“I-iya, Pak. Ma’af tadi ada keperluan sama Sabrina.” Oliv berdiri dan mengucapkan kata permisi yang ditanggapi Varell dengan dingin.
“Kamu,” dia menatapku. “ke ruanganku sekarang.” Titahnya.
“Baik, Pak.” Sahutku dan dia berlalu.
Aku masuk ke ruangannya dan aku melihat dia mengobrak-ngabrik ruangan Pak Ferry. File-file berserakan, posisi sofa yang biasanya ada di pojok sebelah kanan berubah berada di dekat meja kerjanya. Aku cukup terkejut melihat ini semua.
“Saya ingin merubah ruang kerja ini.” Katanya agak lembut.
“Saya panggil office boy ya, Pak.”
“Tidak usah. Saya bisa sendiri.” Potongnya cepat. “Saya cuma mau kamu pindahlan file-file itu di rak ujung sana dan file-file di ujung sana kamu pindahkan ke rak di sini.” File yang berjumlah ratusan itu dan rak yang tingginya melebihi tinggi badan dirinya?
“Jangan keterlaluan Varell!” Leon muncul dari balik pintu. Dia mengenakan sweater warna cokelat muda. Untuk beberapa saat aku merasa jantungku berdegup kencang.
“Siapa yang menelponmu?”
“Tidak ada. Ayah memberitahuku tadi malam. Aku tahu kamu pasti merepotkan para karyawan.” Leon menatapku sekilas. Aku merasa beruntung dengan kehadiran Leon.
“Ayah mempercayakan soal perusahaan padaku.”
“Tapi, aku yang mengontrolmu.” Leon kembali menatapku. “Sab, kamu masuk ke ruanganmu ya.” Katanya, aku mengangguk.
“Tidak.” Cegah Varell yang membuat dadaku semakin berdebar-debar.
“Aku mau wanita ini di sini, membantuku.” Katanya arogan.
“Varell, Sabrina tidak bisa membantumu, biar aku yang membantumu. Kamu bisa meminta pertolongan ke office boy atau karyawan pria bukan pada Sabrina.” Wajah Leon masih tampak tenang meskipun emosi terlihat jelas dari tatapan matanya.
“Aku butuh Sabrina di sini. Kenapa? Cemburu?” ucap Varell nyeleneh.
Aku terkejut mendengar ucapannya dan merasa khawatir. Dia tahu kartuku. Dia bisa saja memberitahu orang-orang soal hubunganku dan Leon.
“Varell,” Leon menatap Varell dengan tatapan menegur.
“Aku tahu soal hubunganmu dengan wanita ini,” sekilas Varell menatapku ngeri.
“Kalau Alena tahu...” dia sengaja menggantungkan kalimatnya. Dia sengaja membuat emosi kakaknya. Ya, dia sengaja. Aku tidak tahu bagaimana hubungan Leon dan Varell, tapi mereka seakan bukan kakak-beradik melainkan musuh.
“Aku permisi,” aku beringsut mundur. Tapi lagi-lagi Varell mencegahku.
“Sabrina, aku bosmu sekarang. Aku berhak atas dirimu.”
Aku melihat Leon mengepalkan tangannya. Dia berusaha menahan emosinya, tapi agaknya Varell memang berniat membuat onar dengan mengatakan masalah pribadi yang seharusnya menjadi rahasia kami.
“Varell, kamu harus bisa membedakan masalah pribadi dan masalah kantor. Sabrina tidak bersalah dalam hal ini. Aku yang salah. Aku tidak tahu kalau Alena adalah...” Leon menelan ludah. Dengan cepat aku penasaran dan mencoba tetap bertahan di ruangan ini. Suara ketukan pintu seketika membuat hening. Dua office boy masuk.
“Ma’af, Pak, katanya ada yang perlu diberesin ya?” kata seorang office boy yang berambut jabrik.
“Ya,” Leon merasa lega. Dia menginteruksikan aku untuk keluar dan Varell terlihat santai seakan tidak ada yang terjadi beberapa detik lalu itu.
Aku keluar dengan perasaan waswas dan ketakutan yang menjalar disertai rasa penasaran soal Alena. Ada sesuatu di antara mereka bertiga. Apa mungkin Alena dan Varell memiliki hubungan?
***
Leon masuk ke ruanganku dengan wajah santai dan seakan semua bisa diatasi. Dia tersenyum lembut dan duduk di depanku. “Varell memang seperti itu, Sab. Kamu jangan khawatir dia tidak seganas kelihatannya.” Aku tahu Leon hanya berusaha membuatku merasa tenang tapi perkataannya malah semakin membuatku waswas.
“Dia tahu tentang hubungan kita, Leon.”
Leon menanggapi perkataanku dengan senyuman khasnya yang lembut dan santai. "Dia terlalu banyak tahu. Dia bisa menjaga rahasia. Varell hanya sedikit memberontak. Tapi, kalau kamu tidak kuat, aku bisa mengusulkan pada ayah agar kamu dirotasi. Mungkin menjadi asistenku.” Dia tersenyum nakal.
“Jangan gila.”
“Aku harus pergi ke rumah, Alena sakit.” Leon bangkit dan mencium keningku lembut. "Aku akan meneleponmu nanti malam.” Ujarnya lalu melesat pergi.
Aku tahu posisiku sebagai kekasih gelapnya. Aku tahu diri soal itu, aku tidak bisa menuntut banyak darinya. Alena adalah istri sahnya dan dia berhak atas Leon. Aku tidak punya hak apa pun, tapi akulah yang merebut hak dari Alena dan anaknya. Satu hal yang perlu dia tahu, aku tidak akan menggoda siapa pun, Leon yang memulai. Bukan aku. Meski begitu aku pun merasa berdosa atas hubungan ini.
Bulan April adalah bulan di mana untuk pertama kalinya aku melihat Leon berjalan hendak masuk ke ruangan ayahnya.Saat itu aku masih menduduki posisi sebagai staf kepegawaian bersama Oliv. Sekilas Leon tampak tak peduli padaku yang berdiri di depan pintu ruangan ayahnya.
“Mau ketemu Pak Ferry?” tanyanya ramah.
“Sudah bertemu Pak Ferry, Pak. Bapak mau bertemu Pak Ferry?" Saat itu aku tidak tahu kalau Leon adalah putra Pak Ferry.
“Iya, ayah ada kan?” Ayah? Saat itu Oliv muncul dan memberi bahasa isyarat yang menyatakan kalau Leon adalah
anak Pak Ferry.
“Ya, ada, Pak. Silakan masuk.” Lalu secepat kilat aku melesat pergi.
Sejak itu Leon sering datang ke kantor ayahnya dan menatapku cukup lama. Selalu setiap saat dia melihatku kami akan saling tatap lama. Hingga suatu hari dia menghubungiku lewat w******p. Sebulan berhubungan lewat WA dia mengajakku pergi berdua di sebuah kafe pinggir kota yang sepi. Aku dan dia mengobrol banyak hal hingga kami lupa waktu.
Dan semua berjalan begitu saja. Leon sering mendatangi apartemenku, tidak setiap hari memang, tapi dia selalu menyediakan waktu untuk bertemu denganku. Aku semakin nyaman dengannya dan aku tidak mau melepasnya sama seperti Leon tidak ingin melepaskanku.
***
Saat jam istirahat tiba, Varell keluar ruangan dan kami saling menatap satu sama lain untuk beberapa saat hingga aku sadar dan memilih menunduk untuk menghindari tatapannya. Aku berjalan ke ruangan Oliv untuk makan siang di luar.
Oliv seperti biasa, dia mengunyah permen karet dan masih mengomel soal Varell. “Dia menyuruhku yang macam-macam, Sab.”
“Yang penting dia tidak menyuruhmu untuk membuka baju di depannya kan,” aku cekikikan.
“Haha, Varell akan muntah. Dia tidak akan tertarik sama aku.”
***