Part 2 : Jadi Baby Sitter

1966 Kata
Dua hari kemudian, Pagi tadi Sherly mendapat panggilan kerja menjadi baby sitter. Saat ini Sherly tengah diinterview oleh calon majikannya. Sherly sangat gugup sekali karena calon majikannya ini masih muda, mana ganteng lagi. Roman-romannya calon majikannya ini bapak direktur. Sherly tidak asal menebak, karena ia melihat penampilan calon majikannya. Calon majikannya itu bernama Arjuna Dewantara Pratama. Tadi mereka sempat berkenalan, lebih tepatnya Juna yang memperkenalkan dirinya kepada Sherly. “Sherly, umur dua puluh dua tahun, lulusan SMA Negeri 5 Bandung. Pengalaman ....” Kening pria di hadapan Sherly ini mengerut ketika mengetahui pengalaman kerja Sherly. Juna menatap Sherly. “Kamu ada pengalaman jadi admin? Kenapa kamu enggak nyari pengalaman di bidang yang sama aja?” tanya pria itu dengan tatapan herannya. Sherly menelan air salivanya kasar. Ia juga maunya begitu, tetapi mau bagaimana lagi, mencari pekerjaan di ibu kota tidaklah gampang. Apalagi ia hanya mengandalkan ijazah SMA yang ia bawa dan juga tidak memiliki kenalan. “Saya sudah coba mengirimkan lamaran ke beberapa perusahaan dan melamar sebagai admin, tetapi belum ada panggilan, Pak,” jawab Sherly jujur. Ia memang sudah mengirim lamaran ke beberapa perusahaan, namun belum ada satu pun panggilan. Dan alhamdulilah tadi pagi ia mendapat panggilan kerja, walaupun hanya sebagai baby sitter. Juna mengangguk paham mendengar penjelasan Sherly. Memang benar sih, mencari pekerjaan di Ibu Kota sangat sulit sekali, saingannya ratusan ribu orang. “Baiklah, saya terima kamu bekerja sebagai baby sitter adik saya,” ucap pria itu. Mata Sherly berbinar mendengar perkataan Juna. “Beneran, Pak?” Juna menganggukkan kepalanya. “Benar dan hari ini saya akan langsung membawa kamu ke rumah saya. Apakah kamu setuju?” Sherly menganggukkan kepalanya. Tentu saja setuju, karena dengan begitu Sherly tidak perlu lagi mengeluarkan uang biaya menginap di hotel. “Setuju, Pak.” “Baiklah. Segera bersiaplah, karena saya ingin kita langsung pergi ke rumah saya,” ucap Juna. “Baik Pak, kalau begitu saya bersiap-siap dahulu," balas Sherly. “Biar sopir saya yang antar kamu ke rumah—” “Tidak usah Pak, saya pulang sendiri saja. Jaraknya dekat kok, saya tinggal jalan kaki saja,” tolak Sherly. Bagaimana pun Juna tidak boleh mengetahui jika ia menginap di hotel berbintang. Bisa-bisa Juna akan membatalkan merekrut Sherly jadi baby sitter adiknya. “Baiklah, saya tunggu di sini," balas Juna. Sherly tersenyum lalu pamit kepada Juna. Ia keluar dari kafe tempat mereka melakukan pertemuan untuk interview. Dan kebetulan kafe tersebut jaraknya tidak jauh dari hotel tempat Sherly menginap selama ini. *** Mata Sherly melebar saat menatap deretan rumah mewah di bagian kanan dan kiri jalan. Mulutnya bahkan sampai terbuka. Rumah-rumahnya besar, halaman rumahnya juga super luas, dinding dari susunan bata yang klasik dan artistik. Masalah area parkir yang terkadang membuat pusing hampir menjadi tidak masalah untuk penghuni daerah ini. Biasanya Sherly melihat daerah elit itu hanya dari layar televisi atau pun majalah. Sherly tidak menyangka ia bisa melihat langsung rumah-rumah mewah itu. Jika dibandingkan dengan komplek rumahnya, kalah jauh. Padahal rumahnya di Bandung itu ada di daerah perumahan elit, tetapi masih kalah jauh dengan deretan rumah yang ia lalui sekarang. “Sumpah, ini mah rumah gue juga kalah. Kayaknya yang punya rumah sultan semua,” batin Sherly. Mobil mereka menepi di depan bangunan tingkat dua. Pintu pagar besi yang menjulang tinggi kembali terbuka otomatis. Mereka berjalan beriringan memasuki halaman rumah. Saat Juna baru saja akan mendorong pintu, dia menyadari sesuatu. Juna menoleh, lalu mengulurkan lengannya sejauh mungkin, menggapai pergelangan tangan Sherly yang masih sibuk memperhatikan rumah. “Kamu masih punya banyak waktu untuk mengagumi rumah ini.” Suara berat Juna dalam intonasi yang sangat tegas menginterupsi Sherly dari rasa keterkejutannya. Sherly mengangguk ragu, lalu mengikuti langkah Juna masuk ke dalam rumah. Juna duduk di sofa ruang tamu berbentuk L. Dindingnya dihiasi ornamen mewah dan berlapis emas. Sementara itu pintunya kaca, dibuka dengan cara digeser tanpa tirai. Sherly mematung di ambang pintu. Gadis itu terlalu sibuk memperhatikan ruangan, tidak ikut duduk bersama Juna. “Duduklah. Sebentar lagi saya akan mengenalkan mereka sama kamu," ujar Juna. Sherly hampir tidak mendengar saat Juna mengajaknya bicara, matanya tengah memandang ke luar ruangan. Ada kolam renang panjang di beranda samping. Kayu eboni menutupi sebagian halaman hingga ke perapian buatan tepat di depan kolam renang. Sofa putih, besar, hampir seukuran ranjang tidur single di samping pembatas kaca, ada perapian lagi di belakang sofa. Sherly benar-benar tidak bisa menutupi kekagumannya. “Sherly!" panggil Juna dan kali ini barulah Sherly benar-benar mendengar panggilannya. Sherly mengangguk, lalu duduk di sofa berseberangan dengan Juna. Juna memanggil pelayan untuk memberitahukan kedatangannya pada kelima adiknya yang mungkin masih belum bangun dari tidur mereka. “Mereka semua masih tidur, Den," ucap salah seorang pelayan. “Bangunkan saja,” titah Juna. Pelayan itu pun berlalu bersama tiga pelayan lainnya, bergegas menuju kamar tidur adik Juna masing-masing yang terletak di lantai tiga rumah itu. Tidak sampai sepuluh menit, lima pria muncul dari undakan anak tangga depan Juna. Wajah mereka masih setengah tidur, rambut acak-acakan, dan terlihat kesal karena Juna mengganggu waktu istirahat pagi mereka. “Bang, ini hari Minggu. Waktunya kita bangun siang.” Salah seorang angkat bicara. Maniknya nyaris hilang karena saking sipitnya. Dia menguap berkali-kali. Juna menyeringai, dia melipat tangan di depan d**a, memerintahkan kelima adiknya untuk mendekat. Pria berkulit agak gelap itu hampir terjungkal ketika pria dengan tinggi badan di atas rata-rata menuruni satu anak tangga. Sementara pria berkulit putih memutar bola matanya malas sambil mengacak rambut hitamnya yang sudah berantakan menjadi semakin tidak beraturan. Singlet putih dan celana boxer di atas lutut membalut tubuhnya yang kian berotot. Sherly nyaris tidak berkedip melihat pemandangan di hadapannya itu. Lima pria tampan dan sexy. “Dia siapa?” tanya salah seorang pria sembari melirik Sherly. Seketika Sherly jadi gugup. “Sherly." “Pacar Abang?” Pria berkulit putih ikut menimpali saudaranya. Suaranya dalam, kaku, dan dingin. Sherly sampai enggan menatap pria itu lama-lama. “Bukan. Dia asisten baru kalian,” jawab Juna santai, tenang, dan terukur. “Apa?!” Semua orang menjerit, termasuk Sherly. Bahkan saking terkejutnya Sherly sampai tersedak air ludahnya sendiri. Sherly cegukan, matanya membulat, bibirnya komat kamit. Dia ingin mengucapkan sesuatu namun tertahan karena dia cegukan. Dia juga ikut terkejut dengan perkataan Juna. Ini di luar dugaannya. Bukannya ia diterima bekerja menjadi seorang baby sitter? Lalu kenapa jadi asisten kelima pria tampak di hadapannya ini. *** Setelah perkenalan singkat Sherly dengan kelima adik Juna, Sherly pun di antar oleh Juna ke kamarnya. Bahkan Sherly kembali dibuat terkejut saat melihat betapa luasnya ruangan yang akan menjadi kamarnya selama ia bekerja menjadi asisten pribadi adik-adik Juna. “Maaf membuatmu terkejut. Sebenarnya kamu bekerja bukan sebagai baby sitter, tetapi menjadi asisten pribadi adik-adik saya. Saya sengaja mencantumkan baby sitter di laman lowongan kerja itu, karena jika saya mencantumkan asisten pribadi dan tahu seperti apa majikan yang harus diurusnya nanti, pasti banyak sekali orang yang ingin melamar,” jelas Juna yang menurut Sherly tidak masuk akal. Namun Sherly tidak terlalu memedulikannya, karena yang penting saat ini adalah ia mendapat pekerjaan dan gajinya pun cukup besar. “Maaf sebelumnya, Pak Juna. Ini beneran kamar buat saya?” tanya Sherly. Juna tersenyum, lalu menganggukkan kepalanya. “Iya, ini bakal jadi kamar kamu selama kamu bekerja di rumah ini.” “Gila, udah mah gajinya gede, jadi asisten cowok-cowok ganteng. Ini kamar buat gue gede banget lagi, lebih gede dari kamar gue di rumah. Bisa-bisa gue betah kerja di sini,” batin Sherly. “Oh iya, ini ada profil adik-adik saya. Boleh kamu baca supaya kamu dapat mengenal karakter adik-adik saya seperti apa. Kamu udah mulai boleh bekerja hari ini,” ucap Juna seraya menyerahkan beberapa lembar kertas berisi profil adik-adiknya kepada Sherly. “Pak, kalau boleh saya tahu, ini saya jadi asisten pribadi kelima adik Bapak, tugas saya bagaimana, ya?” tanya Sherly. Ia masih bingung tugasnya seperti apa. Kalau hanya jadi asisten satu orang ia mengerti, tetapi ini lima. Ia harus menjadi asisten pribadi untuk lima orang. Ia belum tahu betul bagaimana tugasnya. Juna kembali tersenyum mendengar pertanyaan Sherly. Ia lupa menjelaskan seperti apa pekerjaan Sherly. “Aduh, jangan senyum dong, pak. Senyum bapak manis banget, kayak gula,” batin Sherly. “Maaf, saya lupa menjelaskan pekerjaan kamu seperti apa. Jadi begini, kamu hanya bekerja menjadi asisten pribadi adik-adik saya hanya di rumah saja. Tugas kamu hanya mengurus keperluan kelima adik saya saat di rumah,” jelas Juna. “Oh, jadi tugas saya kurang lebih kayak ART—” “No! Bukan seperti itu. Kalau untuk mengurus rumah ada ART, tadi kamu sudah lihat ‘kan di bawah ada beberapa pekerja yang sedang membersihkan rumah?” potong Juna. Sherly mengangguk. “Tugas kamu hanya untuk mengurus keperluan adik-adik saya. Mengerti!” kata Juna. Sherly kembali menganggukkan kepalanya. “Mengerti, Pak.” “Ya sudah, kalau begitu kamu istirahat dulu sambil membaca profil adik-adik saya. Saya tinggal dulu, ya. Kalau ada apa-apa panggil saja bi Sumi atau para pekerja lainnya,” ucap Juna sebelum keluar dari kamar Sherly. Setelah Juna keluar dari kamarnya. Sherly pun mulai membaca satu persatu profil adik-adik Juna. Arkana Sadewa Pratama atau sering akrab disapa Arka. Dua puluh enam tahun. Baik, ramah, jahil, cerewet, dan hyperaktif. Sering diledek kembaran Nassar karena gerak-gerik dan perilakunya hampir mirip dengan Nassar. Pengacara. Anak kedua Surya Pratama dengan Rita Kartika—istri pertamanya. Sherly sedikit menahan tawanya setelah membaca profil adik pertama Juna. “Mirip Nassar, tapi iya juga sih, kelihatannya tuh cowok centil. Eh, tunggu! Ini papanya pak Juna punya istri dua?” gumamnya. Namun mengingat Juna sampai memiliki lima orang adik bukti itu nyata. Lalu Sherly lanjut membaca profil adik kedua Juna. Alvian Mahesa Pratama atau sering akrab disapa Vian. Dua puluh empat tahun. Baik, ramah, jahil, dan hyperaktif. Sering diledek tiang listrik oleh yang lainnya, karena di antara yang lainnya Vian paling tinggi. Kelakuannya sebelas dua belas dengan Arka. Dosen di Universitas Cendikia Bakti. Anak ketiga Surya Pratama dengan Sarah Aulia Dewi—istri keduanya. “Oh, yang tinggi itu namanya Vian. Gue kira kerja di perusahaan, ternyata dosen. Pasti nih orang banyak fansnya di kampus,” ucap Sherly setelah membaca profil adik kedua Juna. Lanjut ke profil adik Juna nomor tiga. Aldiona Mahendra Pratama atau sering akrab disapa Dio. Dua puluh dua tahun. Baik, ramah, dewasa, pendiam, pintar dalam bidang akademis dan non-akademis. Hobby masak. Calon dokter. Anak keempat Surya Pratama dengan Sarah Aulia Dewi—istri keduanya. “Wih, calon dokter. Kayaknya nih cowok kalem. Mana seumuran lagi,” ucap Sherly sambil mesem-mesem sendiri. Dari awal Sherly memang sudah tertarik dengan adik Juna nomor tiga, karena menurutnya Dio termasuk tipe-tipe cowok idamannya. Lanjut ke profil adik Juna nomor empat. Arsya Kenzio Pratama atau sering akrab disapa Kenzo. Sembilan belas tahun. Baik, jahil, manja, m***m, sering disangka bad boy karena wajahnya. Memiliki kulit eksotis dan sering diledek oleh yang lainnya. Maba di Universitas Cendikia Bakti. Playboy. Anak kelima Surya Pratama dengan Sarah Aulia Dewi—istri keduanya. “Eh masih bocil,” ucap Sherly. Ia kira pria berkulit agak gelap ini seumuran dengannya, tetapi umurnya jauh di bawah Sherly. Masih unyu-unyu, baru saja lulus SMA. Lanjut ke profil adik Juna nomor lima. Arsean William Pratama atau sering akrab disapa Sean. Sembilan belas tahun. Baik, jahil, sangat manja karena anak bungsu. Memiliki kebiasaan unik yang hanya diketahui oleh keluarganya saja. Maba di Universitas Cendikia Bakti. Anak keenam Surya Pratama dengan Rita Kartika—istri pertamanya. “Seumuran sama si Kenzo. Kira-kira kebiasaan uniknya apa, ya?” gumam Sherly. Sherly pun menutup kembali kertas yang berisi profil adik-adik Juna, lalu meletakkannya di atas nakas. Ia pun merebahkan dirinya di ranjang sambil menerawang, bagaimana kelanjutan kehidupannya ke depan? Apakah berjalan mulus atau tidak? “Ma, pa, maafin Sherly. Sherly janji bakal pulang, tetapi setelah mama dan papa batalin perjodohan itu. Sherly enggak mau dijodohkan. Sherly ingin memilih sendiri pria yang bakal ngedampingi Sherly sampai hari tua nanti,” gumam Sherly.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN