2 - Getar Getir

2860 Kata
    Hari ini aku nyaris seharian di lab, membuat beberapa sampel untuk di analisa. Membuat media biodegradasi, me-resize ukuran edible film sesuai parameter, dan lain-lain. Untungnya aku tidak sendirian, ada Lira yang kebetulan jadi partner risetku, Raina dan Ester anak bimbingan Bu Rosa yang juga sedang membuat sampel untuk risetnya, juga analis laboratorium yang sedang menyiapkan bahan ujian praktik mahasiswa semester 3 siang ini.     Laboratorium tempatku riset dipisah dengan laboratorium tempat mahasiswa biasa praktikum. Maksudku bukan pisah tempat, seperti satu ruangan tapi punya dua kamar begitu. Tujuannya jelas agar tidak saling mengganggu karena riset benar-benar harus steril dari bahan kimia lain yang tidak berhubungan dengan riset. Juga anak riset lebih membutuhkan suasana tenang sedangkan anak praktikum biasanya lebih berisik-koreksi, sangat berisik.     “Oh ya Sar, revisi dari Bu Indah kemarin sudah selesai ya?” tanya Lira di sela-sela aktivitasnya.     “Sudah. Sudah aku tambah beberapa referensi juga di daftar pustaka sekalian rubah rumusan masalah yang kemarin dicoret Bu Indah.”     “Sorry ya Sar, gara-gara aku sakit kamu jadi ngerjain semuanya sendiri.”     “Santai aja, Ra. Kebetulan aku juga nggak ada kerjaan.”     “Besok sebelum bimbingan, aku mau baca dulu ya rumusan masalahnya, takut kena ceramah kalo plonga plongo kayak kambing ompong.” Lira tertawa rendah.     “Aku bawa tuh di laptop, nanti sekalian saja kita bahas di perpus setelah selesai.”     “Oke deh. Eh, udah nih kayaknya. Tanahnya kurang nggak?” tanya Lira sambil menunjukkan gundukan tanah di dalam baskom tanah liat yang akan kami gunakan untuk media uji.     “Cukup sih. Ini juga sedikit lagi selesai, tinggal tunggu yang di oven 5 menit lagi.”     Lira terlihat membereskan sisa tanah dan beberapa alat yang masih tergeletak di meja. 2 hari ini pekerjaan kami tinggal uji kelayakan. Selanjutnya sekaligus bagian terberat adalah pembahasan dan beberapa lampiran tabel, gambar, data uji lengkap, dan daftar pustaka.     “Kelar nih, Ra. Dinginin di atas oven aja kali ya biar nggak ganggu riset yang lain?"     Lira menganggukkan kepalanya tanda setuju. Tanganku yang dilapisi kain meletakkan cetakan film diatas oven besar yang kami gunakan tadi.     “Ke perpus, yuk? sudah beres semua ‘kan?” tanyaku sambil mengaitkan ransel ke punggung dan menenteng tas biru dongker berisi laptop.     Kami berjalan sambil membahas beberapa hal. Dari mulai keluh kesah tentang revisi EYD yang tak kunjung selesai, sampai dosen penguji pendadaran yang katanya bakal diisi oleh dosen-dosen muda karena dosen senior sedang mengurus akreditasi Universitas.     15 menit kemudian kami sudah tiba di perpustakaan jurusan. Kami memilih tempat duduk lesehan di belakang karena dekat dengan sumber listrik.     “Kamu baca-baca dulu ya, Ra, kalo mau buka jurnalnya ada di pdf itu sudah aku buka. Aku ke rak buku sebentar, mau cari-cari referensi lain,” ujarku kemudian meninggalkan Lira di ruang baca.     Kakiku melangkah ke arah rak berlabel BIOKIMIA, membolak-balik buku-buku di rak berharap ada sesuatu yang bisa k****a lalu dijadikan referensi. Sejujurnya beberapa buku, e-book dan jurnal yang kami pakai sudah lumayan banyak, tapi kata cukup itu tidak ada di kamus Bu Indah. Bagi beliau, kalau bisa baca 100 referensi, kenapa harus 10.     Dan lagi, sisi Tak Mau Kalah dalam diriku ini anehnya justru merasa tertantang dengan lemparan umpang dari Bu Indah. Dosen pembimbingku yang satu ini memang terkenal killer. Bukan berarti galak, lebih ke perfeksionis dalam segala hal. Ah ya, dan tanda baca. Semua mahasiswa di jurusanku sudah paham dengan beliau, sekali mengambil resiko jadi anak bimbingannya, artinya kamu harus siap minimal dengan modal EYD yang benar. Itu wajib, nggak ada toleransi, atau kamu mau revisi EYD selamanya, baru bisa sidang. Hanya itu pilihannya.     Sejujurnya aku sangat lelah hari ini. Beberapa kali mataku mengerjap agar kantuk segera hilang. Semalaman aku merevisi beberapa rumusan masalah dan EYD yang ternyata masih juga ada salah di sana sini. Pukul 2 pagi aku baru bisa tidur itupun setelah minum s**u hangat, pakai kaus kaki, eye mask, dan dibantu musik pengantar tidur dari deppapepe.     Dari jauh mataku menangkap sosok yang berdiri bak malaikat yang akan menghampiri bidadarinya. Bukan, bidadarinya bukan aku. Pak Abraham, dengan kemeja panjang biru laut yang dikancing rapih sedang berjalan menuju ruangan dosen. Letak ruang dosen memang berdekatan dengan perpustakaan. Lebih tepatnya berseberangan. Tak menyia-nyiakan kesempatan, kudekati Pak Abraham.     Tenang, aku tidak berniat menggodanya.     “Pak Abraham.” panggilku setelah kurasa jarak kami lumayan dekat.     Merasa terpanggil, si empunya nama menghentikan langkah kaki. Kedua matanya bertemu dengan mata lelahku.     “Sarah, ada apa?”     “Saya belum berterima kasih sama Bapak soal jurnal yang kemarin Bapak kirim. Saya nggak tau gimana jadinya kalau nggak dibantu sama Bapak.”     “’Kan kemarin sudah terima kasih di chat."     “Itu kan di w******p, Pak, saya rasa akan lebih sopan kalau saya bilang langsung.”        Setidaknya aku masih punya norma kesopanan. Tidak sok baik di dunia maya tapi cuek di dunia nyata.     “Tapi berguna ‘kan jurnalnya?”     “Sangat amat berguna, Pak. Saya rasa anak-anak lain akan iri kalau sampai tahu saya punya beberapa jurnal internasional yang untuk akses websitenya saja dibatasi. Saya benar-benar beruntung sore itu diomeli Bu Indah.” Aku tertawa geli dengan ucapanku sendiri. Terdengar konyol.     “Kalau kamu butuh lagi, bilang ke saya. Nanti saya bantu. Jangan sungkan.”     “Siap, Pak, terima kasih sebelumnya.”     “Again?” tanya Pak Abraham diikuti tawa.     “Maaf.”     “Saya duluan, jam 2 ada kelas.”     “Ah ya, silakan Pak.”     Aku berjalan di koridor jurusan dengan senyum mengembang yang menampakkan deretan gigi yang sedikit kuning karena kebanyakan minum kopi. Perasaan lega akhirnya bisa berterima kasih langsung dengan Pak Abraham.     Perlu kalian tahu, aku termasuk orang yang ambisius. Ya, aku sudah pernah bilang sebelumnya. Aku lupa. Aku tidak pernah mau kalah dengan yang lain. Aku mau lebih unggul dari siapa pun. Karena itulah aku bahagia luar biasa ketika aku bisa punya beberapa jurnal dari situs yang terkenal bagus di kalangan akademisi bahkan masuknya saja butuh akses khusus. Tidak ada user sekelas mahasiswa yang bisa mengaksesnya.     “Kok senyum-senyum sendiri, Sar. Kesambet lo?” tanya Lira setelah aku duduk di sebelahnya.     “Tadi ketemu Pak Abraham di koridor, sekalian bilang terima kasih.”     “Untuk?” Sorot mata Lira seperti membidikku curiga.     “Jurnal yang tadi lo baca itu sebagian besar dari Pak Abraham, tapi jangan bilang-bilang yang lain, gue nggak enak,” jawabku setengah berbisik takut di dengar orang lain.     “Oh, pantas keren banget. Gue kira lo dapet sendiri.” Lira terkekeh sendiri mendapati ia yang salah menduga.     “Eh iya, besok kita ketemu Bu Indah jam berapa?” tanya Lira setelah mematikan laptopku.     “Jam 10, di perpustakaan pusat.”     “Okay, nanti gue aja yang print ya? Gantian, kemaren ‘kan lo bimbingan sendirian, alhasil kena marahnya sendirian juga.”     Aku tidak menjawab dan memilih beranjak dari tempat dudukku.     “Gue balik duluan gak apa-apa ya? Udah sore takut nggak kebagian angkot. Elo nggak ke terminal?”     “Nggak, nanti balik bareng Randi pake motor.”     “Awet banget pacaran sama brondong.”     Lira terkekeh.     “Duluan ya.”     Sore itu suasana kampus lumayan sejuk. Mungkin pertanda sebentar lagi akan turun hujan. Aku memutuskan berjalan ke kostan lewat pintu belakang, kebetulan kostku tidak terlalu jauh dari kampus. Kalau jalan kaki lewat jalur cepat kurang lebih 45 menit.     Entah kenapa dari dulu aku suka situasi sepi seperti sekarang. Udara serasa tidak terkontaminasi oleh karbon monoksida dari asap kendaraan dan karbon dioksida dari nafas manusia yang lain. Tanganku merasakan ada titik-titik dingin yang perlahan jatuh. Kepalaku segera mendongak keatas. Titik-titik air mulai turun.     “Yah nggak bawa payung lagi.” Tentu saja aku bicara sendiri.     Di tengah jalan cepatku untuk menghindari kehujanan sebelum sampai kostan, aku merasa seperti ada deru mobil yang mendekat. Kepalaku secara spontan tertoleh ke kanan. Benar, Fortuner silver berjalan melambat agar sejajar denganku. Perlahan mobil itu berhenti. Entah dapat kode dari mana aku pun ikut berhenti.     “Mau ikut? Sebentar lagi hujan,” ucap seorang dosen muda yang sore tadi kutemui.     “Saya jalan kaki saja, Pak. sebentar lagi juga sampai.”     Seolah tak mendapat restu dari alam, tiba-tiba rintik gerimis bertambah besar dan lebat.     “Masuk, nanti laptopmu basah,” pintanya lagi seraya menarik handel pintu agar terbuka.     Melihat situasi yang tidak memungkinkan untuk berjalan, aku mengangguk mengiyakan ajakan Pak Abraham.     “Ngapain jalan di tempat sepi sendirian? Nggak takut?”     “Sudah biasa, Pak.”     “Kalau mau menenangkan diri, lihat situasi dulu. Sudah sore, mau hujan, jalan sendirian di tempat sepi sambil bawa laptop lagi. Itu namanya kamu ngasih umpan ke kucing.”     Mendapat kultum seperti itu justru membuatku tersenyum kecut. Sebelum ini kami benar-benar tidak pernah terlibat percakapan yang hanya melibatkan kami berdua, tanpa ada orang lain selain di dalam kelas. Ini pertama kalinya. Jelas aku kikuk dan sedikit nerveous.     “Iya, Pak.” Kujawab singkat.     “Kostanmu di mana?”     “Kost Putri Dinavili, Pak. Di pertigaan depan belok ke kiri.”     Pak Abraham menganggukkan kepalanya seolah mengerti. Tak lama tangannya menekan tuts radio. Terdengar kemudian Raisa bernyanyi dengan merdunya, meninggalkan keheningan yang sejak tadi kurasakan.     “Kamu tinggal sendirian?” tanya Pak Abraham setelah Raisa menyelesaikan Kali Kedua-nya.     “Iya, Pak.”     “Saya turun di sini saja, Pak. Sudah dekat.”     “Saya antar sampai depan kostan.”     “Jangan, Pak!” ucapku spontan dengan intonasi lebih tinggi dari sebelumnya. Menyadari hal itu, aku mendadak tak enak hati.     Ya Tuhan, apa yang baru saja kulakukan. Bikin malu! Rutukku dalam hati.     “Saya nggak enak sama yang lain, Pak. Lagian di kost juga ada adik tingkat, takut dikira yang nggak-nggak.” Suaraku sedikit terseok-seok seperti kaki keseleo yang dipaksakan berjalan. Tidak ada pilihan lain. Aku tidak mau jadi bahan cercaan Lulu lagi. Bisa mati jantungan aku.     “Di luar hujannya deras. Kamu yakin?”     Aku mengangguk mantap sebelum menarik handle pintu.     “Tunggu,” ucap Pak Abraham sontak membuatku menghentikan gerakan tangan. Pak Abraham mengambil sesuatu dari kursi belakang mobilnya.     “Pakai ini biar kamu nggak basah.”     Oke, aku benar-benar seperti patung sekarang. Pak Abraham memberikan jaketnya untuk kukenakan.     “Nggak usah pak.”Aku menolak halus. Tapi … Aduh, perasaan apa ini, seperti ada palu thor yang mau keluar dari dadaku. Degupannya ya Tuhan, dadaku terasa sesak.     “Besok kamu bimbingan ‘kan?”     Aku mengangguk. Batinku merasa aneh, dari mana Pak Abraham tahu kalau besok aku mau bimbingan? Bukannya tadi aku cuma bilang sama Lira? Saat berbagai pertanyaan dalam otakku berebut untuk dituntaskan, aku tersadar saat dua buah tangan melingkar melewati bahuku, memasangkan jaket yang sedari tadi dipegangnya.     “Jangan membantah. Besok nggak boleh sakit saat ketemu Bu Indah. Nanti nggak jadi diceramahin.” Bibirnya tertarik ke setiap ujung, membentuk seulas senyuman.     Manis. Sayang suami orang.     “Besok saya kembalikan jaketnya, Pak. Saya permisi dulu, terima kasih sudah repot-repot antar saya pulang.”     Tidak dijawab, Pak Abraham hanya menganggukkan kepalnya pelan.     “Saya duluan.”     “Iya, Pak. Hati-hati di jalan.”     Aku segera berlari membuka gerbang kost. Kulihat jam di tanganku, pukul 18.25 anak-anak kostan yang biasa berkumpul di depan pasti sedang di dalam kamar, apalagi situasi sedang hujan. Mana ada orang yang mau keliaran di luar. Aku melenggangkan kaki dengan santai hingga melewati kamar Lulu.     Aman. Pintunya tertutup. Si empunya pasti sedang malas-malasan di dalam kamar.     “Dari mana lo jam segini baru balik?”     Aku melonjak kaget hingga menjatuhkan kunci kamar yang sedari tadi kupegang.     “Astaga, lo kayak setan aja ngagetin gue, Lu,” ucapku sambil mengelus d**a. Napasku tersengal saking kagetnya.     “Lo baru ngapain basah-basah gitu?” Mataku menelisik rambut Lulu yang masih basah berbalut handuk.     “Habis masak! Ya mandi lah. Kamar mandi gue lampunya mati. Tadi mau numpang di kamar lo, elonya belum balik jadi gue mandi di kamar mandi um−“ Matanya Lulu memicing seperti memastikan sesuatu.     “Lo pakai jaket siapa?”     Bak disambar petir. Pertanyaan itu akhirnya keluar juga dari mulut tak sopannya Lulu. Aku beringsut maju berniat segera membuka pintu. Lulu yang melihat gelagatku segera menghadang lubang kunci dengan tangannya.     “Apaan sih, Lu. Gue capek mau mandi, terus tidur. Lo nggak nyium badan gue bau asam?”     Lulu maju selangkah, mulutnya monyong dibuat-buat. Posisinya persis seperti anjing yang sedang mengendus-endus makanan.     “Apaan sih, jijik tau,” ucapku lalu mendorong Lulu mundur.     “Gue kayak kenal bau parfum ini.”     “Parfum apa sih? Udah sana, ah.” Kali ini tidak gagal. Lulu berhasil mundur 2 langkah membuatku leluasa membuka kunci pintu. Tak tinggal diam, Lulu membuntutiku lalu duduk manis di kasur.     “Lo tahu, ‘kan, gue nggak suka kasur gue basah karena handuk lo?”     “Gue nggak mungkin salah, itu bukan bau parfum lo. Itu wangi maskulin. Dan jaket itu, punya siapa ya, kayak pernah liat Gue." Mengabaikan peringatanku, Lulu justru terlihat berpikir keras. Dahinya mengerut, matanya memicing.     “Punya teman, tadi gue balik kesorean, pas di jalan kehujanan, terus dikasih pinjam sama dia,” jelasku singkat.     Kuletakkan jaket yang sedari tadi membalut hangat badanku di kaki ranjang.     “Teman yang mana? Kalau teman lo pasti gue juga kenal dong.”     “Ada. Anak jurusan lain. Lo nggak kenal.”     “Masa sih? Tapi gue kayak familiar deh sama jaketnya.” Matanya masih saja mengamati jaket bermotif army itu.     “Ya ampun, Lu, jaket motif army itu bukan barang limited edition yang cuma diproduksi satu atau dua doang di dunia. Di Pasar Baru juga banyak yang jual.”     Aku mendenguskan napas lega ketika Lulu mengangguk-anggukkan kepalanya. Setidaknya kali ini aman.     “Iya juga sih.”     “Udah ah, gue mandi dulu. Lo kalo mau ambil buah ambil aja. Sekalian potongin gue ya.”     Tanganku menyambar handuk di belakang pintu sebelum menarik handle pintu kamar mandi dan menguncinya dari dalam. Perasaanku sedikit lega karena Lulu akhirnya berhenti curiga.     Tring!     Aku mencari sumber suara notifikasi ponselku. Suara seperti tak jauh. Kurogoh saku selana, ternyata masih terbawa di sana. Tanganku menekan password berbentuk pola di layar. Nama seseorang terbaca disana. Pak Abraham Maaf tadi nggak ngantar sampai depan kostan. Me Nggak apa-apa, Pak. Kan saya tadi yang minta.     Ada perasaan aneh di dadaku atas perlakuan Pak Abraham sejak kemarin. Beberapa kemungkinan mendadak menghampiri otakku yang sedang kusut. Segera kutepis karena itu terkesan mengada-ada. Aku tidak perlu perduli, toh dia dan aku memang sangat jauh dari segi apapun.     Nggak mungkin. Batinku dalam hati.     Segera kuletakkan ponsel di atas rak sabun lalu memulai ritual mandi. 15 menit kemudian aku selesi. Ponsel-ku lagi-lagi berbunyi setelah kakiku nyaris keluar kamar mandi. Pak Abraham Sepertinya ID card saya ketinggalan di jaket. Bisa tolong di cek? Barang kali memang ketinggalan.     What the hell! Aku langsung melotot tak percaya. Segera kubuka handel pintu kamar mandi dan menyambar jaket di kaki ranjang. Aku segera masuk kamar mandi lagi sebelum Lulu curiga.     Benar saja, ID card dengan nama Abraham Kharisma itu ada di sana. Duh, Tuhan, bagaimana ini? Mati aku kalau sampai Lulu tahu. Seketika aku ingat pesan dari Pak Abraham yang belum kubalas. Me Iya, Pak. ID card nya ada di kantong dalam jaket. Bapak di mana? Mau saya kembalikan sekarang atau besok sekalian saya ke kampus? Pak Abraham Besok pagi saja. Saya di perpustakaan pusat sampai jam 12 siang.     Hah?! Kok bisa kebetulan gini, sih? Batinku kembali bertanya-tanya. Lama-lama dosen ini membuatku berburuk sangka padanya. Me Oke pak. Maaf jadi merepotkan. Pak Abraham Bukan saya yang repot, malah kamu. Kan kamu yang harus bolak balik jadinya. Me Oke pak. Besok saya kembaliin sekalian sama jaketnya.     Diam-diam aku keluar kamar mandi, tanganku menyelipkan ID card milik Pak Abrhaam ke dalam tas yang besok akan kupakai bimbingan. Aku mengelus d**a lega karena Lulu tidak curiga. Matanya masih terpaku pada layar televisi yang menampilkan sinetron kesukaan semua orang.     “Besok lo ke kampus?” tanya Lulu saat layar televisi sedang menampilkna iklan sirup yang tampak segar.     “Iya. Bimbingan jam 10. Elo?”     “Gue juga ke kampus. Mau kasih usulan KRS semester depan sama Pak Abraham.”  Deg!     Jangan-jangan yang tadi dibilang Pak Abraham di perpustakaan pusat itu adalah dengan Lulu? Ya Tuhan, kenapa aku jadi seperti maling yang takut ketahuan sih. Aku mengacak-acak rambut frustasi.     Bodo amat! Lo nggak harus peduli itu, Sarah!     “Kenapa lo?”     “Hah? Nggak apa-apa. Pusing gue kehujanan tadi.”     “Mau gue beliin makan?”     Aku mengangguk pelan. Lulu memang sahabat yang baik. Meski bodornya nggak ketulungan dia termasuk orang yang paling peka sama sekeliling. Saat Lulu sudah hilang dari balik pintu, tanganku segera mengambil ponsel.     Sejujurnya aku ingin tidak peduli, kalaupun besok ketahuan aku bertemu dengan Pak Abraham ya sudah tidak apa-apa. Aku hanya perlu jujur, lalu selesai. Toh aku memang tidak ada apa-apa dengan Pak Abraham, kan? Me Bapak besok ada bimbingan dengan Lulu ya? Pak Abraham Iya, ada apa? Me Aduh, gimana ngomongnya ya, bisa nggak Pak besok saya balikin ID card nya lebih pagi? Tapi jangan di perpus, di Student Center atau jurusan, bisa nggak Pak? Pak Abraham Oke, jam 8 di student center. Me Siap. Terimakasih Pak.     Huh! Aku mendenguskan napas lega. Aku benar-benar seperti sindikat penculik yang sedang kucing-kucingan dengan polisi. Menegangkan.     “Kenapa lo ngos-ngosan?”     “Setan alas!”     Aku berjingkat. Lulu, datang seperti hantu yang bisa tembus pintu. Entah sejak kapan dia masuk kamar, tiba-tiba saja tangannya sudah menekan kembali handel pintu dan menatapku penuh selidik.   
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN