PART 3 - PENOLONG

2421 Kata
Gerakan mata Nareswari begitu awas, mencari angkutan, ojek atau apapun yang bisa membawanya sampai ke sekolah. Riuh lalu lalang kendaraan menjadi santapan mata Nareswari, tetapi angkutan yang ditunggu selalu penuh penumpang. Tak heran karena sekarang jam berangkat sekolah dan kerja. Kepedulian orang-orang yang lewat sangat miris dan tak bisa diharapkan. Terbukti, hampir sepuluh menit ia berdiri di pinggir jalan dengan keadaan cemas, tidak ada satupun orang yang menghampiri untuk sekedar berbasa-basi pada gadis SMA itu. Hanya sempat tertangkap mata Nareswari, seorang laki-laki pengendara sepeda motor yang tengah berboncengan, menolehkan kepalanya sampai beberapa meter melewati Nareswari. Seolah-olah tahu kegelisahan yang sedang dihadapi Nareswari. Namun, orang itu pun juga tidak berhenti. Andai saja Nareswari cantik, menarik dan seksi, bisa jadi banyak orang yang mau menolongnya. Semakin sial, karena Nareswari tidak memiliki aplikasi ojek online. Ponsel lawasnya menjerit bila harus menampung satu aplikasi lagi. Biasanya, Nareswari memanfaatkan sahabatnya atau orang lain bila ia membutuhkan jasa ojek itu. Ah, beneran kutu kupret mbak Leta! Nareswari menyibak kasar poninya, keresahan yang melanda kian tak mampu ditutupi. Sebuah ide tiba-tiba muncul, dengan begitu percaya diri Nareswari membenahi baju seragam dan mengikat rambutnya tinggi-tinggi, menarik napas sesaat, lantas kedua mata memejam seraya mengayunkan tangan ke depan. Berharap ada orang yang bermurah hati memberikannya tumpangan. Ia sudah dikejar waktu. Tepat saat kedua kelopak mata berbulu lentik terbuka, sebuah angkutan berhenti di depannya. Tanpa permisi Nareswari langsung naik, duduk di sebelah sopir. "Bang, please banget antar aku ke sekolah, ya?" pinta Nareswari pada si sopir yang dikenalnya merupakan salah satu teman sang ayah. "Tumben, ayah kamu kemana? Abang kira tadi salah lihat," ujar laki-laki itu merasa tak biasa. Semua sopir angkutan yang satu trayek dengan Seno tahu betul, jika Nareswari tidak pernah dibiarkan berangkat sekolah sendiri. "Udah deh! Nggak perlu banyak tanya, macam ketemu anak hilang aja, Bang!" Tak sabar Nareswari menggeser asal persneling angkutan. "Iya-iya. Jangan pegang sembarang, Res." Si sopir menyingkirkan tangan Nareswari jauh-jauh. "Belum dapat penumpang, Bang?" Gadis itu kembali bertanya ketika menoleh ke belakang, tak ada penumpang selain dirinya. "Tadi udah ada beberapa naik. Apes! Di jalan tiba-tiba mogok, nggak pada sabar nunggu, jadi pilih turun." "Sekarang nganterin aku jadi tambah apes, dong!" Nareswari tergelak, mengingat angkutan itu berbeda jalur dengan sekolahnya. "Ah, nggak. Buktinya ini mobil jalan lancar. Beda sama tadi yang dikit-dikit mogok. Kata mas Seno kamu pembawa keberuntungan," ucap si sopir jujur. Sontak Nareswari menoleh, merasa tak percaya sekaligus terharu dengan ucapan sopir angkutan itu. Sang ayah masih bisa menyanjung secara diam-diam, walau kenyataannya, perselisihan dan percekcokan sering terjadi diantara anggota keluarganya. Belum usai kesabaran Nareswari diuji, dengan jelas Nareswari dan teman sang ayah melihat seorang laki-laki melambaikan tangan ke arah angkutan tersebut. Mau tak mau si sopir menghentikan angkutannya. "Ada apa, Mas?" tanya si sopir melongok ke jalan. "Tolong antar kami ke rumah sakit, istri saya sepertinya mau melahirkan. Nanti saya bayar lebih, Mas," pinta laki-laki itu dengan rasa khawatir yang begitu kentara. Seketika sopir angkutan memandang perempuan berperut besar yang dipapah tersebut, dia meringis kesakitan, keringat sebesar biji jagung membasahi wajahnya. Membuatnya merasa iba. Tak terbayang seperti apa rasa sakitnya. Akan tetapi, ia sendiri tak tega menurunkan Nareswari di jalan. "Gimana ini, Res?" tanya si sopir bingung. Sebab tak mungkin ia mengantar mereka secara bersama. Letak sekolah dan rumah sakit terdekat berlawanan arah. Bila ia mengantar perempuan hamil itu, mobil angkutannya harus putar balik. Nareswari meniup poninya, lalu turun dari angkutan. Berjalan ke arah pasangan suami-istri, ikut mengiring dan membantu laki-laki tadi mendudukkan istrinya di bangku belakang. Setelah memastikan perempuan hamil itu duduk dengan nyaman, ia kembali turun. "Antar mereka aja, Bang. Aku bisa jalan kaki, lagian udah nggak gitu jauh sekolahku." Nareswari terlihat begitu santai, tapi siapa yang tahu jika ia kembali gusar. Ucapannya ditanggapi si sopir dengan anggukan dan senyuman bangga. Ia memang dalam kondisi sangat butuh, tapi kali ini ada orang lain yang harus diprioritaskan. "Makasih banyak, Dek," timpal si ibu hamil. Suaranya terdengar sangat lemah. "Sama-sama, Bu. Semoga lahirannya lancar, ibu dan adik bayi sehat." Nareswari tulus memberikan doa. "Semoga kamu diberikan banyak kebahagiaan dan keberuntungan." Suami si ibu hamil turut menimpali. "Aamiin." Nareswari berlari sekuat tenaga. Sejauh mata memandang ke depan, gedung tempat ia menimba ilmu sama sekali belum terlihat. Peluh bercucuran, membasahi wajah dan beberapa titik di tubuhnya. "Demi mbak kunti yang suka ketawa cekikikan di tengah malam! Sumpah! Ini nggak ada lucu-lucunya kalau sampai aku telat!" gerutu Nareswari yang semakin mempercepat langkahnya di sepanjang trotoar. Gadis itu pun tak luput dari pandangan aneh pengguna jalan yang kebetulan berpapasan dengannya. Bagaimana tidak? Ia seperti orang setengah waras sedang berbicara sendirian. Bedanya, Nareswari memakai seragam sekolah lengkap. Derap langkahnya kian cepat, seiring tarikan napas memburu, dadanya naik-turun. Tak berpikir untuk istirahat sejenak, sebab yang ada dalam pikirannya hanya satu, bisa sampai di sekolah sesegera mungkin. "Tamat riwayatmu, Nares!" gumamnya melihat dari jarak beberapa meter, gerbang sekolah sudah tertutup rapat. Kedua kaki Nareswari sedikit gemetar karena lelah berlari. Tangannya sibuk menyeka keringat. Harapan yang sempat redup kembali bersinar manakala manik matanya menangkap laki-laki penjaga sekolah tersebut berjalan membelakanginya. "Pak Kumis! Pak .…!" teriak Nareswari seraya menangkup kedua sisi bibir agar suaranya terdengar keras. Nama aslinya Pak Joko, tetapi karena kumis yang menghiasi di atas bibir sangat tebal, maka anak-anak di sekolah memanggilnya Pak Kumis. Laki-laki paruh baya itu menoleh, meski terlihat enggan, ia tetap menghampiri Nareswari. "Ada apa, Mbak?" tanyanya pura-pura bodoh. Nareswari tak pendek akal. "Boleh pinjam kuncinya? Sebentar aja, biar saya nggak ngrepotin. Kasihan, kayaknya hari ini Bapak kelihatan capek," pintanya sangat lembut dan manis. "Ini bukan kali pertamanya Mbak Nares telat! Saya sampai bosan sendiri!" Tiba-tiba Pak Joko menunduk sambil memegang perutnya. "Dih, Bapak lebay, deh! Dua tahun saya sekolah di sini, tapi baru enam kali terlambat." Itu kalau ingatannya bagus dan tak salah hitung. "Aduuuhh!" keluh Pak Joko terlihat menahan sesuatu. "Ayolah … Sekali ini aja! Anggap hari ini bonus karena bertepatan sama ujian sekolah, Pak. Lagian cuma telat tiga menit." Nareswari mengatupkan tangan di depan d**a seraya memasang muka melasnya yang dibuat-buat. "Pak Kumis ganteng dan baik, deh!" imbuhnya memuji, meski hatinya menjerit karena yang diucapkan sama sekali tidak benar. "Mbak, saya memang sudah ganteng dari sononya!" Nareswari mengangguk kaku. Iyain aja,deh! Biar senang. "Berarti sekarang bisa di buka, kan, Pak?" "Saya hanya menjalankan tugas. Terlambat itu artinya nggak boleh masuk. Apalagi ini ujian sekolah, harusnya Mbak Nares datang lebih awal. Permisi, perut saya mulas." Laki-laki itu hendak memutar badan, meninggalkan tempatnya berdiri. Nareswari benar-benar tak tahu lagi dengan cara apa membujuk Pak Joko, agar mau membuka pintu gerbang. Jika dengan mengiba tak diindahkan, maka cara lain tak ada salahnya dicoba. "Pak Kumis, beneran ini nggak mau bukain pintu? Aku sumpahin rambut Bapak rontok dan botak sebelah!" gertak Nareswari berupaya menggoyahkan keteguhan hati penjaga sekolahnya. "Hati-hati, Pak! Doa orang terzalimi sering dikabulkan!" imbuhnya seraya memainkan alis. Nyali Pak Joko sempat menciut dan ingin membuka gerbang tinggi itu. Sejenak ia memegang sebelah kepalanya, tahu betul siapa gadis di hadapannya. Nareswari, anak yatim piatu yang sudah lama tinggal bersama keluarga tirinya. Tidak semua murid di sekolah mau berteman dengan anak tersebut. Bisa saja semua ucapan Nareswari lebih cepat diijabah daripada doa-doanya selama ini. Namun, tiba-tiba suara cukup keras dengan durasi lumayan panjang, serta bau tak enak, menginterupsinya agar segera berlalu dari sana. Tak menunggu lama, laki-laki berkumis itu lari tunggang langgang. Sesuatu yang tertahan di dalam celananya minta segera dikeluarkan. Anehnya, Nareswari turut memegang kedua pinggang seraya meringis. Ia juga merasakan mulas seperti yang tengah dialami Pak Joko. Hidung Nareswari kembang-kempis, berulang kali ia meniupkan napasnya. "Liat-liat tempat kalau mau buang gas, dong, Pak! Seenaknya aja, dikira aku toilet umum apa?!" Mulut itu membuka lebar dengan lidah menjulur. Mual. Sepeninggal pak Joko, bahu Nareswari merosot, manik matanya mengembun dengan kedua telapak tangan menggenggam kuat gerbang sekolah. Bagaimanapun juga ia manusia biasa, terkadang mengerti dengan kondisi yang sedang dialaminya. Jika hari pertama ujian ia tak bisa masuk ke dalam ruang kelasnya sesuai jadwal, Nareswari yakin bakal mendapat masalah besar. Bunda, Nares harus gimana? Apa mungkin pihak sekolah mau memberikan ujian susulan jika alasan keterlambatannya tak jelas? Hampir saja bulir bening meluncur dari sudut mata, andai ia tak melihat sesosok bayangan berdiri persis di belakangnya. "Kamu telat juga? Percuma si kumis itu nggak bakal mau bukain gerbang. Dia sensi banget! Ngelebihin cewek yang lagi PMS! Mungkin semalam jatah dari bininya kurang. Kamu tungguin juga percuma! Dia lagi nongkrong di atas jamban." Nareswari menghela napas sesaat. "Gimana mau perjuangin hidup biar bisa jadi orang kaya coba? Kalau hari ini, sedikit pun aku nggak dikasih kesempatan ngerjain soal fisika yang susahnya nauzubillah itu." "Udah ngomelnya? Jatah apa yang kamu omongin?" "Belum, kamu nggak kenal ibu aku, sih! Kanjeng ratu Lasmi Prihatini, kalau marah kereta api gandengan aja kalah, apalagi ucapanku barusan, seujung upilnya pun nggak ada apa-apanya." Nareswari masih berkeluh kesah tanpa menoleh. Laki-laki tersebut mengulas senyuman. "Sepertinya itu menurun dengan baik ke kamu." Suara bariton itu terdengar pelan dan begitu lembut di telinga Nareswari. Ia amat penasaran, suara siapa yang sudah mampu membuat bulu kuduknya meremang bak berada di dekat makhluk tak kasat mata. Nareswari refleks memutar badan. Sepasang bulu mata lentik milik gadis itu berkedip sangat pelan saat bersitatap dengan manusia yang berdiri di depannya. Seorang laki-laki mengenakan pakaian sangat rapi, tapi bukan seragam SMA, dibalut jaket hitam yang semakin membuatnya menawan. Laki-laki berperawakan tinggi dengan sorot mata teduh, hidung mancung, bibir bervolume dan sepasang lesung pipi yang tercetak jelas ketika laki-laki itu tersenyum, membuat semuanya terlihat menarik. Nareswari bak es krim yang terlalu lama berada di luar lemari pendingin, meleleh. Jantung Nareswari berdetak tak karuan. Mulutnya semakin terbuka lebar serta bola mata terus memandang lama tanpa dosa. Apalagi ketika laki-laki itu kembali bersuara, rasanya Nareswari dibawa terbang saat itu juga. "Kamu belum jawab pertanyaanku. Jatah apa yang kamu maksud?" "Eh, anu … ja-jatah makan. Iya itu maksudku." Nareswari kelabakan, entah apa yang diucapkan. Mungkin otaknya mulai bergeser. Allah ya Tuhanku, makhluk apa ini?! Manisnya kebangetan! Ia begitu terpesona. Jelas terlihat kegugupan di wajahnya. "Ka-kamu bu-bukan anak SMA si–" Belum usai menuntaskan perkataan yang sudah sampai di ujung lidah, laki-laki itu menggenggam dan menarik tangannya. Membawa Nareswari ke pagar tembok bagian samping. Sama sekali Nareswari tak menolak, ia sibuk menetralkan degup jantung. Pandangannya menunduk dan menatap pergelangan tangan yang digenggam. Beberapa menit lalu, tubuhnya kegerahan karena lelah berlari, sekarang berubah menjadi panas dingin. Kalau begini ia tak jadi menyesal datang terlambat. Ah, plin-plan banget kamu, Res. Nggak bisa nolak yang bening. Gedung sekolah Nareswari memiliki halaman yang terbilang sangat luas. Bangunan tingkat tiga dengan taman hijau dan pohon-pohon besar di sekitarnya, menjadi semakin terlihat elit saat jam sekolah, akan tampak barisan mobil yang ada di dalam area parkir sekolah. Ditunjang dengan pagar tembok bercelah mengelilingi bangunan tersebut. Hanya saja, di sisi beberapa tembok dibuat lebih rendah. "Cepat naik," titah laki-laki itu melepas genggamannya, lalu berjongkok. Nareswari menggaruk kepala. "Nggak salah? Mana sampai?" keluhnya setelah mendongak, melihat seberapa tinggi pagar tembok sekolah. Ia menatap lagi orang asing tersebut. "Kenapa dari tadi kamu bicara terus dan banyak protes?!" "Eh? Aku?" Gadis SMA tersebut menunjuk wajahnya sendiri. "Kalau kamu kelamaan, bukan kamu aja yang terlambat, tapi aku juga ikut kesiangan!" Masih dalam posisi berjongkok, laki-laki itu melihat jam tangan lantas menepuk-nepuk kedua bahunya. "Mau masuk atau nggak?" Nareswari membelalak. "Apa?!" Ia merapatkan kaki dan memegang roknya dengan kedua tangan. Tak percaya dengan permintaan yang dianggap begitu menakutkan. Akan tetapi, ia teringat perihal ujian sekolahnya. Hening sesaat. "Gimana?? Jangan diam aja, kamu membuang waktu. Aku nggak bakal maksa." Laki-laki itu hendak beranjak, tetapi ia urungkan lantara Nareswari menahan bahunya. "Kamu nggak bakal macam-macam, kan?" Pertanyaan meragukan tersebut terucap begitu saja. "Menurut kamu, aku bakal ngapain di tempat terbuka kayak gini?" Si laki-laki menggeleng. "Anak SMA seperti kamu pikirannya udah aneh-aneh. Ya, mungkin wajar, sih, sosial media sekarang mudah banget di akses." Apa hubungannya coba? Kedua allis Nareswari bertaut. Kepalang tanggung dan tidak ada jalan lain yang bisa ditempuh. Ia menuruti keinginan laki-laki asing itu, mengangkat kaki, menginjak lutut lantas menjadikan kedua bahu orang yang belum dikenalnya sebagai pijakan. Perlahan badan laki-laki tersebut berdiri tegak, membantu Nareswari menggapai ujung tembok. "Jangan kebanyakan gerak, aku nggak tanggung jawab kalau kamu jatuh." "Kok kamu tahu aku bisa masuk ke dalam kelas lewat sini?" Nareswari penasaran. "Aku mantan kuli bangunan di sini." "Oh." Kepala si gadis manggut-manggut. Tinggal sedikit menyentuh ujung tembok. Akan tetapi, bau anyir yang begitu menusuk hidung dan menimbulkan rasa mual, membuat tubuh si laki-laki sedikit bergoyang. "Bau apa ini?" dengusnya ingin muntah. "Hah?" Nareswari merayap bak cicak di dinding. "Gimana, sih?! Situ sendiri malah goyang-goyang!" Tangannya sudah dapat memegang ujung tembok, ia menggerakkan badan dan kaki, kemudian duduk dengan hati-hati di atas tembok. "Terus gimana aku turunnya?" keluh Nareswari masih dengan nada protes. Laki-laki itu menepuk-nepuk pundak, membersihkan bekas pijakan sepatu Nareswari. Ia menunjuk pohon yang ada di balik tembok. " I see," balas Nareswari mengangguk paham. Menit berikutnya Nareswari sudah berhasil turun, meski kaki dan telapak tangannya sedikit perih. Ia bernapas lega. Melalui celah tembok Nareswari masih mencuri pandang pada laki-laki berwajah manis. "Makasih banyak, ya. Nama Mas siapa?" Bukan jawaban yang diterima Nareswari, melainkan lemparan jaket, jatuh tepat di atas kepalanya. Kelopak matanya berkedip-kedip, terlebih kini mendapati wajah laki-laki itu berubah masam. Kenapa? Bukannya tadi permintaannya sendiri untuk mengangkat tubuh kerempeng Nareswari? "Ada apa?" Raut wajah Nareswari sarat akan kebingungan. Ia mengambil jaket yang menutup kepalanya. Susah payah ia menyusupkan satu tangan ke celah pagar tembok. "Ikat pinggangmu pakai itu," titah lawan bicaranya, mengambil napas dalam-dalam. Belum sepenuhnya ia memutar badan, ujung kemejanya ditarik kuat oleh Nareswari, hingga bagian kemeja yang dipegang keluar berantakan. "Hei, Mas kuli! Apa maksudnya? Tadi kamu sendiri yang mau bantuin aku. Terus sekarang marah-marah nggak jelas." Nareswari menempelkan bibir di celah tembok, manik matanya tanpa takut membalas tatapan tajam si penolong. "Lihat p****t kamu!" Si laki-laki menatap ke arah lain. "OMG !!" desis Nareswari dengan wajah memerah serta bola mata membeliak, kala mendapati noda merah sepanjang jari kelingking di belakang roknya. Pantas saja tadi ia ikut merasakan mulas ketika pak Joko lari ke toilet. Ia pikir karena semalam makan sayur yang dihangatkan atau gara-gara tadi pagi tidak sarapan, tapi ternyata semua prediksinya salah, tamu bulanan datang tak diundang. Agak kasar tangan Nareswari ditepis. Dalam keadaan malu setengah mati ia ditinggalkan seorang diri. Sesampainya di atas motor, laki-laki memakai name tag Tomi Prasetyo itu mengerang panjang. Gara-gara gadis SMA yang tak dikenalnya, ia ikut terlambat. Dengan gerakan cepat Tomi memutar kunci dan menyalakan kuda besinya, segera pergi dari sekolahan ternama itu. Sementara di balik pagar tembok, Nareswari melongo, otaknya tiba-tiba bekerja sangat lambat. Sepertinya ada yang ganjil dengan si penolong tadi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN