Ukuran otak manusia rata-rata sama. Hanya saja, manusia nggak memakai otaknya secara maksimal. Aku hanya memanfaatkan apa yang kumiliki.”
Oke. Aku sakit hati. Jadi menurutnya aku belum menggunakan otakku dengan maksimal? Dia lebih hebat begitu?
Aku diam saja, memainkan bubble wrap sisa yang mencuat ke luar kerdus besar. Caleb membongkar kardus sebesar kotak sepatu di meja. Kardus itu berisi alat pertukangan dalam ukuran kecil. Archie turun menggandeng Seraphine. Kedengarannya dia ngoceh terus ke Seraphine sampai mereka tiba di depanku. Di belakangnya, Uncle Fred mengangkat alis seperti orang syok.
“Aku pulang dulu karena ini sudah malam. Lagipula aku mau melihat kondisi ibuku yang tadi kaget karena anjing pamanmu.” Archie tersenyum sopan.
“Maaf,” sesal Fred. “Apa aku perlu melakukan sesuatu untuk ibumu?”
Archie menggeleng. “Sebaiknya kamu tidak mendekati rumahku sampai beberapa hari ke depan. Ayahku punya kecemburuan yang tinggi dan kemampuan menembak yang bagus. Aku khawatir ayahku melakukan hal buruk padamu.”
Fred tertawa. “Kalian punya tentara bayaran untuk menjaga rumah kalian?”
Archie tersenyum miring. “Sniper terbaik.” Dia berbalikpada Seraphine lagi. “Aku ada di sini kapan pun kamu butuhkan. Aku yakin kamu akan baik-baik saja. Telepon saja nomor yang kuberikan tadi. Seseorang yang mengangkat telepon pasti menyampaikannya padaku.”
“Terus, apa yang akan kamu lakukan?” tanyaku kesal. Bisa mandi sendiri dengan bersih saja sudah syukur.
“Tentu saja aku akan mengadu ke Daddy. Pasti Daddy punya solusi.”
Fred dan Caleb menahan tawa. Mereka mengeluarkan bunyi seperti kentut. Ini bikin tuan muda Syailendra itu tersinggung. Dengan wajah kesal, dia menelengkan kepala padaku agar mengikutinya ke luar rumah. Setelah pamit, aku berlari mengikutinya.
“Kamu nggak sopan,” kataku keras. “Kamu harus izin dulu kalau mau pulang.”
“Mereka menghinaku, Claire.”
“Bagian mana yang hinaan? Eh?”
Fred berlari ke arah kami. Dia memanggil nama Archie, lalu berlutut di depan anak itu. “Hei! Aku minta maaf,”
Fred berhenti di depan kami dan jongkok untuk minta maaf pada Archie dan aku. “Aku punya ini untuk kalian.” Dia memberi robot lebah dan laba-laba. Ukurannya cukup kecil untuk bisa digenggam tangan Archie. “Aku bekerja di Disney sebagai engineer. Aku membuat banyak barang keperluan film. Ini salah satu hasil karyaku yang kujual bebas. Ini robot yang bisa merekam suara dan video. Kalian bisa menggerakkannya setelah men-download aplikasi dari smartphone kalian. Erickson Tools.”
“Kami nggak punya ponsel,” kata Archie yang kemudian memiringkan bibir, kecewa. Dia mengembalikan robot lebah di tangannya.
Kuambil lagi robot itu dari Fred, lalu kuucapkan, “Terima kasih banyak, Uncle Fred. Aku sangat menghargai hadiahmu.” Kataku sambil mencium pipi Fred dan mengantongi robotnya. “Selamat malam, Uncle Fred,” kataku lagi sambil menggandeng tangan Archie ke rumah dengan langkah cepat. Ini keren banget! Aku nggak sabar mau mencoba robot ini.
Archie memang nggak punya HP, tapi aku punya HP Dad di laciku.
Di ruang tengah, Drey, Mom, dan Steve masih duduk di sofa. Wajah mereka serius. Saat melihat kami, Drey membuka tangannya, meminta kami untuk mendekat. Archie duduk di pangkuannya dan aku duduk di antara dia dan Mom.
“Bagaimana dengan Caleb dan Seraphine?” tanya Drey.
“Seraphine diam sekali, Dad,” jelas Archie. “Dia menangis waktu aku melihatnya. Kata Uncle Fred dia begitu sejak kematian ibunya.”
“Ibunya? Mati?” tanya Mom kaget.
Nah, ini giliranku cerita. “Caleb bilang ayahnya menghajar ibunya sampai mati setelah pergi dari rumah kita. Caleb sudah berusaha menghajar ayahnya dan lari ke rumah Uncle Fred. Mereka bersembunyi di Maine sampai akhirnya memutuskan untuk pindah ke sini setelah ayahnya dipenjara.”
“Untuk kasus peganiayaan dan pembunuhan?” tanya Steve dengan wajah serius.
Aku menggeleng. “Karena terlibat dengan kartel.”
Drey membuka mulut karena terkejut, lalu mengeluarkan napas panjang.
“Kasihan Seraphine,” komentar Archie pelan.
“Temani dia, Nak. Ajak dia bermain dan bergembira lagi,” kata Mom.
“Tapi aku khawatir dia akan berpikir aku punya perasaan kepadanya, Mommy. Aku takut membuat Mila cemburu.”
Steve yang sudah memahami Archie sejak bayi menutup wajahnya dengan lap yang dipegangnya di bawah piring kue. Aku berani bertaruh semua koleksi komik dan bukuku, Steve pasti tertawa. Drey saja menggigit bibir biar nggak tertawa, kok.
“Archie, anak kecil itu bermain tanpa punya perasaan lebih. Mommy dulu juga punya teman laki-laki waktu masih sekecil kamu. Kami bermain dengan—ada apa denganmu, My Lord?” Mom melotot pada Drey yang memutar mata dan menunjukkan ekspresi mengejek yang nyata. “Aku hanya menjelaskan kepadanya.”
“Ya, aku tahu. Jelaskan saja. Anak laki-laki yang menolongmu saat dimarahi ayah. Jelaskan saja. Aku akan mendengarkan,” kata Drey dengan suara yang tidak santai. “Bagaimana kabar anak laki-laki itu sekarang?”
Steve berdeham dan terang-terangan tertawa mengejek sekarang. “Drey Syailendra,” katanya sambil bersandar di sofa. “Drama yang sangat kusuka.”
“Aku cuma bercerita. Kamu juga punya teman masa kecil, kan?” Mom terlihat malu dengan Steve. Tapi, Drey malah memindahkan Archie ke samping dan tersenyum miring.
“Ya, satu-satunya anak yang berteman dengan gadis kecilku yang penakut.”
“Teman? Seperti perempuan yang bersama Daddy di acara talk show?” tanya Archie.
“Bersama?!” Mommy melotot.
Aku juga melotot pada Archie. Aku tahu acara yang dimaksudnya itu. Video Drey dan gadis Korea itu ada di YouTube. Itu video lama yang kulihat di HP Heath. Drey merangkul bahu gadis itu saat naik ke panggung sebelum memulai acara talk show. Kukira Drey hanya mencoba menenangkan gadis yang kelihatannya gugup itu. Heath juga bilang begitu. Aku nggak mengira Archie Masih mengingatnya.
Archie turun dari pangkuan Drey. “Boleh kupinjam ponselmu, Steve?”
Steve yang sama bingungnya dengan Mom memberikan HP-nya. Setelah mengetik sesuatu di layar HP, Archie memberikan pada Drey. Mom ikut melihat isi video itu, lalu wajahnya berubah. Dia kembali ke tempat duduk dan menunduk.
“Sweet cake, aku bisa menjelaskan. Gadis itu gugup dan nyaris pingsan. Aku hanya memberinya kekuatan.”
Tapi, yang dikatakan narator dalam video itu berbeda. Beberapa kali narator mengaitkan pegangan Drey sebagai bentuk perhatian.
Steve tertawa pelan. “Jadi, makin banyak alasan bagi kalian untuk melakukan perjalanan ini,” katanya sambil meletakkan piring kue yang sudah kosong.
“Perjalanan apa?” tanyaku bingung.
Steve mengelap mulutnya, lalu berkata, “Orangtua kalian harus ke Houston untuk memberikan Glacie dan Heath dukungan atas apa yang terjadi pada Rosie.”
“Rosie kenapa?” tanyaku lagi.
“Dia masih dalam kondisi kritis karena mengalami pendarahan otak dan patah tulang belakang. Tidak, Son. Dia tidak akan mati,” kata Steve sambil menggenggam tangan Archie. “Banyak yang sembuh dari pendarahan otak dan patah tulang belakang. Ayahmu dan aku pernah mengalami patah tulang parah saat kecelakaan balap liar kami. Kami sehat sampai hari ini, kan? Jadi, berdoalah untuk Rosie.”
“Kasihan Mila-ku. Dia pasti sedih.” Archie menunduk.
“Kenapa tidak kamu telepon Mila-mu?” Steve memberikan HP-nya. “Telepon Nanna. Katakan kamu merindukan cucu kesayangannya.”
“Terima kasih, Steve.” Archie mengambil HP Steve. “Aku akan menelepon di kamarku. Mungkin ini agak lama. Tolong ketuk pintu kamarku sebelum masuk, ya,” katanya sebelum berlari, jatuh karena tersandung ujung karpet, lalu berlari lagi ke kamarnya.
Aku kembali melihat Drey yang kini pindah ke samping Mom dan memegangi tangannya. Kelihatannya urusan mereka bisa jadi sangat panjang.
“Nah, karena orangtuamu sedang sibuk dengan kecemburuan mereka, aku akan menjelaskan tentang Ryn,” kata Steve sambil mengambil cangkir teh. “Ryn mengalami hal buruk di Jakarta, Claire. Sejak dua hari yang lalu Ryn mengalami masalah misterius. Dia pulang dari musium dalam keadaan buruk. Dia tidak mau makan, minum atau disentuh siapa pun. Tundra yang berusaha membujuknya didorong sampai jatuh dari tangga. Sekarang, Tundra di rumah sakit untuk operasi. Kaki dan tangannya patah. Lucunya, yang dipanggil Ryn adalah namamu dan Dave. Karena kami tidak bisa mempertemukannya dengan Dave, Karin membawanya ke sini. Dia sedang dalam perjalanan, mungkin akan sampai besok malam. Ini artinya, kita akan berbagi tugas. Drey dan Savanna akan ke Houston untuk Rosie, kita akan menunggu kedatangan Ryn, dan Adam menjemput Karin dari LAX. Bagaimana?”
“Sebenarnya kami bisa kok di rumah dengan Juanita dan para pekerja saja.”
“Tidak,” kata Drey tegas. “Kalian masih perlu penjagaan penuh.”
“Pahamilah orang tua yang paranoid itu, Claire,” kata Steve dengan kedipan jail.
“Terima kasih banyak atas bantuanmu, Steve,” kata Mommy. “Aku akan lebih dulu tidur. Terlalu banyak menangis membuat kepalaku sakit. Permisi, Steve. Claire, kalian makan malam bersama, ya. Jangan pikirkan aku,” kata Mom sambil berdiri dan melangkah pergi. Drey memanggilnya beberapa kali, tapi Mom tetap berjalan. Setelah adegan adu mulut yang agar keras, terdengar suara pintu dibanting.
“Itu artinya Drey akan tidur di studio malam ini,” kata Steve sambil terkekeh. “Maafkan mereka, Claire. Mereka butuh keributan kecil seperti ini untuk ... bumbu yang manis.”
Aku mengangkat bahu. “Mereka tidak akan lama. Sebentar lagi juga Drey menemukan cara menjebol pintu itu,” kataku tepat saat Drey kembali dengan wajah kesal.
Aku masih mendengarkan Drey dan Steve ngobrol tentang Ryn selama beberapa menit sebelum menguap karena bosan dan mengantuk. Aku minta izin untuk meninggalkan mereka.
Sebelum sampai ke kamar, aku melongok ke kamar Archie yang terbuka separuh. Dia duduk besandar di kursi belajar. Tampangnya serius. satu tangannya memegangi boneka yang diberi Mila saat kami main di Stoneberg.
“Jujur saja, aku bosan dengan tubuh anak kecil begini. Aku pengin cepat besar dan melindungimu,” kata Archie pelan. “Jaga dirimu, ya. Kalau ada apa-apa, hubungi aku pakai HP Nanna. I love you four-ever.”
Aku memutar mata dan sengaja menutup pintunya dengan suara keras biar dia tahu kalau aku mendengar semua kebucinannya. Anak itu terlalu banyak melihat bucin-bucin lain di rumah ini. Otak golden age-nya menyerap semua drama di rumah ini seperti spons.
Aku berbaring di tempat tidur, memainkan robot yang diberikan Fred di kedua tangan. Kuikuti instruksi Fred untuk instal aplikasi yang menghubungkan kamera di robot itu dengan HP-ku. Berhasil. Setelah mengintegrasikan kamera robot itu dengan HP, aku bisa melihat wajahku sendiri tersenyum puas. Aku punya mainan untuk mengerjai Archie.
Pintu kamarku dibuka kasar. Archie berdiri marah di depan tempat tidurku. Wajahnya merah, bibirnya mengerut seperti menahan muntah. “Jangan nguping orang kasmaran!”
Aku terbahak-bahak, bukan cuma karena istilah kasmaran yang meniru Dave banget, tapi juga karena gayanya yang sok preman itu. Dia jauh dari menakutkan.
“Maaf,” kataku setelah bisa menahan tawa. “Bucin!”
Dia menunjukku. “Nanti kamu juga bakal jadi bucin.”
Kulempar dia dengan bantal. “Oh, ya? Kamu mengutukku?”
“akan terlibat drama cinta sampai nggak bisa berpikir.”
“Ha-ha-ha.” Aku nggak tertawa beneran. “Aku takut.”
Dia naik ke tempat tidurku, menunjukku dengan ekspresi jahatnya yang menggemaskan. “Claire Johansson, kukutuk kamu bakal jadian sama cowok yang nggak kamu cintai. Kutukan ini baru hilang kalau kamu dapat ciuman pertama dari cinta sejatimu.”
Oke. Anak ini sudah kebanyakan baca fairy tale. Kugendong dia turun dan kutempelkan dahiku pada dahinya. “Dengar ya, Archie Syailendra, aku nggak bakal jatuh cinta dan nggak ciuman sama siapa pun. Pacaran cuma untuk orang lemah sepertimu.”
Dia terlihat tersinggung. Setelah menatapku dengan mata berair dan bibir gemetar, dia berlari ke luar kamar. Awalnya, aku terbahak-bahak melihat kelakuannya. Lama-lama ada rasa berdosa juga. Seharusnya aku nggak sekejam itu sama dia. Pasti sekarang dia sedang menangis.
Nggak ada yang tahu kenapa Archie memilih Mila selain karena mereka lahir di bulan yang sama. Archie masih menyimpan foto USG Mila yang pertama. Dia bilang kalau dia suka Mila sejak masih fetus. Sebenarnya aku agak iri sama dia. Sejak umur empat tahun dia sudah bisa mendefinisikan apa yang dirasakannya untuk Mila, sedang aku sampai hampir lima belas tahun sama sekali nggak tahu apa itu jatuh cinta.
Aku berguling di tempat tidur, memandangi foto Dad yang tertawa besamaku di layar HP. Aku pernah kok jatuh cinta. Aku bakal terus mencintai Dad sampai kapan pun, laki-laki yang nggak pernah membuatku sedih.
Paginya, aku bangun terlambat. Drey dan Mom sudah pergi. Archie di halaman, melihat Uncle Fred yang menerbangkan drone berbaling-baling empat. Saat melihatku, Uncle Fred menyapa dan tersenyum lebar.
“Aku baru saja minta izin pada Steve Thompson untuk menerbangkan drone ini. Penjaga rumahmu melarangku menerbangkan apa pun di sekitar rumah ini,” jelasnya sambil melirik penjaga yang paling dekat dengan kami. Biasanya mereka nggak boleh terlihat. Apa Drey menyuruh mereka untuk menjaga kami dari Uncle Fred?
“Untuk apa drone itu?” tanyaku.
“Untuk mendeteksi anomali cuaca,” jawab Archie sok tahu. “Uncle Fred sedang mengukur ion listrik di langit. Kamu ingat yang dikatakan Daddy di Stoneberg saat ada badai? HAARP[1]. Itu!”
Uncle Fred tertawa. “Aku tidak tahu seberapa banyak orangtua kalian menyuruh kalian membaca buku. Seharusnya penjaga rumah kalian juga membaca buku agar bisa membedakan drone yang membawa kamera dan yang bukan.”
Aku menoleh pada penjaga kami lagi. Dia berdiri tegak seperti nggak mendengar apa-apa. Dia memang harus selalu begitu, siaga.
“Ada apa di rumahmu? Apa ada yang mengincar nyawa kalian?”
Aku mengangkat bahu. “Selain benda seni bernilai jutaan dolar, kurasa tidak ada yang menarik di rumah kami. Orang dewasa di rumah kami begitu paranoid.”
Dia mengembuskan napas keras. “Kamu beruntung, Claire. Kamu tinggal dengan keluarga yang mencintaimu. Keponakanku harus merasakan nasib mengerikan.”
Aku menelan ludah. Uncle Fred benar. Anak-anak di rumah kami memang beruntung. Kami selalu mendapatkan apa yang kami inginkan. Orang-orang dewasa di keluarga kami selalu mengutamakan kepentingan kami. Sayangnya, kami masih sangat gampang mengeluh terhadap banyak hal. Bahkan aku yang hanya anak adopsi sering sekali marah-marah untuk berbagai hal. Kenapa aku tidak bisa sedikit berterima kasih pada mereka?
Aku mendongak pada jendela kamar Seraphine. Gadis itu menatap ke arah kami. Mata biru besarnya yang dulu terlihat ceria sekarang terlihat kosong. Dulu, aku suka senyumnya yang memperlihatkan lesung pipi dalam di pipi tembemnya. Mom sampai ingin mencubit pipi anak itu setiap kali dia ngomong. Sekarang, dia nggak menunjukkan banyak emosi, bahkan waktu bersama Archie semalam. Dia juga nggak ngomong apa pun, seolah nggak ada lagi yang bisa diungkapkannya.
Apa orangtua yang jahat memang bisa mengubah anak jadi seburuk itu?
***