Bab 4

1162 Kata
Pagi-pagi sekali Damar terbangun, lalu ia tersentak begitu menyadari Riri tak berada di sampingnya. "Ri...," panggil damar dengan suara parau khas bangun tidur. "Aku di sini," jawab Riri santai sambil mengeringkan rambutnya di depan cermin. Damar bangkit dari tempat tidur, menghampiri Riri lalu memeluknya. Tak peduli saat ini ia masih tak memakai apa-apa setelah kejadian semalam. "Aku kangen," bisiknya. Riri tersenyum saja, masih melanjutkan aktivitasnya. "Aku mau berangkat ke Bali,Mar," katanya setelah ada jeda sekian menit. Damar membalikkan tubuh Riri."Sekarang?" "Yupz... empat jam lagi aku harus  berangkat ke bandara." Damar menggeleng."Enggak, Ri, aku enggak ngizinin." "Kenapa?" "Aku mau sama kamu terus." Suara manja Damar membuat Riri gemas. Bisa-bisanya hatinya yang sedingin es bisa mencair dengan suara manja dan wajah Damar yang mendadak imut. "Hmmm? Maksudnya nemenin kamu terus di sini? Kamu, kan, ada kerjaan." Riri berusaha memberi penjelasan meskipun sebenarnya hatinya sudah goyah. "Aku kerjanya cuma sebentar kok, sayang. Abis itu, kan, kita bisa berduaan," rengek Damar seperti anak kecil. Riri menggeleng geli."Baiklah... aku enggak pergi." "Bener?"  Mata Damar berbinar. Riri mengangguk, kemudian mencium bibir Damar. Awalnya hanya berupa kecupan, tapi lama-lama berubah menjadi nafsu. "Eits... kamu enggak kerja?" Riri menghentikan ciumannya. Damar menggeram."Nanti... jam sepuluh, sayang. Sekarang berduaan dulu." Riri menarik Damar kembali ke tempat tidur. Riri menyeringai, kemudian mencium bibir Damar dengan penuh gairah. Keduanya menciptakan kehangatan di pagi yang dingin ini. Setelah selesai, Riri meraih ponselnya. "Mau ngapain?"tanya Damar. " Eh... aku hubungin Eve dulu biar dia cancel penerbangannya." "Iya, sayang." Damar kembali fokus pada acara televisi yang ia tonton. Riri menghubungi Eve. Setelah terdengar beberapa kali nada sambung, akhirnya Eve mengangkat teleponnya "Halo, cyn dimandose?"Suara omelan khas Eve sudah terdengar. Itu artinya dia sedang panik menunggu Riri pulang. "Eve... batalin keberangkatanku ke Bali. Kamu aja yang pergi." "What? Demi apa ya,Cyn ... ini dibatalin. Eke, kan udah kagak sabar mau ke sana. Mau lihat bule-bule yang gede .... ototnya." Eve tertawa dari sana. Mungkin ia membayangkan pria-pria bertubuh kekar sedang berjemur di tepi pantai. "Iya ..  aku ada urusan. Kamu pergi aja duluan. Nanti aku nyusul," kata Riri lagi. "Hmmm ... kalau udah begini, ini pasti urusan lekes... iya kan?" Tebak Eve. Eve memang paham betul kebiasaan Riri. Tak ada yang bisa menghentikan urusan pekerjaannya kecuali untuk urusan laki-laki yang menarik hatinya. Meskipun itu hanya untuk 'one night stand' "Apa aja, deh. Bawain barang gue sekalian," pesan Riri. "Ya ampun... nakal kamu ya. Aku bilangin James loh ntar. Biar kamu dikawinin." Eve terkekeh. "Satu lagi, Eve! Jangan sampai James tau ... aku ada dimana dan ngapain. Oke?" Ancam Riri. Di saat seperti ini Riri males berkomunikasi dengan pria itu. Pasti James akan banyak tanya. "Sip, eke duluan ya... biar happy-happy dulu di sana,"sahut Eve dengan centilnya. "Oke, Bye...." Riri menutup teleponnya. Riri termenung sejenak memikirkan ucapannya sendiri barusan. Kenapa ia harus melarang Eve memberi tau pada James. Selama ini juga kalau James tahu tidak ada masalah. Tapi kenapa kali ini ia justru seperti takut pada James. "Sudah, sayang?" Damat memeluk Riri yang masih termenung dengan mengigit ujung ponselnya. "Eh iya sudah." "Ayo," ajak Damar. Riri mengernyit."ayo apanya?" "Katanya kamu belum puas? Ayo aku puasin... sambil mandi." Damar mengedipkan sebelah matanya dengan genit. "Hah?" Di tengah kebingungan Riri yang mungkin pikirannya masih melayang pada James, Damar jadi semakin gemas. Digendongnya Riri ala bridal style, lalu dibawa ke kamar mandi, tepatnya di bathup. Mereka kembali bercinta di antara air yang mengalir dan sabun-sabun yang membuat tubuh mereka semakin menggiurkan.   **   Riri terburu-buru berjalan keluar Bandara sambil mendorong trolynya. Tiga hari di Bandung cukup menyita waktunya. Tapi apa daya pesona Damar lebih kuat dibandingkan pekerjaan yang biasanya selalu dinomor satukan oleh Riri. Kini saatnya kembali bekerja, Damar pun sudah kembali ke Jakarta. Awalnya Damar cukup rewel saat mereka akan berpisah sementara. Untuk meyakinkannya, Riri harus mengeluarkan tenaga ekstra, yaitu untuk memuaskan 'pria'nya itu. Paling tidak untuk simpanan beberapa hari ke depan. Riri mendesah lega begitu melihat Eve yang sudah menunggu sambil mengipas-ngipas wajahnya. "Beib," panggil Riri. "Aduh, cin, lama banget, sih, hampir aja eke diculik," balas Eve yang kemudian mengambil troly dari tangan Riri. "Delay,beib." "Lagian ngapain, sih, tiga hari di Bandung? Di sana ada siapa? ayo ngaku!" todong Eve. "Pacar gue, lah," jawab Riri sambil merapikan rambutnya. "Heh, sejak kapan elu punya pacar ha? Pacar khayalan?" ejek Eve. "Dih, dibilangin enggak percaya. Aku punya pacar, namanya Damar. Baru jadian!" "Enggak percaya kalau enggak ada orangnya." Eve memerhatikan penampilan Riri. Dress kemben sepaha plus jacket kulit warna cokelat, plus sepatu boots setinggi betis. "Kalau James tau lu di luar pake beginian..., ah... ya sudahlah." "Kan enggak tau. Kalau dia tau ... berarti lu yang kasih tau." Riri memanyunkan bibirnya. "Ah, kamu, beib ... ayo cepetan masuk ke mobil. Bisa-bisa lu ditawar om-om lagi di sini." Eve mendorong p****t Riri ke arah mobil, lalu menyerahkan barang Riri kepada supir. "Besok kita ke Surabaya, ya?" Eve berkata sambil melihat agendanya. "Harus?" tanya Riri. "Lah... gimana, sih. Bukannya kamu yang udah atur jadwal ini? aku cuma ingetin aja, Beib. Lupa? iya.... aduh makin tuir." cerocos Eve. "Aku mau balik ke jakarta," rengek Riri. Eve mengernyit bingung. Riri yang selalu ingin sempurna dalam Pekerjaan kini malah memungkiri jadwal yang ia buat sendiri. Bahkan biasanya tak mau membatalkan atau menunda keberangkatannya ke luar kota, biarpun satu hari. "ngapain?" tanya Eve dengan nada tinggi. "Pacaran." Jawab Riri cuek. "Haduh... oke oke... kalau memang ternyata lu beneran lagi jatuh cintrong. Kita selesaikan kunjungan rutin kita ya. Please...." Eve menatap Riri dengan tajam. sebagai tanda bahwa kali ini Riri harus mau mengikuti aturannya. Riri pun mengalah. Ada empat kota lagi yang harus ia kunjungi. Keinginannya untuk bertemu Damar pun harus ia buang jauh-jauh. Mengingat Damar, Riri belum memberi kabar pada Damar kalau dirinya sudah sampai. Di scroll layar ponselnya, kemudian gerakannya terhenti. Riri kaget setengah mati sambil menepuk jidatnya. Ia tak memiliki kontak Damar. Selama tiga hari mereka bersama tak pernah bertukar nomor kontak. Waktu mereka habis untuk bermesraan dan bercinta tentunya. Riri pasrah, ia tak bisa menghubungi Damar. Bisa saja ia meminta dari James. Tapi, urusannya bakalan ribet. "Mar, sabar ya ... setelah semua ini selesai aku pasti datengin kamu di kantor James," ucap Riri pada layar ponselnya. Di sana ada foto Damar yang tengah tidur pulas. Riri sempat mengabadikannya di hotel. "Kyaaa... sapose itu?" Mendadak Eve berteriak histeris sambil merebut ponsel Riri. "Heh! Ngagetin aja lu! Sini! Riri mengambil ponselnya kembali. "Sapose?"tanya Eve dengan ingin tahu yang besar. Riri tersenyum penuh arti, lalu mentaap Eve dengan wajah yang begitu bahagia."Damar, pacar gue lah..., kan kemarin udah aku ceritain." "Wah, oke juga. Keren... pantes lu klepek-klepek. Selera lu kagak pernah berubah." Eve mencolek pipi Riri lalu kembali disibukkan dengan ponselnya. "Pokoknya awas aja kalau mulut lu ember, ya, ke James. Aku nggak mau ribet urusan sama dia. kalau samai itu terjadi, beuh...kupotong gajimu,"ancam Riri tak main-main. "Santai aja, sih."Eve tertawa geli. Terkadang ia suka menggoda wanita itu dengan mengatakan kalau ia mengau pada James, tapi, sepertinya kali ini jangan. Ia ingin perjalanan bisnis mereka kali ini berjalan lancar. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN