Sementara itu, di tempat lain, Damar menghisap rokoknya dengan stress. Moodnya mendadak hilang ketika ia ingat sesuatu. Bagaimana bisa ia tidak memiliki kontak kekasihnya sendiri. Sekarang ia hanya bisa merutuki kebodohannya sendiri. ingin marah tetapi tidak tahu pada siapa. Ingin menuntut, rasanya sudah sulit bertemu lagi dengan Riri. Kemana ia harus mencari kekasihnya itu.
"Bro? stress banget kayaknya." Reza datang dan ikut menyalakan rokok.
"Iya, nih, lagi gak enak mau ngapa-ngapaain aja," jawab Damar.
"Oh ya... udah kenalan sama anak-anak baru?" tanya Reza.
Damar menggeleng, mematikan rokoknya."Sudah masuk ya? Kok cepet banget?"
"Prosesnya emang cepet. Pak James tuh, sekretaris baru," kata Reza yang kini menghisap rokoknya lebih dalam.
"oh ya? Mbak juju kemana emang? resign?"
"Mbak Juju naik jabatan. Makanya cari yang baru. Fresh banget, cantik, muda, enerjik, dan ... seksi." Reza memainkan alisnya.
"Ah. . . pasti tak secantik Riana," balas Damar sekenanya.
Reza hanya tertawa, sementara Damar masih berduka mengutuk dirinya sendiri.
"Sayang ... aku rindu," ucap Damar dalam hati. Suasana hatinya benar-benar buruk. Ia membutuhkan Riri.
"Guys..., besok malam datang ya ke pernikahan adik gue." Bayu menyerahkan dua undangan pada Reza dan Damar.
"Oke." Damar menimang undangan itu sekilas.
"Datang sendiri?" tanya Reza.
Damar mendongak, karena ia tau pasti pertanyaan itu ditujukan padanya.
"Terus sama siapa?" Damar melotot.
"Naina, ajak donk!"
"Sekretaris pak James juga namanya Naina, Bro." Reza menepuk pundak Damar.
"Naina yang seksi itu. Kayaknya sekarang jadi pacarnya Pak James," kata Bayu.
"Kayaknya,Bro!"
Damar mengendikkan bahunya tak mengerti. Tak ambil pusing dengan apa yang terjadi di kantor ini. Ia hanya ingin mencari Riri.
Jam istirahat berakhir, Damar harus menemui James untuk melaporkan kegiatannya selama di bandung. Damar menuju ruangannya dan ia melihat wanita itu. Wanita yang memberinya harapan palsu.
"Nai?" Damar berhenti tepat di depan meja Naina.
"Damar? Kamu ngikutin aku sampai sini?" Naina menatap Damar tak suka.
Damat menyipitkan matanya, tertawa lirih."Memangnya kerjaanku cuma memikirkanmu? Aku ada urusan dengan Pak James."
"Segala urusan dengan Pak James harus berurusan denganku terlebih dahulu.Kamu ini siapa dan perlu apa?" kata naina dengan sombongnya.
Damar terkekeh. Naina memang tidak pernah tau kalau selama ini Damar bekerja di sini. Yang Naina tau Damar hanya seorang pemilik kafe kecil di sebuah pusat perbelanjaan."Ya sudah ... silahkan ke dalam, katakan pada Pak James bahwa Damara Santono ingin bertemu dengannya."
Naina berdiri dengan angkuh lalu melewati Damar begitu saja. Tak lama kemudian ia membuka pintu dengan wajah yang sedikit pucat."Silahkan masuk."
Damar tersenyum geli melihat ekspresi Naina.
"Naina kamu tetap di sini," panggil James.
Naina kembali, berdiri dengan sedikit gemetar. Pasalnya James baru saja sedikit memberi arahan dengan nada yang tidak enak. James sudah memberi tahu bahwa Damar adalah manager di sini.
"Catat point-point penting yang kami bicarakan!" perintah James.
Naina mengangguk cepat lalu mengambil agenda dan pena. Siap mendengarkan pembicaraan James dan Damar. Sekitar setengah jam kemudian pembicaraan berakhir. Naina dan Damar keluar secara bersamaan.
"Jangan berani ganggu aku selama di sini," kata Naina menatap Damar tak suka.
Damar tersenyum."Jangan ge-er, Nai, aku memang pernah mengejarmu. Tapi ... sekarang tidak lagi."
"Iya, jelas dong. Sekarang aku juga udah punya pacar. Naina melipat tangannya lalu membuang wajahnya ke samping.
Damar tak ingin meneruskan pembicaraannya dengan Naina, ia sudah muak dengan wanita itu. Damar kembali ke ruangannya karena masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan.
Damar memasuki ruangannya dengan gusar. Naina, wanita yang selama ini ia tunggu ternyata tak seperti yang ia kira. Kemudian ia mengusap wajahnya dengan kasar, teringat Riri. Bukankah ia sudah memiliki Riri, kenapa ia harus mengingat Naina.
"Mar!" panggil Reza.
Damar mendongak, kepala Reza muncul dari balik pintu.
"Kenapa?"
"Kamu harus kenal sama anggota baru divisi kamu dong. Belum sempat kenalan, kan?"
Damar pun bangkit. Mau tak mau itu adalah tugasnya. Ia harus mengenal siapa-siapa saja yang berada di bawah pimpinannya. Damar melenggang dengan malas menuju ruang meeting. Di sana sudah ada Reza dan beberapa karyawan. Beberapa karyawan lama yang diketahui oleh Damar. Sisanya anak baru mungkin, pikir Damar.
Damar tak banyak bicara kali ini. Hanya memerhatikan lalu memperkenalkan diri seadanya. Tak seperti biasanya. Perkenalan singkat itu berakhir. Ruang meeting kosong, tersisa Reza dan Damar.
"kenapa,Bro?"
"rindu," jawab Damar.
Reza terbahak-bahak."Rindu sama siapa? pacar aja enggak punya."
"Riri." Jawaban singkat dari damar membuat Reza curiga.
"Riri? emangnya kalian punya hubungan?"
Damar mengangguk."Iya. kemarin gak sengaja ketemu Riri di bandung. Terus jalan bareng, terus pacaran."
Reza menatap Damar bingung, menganggap Damar berhalusinasi. Mana mungkin seorang Riri bisa bersama Damar. Riri itu berkelas, tapi bukan berarti Damar tak berkelas, paling tidak kelas Riri setara dengan James.
"Punya kontaknya enggak?" tanya Damar.
"Lah, katanya pacaran .. masa enggak punya kontaknya sih." Reza tertawa mengejek.
"Lupa."
"Hah... Damar ... Damar, cepetan cari pasangan biar enggak halusinasi. Lagian ya.. mana kita tau kontaknya Riri. Dia itu misterius." Reza terkekeh.
"Oh iya... tadi aku ke ruangan Pak James,ketemu sama sekretaris baru itu."
"Lalu?"
"Dia itu Naina yang aku ceritain, kok bisa keterima sih? kagak disaring bener-bener nih," omel Damar.
"Pak James yang minta. Terus di hari itu mereka pulang bareng, tau deh ada apa," jelas Reza."Eh, ternyata dia Naina yang itu. Kalah saing sama Pak James."
"Bodo!" Damar meninggalkan ruang meeting dengan kesal.
Seminggu berlalu, Damar sudah seperti orang gila mencari tau keberadaan Riri. Mungkinkah Riri hanya mempermainkan dirinya.
**
Riri bernapas lega ketika semua urusannya selesai. Kini ia tengah mempersiapkan diri menemui Damar. Eve yang sedari tadi sibuk mengecat kukunya kini tak kuasa menahan rasa penasarannya.
"Mau kemana?"
"Kantor James," jawab Riri singkat.
"Mau nemenin James? Udah rindu ya?"
"Dih... bukan. Mau ketemu Damar. Dia manager di kantor James." Riri menyandang tasnya."keren enggak?"
Eve menggeleng."Sejak kapan lu nanya keren apa enggaknya? Ya pasti selalu kece donk, cyn... Riri gitu."
"Halah... muji ada maunya!" Sungut Riri.
"Iya ... ntar malem aku mau party sama temen-temen. Kagak pulang ye...." Eve mengedipkan matanya berkali-kali.
"Kerjaan udah beres, kan?" Tanya Riri memastikan.
"Udah, dong! Evelyn gitu. Ya udah ... berangkat sono. Hati-hati," pesan Eve.
"Gue naik taksi kok, Dahhh!" Riri meninggalkan apartemennya. Setelah menempuh perjalanan selama 20 menit, Riri sampai di gedung kantor James.
"Mbak Riri... lama enggak keliatan,'" sapa security di sana.
"Hei... iya, Pak. Biasa ... sibuk," jawab Riri sambil merogoh tasnya."Ini, Pak... buat beli rokok." Riri menyerahkan uang seratus ribu pada security itu.
"Waduh, Mbak..."
"Terima aja ya, Pak. Buat jajan anak Bapak juga boleh." Riri memotong ucapannya.
"Terima kasih,Mbak."
"Saya masuk, Pak." Riri melambaikan tangannya. Seperti biasa ia menuju recepcionist.
"Mbak Riri...." Fio, recepcionist di sana memekik kegirangan.
"Hai... hmmm Damar ada?"
"Damar? Maksudnya Pak Damar manager sini?" Tanya Fio bingung.
"Iya,bener. Yang itu... emang ada berapa nama damar di sini?"
"Cuma satu, sih, Mbak. Bapak Damara Santono," jawab Fio.
"Iya... itu, lah. Bapak Damar ada di dalam?" Tanya Riri tak sabar.
"Ada. Tapi... barusan ada tamu juga, Mbak yang nemuin. Saya telpon dulu ya, Mbak. Duduk dulu." Fio menghubungi telepon di ruangan Damar. Sementara Riri memilih duduk di ruang tunggu.
"Mbak, katanya 15 menit lagi ... Pak Damar selesai," kata Fio.
Riri mengangguk, kemudian berinisiatif ke ruangan James. Hitung-hitung membuang rasa bosan, pikir Riri. Riri berjalan menuju ruangan James.