"Oh, enak banget, ya? Pagi-pagi ngelamun di kamar. Jujur aja, kamu pasti nggak pernah ikhlas bantu Ibu, kan?!" Suara nyaring Lasmi cukup memekakkan telinga.
Gadis yang sedang duduk di tepi kasur itu tetap menampilkan senyum terindahnya sembari menghela napas dalam. Dinilai dari mana ia bisa dikatakan tidak ikhlas?
Baru saja si pemilik badan kurus tersebut meregangkan otot-ototnya setelah beberapa saat yang lalu selesai berjibaku dengan cucian baju kotor miliknya sendiri, serta tak lupa cucian kepunyaan orang tua sambungnya pun turut ia cuci dan jemur. Masih berlanjut menyapu halaman depan dan samping yang tak seberapa luasnya, lantai dalam rumah sampai dapur juga ia sapu. Semua itu dikerjakannya dengan penuh kerelaan hati.
Pekerjaan rumah sudah menjadi makanan sehari-hari bagi gadis bernama Nareswari atau yang kerap disapa Nares, baru setelahnya gadis berusia 16 tahun itu akan mendapatkan jatah makanan yang sesungguhnya. Jika tidak mau membantu urusan rumah, jangan harap ia bisa bernapas dengan tenang. Suara Lasmi – sang ibu tiri bagaikan toa tukang perabot yang berjualan keliling di kampungnya, panjang tanpa jeda.
Tampaknya Lasmi memang tak suka jika anak tirinya bersantai ria, meski hanya sebentar. Seolah hal itu sangat mengganggu pandangan mata, mulutnya terasa gatal bila sehari saja tak menyuruh Nareswari. Sementara yang dilihat masih duduk santai.
"Telingamu masih berfungsi, kan, Res?!"
Apakah Nareswari sakit hati? Ya, perasaan seperti itu kerap mampir ke sisi hatinya. Namun, lambat laun ia menjadi kebal dengan perlakuan Lasmi.
"Kerjakanlah semuanya dengan hati dan ketulusan, Sayang, tanpa pamrih. Nggak perlu kamu memamerkan setiap kebaikanmu pada orang lain. Karena sebanyak apapun kamu mengucapkan kata ikhlas, akan ada orang yang menganggapmu terpaksa melakukannya. Karena pada dasarnya ikhlas nggak bisa dilihat dari kacamata manusia. Hanya kamu dan Allah yang tahu."
Nasihat almarhumah ibunda tercinta kembali terngiang di telinga Nareswari. Dimana tanpa disadarinya saat itu merupakan hari terakhir gadis tersebut membingkai wajah sang bunda untuk dikenang sepanjang hidupnya.
Begitu banyak kenangan yang masih tersimpan apik dalam memori Nareswari tentang perempuan yang dulu bertaruh nyawa untuk menghadirkannya ke dunia. Petuah-petuah yang ditinggalkan almarhumah ibundanya yang selalu menemani langkah dan membuat hidup Nareswari lebih tenang. Ia berharap ingatan manis tersebut tak kan pernah hilang saat kelak usia dan raganya menua.
"Buruan ke warung! Nggak pakai lama!" Bentakan itu membuyarkan lamunan indah Nareswari, diiringi langkah Lasmi yang kian menjauh.
"Iya, Bu," jawab Nareswari dengan suara dibuat sehalus mungkin.
Ia beranjak dari tepi kasur, lalu mengambil sapu yang teronggok di lantai akibat lemparan Lasmi saat hendak masuk ke kamarnya tadi. Nasib sapu itu tak berbeda dengan Nareswari, akan dibelai bila ada maksudnya saja.
Nareswari menggenggam sapu lantas menggerakkan kedua tangannya ke atas. Ia bergumam, "Semangat! Demi keberlangsungan hidup. Jangankan cuma harimau ngamuk, apapun yang ada di depan bakal aku hadapi. Kang fitnah, kang julid, kang utang …."
Suara gadis itu tiba-tiba terhenti manakala menyadari apa yang sudah diucapkannya. Matanya melebar.
"Eh, amit-amit, jangan deh! Serem juga ketemu begituan!" cicitnya sambil beberapa kali mengetukkan kepalan tangannya di dinding lantas ke keningnya.
Entah kurang bakti seperti apa sikap Nareswari pada keluarga tirinya. Apa karena wajahnya yang biasa saja sehingga Lasmi selalu muak dan mencemoohnya. Memang dari dulu wajah Nareswari seperti itu, terlihat sangat biasa. Ia pun tak pernah protes dengan Sang Pencipta. Karena sangat bersyukur semua anggota tubuhnya berfungsi sebagaimana mestinya, tak kurang sedikit pun.
Wajah oval, sepasang mata serta alis, hidung tak mancung sekali, tapi tidak pesek pula, bibir tipis yang sering dipoles dengan lip gloss murah meriah. Hanya rambut sepanjang punggung ditambah poni yang selalu disisir rapi dan bulu mata lentik, membuat Nareswari sedikit 'wah'.
Selebihnya, dari ujung rambut hingga kaki tak ada yang mencolok hingga membuat orang lain betah memandangnya. Satu lagi, hanya butuh kewarasan yang lebih untuk menghadapi Nareswari.
Gadis itu mengaitkan ujung tali sapu pada paku yang tertempel di dekat pintu kamar mandi. Ia menghampiri Lasmi yang sedang memasak, berdiri tepat di samping ibu tirinya.
"Mana uangnya, Bu? Katanya disuruh beli gula?" Nareswari menengadahkan tangan.
Lasmi tak menoleh, perhatiannya tertuju penuh pada isi di dalam wajan, tangan kanannya terus mengaduk sayur tahu tempe berkuah santan tersebut. "Astaga, Res! Gula pasir seperempat nggak sampai lima ribu rupiah! Pakai uang kamu lah, jangan pelit-pelit sama Ibu!"
Nareswari memutar bola matanya, bibir tipisnya maju dua senti. Hampir setiap kali Lasmi menyuruh pergi ke warung, pasti lebih sering uang Nareswari yang digunakan untuk membayar.
"Kayaknya kebalik deh, Bu." Nareswari memutar badan membelakangi ibunya, berjalan sangat pelan menuju kamar yang hanya berjarak beberapa meter dari dapur.
"Kata bu ustadzah yang suka isi tausiyah di acara TV, orang pelit kuburannya sempit, Bu. Nares nggak mau kalau Ibu besok kejepit di dalam sana, gimana cara nolonginnya coba? Di sana nggak disediakan tangga darurat, Bu." Nareswari berucap enteng.
"Nares!!" bentak Lasmi memukul wajan dengan ujung spatula.
Alih-alih takut, Nareswari malah terkikik di dalam kamar. Ia mengambil uang dari dompet, lantas bergegas keluar dari ruangan yang berukuran 3x3 meter itu.
"Mau kemana kamu?"
Suara Leta seketika menghentikan ayunan langkah Nareswari yang sudah sampai di ruang tamu. Nareswari memutar badan, menatap tenang wajah kakak tirinya.
"Kenapa? Mbak mau ikut?"
Leta yang tak puas dengan sahutan Nareswari, mengusak rambut basahnya dengan kasar. Ia baru saja selesai mandi. "Ditanya itu jawab yang bener, bukan malah balik tanya! Kamu mau ke warung, kan?"
Tak sengaja tadi saat di dalam kamar mandi ia mendengar percakapan Nareswari dan ibunya. Maklum, letak kamar mandi dan dapur berdekatan, hanya dibatasi oleh sebuah dinding.
Rumah kontrakan dengan lima penghuni tersebut tak begitu besar, sehingga suara Lasmi yang lebih sering melengking dibandingkan merdu dapat tertangkap oleh telinga orang yang ada di dalam rumah, bahkan tetangga kanan-kiri pun mungkin mendengarnya.
"Udah tau nanya!" balas Nareswari tak kalah sengit.
"Beliin– "
"Maaf, Mbak, aku buru-buru."
Nareswari berlari kecil tanpa memedulikan teriakan Leta yang masih terus-terusan memanggil namanya. Ia paham betul tabiat Leta yang tak jauh berbeda dengan sang ibu, suka menyuruh tapi tak pernah memberikan uang. Alhasil, lagi-lagi Nareswari lah yang harus mengeluarkan uangnya.
Leta mendengus kesal. Oh, semakin berani sekarang?
Merasa dongkol, Leta lantas masuk ke dalam kamar yang ditempati bersama Nareswari. Ia bersolek sedemikian rupa, seperti hari-hari sebelumnya. Pantang baginya terlihat jelek di hadapan orang lain. Ia harus selalu terlihat menarik.
Sementara itu, Lasmi sudah berada di ruang tengah, menata nasi dan lauk pauk di atas lantai semen beralas tikar usang. Ruangan tersebut lebih layak disebut tempat serbaguna, sebab tidak hanya untuk berkumpul keluarga, tapi digunakan pula sebagai ruang menonton televisi dan makan bersama.
Di waktu yang sama, seorang laki-laki baru keluar dari kamar, kaos berkerah serta celana jeans panjang hitam membalut tubuh, tak pernah tertinggal handuk kecil di lehernya. Ia duduk bersila di dekat Lasmi yang sedang menyendokkan nasi ke atas piring.
"Kenapa masih pagi sudah ribut?" Tatapan matanya tertuju pada sang istri.
Dia adalah Seno. Laki-laki berusia 42 tahun, berkumis tipis serta jenggot yang cukup terawat menghiasi sekitar bibir, membuat wajahnya semakin berkharisma meski pekerjaannya sopir angkutan umum. Seno merupakan kepala keluarga di rumah itu.
"Biasa, Mas, Nares susah sekali kalau diminta tolong ke warung. Ada aja alasannya," kilah Lasmi seraya meletakkan sepiring nasi sayur serta secangkir kopi di depan sang suami.
Seno berdecak, lantas melahap sarapannya tanpa menggubris ucapan Lasmi. Disusul kemudian Leta dan Lutfi baru saja keluar dari kamar. Mereka sarapan bersama.
"Lutfi, susul kakakmu," titah Seno setelah melihat piring milik anak bungsunya kosong.
Anak laki-laki berseragam merah putih tersebut mengangguk patuh. Ia beranjak, tetapi gerakannya tertahan saat Lasmi menyodorkan sepasang sepatu berwarna hitam miliknya.
"Nggak perlu disusul, Nares cuma ke warung, nggak bakal hilang. Buruan pakai sepatunya." Lasmi menyorongkan sepasang sepatu pada Lutfi.
Seringai kecil terbit dari sudut bibir Leta yang sedang menenggak habis air putih dalam gelas, manik matanya melirik dan menunggu Lutfi menjawab ucapan sang ibu. Namun, tak sesuai keinginan Leta, adiknya itu hanya diam.
"Iya, betul kata Ibu, kenapa juga capek-capek nyusul. Nares bukan anak batita yang harus dibuntuti kemana aja dia pergi." Leta memprovokasi.
"Harusnya kamu yang ke warung, Ta. Biar adikmu bisa siap-siap berangkat sekolah," sergah Seno.
Adik dari Hongkong! batin Leta teramat kesal. Tak pernah sedikitpun berharap memiliki saudara seperti Nareswari.
"Ayah kayak nggak tahu aja! Setiap pagi Leta harus dandan biar semakin cantik, segar dan memesona."
Seno berdiri, tak jadi menghabiskan nasi di piring yang masih setengah. Selera makannya hilang usai mendengar ucapan Lasmi dan Leta.
"Untuk apa cantik dan rapi? Sudah tiga tahun lulus dari SMA kerjaan kamu cuma duduk manis di rumah! Misal keluar pun keluyuran nggak ingat waktu. Sampai kapan mau jadi pengangguran?"
Manik mata perempuan berambut sebahu itu melebar, tak terima. "Ya wajar dong, Ayah ta–"
"Leta." Lasmi memegang pundak putrinya, memberikan isyarat agar diam. Terpaksa Leta menurut keinginan sang ibu.
Lain halnya dengan Lutfi yang menatap bergantian Lasmi dan Seno. Ia bingung harus mengikuti perintah siapa. Bosan, hampir setiap hari mendengar keluarganya beradu lidah hanya karena hal sepele.
"Bu, biar Lutfi susul Mbak Nares sebentar." Anak sekolah dasar itu berujar lirih.
"Ibu bilang pakai Lutfi!" Lasmi semakin menyodorkan sepatu yang masih dipegangnya.
"Besok lagi kalau butuh beli sesuatu biar Lutfi aja yang ke warung. Jangan suruh Mbak Nares dan Mbak Leta, Bu." Lutfi menunduk meraih sepatu, lantas membawa dan memakai pelindung kaki tersebut di teras.
Seno menatap jengkel pada dua perempuan di dekatnya. "Nanti antar Nares ke sekolah. Kalau kamu nggak mau, Ayah pastikan enggak ada lagi jatah uang buat kamu," titahnya pada Leta yang ditanggapi dengan decakan kesal.