9. Sad Girls

3077 Kata
Pagi bersama Steve terasa menyenangkan. Alih-alih instrumen musik lembut yang menemani sarapan kami seperti biasanya kalau ada Drey, Steve memilih lagu Pharrell Williams, Happy. Dia bilang lagu bahagia bisa bikin moodnaik. Selama makan, dia sambil bersenandung dan menggerak-gerakkan kepalanya. Menurutku dia sedang berusaha membuat mood-nya sendiri naik. Siapa yang tahu, kan? Orang dewasa suka menyimpan rahasia dari anak-anak, tapi marah kalau anak menyimpan rahasia dari mereka. Lucu. Aku hanya berpandangan dengan Archie dan menyelesaikan makan muesli[1] kami dalam diam. Steve baru tertawa lebar sampai wajahnya merah saat Alice, anaknya yang sekolah di London menelepon lewat video call. Steve meletakkan HP di meja makan biar Alice melihat kami semua. Cewek itu cantik walau kurus sekali. Saking kurusnya, tangannya terlihat seperti tengkoran. Wajahnya persegi warna putih pucat dengan freckles di hidung dan pipi. Dia sedang mengepak barang-barang untuk bersiap berlibur akhir tahun bersama Steve di Korea Selatan. Dia termasuk cewek yang tergila-gila pada Kpop. Setelah Alice, Steve mendapat telepon dari Marly, teman Glacie yang tinggal di Jakarta. Sejak pesta pernikahan Glacie, Marly jadi dekat dengan Steve. Kata Archie mereka pacaran karena waktu pulang dari pesta, Steve mengantar Marly ke hotel. Menurutku, Steve terlalu bucin pada Emma, istrinya yang koma di Los Angeles Hospital sejak melahirkan Alice lima belas tahun lalu. Lagian, Marly itu pakai hijab seperti Karin. Nggak mungkin pacaran dengan cowok yang musuhan sama Tuhan, kan? Paling nggak itu yang kubilang sama Archie saat kami berjalan ke rumah Erickson. Tapi, anak itu menjawab, “Kamu nggak tahu apa yang bisa dilakukan cinta, Claire. Kamu nggak percaya cinta, sih.” “Nak, umurmu masih jauh dibandingkan umurku,” kataku mengikuti gaya Drey. “Aku yakin cinta juga nggak bakal bisa bikin tubuhmu jadi cepat besar.” Archie menggeram marah. Dia menatapku dengan bibir mengerucut. “Lihat saja nanti!” “Terus, kamu bakal sunat?” Dia diam, matanya seperti mau nangis. “Kenapa kamu ingatkan aku sama aib itu?” “Karena itu takdirmu, Syailendra.” Dia menarik napas dalam-dalam. “Caleb nggak sunat.” Sialan! “Jangan ngomong sembarangan.” “Aku mau tanya ke Caleb. Kalau dia nggak sunat, aku bakal bilang ke Dad kalau aku nggak perlu sunat.” Dia berlari beberapa langkah, lalu menoleh padaku lagi. “KAMU BAKAL DINIKAHI COWOK YANG NGGAK SUNAT.” Aku cuma bisa melotot. Dia berteriak tepat saat Caleb keluar rumah. Untung Caleb nggak ngerti bahasa Indonesia. Cowok itu melihat kami dengan bingung, apalagi waktu Archie lari ke arahnya. Aku hampir nggak bisa bergerak. Lalu, kuyakinkan pada diri sendiri kalau sebaiknya bersikap seolah apa yang diomongkan Archie itu nggak ada hubungannya dengan dia. Archie sampai lebih dulu. Dia menyapa Caleb seolah mereka anak seumuran. Aku mengatur napas seperti yang diajarkan Heath saat merasa detak jantungku nggak keruan. “Kalian berkelahi?” tanya Caleb dengan tatapan jail. Aku berusaha tertawa biar terlihat biasa. Sayangnya, aku makin merasa nggak beres. Kuharap anak kecil ini nggak bertanya tentang sunat di depanku. Apa dia nggak ngerti kalau masalah kelamin itu nggak boleh dibicarakan sembarangan? “Aku … mau … ketemu Seraphine,” kataku sambil membuka pintu. Caleb menelengkan kepala sambil memakai jaket kotor yang dari tadi ada di kursi teras, lalu mengangkat kotak perkakas berwarna hitam. “Dia di kamarnya, masih nggak mau turun untuk makan apa pun, termasuk kue pemberian ibumu. Masuk saja, siapa tahu kamu bisa membantunya.” Tanpa mengatakan apa-apa, aku setengah berlari ke dalam rumah itu. Aku naik tangga dan membuka kamar paling pinggir, yang jendelanya menghadap ke halaman saat aku melihatnya tadi. Cewek itu duduk di tempat tidur, menyisiri bonekanya. Waktu kudekati, di wajah boneka itu ada noda merah yang hampir pudar. “Hai, Cher!” Dia mendongak sebentar, terus menunduk pada bonekanya lagi seolah nggak mengharapkanku. Kalau nggak tahu dia lagi dalam masalah, mungkin aku bakal marah dicuekin begini. Ruangan ini masih bau cat. Beberapa perabotan kayu warna merah muda dan biru muda ditata rapi. Dari situ asal bau cat ini. Ada papan besar warna putih tempat dia menempel hasil gambar dan foto-foto. Ada fotonya dan Caleb tertawa bahagia yang kelihatannya diambil waktu mereka masih lebih kecil. Foto Uncle Fred hanya dua lembar. Lalu, ada beberapa foto yang bagian pinggir atau tengahnya disobek. Kupikir itu foto keluarga. Seseorang merobek bagian wajah orangtua Seraphine dan Caleb. Aku berpaling melihat anak itu yang sekarang berbaring di tempat tidur, memandangi langit-langit. Aku ikut mendongak, siapa tahu memang ada yang bagus di langit-langit. Ternyata hanya ada warna biru muda. Daripada bertanya, aku ikut berbaring di sampingnya. Kata Mom, kalau ada teman yang dalam masalah besar, sebaiknya jangan ngomong apa-apa sampai dia sendiri yang cerita. Waktu Mom bilang begini, aku cuma mengangguk saja. Kupikir mudah, ternyata sulit. Aku pengin banget tanya apa yang dipikirkannya, kenapa dia bisa diam begitu dalam waktu lama. Aku saja sudah sangat bosan. “Aku di sana,” kata Seraphine tiba-tiba. “Aku di sana waktu ayahku menendang wajah ibuku. Aku nggak bisa apa-apa karena aku kecil.” Suaranya tenang. Kalau aku, mungkin bakal menceritakan itu sambil menangis sesenggukan. “Kamu takut?” tanyaku benar-benar pengin tahu. “Aku marah.” “Pada siapa?” “Diriku sendiri.” Air matanya jatuh dari ujung mata, tapi dia nggak berekspresi sama sekali. “Ayahku menendang Caleb dan memukulinya. Semua orang kesakitan kecuali aku.” “Kamu di mana?” “Caleb suruh aku sembunyi di kursi belakang.” Terus, dia diam. Matanya nyaris nggak berkedip. Kucoba menggenggam tangannya. Dingin dan basah. Tangannya seperti baru dimasukkan kulkas. Aku bingung harus ngomong apa. Setelah mempertimbangkan banyak kalimat yang pantas, aku memutuskan untuk berkata, “Kamu mau peluk aku?” Dia berpaling. Matanya merah. Lalu, dia menabrakku. Dia menangis di pelukanku. Suaranya teredam jaket yang nggak kulepas. Tangannya mencengkeram bagian belakang jaketku seperti orang yang gemas. Kupegangi kepalanya. Nggak tahu kenapa, aku juga ikut menangis. Rasanya, aku merasakan yang dirasakannya. Dia kehilangan ibu yang disayanginya tepat di depan matanya. Aku tahu betapa ketakutannya dia. Aku nggak setegar yang dipikirkan orang atau yang kalian pikir. Aku juga sering merasa takut. Aku bukan anak kandung di sini. Bagaimana kalau suatu hari aku bikin kesalahan? Bagaimana kalau mereka nggak sayang lagi sama aku? Bagaimana kalau mereka punya anak lain yang lebih baik daripada aku? Archie mungkin bakal main sama adiknya. Mom mungkin bakal repot sama anak barunya. Drey tentu saja akan menyayangi anaknya sendiri. Lalu, aku bakal sendirian di rumah besar itu. Mereka akan menganggap aku sudah cukup tua untuk mendapat pelukan dan ciuman lagi. Aku bakal dilupakan. Tiba-tiba, aku melihat Dad yang tersenyum di depan pintu kamar Seraphine. Dad menarik bibir ke bawah dan menarik garis di bawah matanya, mengejekku yang menangis. Buru-buru kuhapus air mataku dan tersenyum padanya. Dad duduk di pinggir tempat tidur, di dekat Seraphine yang tidur. Seperti mengerti apa yang kupikirkan. Dad berkata, “Mereka tidak akan melupakanmu kalau kamu menjadi anak yang berguna, Claire. Jadilah anak yang suka menolong dan menyayangi mereka.” “Mana bisa kau jadi anak sebaik itu, Dad.” Dad tersenyum. “Kamu punya nama tengah Irene, gadis yang kucintai, gadis yang mengorbankan nyawa demi melahirkanmu. Aku yakin kamu memiliki kebaikan hatinya, Sayang.” Dad membelai rambutku, lalu melihat jam tangannya. “Aku harus pergi.” “Dad datang untukku? Dad bakal datang lagi?” Tapi, ayahku nggak berpaling. Dad tetap berjalan ke arah pintu, lalu hilang di kegelapan. Saat aku ingin menjerit memanggilnya, aku malah terbangun dari tidur. Aku ada di kamar Seraphine yang biru dan pink. Anak itu tidur di sebelahku. Di luar kamar, ada suara laki-laki yang berbicara. Kupikir itu Dad, jadi aku buru-buru ke luar, ternyata Steve dan Uncle Fred. Mereka terkejut sebentar sebelum sama-sama tersenyum. “Aku mencarimu, Claire,” kata Steve. “Kami senang menemukan kalian tidur di situ.” “Aku kan baru tidur sebentar,” jawabku sambil menguap. “Sebentar? Ini sudah pukul dua siang,” kata Uncle Fred dengan suara tertahan, mungkin takut membangunkan Seraphine. “Tapi, aku berterima kasih padamu. Anak itu sudah berhari-hari tidak bisa tidur. Aku khawatir kalau terus memberinya obat penenang hanya untuk tidur.” “Dia menangisi ibunya,” kataku pelan. Uncle Fred menghela napas panjang. “Aku berusaha membuang boneka yang dibawanya itu. Warna merah di boneka itu dari darah ibunya. Tapi, dia sama sekali tidak mau berpisah dengan boneka sialan itu. Eh, maaf, Claire.” Aku mengangkat bahu. Sejak Sophia pindah ke Stoneberg, orang-orang dewasa di rumahku rajin mengumpat, kok. Uncle Fred berjongkok di depanku dan memegangi tanganku. “Apa aku bisa minta tolong padamu untuk berbicara dengan Seraphine lagi lain kali? Aku ingin meyakinkannya untuk mendapat terapi. Aku khawatir dengan masa depannya.” Aku mengangguk. Tanpa diminta, aku memang ingin membantunya. Walau menyebalkan, aku lebih suka dia seperti dulu. Aku dan Archie pulang bersama Steve setengah jam kemudian. Kami melihat-lihat ruangan yang sedang dikerjakan Uncle Fred dan Caleb dulu. Mereka menjebol dua ruang lebih kecil untuk membuat ruang keluarga yang luas. Uncle Fred bilang siapa tahu Caleb atau Seraphine nanti membuat pesta dengan teman-temannya. Archie tersenyum mengejek ke arahku yang nggak kuketahui apa alasannya. “Aku senang kalian menemukan teman yang baik di rumah sebelah,” komentar Steve saat kami berjalan ke arah rumah. “Anak-anak yang tumbuh tanpa teman itu mengkhawatirkan.” “Kamu juga punya teman?” tanya Archie. Dia hampir berlari untuk menyamai langkah Steve yang panjang-panjang. “Aku tumbuh di lingkungan suburban, Nak. Aku punya banyak teman yang menungguku bersepeda setiap pulang sekolah. Kami bermain di lapangan terbuka, memamerkan mainan atau barang baru yang kami punya. Saat aku sekecil kalian, dunia sedang gencar membuat berbagai macam alat elektronik. Kami saling menyombong dan mengejek satu sama lain. Aku sampai membawa mesin toaster ibuku agar punya sesuatu untuk disombongkan.” Dia tertawa. “Interaksi seperti itu yang membuat anak-anak ber—” Sebuah mobil melewati kami, menuju halaman depan. Steve mengerutkan kening, tapi Archie lebih cepat. Anak itu berlari menyusul mobil yang sekarang berhenti tepat di depan pintu rumah. Adam menggendong Ryn. Dari ekspresinya, aku yakin Ryn bukan tidur. Ryn lemas di gendongan Adam. Karin pucat mengejar Adam di belakangnya. Langkah mereka buru-buru, seolah ada hal yang genting. Aku mengikuti Archie yang terus mengejar mereka. “Kamarku saja,” kataku cepat sambil berlari mendahului Adam ke kamarku. Ryn lebih suka tidur bareng kalau di tempat baru. Walau kelihatannya ceria dan nggak takut apa-apa, Ryn punya masalah susah tidur di tempat asing. Biasanya malam pertama dia bakal mengajakku begadang. Adam meletakkan Ryn dengan hati-hati di tempat tidur, lalu menyelimutinya. “Dia akan sangat kehausan begitu bangun.” Adam menjelaskan dengan suara pelan. “Kenapa dia?” tanyaku. “Dia diberi obat penenang karena mengamuk di pesawat. Kurasa dia akan bangun sebentar lagi. Di mobil dia sudah bergerak.” Adam melihat pada Karin yang baru masuk dengan napas terengah. “Karin, bisa kita bicara di luar?” Kami berkumpul di ruang keluarga lantai dua. Steve maish berbicara di telepon dan Archie menatapku ingin tahu. Karin duduk di sofa paling pinggir dna mengatur napas. Dari wajah dan kerudungnya yang berantakan, kelihatannya dia nggak sempat dandan seperti biasanya. Kantung matanya besar dan hitam, seperti sudah banyak menangis. “Bagaimana kabar Rosie?” tanya Karin setelah minum air putih yang diberikan Juanita. Beberapa pekerja perempuan juga terengah-engah datang untuk menyambut Karin. Adam membisikkan sesuatu pada mereka, mungkin tentang makan malam nanti. “Rosie sudah selesai dengan kraniotominya,” jelas Steve setelah tersenyum sopan untuk berterima kasih pada Juanita yang menuangkan air putih di gelasnya juga. “Tolong sediakan air putih di kamar Claire untuk Ryn. Letakkan agak jauh agar tidak dijangkau tangannya jika dia bangun nanti.” “Apa itu kraniotomi?” tanya Archie. “Mereka membuka tempurung kepala Rosie dan mengeluarkan darah agar tidak merusak otaknya. Itu prosedur biasa. Mereka akan menyimpan tempurung kepala Rosie di bagian tubuh yang lebih aman selama masa penyembuhan. Mereka akan mengembalikan tempurung kepala itu kembali saat otak Rosie sudah sehat,” jelas Steve setelah mengeluarkan napas panjang dan menyandarkan punggung di sofa. Karin menutup mulutnya dan menangis. “Kok bisa barengan gini, ya?” lirihnya dalam bahasa Indonesia. “Apa yang terjadi pada Ryn?” tanya Steve lagi saat Adam kembali. “Aku tidak tahu, Steve,” kata Karin dengan ekspresi sedih. Dia menghapus air mata dengan ujung kerudungnya. “Sabtu kemarin dia masih sehat. Dia pergi pagi-pagi ke sekolah untuk ikut study tour ke musium. Tundra sendiri yang mengantarnya ke sekolah. Dia mau menyerahkan beberapa tugas dan mengembalikan anak ayam percobaan di kelasnya. Siang hampir sore dia pulang sendiri dalam keadaan bingung. Dia tidak mau bicara atau melihat orang. Dia berjalan ke kamarnya dan meringkuk di selimut. Begitu terus sampai malam. Mulanya kami pikir dia hanya kelelahan. Kami biarkan saja dia sampai pagi. Ternyata, waktu kubangunkan, dia mengamuk. Dia menolak disentuh siapa pun, bahkan Tundra. Dia tantrum hebat.” Karin berhenti menjelaskan. Dia terus menangis sampai bahunya berguncang. Ini bukan pemandangan yang biasa. Karin itu ibu yang periang. Kemampuannya mengomel bisa membuat rumah ini langsung ramai. Ryn juga bukan anak yang gampang ngambek. Kalau sampai begitu, pasti ada kejadian yang sangat buruk. Steve dan Adam berpandangan. Dari tatapan mereka, kurasa mereka tahu sesuatu. Apalagi setelah itu Adam menggeleng dan menunduk. Kakinya bergerak-gerak seperti Drey yang lagi nggak sabar menunggu sesuatu. Karin membersit ingus dengan tisu yang disodorkan Steve kepadanya. Setelah bisa menguasai diri lagi, di amelanjutkan, “Setiap membuka mulut dia menyebut nama Dave. Dia bilang, 'Om Dave, tolong aku. Bawa aku.' Kami jadi ketakutan. Waktu malam, kami sempat dengar dia membisikkan nama Claire.” Karin menatapku, lalu bicara dalam bahasa Indonesia, “Dia pengin ketemu denganmu. Berkali-kali dia benturkan kepalanya ke dinding sambil menyebut namamu. Tolong bantu dia, Claire.” Aku turun dari kursi dan memeluknya. Karin gemetar. Dia memang kurus karena selalu menjaga pola makan, tapi kali ini dia terlihat lemah sekali. Cekungan hitam di matanya mirip seperti Glacie waktu hamil Violet dulu. Archie ikut memeluk Karin. “Tenang saja, Tante Karin. Aku akan menjaga Ryn.” “Lu gimana? Sehat?” tanya Karin pada Archie dalam bahasa Indonesia. Anak itu tersenyum dan menganguk. “Lu makan sayur yang banyak biar cepat besar. Masa imut banget gini?” komentar Karin yang membuat Steve tertawa. “Lu kayak boneka.” Wajah Archie kelihatan tersinggung. Kalau bukan karena situasinya sedang tegang, aku pasti ikut menertawakannya. Archie memang sama sekali nggak bertambah tinggi badannya. Kata dokter anak langganan kami, pertumbuhan tinggi badan Archie memang nggak normal. Anak itu harus minum suplemen dan makan dengan menu khusus. “Aku harus kembali ke Jakarta,” kata Karin dengan suara lemah. Dia membuang napas cepat beberapa kali seperti berusaha membuang beban berat. “Tolong jaga Ryn,” katanya seperti akan menangis lagi. “Tentu saja, Karin.” Adam menepuk pelan bahu Karin. “Kami akan menjaga Ryn dengan baik. Kalau dia mau ke New York bersama Noah dan Mike, aku akan sangat senang. Cattleya sangat menginginkan anak perempuan di kehamilan ini.” “Aku akan menyiapkan pesawat untukmu kembali malam ini.” “Pesawat biasa saja, Steve.” Steve mengacungkan telunjuknya. “Terima beres saja,” katanya dalam bahasa Indonesia sebelum beranjak ke ruang lain. Kami memaksa Karin untuk makan walau sedikit. Dia sempat memuntahkan suapan pertamanya. Setelah minum antasid yang diberikan Juanita dari kotak P3K, Karin bernapas dalam sambil menutup mata. Sepertinya sudah lama dia nggak menutup mata begitu. Archie memberinya air putih, lalu mengusap tangannya. “Daun katuk kesayangan,” kata Karin dengan suara bindeng pada Archie. “Tante minta tolong jaga Ryn, ya. Tante sedih banget lihat dia begitu.” “Jangan menangis lagi, Tante. River dan Mo pasti sekarang pengin tante pulang dengan ceria. Ryn pasti betah di sini. Tante pikirkan River, Mo, dan Om Tundra. Bilang sama Om Tundra kalau tulangnya pasti akan sembuh. Om Tundra kan Wolverine.” Karin tertawa. “Katanya Heath yang Wolverine?” “Om Tundra lebih butuh adamantium sekarang,” kata Archie. Dia mengeluarkan mainan dari kantongnya. Orang-orangan lego yang agak besar, mungkin dari baby lego. “Aku baru ingat kalau pernah mengambil ini dari Mo. Aku takut tertelan. Tolong kembalikan pada Mo lagi. Dia sudah cukup besar untuk main lego.” Karin menerima mainan itu sambil tertawa. “Tante jadiin mantu mau, ya?” Archie menggeleng. “Hatiku cuma untuk Camilla Malik, Tante.” Kali ini Karin tertawa sungguhan. “Bisa aja lu ya, biji pepaya.” Dia memeluk Archie erat-erat. “Tante sayang banget sama kalian,” tanya sambil memegang tanganku juga. “Tante kangen banget. Moga entar kita bisa liburan bareng lagi, ya.” “Setelah Ryn sembuh,” kataku sambil tersenyum. “Aku bakal usulkan kita naik kapal pesiarnya Drey lagi.” Sebenarnya kami akan berlibur akhir tahun ini. Tapi, kalau begini kondisinya, sepertinya nggak bakal ada liburan tahun ini. Sebelum Adam mengantar Karin pulang dua jam kemudian, aku menyuruh Karin mengganti bajunya dengan baju Mommy. Mulanya, Karin nggak mau karena mau buru-buru pulang. Tapi, aku dan Archie memaksa. Kelihatannya Karin sama sekali nggak peduli dengan yang dipakainya kali ini. Dia kacau sekali sampai nggak sadar kalau ada noda makanan di baju dan kerudungnya. Kurasa, semua ibu jadi selinglung itu kalau anaknya sakit. Mom saja sampai nggak berhenti menangis kalau aku atau Archie sakit, apalagi sampai harus separah Ryn. Waktu aku kembali ke kamar, Ryn sudah duduk di tempat tidur. Aku sempat ketakutan melihat dia duduk diam di kegelapan. Mata bulat hitamnya kosong, nggak seperti dulu waktu mata itu masih berbinar ceria. Bibirnya seperti ditarik ke bawah, seperti akan menangis. “Hai, Ryn!” sapaku. Pelan, kututup pintu dan berjalan ke arahnya. “Mamamu baru aja pulang. Kamu gimana?” Dia nggak menjawab, tatapannya tanpa ekspresi. Dia persis patung anak-anak di rumah hantu. Sekalipun lampu sudah kunyalakan, aura gelap dan suramnya nggak hilang. Mulanya aku ragu, tapi kemudian aku duduk di depannya, berharap dia nggak memuntahkan cairan hitam atau berubah jadi monster seperti dalam film-film seram. “Kamu lapar? Mau makan kue?” tanyaku berusaha memegang tangannya. Dingin. Tangannya persis tangan Drey yang dingin dan lembab. “Claire?” bisiknya pelan sekali. Wajahnya seperti orang yang kesakitan. Kuulurkan tangan untuk memeluknya. Kubiarkan dia diam saja di pelukanku sampai lama. Kubelai rambutnya seperti Mom membelai rambutku kalau aku sedih. Semoga belaian ini juga bisa menenangkannya. “Mom membelikanku bath bomb yang wangi banget. Kamu mau mandi air panas sebelum makan?” tanyaku lagi. Kukira, Ryn bakal senang. Dia itu suka banget main bath bomb. Dulu dia melempar semua bath bomb ku ke bak mandi sampai busanya luber ke luar bak mandi. Kali ini, dia mencengkeram tanganku keras sekali dan mulai menangis. Hanya dalam hitungan detik kemudian, dia tangisannya berubah jadi jeritan. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN