1 - Jurnal

2692 Kata
Ruang Dosen     "Saya nggak mau tahu ya, minggu depan harus ada jurnal internasional terbitan universitas bergengsi yang kamu jadikan referensi. Referensimu ini kebanyakan ebook nggak jelas."     Suara bu Indah terdengar menggelegar di ruangan dosen disusul dentum bantingan setumpuk kertas membuat mataku mengerjap tak percaya. Really? Hasil bergadangku dua hari ini sia-sia? Untunglah beberapa dosen sedang tidak di ruangannya, jadi aku sedikit lega karena tak perlu memasang muka malu jika berpapasan dengan mereka.     "Baik, Bu. Minggu depan saya perbaiki. Permisi Bu."     Segera kubereskan beberapa kertas yang penuh dengan coretan di sana sini. Lapar yang sedari tadi kurasakan mendadak lenyap entah kemana. Wajahku pucat bukan lagi karena perut kosong, tapi kertas yang bentuknya lebih mirip mural dibanding kertas laporan.     Kuseka keringat yang membasahi dahi dan rambutku setelah keluar dari ruangan menyeramkan itu. Auranya benar-benar menegangkan. Lebih horor dari rumah Pengabdi Setan.     "Sudah selesai bimbingannya?"     Aku melompat kaget dan nyaris menjatuhkan map yang kudekap sedari tadi.     "Astaga, Pak Abraham." Jantungku serasa mau copot. Degupannya kuyakin tak kalah kuat dengan getaran saat gempa bumi di Jogja beberapa waktu lalu.     "Apa saya seastral itu sampai kamu tidak sadar ada manusia disini?" Kedua alis Pak Abraham terangkat tanda tak percaya.     "Iya−ah, nggak, maksud saya tadi saya agak melamun jadi tidak tahu ada Bapak di sini." Aku benar-benar kacau. Ya Tuhan semoga Pak Abraham tidak marah.     "Duduk," perintahnya setelah melihat mataku celingukan seperti mencari sesuatu.     Ya, benar, tadinya aku memang mau duduk untuk menenangkan diri sejenak tapi nggak enak karena di situ juga ada beliau dan beberapa kertasnya. Pak Abraham yang menyadari tatapan mataku segera mengambil kertasnya agar aku bisa duduk.     "Bapak kok masih di kantor?" tanyaku setelah bokongku mendarat sempurna di bangku panjang.     "Anak semester 3 baru selesai ujian. Karena 2 hari lagi nilai harus di upload jadi Saya kebut saja sekalian kerjain di sini."     "Ah, ya, sebentar lagi libur semester. Nasib semester tua ngertinya cuma lab sama kostan."     Mataku mencari-cari sesuatu barang kali masih ada manusia lain di ruangan itu selain kami. Dan aku baru sadar bahwa sekarang sudah pukul 5 sore setelah melihat jam dinding di ujung lorong, mana ada mahasiswa yang masih kelayapan di kampus.      Kecuali kamu, Sar.         Pandanganku berhenti di wajah Pak Abraham yang masih berkutat dengan lembaran-lembaran berisi jawaban mahasiswa semester 3 dan satu kertas kumpulan nilai.     “Kok tampan, sih,” bisik batinku.     “Oh, tentu. Seantero Fakultas Teknik juga tahu kalau Pak Abraham itu dosen paling tampan yang diutus Tuhan untuk mengindahkan pandangan mahasiswi-mahasiswi semester tua yang ganjen seperti kamu,” jawab sisi lainnya.     "Pak, saya boleh pulang duluan? Sudah sore, takut nggak ada angkot lagi."     Pak Abraham mengangguk. Seutas senyum ia tampilkan di wajahnya yang nampak muda meski sudah berumur 32. Kuraih goody bag dan map yang tergeletak di bangku lalu berjalan ke arah pintu .     "Sarah."     Deg!     Pak Abraham memanggilku. Kuperiksa berkas-berkas di map biru yang sedari tadi ku dekap, barang kali ada yang tertinggal. Lengkap. Tak ada yang tertinggal. Kubalikkan badanku menghadap Pak Abraham.     "Iya Pak."     "Kalau kamu butuh bantuan untuk laporanmu, bisa hubungi saya. Saya punya beberapa jurnal internasional yang mungkin bisa kamu pakai. Penelitianmu tentang apa?"     "Hah?" Aku menggaruk kulit kepala yang memang gatal karena belum keramas. "Biodegradable film berbahan dasar jerami, Pak"     "Okay, saya tunggu emailmu."     "Email?"     "Jangan malu, saya hanya ingin membantu."     "Oh. Iya, baik Pak, permisi."     Oh, Tuhan, ada angin apa ini? Pak Abraham benar-benar seperti malaikat yang diutus bukan hanya untuk mengindahkan mataku tapi juga untuk membantuku. Tapi, tunggu dulu? Berarti tadi Pak Abraham dengar, dong saat aku dicaci maki Bu Indah? Oh My God.     Kepalaku nyaris terbentur pintu kaca saat aku sadar ternyata sedari tadi aku terus saja melamun sambil senyum-senyum nggak jelas. Kupastikan Pak Abraham pasti tertawa melihat tingkahku yang sangat konyol.   Kost Putri Dinavili     "Saaaarrr, makan yuk."     Itu suara Lulu, teman senasib sepenanggungan yang kebetulan tinggal di kamar sebelah. Dari awal ospek sampai sekarang entah kenapa cuma dia yang betah berteman denganku. Mungkin karena aku asik dan suka bagi dia makan gratis? Sebenarnya Lulu bukan orang susah, dia justru anak orang kaya yang tidak suka di kekang. Ayahnya anggota dewan. Rumahnya pun masih di kota yang sama. Hanya saja dia yang sedikit urakan ini lebih nyaman tinggal di kostan. Apalagi alasannya kalau bukan kebebasan.     Si Lulu emang suka begitu, teriak-teriak sampai kadang dilempar sandal oleh anak lantai 2 karena terlalu berisik.     "Makan di luar, yuk," ajak Lulu saat ia sudah membuka pintu kamarku. Matanya melotot heran saat melihat kertas berhamburan di lantai, tinta printer kering di mana-mana, dan aku yang memandangi layar laptop dengan hanya mengenakan kaos tanpa lengan plus hot pants diatas lutut.     "Astaga, Sar, lo ngapain? Baru balik bimbingan jam 5 dan lo udah berkutat lagi sama laporan. Nggak panas itu otak?"     "Lo punya emailnya Pak Abraham nggak?" tanyaku setelah celotehan Lulu berhenti.     "Enggak. Buat apaan?"     "Lo ‘kan anak bimbingannya, masa nggak punya emailnya sih?"     "Doi itu dosen gaul sis, nggak suka dia pakai cara-cara lama begitu. Bimbingan gue pakai w******p. Emang kenapa sih?"     "Mampus gue! Mampus!" Aku mulai mengacak-acak rambut frustasi.     "Kenapa sih?"     "Tadi gue kelar bimbigan sama Bu Indah terus ketemu Pak Abraham di koridor, dia nawarin gue jurnal buat referensi riset. Dia minta di email abstrak gue. Gue udah iya iya aja."     "Eh, si b**o, kenapa nggak sekalian ditanya tadi?"     "Ya gue kira ‘kan lo punya"     "Gue kasih nomor w******p nya aja deh. Lo minta maaf aja, bilang kalau tadi lupa minta alamat emailnya gitu."     "Ide bagus! Pinter lo kadang-kadang" Kudekap kepala Lulu hingga ia berontak tak karuan. Dekapanku baru kulepas setelah ia menggigit lengan atasku.     "Sakit, ih. Sumanti!"     "Bodo!" ucapnya seraya mencebik kearahku. "Cari makan, yuk? Starving level dewa ini gue."     "Bentar, gue ganti baju dulu."     "Gue tunggu di depan kamar ya. Jangan lama-lama." Lulu berjalan keluar kamar. Secepat kilat kubereskan kertas yang berserakan lalu menyambar jaket dan celana training yang tersampir di kaki ranjang.     Sepanjang jalan Lulu terus saja menyerocos, mengkhayalkan dirinya tengah makan nasi padang dengan lauk ayam pop dan sayur gulai nangka. Aku tidak mendengarkan celotehannya dan segera menarik tangannya masuk ke sebuah tempat makan mie ayam bakso tak jauh dari kostan saat lewat di depan kiosnya. Pikiranku memang sedang tidak fokus ke makanan jadi pikirku yang gampang saja.                    Lulu yang tidak terima melanjutkan celotehnya lalu berhenti ketika aku mengucapkan sesuatu yang menyenangkan baginya.     "Gue yang traktir."     Seketika Lulu tersenyum lebar menampilkan deretan giginya yang baru saja di veneer. Aku benar-benar ingin segera pulang lalu menghubungi Pak Abraham mengingat sekarang sudah hampir pukul 8 malam. Aku takut mengganggu waktu istirahatnya. Lagi pula sangat tidak sopan kalau aku menghubungi dosen tengah malam. Seperti selingkuhan saja.     "Lu, bagi nomor w******p-nya Pak Abraham dong," ucapku di sela-sela mengunyah bakso.     “Entar aja sih di kostan. Tanggung.”     “Sekarang aja, biar nggak kemalaman. Nggak enak gue kalau chat malam-malam.”     “Sekarang juga udah malam, kali,” keluh Lulu sambil merogoh ponsel dari sakunya dengan malas. Jarinya terlihat mengetik sebuah nama. Bukan Pak Abraham, tapi ...     “Dosen ganteng? Idih apaan sih Lulu.”     “Mau nggak lo? Nggak mau juga nggak apa-apa,” jawabnya lantas menyambar sisa kuah bakso di mangkuknya.     “Iya, mau,” jawabku seraya menyalin nomor telpon Pak Abraham ke ponselku.     Dengan mengucap beberapa doa kuketik pesan yang akan ku kirim ke Pak Abraham. To: Pak Abraham Kharisma Selamat malam Pak Abraham, mohon maaf sebelumnya jika pesan saya mengganggu. saya Sarah mahasiswi bimbingan riset Bu Indah yang tadi sore ketemu bapak di kantor dosen. Begini Pak, setelah saya cari-cari ada beberapa website yang tidak bisa saya akses karena saya harus punya permission, setelah saya lihat yang punya permission hanya dosen dari fakultas yang berkaitan. Kalau bapak berkenan saya mau minta bantuan bapak untuk bisa mengakses website tersebut. Terimakasih.      Message sent.     Huh! lega. Biarlah pesan itu ditertawakan karena isinya yang terdengar asal. Atau lebih tepatnya memalukan. Segera kuhabiskan sisa mie ayam di mangkuk lalu mengajak Lulu pulang. Tentu saja kali ini tanpa penolakan karena dia sudah menghabiskan semangkuk mie ayam dan seporsi bakso super plus telor.     Sesampainya di kostan kami berpisah di depan kamar Lulu karena ia segera masuk dan aku harus segera mengecek balasan w******p dari Pak Abraham.     Tring!     Notifikasi pesan masuk berbunyi tepat setelah kututup pintu kamar dan membuka jaket. Kusambar remot tv lalu menghidupkan benda kotak di depan ranjang. Sebenarnya tidak ada acara menarik, itu kulakukan semata-mata untuk megurangi gugupku sebelum membuka pesan dari Pak Abraham. Pak Abraham Kharisma Saya ada beberapa jurnal yang mungkin bisa kamu baca, boleh minta alamat emailmu?     Saking bahagianya aku melompat-lompat di atas karpet hingga kakiku menendang ujung meja yang lancip, spontan tubuhku melonjak hingga tanganku menyambar segelas kopi dingin yang belum sempat kuminum.     s**t! Rutukku pelan.     “Saraaaaahhh, ah! b**o. Udah sakit, malam-malam harus ngepel pula,” celotehku merutuki diri sendiri yang memang ceroboh ini.     Untunglah kertas-kertas yang tadi berserakan sudah kupindahkan ke atas nakas. Kalau tidak, bisa nangis guling-guling aku kalau sampai kertas itu ketumpahan kopi.     Berusaha mengabaikan kondisi kamar yang berantakan, tanganku membalas w******p Pak Abraham dengan cekatan. Setelah centang dua barulah kumulai membereskan puing-puing sisa kecerobohanku tadi.     Pukul 10 malam aku masih berkutat dengan laptop dan jurnal-jurnal yang dikirim oleh Pak Abraham. Tak tanggung-tanggung, 25 jurnal beliau kirimkan dari berbagai sumber. Melihat banyaknya jurnal membuat mataku terbelalak tak percaya.     “Ya Tuhan, andai Pak Abraham yang jadi dosbing-ku. Udah cakep, pintar, baik pula. Gue pacarin deh nih.” Mataku berbinar-binar saking bahagianya. Sedetik kemudian tanganku membekap mulut setelah sadar apa yang baru saja kukatakan.     Kau baru saja berdoa jadi Pelakor, hah?!     Tidak ... tidak. Maksudku bukan begitu. Ya kali pelakor, memangnya aku sudah gila apa? Mau ditaruh mana wajah cantik jelita bak Siti Sarah yang memiliki seperempat kecantikan dunia ini? Kecuali dia masih single, sih.     “Eh, ngapain lo senyum-senyum? Lagi ngebayangin kencan sama Do Min Joon oppa, hah?!”     Tiba-tiba saja suara fals Lulu menginterupsi pertengkaran dua sisi malaikat dan iblis dalam diriku. Sungguh baik sekali sahabatku ini berhasil melerai keduanya.     “Siapa Do Min Joon? Tukang bubur ayam yang suka mangkal depan jurusan?” jawabku asal.     “Eh, mulut. Dia itu cowok paling cakep se-jagad raya. Pengetahuanmu cetek sih di bidang per-cowok ganteng-an.”     Seperti biasa, Lulu selalu menganggap kamarku seperti kamarnya. Tidur seenaknya di kasur sambil makan ciki cinta favoritnya.     “Cakepan juga Jamie Dornan kemana-mana.”     “Terus lo mau bilang kalau lo mirip sama Dakota Johnson gitu biar dibilang cocok? Ih, najong.”     “Gue maunya jadi Amelia Warner aja biar bisa bobo bareng beneran sama Babang Jamie.”     “Ih, jijai amat sih Lo.”     “Bodo.”     Sepatutnya memang persahabatan itu bagai kepompong. Kadang nyebelin, banyakan nodong. Kayak si Lulu nih. Kalau datang ke kamarku mana pernah dia nggak ngambil sesuatu.     See?     Mendadak tangannya menyambar kopi dingin yang setengahnya sudah tumpah tadi. Tangannya emang gatal si Lulu ini.     “Kok dingin sih?” rutuknya tak terima.     “Makanya jangan asal comot. Itu kan kopi dari siang tadi.”     “Anjir! Kalo dikencingin kecoa gimana nih?”     “Ya nggak gimana-gimana. Paling habis ini lo kejang-kejang.” Tawaku meledak seketika saat melihat Lulu mencebikkan mulutnya, menyambar tisu di meja lalu melap sisa kopi yang mungkin masih terasa di lidahnya.     “Kamar gue bebas kecoa kali, Lu. Lo kira gue sejorok itu apa,” ucapku setelah kurasa cukup membuatnya bolak balik minum dan berusaha memuntahkan isi perutnya.     “Eh, gimana sih rasanya jadi anak bimbingan Pak Abraham?”     “Biasa saja.”     “Dia suka bantuin nggak sih kalau anak bimbingannya lagi kesusahan riset atau skripsi gitu?”     “Enggak, kecuali kita yang nanya.”     "Enggak pernah nawarin bantuan gitu?”     "Enggak. Lagian nih ya, mana ada dosen yang gak ada angin gak ada petir tiba-tiba bantuin mahasiswanya? Kecuali mahasiswi itu bininya atau cemcemannya sih.”     Lulu tiba-tiba melemparkan tatapan penuh selidik kepadaku. Matanya memicing seperti kucing akan menerkam tikus.     “Lo kenapa tiba-tiba nanyain Pak Abraham? Curiga gue.”     Seketika mata Lulu beralih ke laptop yang sedari tadi menyala. Ia beringsut dari kasur lalu menggeser posisi dudukku.     “Eh, apaan ini?” tanyanya kaget setelah melihat email dari Pak Abraham yang berisi puluhan jurnal yang berkaitan dengan risetku dan diakhiri ucapan Good luck.     “Lo dikasih jurnal sebanyak ini? Jurnal internasional pula. And a “Good Luck”? Wah curiga gue.” Matanya menyipit penuh selidik. Aku yang merasa tersudut langsung melemparkan seringaian tak bersalah.     “Jelasin ke gue. Lo ada main sama beliau?” Kadang mulut Lulu memang lebih tajam dari mulut netizen.     “Heh duri salak, kalo ngomong dipikir pake otaknya Profesor Said, jangan asal ceplos aja. Ya kali gue main sama dosen, udah kawin lagi. Gila lo ya.” Kulempar bantal berbentuk kepala sapi yang sedari tadi tergeletak disampingku.     “Terus ini apa?” Tangannya menunjuk layar laptop yang masih menampilkan layar yang sama.     “Jurnal.”     “Iya gue tau itu jurnal. Terus?”     “Ya buat referensi riset.”     “Ya Tuhan, tekanan darah gue naik ini lama-lama ngomong sama elo. Maksudnya itu kenapa tiba-tiba ada jurnal segitu banyaknya dari Pak Abraham?”     “Dia yang ngasih.”     “Astaga Sarah! Itu juga gue ngerti. Ceritain!”     Oke jadi begini, sebelum kalian lelah menghadapi perdebatan kami yang tak ada ujungnya, perlu kujelaskan bahwa dalam pertemanan  kami memang begini, lebih sering nyolot dan saling enggak percayanya dibanding akur dan duduk anteng bareng. Namun, entah kenapa justru itu yang buat aku dan Lulu bisa bersahabat tiga tahun ini. Seperti kutub utara dan selatan saja, klop ‘kan kalo ketemu?     “Ya lo nya nggak usah nyolot juga kali. Gue jelasin nih.” Aku menarik oksigen sejenak sekedar menenangkan diri. Eh, menenangkan? Emang aku ngapain?     “Jadi tadi itu gue gak sengaja ketemu Pak Abraham di jurusan pas mau bimbingan sama Bu Indah. Tadi gue udah cerita kan yang ini. Pas kelar bimbingan dia masih duduk di depan ruangan dosen dan parahnya kayaknya dia dengar gue kena marah sama Bu Indah gara-gara refensi jurnal gue kurang. Dia iba kali liat muka gue yang pucat pasi kayak mayat gitu, terus nawarin gue jurnal. Udah gitu doang.” Jelasku panjang lebar.     “Yakin itu doang?” Matanya memicing tak percaya.     “Ngapain gue bohong. Makanya itu otak isinya jangan curiga melulu. Lo kira gue ngapain sama dosen yang umurnya lebih tua 10 tahun lebih dari gue?”     “Ya kali lo−" belum sempat selesai ucapannya tanganku sudah melayang ke jidatnya yang lapang.     “Heh! Gue masih waras. Balik ke kamar sono,” perintahku sebelum dia semakin gila menuduhku macam-macam.     “Gue lapar. Punya stok makanan berat nggak?”     Mataku melotot tak percaya.     “Gila! bakso sama mie ayam tadi kemana larinya?”     Lulu menyeringai.     “Tuh, di kulkas ada melon sama alpukat.”     “−Jangan diambil dua-duanya, ambil salah satu,” tambahku sebelum dia sempat membuka kulkas. Aku tahu si anak tak tau diri itu selalu seenaknya sendiri kalo soal makanan.     “Thank youuuuu," ucapnya dengan lantang sebelum membanting pintu kamarku dengan keras.     “Si b**o,” gumamku sambil menggelangkan kepala. Tring!     Fokusku pada jurnal terpecah ketika suara notifikasi w******p berdenting. Kulirik jam di sisi kanan bawah laptop, jam 11 malam. Siapa jam segini yang iseng nge-chat? Grup kelas biasanya sudah sepi jam segini, maklum, mahasiswa angkatan tua lebih milih ngalong (re: bergadang) dengan laporan dibanding ngobrol nggak jelas. Pacar? Haha Jelas nggak mungkin karena aku sudah putus 8 bulan yang lalu. Mama Papa? Apalagi itu, lebih nggak mungkin lagi.     Mataku memicing tak percaya setelah membaca nama kontak yang muncul di notifikasi pop up.     “Pak Abraham?” Pak Abraham Jurnalnya sudah dibaca? Kalau ada yang tidak dipahami jangan sungkan untuk diskusi sama saya. Kebetulan jurnal itu pernah dipakai untuk referensi mahasiswa bimbingan saya di kampus lain. Me Terimakasih banyak atas bantuannya, Pak. Saya pelajari dahulu, nanti saya tanya ke bapak kalau ada yang tidak saya mengerti. Sekali lagi terimakasih atas Jurnalnya, Pak. Pak Abraham Senang bisa membantu.     Alamak! Hatiku bahagia bukan kepalang. Selama ini aku merasa sendirian karena dosen pembimbingku yang luar biasa itu. Kalau tidak ditanya mana mungkin beri arahan atau bahkan refensi secara cuma-cuma. Sampai Firaun jadi suaminya Gigi Hadid juga nggak bakal ada cerita kasih jurnal gratis sebelum beri petuah dulu.      Detik itu juga, aku merasa telah menemukan bongkahan batu permata yang sudah sangat lama diincar manusia di muka bumi. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN