Bab 2. RDK

1221 Kata
Penyihir hitam yang di maksud itulah sebutan yang pas untuk Hassel. Dia adalah laki-laki yang kuat dan tangguh hingga saat ini. Dia adalah anak dari salah satu istri mendiang Ayah Tuan Alberic. Mereka bersaudara tetapi beda ibu. Tuan Alberic adalah anak pertama dari istri pertama mendiang ayahnya. Sedangkan Hassel anak pertama dari satu-satunya dari istri keduanya. Dari pernikahan yang pertama istri mendiang ayahnya, memiliki dua orang anak, satu putra yaitu Tuan Alberic dan yang kedua putri yang di beri nama Arabelle. Sedangkan dari pernikahan kedua, ayahnya memiliki satu putra yaitu Hassel saja. Awalnya kehidupan berjalan seperti biasa, bahagia dengan keluarga semestinya. Tuan Alberic dan Hassel sedari kecil di didik dengan tegas. Berlatih pedang dan panah menjadi kebiasaan untuk mereka. Kekuatan yang luar biasa dimiliki Hassel untuk memanah. Dia pemanah yang hebat, sebab selalu tepat mengenai sasarannya. Tuan Alberic bangga dengan keahlian saudaranya itu. Hingga, suatu hari pemilihan untuk pewaris tahta yang dimiliki ayah mereka. Segala bentuk ujian dari fisik, magic hingga kesabaran harus dilakukan. Hassel selalu berpikiran, jika dia pasti selalu unggul dari pada Tuan Alberic. 'Kau tak akan pernah menang jika harus melawanku. Tahta itu, akan menjadi milikku dan kau akan tunduk di kakiku.' Hassel yang baik, berubah menjadi Hassel yang kasar karena tekadnya yang terlalu kuat. Segala hal baik yang dilakukan oleh Tuan Alberic, seakan-akan salah di matanya. Hassel seperti itu, bukan hanya dari dirinya sendiri, tetapi juga hasutan dari ibunya. "Hassel, jangan permalukan Ibu. Kau anak yang kuat, tangguh, jadi memang kamu yang berhak memiliki tahta itu. Memang, Ibu hanya istri kedua, tapi Ibu ingin kamu anak satu-satunya dariku harus menjadi yang pertama dan yang terkuat. Ibu tak rela, jika tahta itu harus dimiliki anak dari wanita itu." Ibu Hassel selalu menggunakan segala cara, agar anaknya terlihat istimewa di hadapan suaminya. "Tenang, Ibu. Hassel akan wujudkan itu, Alberic hanya laki-laki yang lemah, tak mungkin dia mampu melawanku." Hassel mementingkan keegoisannya. Fisik dan Magic mereka lakukan, mereka sama-sama tangguh hingga hasil yang mereka lakukan selalu sama. Hassel serasa murka, dia tak menyangka jika saudaranya tang terlihat lemah bisa sekuat ini kala melawannya. 'Aku tak akan membiarkanmu memiliki tahta itu. Hanya aku, yang harus memilikinya.' Mereka hanya menyangka jika tes itu dari unsur fisik dan magic saja. Mereka tak tahu, jika ujian keseharian juga selalu di awasi beberapa orang. Hassel orang yang kasar. Hingga suatu saat, kala mereka dibawa ayahnya untuk datang ke desa terpencil, saat itu juga ada wanita tua renta membawa rumput jatuh tergelincir. Alberic yang memiliki jiwa sosial yang tinggi, sontak berlari dan membantunya. Wanita itu kesusahan untuk berdiri sebab licinnya tanah berlumpur yang bercampur dengan air. "Biar saya bantu, Bu." Alberic membantunya untuk duduk. "Duduk terlebih dahulu, jangan bergegas berdiri takutnya ada luka di tubuh ibu." Sedangkan Hassel hanya berdiri sembari melipat tangannya di atas perut. "Alberic, ayah tanya apa tujuanmu datang ke sini?" tanya ayahandanya. "Maaf, Yah. Biarkan saya membantu Ibu ini, saya nggak tega jika beliau kesakitan seperti ini. Ayah jalan terlebih dahulu saja, biar saya bantu membawa Ibu ini untuk pulang," ujar Alberic dengan tulus. "Kau tak ingin tahu, apa yang akan kami lakukan? Apa kamu mau ada hal yang tertinggak dan ayah tak akan mengulanginya?" tanta ayahnya lagi. Ibu itu menggenggam tangan Alberic. Tangan tua yang keriput dan saat ini berbalut lumpur, membuat Alberic berpikir dua kali untuk meninggalkannya di sini. "Nak, Ibu bisa sendiri. Bantu Ibu untuk berdiri saja. Terima kasih atas kebaikanmu." Hassel dan ayahnya hanya menatap Alberic dan wanita tua itu dari kejauhan. Mereka hanya berdiri mematung tanpa mengulurkan bantuan. Alberic mencoba membantu ibu itu untuk berdiri, tetapi kala tangan Alberic melepaskannya saat itu juga melihat tubuh wanita tua renta itu terseok hendak terjatuh. "Ya Allah, biarkan saya bantu untuk pulang." "Yah, maafkan aku. Jika saat ini memilih untuk membantu wanita tua ini untuk pulang. Bukannya tak memintingkan perintahmu, tapi saya hanya mengingat jika ibu di posisi yang sama dengannya. Ampuni saya, Ayah," ujar Alberic, dia tanpa banyak kata bergegas menggendong wanita itu dan mengantarkan pulang dengan bantuan alamat yang wanita itu berikan. Alberic tak memikirkan jika baju yang ia kenakan terkena lumpur dan jadi kotor. Rasa ibanya menuntun dia membantu ibu itu dengan senang hati dan tanpa pamrih. "Yah, biarkan Alberic. Dia anak yang tidak baik, bisa-bisanya mementingkan orang lain dari pada perintah Ayahnya. Memang bukan calon pemimpin yang baik dia, Yah." Hassel mencoba menjelek-jelekkan Alberic di depan ayahnya. "Apa Alberic selalu bersikap seperti itu?" tanya ayahnya. "Ya begitulah, Yah. Dia anak kurang kerjaan, dia setiap jumatnya selalu menghabiskan waktu untuk menyantuni kaum duafa yang tak mampu. Dia menghambur-hamburkan uangnya untuk kebutuhan orang lain. Dari makanan dan yang lain. Aku mencoba melarangnya, tapi dia selalu kekeh dengan perbuatannya. Apa dia tak takut miskin, jika uang itu dibuang begitu saja?" Hassel tak menyadari jika perkataannya justru membuat ayahnya bangga akan Alberic. "Miskin? Apa dengan seperti itu, bisa membiat kita miskin, Hassel?" ayahnya memancing Hassel. "Tentulah, Yah. Ayah mati-matian untuk memperoleh uang itu, tetapi Alberic dengan seenaknya buang-buang untuk orang pemalas macam mereka. Siapa suruh tak kerja keras, hanya tau meminta-minta saja!" kecam Hassel. Ayahnya menatap Hassel dengan lekat. 'Ayah semakin tahu, jika harus memilih siapa, Hassel. Kau dan Alberic dari segi ceritamu memiliki kepentingan yang berbeda. Rasa kepedulian Alberic ternyata lebih besar darimu Hassel. Kau takut miskin, jika secuil hartamu kau berikan kepada mereka yang tak mampu.' "Ayah, kenapa memperhatikanku seperti itu? Ayah pasti bangga dengan perkataanku seperti itu? Semua ini demi kemakmuran kerajaan Ayah, aku anak yang berbakti denganmu." Hassel penuh percaya diri kala mengatakan seperti itu. "Ya, tentu saja. Kau anak Ayah," jawab ayahnya agar dia merasa bangga dengan dirinya sendiri. ____ "Ibu, rumahnya masih jauh?" tanya Alberic. "Tidak, Nak. Hanya beberapa langkah dari sini. Terima kasih kau sudah membantuku dengan tulus," ujar wanita tua itu. "Sama-sama, Ibu. Bukannya kita hidup memang ditakdirkan untuk tolong menolong satu sama lain? Aku hanya tak ingin, jika saat aku atau kedua orang tuaku tua, saat mereka meminta bantuan malah diabaikan oleh orang lain. Aku percaya, jika apa yang kita tanam akan kita tuai suatu saat nanti," jawab Alberic dengan bangganya. "Terima kasih untuk semuanya, Nak. Itu di depan rumah Ibu." Ibu menunjuk rumah yang berada di ujung. Alberic walaupun capek harus menggendong dan berjalan cukup jauh, tetapi dia bertekad membantu sehingga memutuskan untuk tetap berjalan semampunya. Sesampainya di rumah ibu itu, Alberic meletakkan wanita tua itu di kursi katu di depan rumah itu. "Bu, sepertinya kakimu terkilir. Biarkan aku membantu untuk menyembuhkannya," ujar Alberic. Alberic memegang kaki wanita itu, mencari bagian yang terkilir di bagian mata kakinya. Dia mengucapak mantra ke sembuhan. "Recuperare recuperandam normalibus (Sembuh dan pulih ke sediakala)," gumam Alberic dengan lirih. Saat itu, terpancar cahaya hijau dari telapak tangannya, terasa hangat kala mengenai kaki wanita tua itu. Kaki yang sedikit bengkok kala terjatuh, tiba-tiba seketika berubah menjadi semula. "Sudah, Bu. Coba buatlah untuk berdiri," ujar Alberic. Wanita itu, dengan sedikit bantuan Alberic untuk berdiri. Beliau tersenyum, kala rasa ngilu di kakinya mendadak sirna dan bahkan saat ini tak merasakan sakit itu lagi. "Ya Allah, Nak. Seketika sembuh," ujar wanita itu dengan senyum merekah dari bibirnya. "Alhamdulillah, kalau begitu saya pamit untuk menyusul Ayah dan saudara saya. Ibu baik-baik saja, jangan di paksakan jika letih menerpa." Alberic menasehati ibu itu. "Terima kasih, Nak. Semoga apa yang menjadi hakmu, akan terkabulkan dan selalu dijauhkan dari orang yang ingin bersikap buruh terhadapmu." Ibu itu mendoakan Alberic kala ia berpamitan. ☆☆☆
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN