PART 2 - SIKAP LETA

1783 Kata
Sembari menunggu anak laki-lakinya selesai memakai sepatu, Seno memanasi angkutan yang biasa menjadi modalnya untuk mengumpulkan pundi-pundi rupiah. Seluruh kaca dan bagian depan mobil dibersihkan dengan kanebo. Walaupun tergolong mesin tua, ia tetap merawatnya dengan baik. Bagian belakang kursi penumpang juga ikut dibersihkan, supaya siapapun yang naik angkotnya merasa nyaman. "Res." Seno menghentikan aktivitasnya mengelap body angkutan begitu melihat Nareswari akan masuk ke rumah. Gadis berponi itu membalikkan badan, lalu melangkah ke arah sang ayah seraya membawa kantong plastik hitam. Bibirnya tersenyum lebar, menghangatkan hati siapapun yang memandang. Akan tetapi, akan beda perkara bila tertangkap mata Lasmi ataupun Leta. Nareswari seakan dianggap hanya mencari muka. Pada dasarnya Nareswari memang terkenal supel pada semua orang. Itu semua juga bergantung dengan siapa dirinya berhadapan. Ia bisa lembut, tetapi terkadang bisa berubah menjadi ketus. Melihat anaknya bergerak menghampiri, Seno berjalan ke sudut halaman rumah untuk mencuci tangan dengan air kran. Usai mengeringkan tangannya, ia balik mendekati anak tirinya itu. Satu lembar pecahan uang dua puluh ribu Seno ambil dari dalam dompet, lalu diberikan pada anak gadisnya. Tentu saja Nareswari menerima uang tersebut dengan senang hati, meski semalam Seno sudah memberikan jatah uang sakunya untuk seminggu ke depan. Mungkin menurut sebagian orang, nominal uang yang diberi Seno tidak ada artinya. Akan tetapi, bagi Nareswari uang dua puluh ribu lumayan banyak. Menurutnya, rejeki seberapapun tak boleh ditolak. "Nanti kamu berangkat diantar Leta, ya, Res?" Bibir gadis itu bergerak ke kanan-kiri, manik matanya pun terlihat tak tenang, tanda ia tengah berpikir. Sebenarnya sangat malas berangkat sekolah bersama Leta. Terlalu banyak drama. Jujur saja, ia lebih suka berangkat sendiri, ketimbang harus diantar kakaknya. "Ayah pagi ini harus berangkat awal. Setelah mengantar Lutfi langsung ke ruko Mbak Wulan, sudah janji buat ambil catering, harus segera diantar ke pelanggannya. Kalau kamu sudah siap kita bisa berangkat bareng, tapi kamu belum mandi, kan?" imbuh Seno memindai penampilan Nareswari yang masih memakai baju tidur lusuhnya. Nareswari tersenyum dengan mata berbinar. "Belum. Nares bawa motor sendiri aja, ya, Yah?" ujarnya penuh semangat. "Enggak, kamu berangkat sama Leta, nanti pulangnya seperti biasa Ayah jemput." Seno tak mau dibantah. Ia mengusap sesaat punggung Nareswari, kemudian masuk ke dalam angkutan, duduk di kursi kemudi. Desahan panjang keluar dari mulut Nareswari. "Ayolah, sekali ini aja, Yah." Ia memasang muka melas, berharap sang Ayah berubah pikiran. Tubuhnya bersandar pada pintu mobil seraya menatap Seno. "Enggak, kamu harus nurut omongan Ayah." Lutfi yang sudah selesai memakai sepatu, langsung naik dan duduk di bangku belakang. "Aku sudah siap berangkat, Yah." Laki-laki gagah itu menoleh sembari menggerakkan kepala. "Duduk di depan, Lut." Si anak pun menurut, ia turun kemudian pindah duduk di kursi depan. Tangan Lutfi menutup pintu angkutan, pandangannya terarah pada Seno yang masih menatap Nareswari, matanya menyipit. "Lutfi nggak di tambah uang saku, Yah?" Walau dengan perasaan sedikit takut, tetapi anak kecil itu berani menyuarakan isi hatinya. Siapa tahu sang Ayah juga memberikan uang saku tambahan. Lutfi begitu girang hanya dengan membayangkan satu lembar uang masuk ke dalam kantong seragam. Ia bisa jajan lebih banyak nanti saat di sekolah. "Semalam sudah Ayah kasih, kan?" Seno balik bertanya. Pupus sudah, Lutfi mengangguk lesu, sorot mata itu masih memandang ayah dan kakaknya. "Tapi kalau dikasih uang lagi kayak Mbak Nares aku mau, Yah," ujarnya masih berharap sambil melihat tangan Nareswari sedang menggenggam uang. "Soalnya hari ini Mbak Nares nggak berangkat bareng kita, jadi ayah tambahin," kilah Seno, kurang peka akan kecemburuan dari anak bungsunya. Nareswari tersenyum lebar. Ia menggerakkan kepala dan menjulurkan lidah, senang menangkap perubahan raut masam pada wajah Lutfi. Tak cukup sampai di situ, ia mengipas-ngipaskan uang pemberian Seno, mengedip-ngedipkan mata, mengejek adiknya. Hal itu berhasil membuat Lutfi mendengus dan cemberut. "Ayah berangkat dulu, kamu lekas mandi." Seno mengulurkan tangan yang disambut baik Nareswari. Kecupan kecil juga mendarat di kening dan pipi gadis itu. "Ya udah, deh! Nanti Nares berangkat sama mbak Leta. Daa ..Daa.. Lutfi! Jangan nangis kalau uang jajannya kurang yaaa!" Nareswari melambaikan tangan dan berjalan mundur dengan mimik wajah masih menggoda adiknya. Ia merasa menang banyak. Entah kenapa dibanding Leta dan Lutfi, Nareswari lah yang sering mendapatkan uang lebih dari ayahnya. Ia sendiri kurang mengerti dan tak ambil pusing, asal terima saja, sebab Nareswari percaya itu uang halal. Lutfi membuang muka, ia pura-pura tidak mendengar walaupun gelak tawa sang kakak tertangkap jelas gendang telinganya. Angkutan tersebut melaju dengan kecepatan sedang, kian menjauh dari rumah. Sampai di ruang tamu Nareswari sudah disuguhi wajah judes Leta. Ia terus mengayunkan langkah, meletakkan kantong plastik di meja dapur lantas mengambil handuk. "Jangan lupa, pulang sekolah piring dan gelas kotor dicuci," titah Lasmi yang sudah berdiri di belakang Nares. Ia sudah rapi, menenteng tas kecil, siap bekerja. Senyuman tipis tercetak di sudut bibir Lasmi saat melihat bungkusan gula, sangat puas karena perintahnya sukses membuat si anak tiri tak diantar sekolah oleh Seno. Sebetulnya, jika hanya membuat dua sampai tiga gelas minuman, tanpa harus ke warung pun stok gula di lemari makan mereka masih sangat cukup. "Sekali-kali mbak Leta, dong, Bu. Biar dia bisa bedain mana sabun cuci piring sama sabun buat pakaian kotor." Nares tidak melihat wajah Lasmi yang tertekuk. Ia membawa langkahnya masuk ke bilik mandi. "Jangan ngebantah! Ibu nggak mau tahu nanti sore pulang harus bersih." Belum sampai Lasmi melangkah, Nareswari menyahut lagi ucapan ibu tirinya dari dalam kamar mandi dengan lantang. "Ya kasihan besok yang jadi suami mbak Leta, Bu, kayak kena tipu. Istrinya nggak bisa apa-apa, cuma bisa cuci baju, itu juga dibantu mesin cuci. Lihat nanti ya, Bu. Nares nggak bisa janji." Lasmi memukul keras daun pintu. "Kamu itu, Res! Apa susahnya menyenangkan keluarga? Pekerjaan ringan masih kamu lempar ke Leta." Tak mendapatkan sahutan dan hanya mendengar guyuran air begitu deras, membuat emosi Lasmi meletup-letup. Ia membuang napas kasar, Nareswari selalu saja memiliki jawaban bila disuruh. "Pokoknya aku nggak mau ngerjain pekerjaan rumah yang berat-berat lho, Bu!" protes Leta tanpa sengaja mendengar dengan jelas ucapan Nareswari. Ia menyalami tangan Lasmi yang akan keluar rumah. "Kunci pintunya kalau keluar rumah." Lasmi tak menggubris ocehan Leta yang sudah sering didengarnya. Ia berjalan keluar rumah, menuju kampung sebelah untuk bekerja. Selesai dengan ritual mandinya, Nareswari masuk ke kamar, berganti baju dan memakai sepatu, sebuah tas ransel usang bertengger pada punggungnya. Tak didapati sang kakak di semua sudut ruangan. Ia lantas melihat ke halaman rumah. Leta ternyata sudah siap duduk di motor baru. Lebih tepatnya kendaraan yang dibeli Seno lima bulan yang lalu. Selama bertahun-tahun, angkutan umum yang dipakai Seno menjadi satu-satunya kendaraan mereka. Itu pun bukan milik pribadi, melainkan sewa pada seorang juragan angkot. Karena desakan terus menerus dari ibu dan kakak tirinya, membuat sang ayah terpaksa mengambil cicilan motor hingga tiga tahun ke depan. "Cepat kunci pintu, terus naik!" teriak Leta memainkan gas motor. "Tunggu lima menit, aku sarapan sebentar, Mbak." Leta menginjak persneling depan. "Kalau gitu terserah kamu mau ke sekolah naik apa. Nggak banget nungguin kamu! Jangan samakan aku kayak Ayah." Terdengar gerutuan samar dari mulut Nareswari. Rasa laparnya harus disingkirkan jauh-jauh karena tidak mau menambah perdebatan panjang dengan Leta. Ini masih terlalu pagi. Sesegera mungkin ia mengunci pintu, lalu menyambar helm yang ada di sudut teras. Tak lupa diletakkan anak kunci di atas pot bunga, tempat yang sudah diketahui seluruh anggota rumahnya. "Ayo." Nareswari sudah duduk di boncengan. Ketika motor mulai melaju, bola mata Nareswari melirik tas ransel kecil milik Leta terbuka setengah, sepertinya lupa ditutup. Satu yang menarik perhatian Nareswari, sebungkus roti coklat keju teronggok di dalam tas. Dengan gerakan gesit gadis itu mengambil dan memindahkan camilan ke dalam tasnya, kemudian menutup tas Leta sangat perlahan. Seakan tidak terjadi sesuatu. Ya Allah maafkan aku. Beneran, nggak ada niat buat ngutil. Salah siapa?! Mbak Leta nggak mau nungguin sarapan sebentar. Lumayanlah buat ganjal perut. Senyum Nareswari mengembang. Baru setengah perjalanan, ponsel jadul Nareswari berdering. Ia malas untuk mengangkatnya, karena masih di jalan. Sampai benda pipih itu bernyanyi kembali. Ternyata panggilan dari Seno. Merasa sangat tidak nyaman bila harus menyelipkan smartphone nya ke dalam helm, Nareswari menekan tombol loud speaker. "Sudah sampai mana, Res? " tanya Seno dari seberang sambungan telepon. "Ini masih di jalan, Yah." Suara Nareswari cukup keras sebab berbaur dengan bisingnya suara knalpot kendaraan lain. "Ya udah hati-hati, nanti mendekati jam pulang sekolah kirim pesan ke Ayah." "Hmmm … Iya, Yah." Nareswari langsung menutup panggilan tanpa menunggu Seno berucap lagi. Mendengar percakapan ayah sambung dan adik tirinya, membuat telinga dan hati Leta meradang. Menurut Leta, sang ayah terlalu berlebih-lebihan dalam memberikan perhatian. Akan sangat wajar bila Lutfi yang diperlukan seperti itu, tapi ini Nareswari, gadis beranjak dewasa. Menit berikutnya motor tersebut menepi ke sisi jalan. Sedangkan sekolah yang dituju masih lumayan jauh. Sontak menimbulkan kerutan dalam pada kening Nareswari. Perasaan tak enak pun sempat hinggap di hatinya. "Kenapa Mbak? Bensin habis? Atau bocor?" tanya Nareswari tanpa basa-basi sambil sedikit membungkuk, mengecek ban motor. "Kamu turun, gih!" Nareswari tak membantah, ia melirik speedometer sebelum turun. Kedua roda motor juga tak luput dari pandangannya. Semuanya aman, panel indikator bensin masih setengah, ban tidak kempes dan mesin menyala. Lantas apa? "Kamu berangkat sendiri, aku nggak bisa antar sampai sekolah." Leta menggeser duduknya sedikit mundur. Bola mata Nareswari melebar. "Hah?! Mbak yang benar aja!" Ia berkacak pinggang. "Anterin aku dulu, baru setelah itu silahkan kalau mau keluyuran sepuas hati!" imbuhnya mulai tersulut emosi. Tak peduli Leta akan kemana dan bertemu dengan siapa, saat ini yang terpenting bagi Nareswari adalah sampai di sekolah tepat pada waktunya. "Heh! Kamu nggak ada hak buat ngatur-ngatur aku!" Leta menyeringai. "Astaghfirullah, lihat jam dong, Mbak! Hari ini aku ujian, masa iya harus nunggu ojek atau angkutan, udah tambah lama, bisa telatlah." "Itu urusan kamu!" Hati Leta seakan mati. "Satu lagi, jangan terbiasa cerewet kalau aku nggak mau ngerjain pekerjaan rumah!" Nareswari menggeleng. "Nyebelinnya dikurangin dikit napa?" Ia menatap serius ke arah Leta. "Mbak, menurut kamu aku kayak gitu untuk kebaikan siapa? Kalau kamu terima saran aku, nantinya kamu sendiri yang bakal ngerasain manfaatnya." "Aku nggak butuh ceramah dari kamu!!" Leta melotot tajam. Gadis berseragam putih abu-abu tersebut meniup poninya kencang-kencang. Ia menghentakkan satu kakinya, melepas dan meletakkan helm di spion motor cukup keras. Terkadang firasat buruk memang tak bisa dipungkiri. Seandainya tak ingat dosa dan siapa Leta, ingin sekali Nareswari menggigit keras bahu kakaknya, hingga meninggalkan banyak liur dan bekas giginya di sana. Tidak tahu lagi bagaimana cara menyadarkan Leta. "Helmnya bawa dong, Res!" Nareswari membenahi rambut kuncir kudanya. "Idih, ogah amat! Nanti ayam betina nggak jadi bertelur gara-gara lihat orang jalan kaki pakai helm, Mbak." Ia melangkah cepat ke tepi jalan seraya mengibaskan telapak tangan, meminta Leta cepat pergi. Sungguh muak sekali. Benar saja, tak lama Leta pun meninggalkannya dengan senyuman lebar. Terlihat sekali bila memang sedari awal niat sekali menelantarkannya di jalan. Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Beruntung Lutfi nggak seperti mbak Leta dan ibu. Nareswari mengusap dadanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN