2. Aku juga mau suami baru ...

2033 Kata
Kisah ini berawal dari lima tahun yang lalu, saat semua hal indah masih terjalin di tempatnya. Dua hati yang hanya mengenal sebuah kebahagiaan tanpa tahu apa yang akan menghadang mereka. Derap langkah kaki Lenny terdengar begitu keras. Wajahnya sedikit pucat dengan kecemasan yang juga terlihat jelas di wajahnya. Lenny terus mempercepat langkahnya menuju ke rumah kekasihnya tepat setelah ia turun dari angkot. Lenny panik luar biasa saat ia mendapat pesan singkat dari kekasihnya jika janji mereka kali ini terpaksa batal karena sesuatu terjadi pada Tian, membuat Tian tak bisa pergi ke mana pun. Meski begitu, Tian menawarkan Lenny datang ke rumah sebagai ganti dari janji kencan mereka yang gagal. "Semoga bang Tian baik-baik aja." Doa itu terus ia panjatkan di setiap langkah Lenny saat hendak menghampiri sang kekasih di rumahnya. Apa lagi saat ini Tian malah tak bisa di hubungi sejak terakhir kali mereka saling memberi kabar. Setelah mengajak ke rumahnya dan membatalkan janji temu mereka. Membuat Lenny jadi semakin gelisah akan apa yang terjadi pada kekasihnya tersebut. Lenny merasa cemas setelah mengubah lokasi kencan yang tiba-tiba ke rumah Tian saja. Lenny sampai berpikir mungkin Tian terjatuh dan membuatnya tak bisa pergi ke luar atau yang terburuk Tian malah hanya bisa terkapar di atas tempat tidurnya. Apa pun itu, Lenny saat ini hanya ingin bergegas menemui Tian. Memastikan keadaannya dan membuat hati Lenny juga lebih tenang. "Ya Ampun, abang.. Kebiasaan deh, kalau ada apa-apa suka ga bilang. Nanti pas udah kejadian baru deh, pusing!" omel Lenny di sepanjang perjalanannya sambil terus berusaha untuk bisa menghubungi Tian melalui saluran telepon. Akan tetapi, omelannya itu berhenti saat Tian akhirnya mengangkat telepon dari Lenny. "Bang Tian, kamu di mana? Aku sudah di depan pintu rumah, nih!" Untung saja, Tian mengangkat panggilan telepon tersebut tepat setelah Lenny tiba di depan rumah Tian. Berharap jika Tian akan membukakan pintu secepat mungkin begitu menyadari keberadaan Lenny. Agar mengurangi rasa cemas yang saat ini begitu menumpuk di hati Lenny. "Aku ada di taman belakang. Kamu langsung ke sini saja!" Begitu menengar jawaban dari Tian, Lenny langsung bergegas menuju taman belakang seperti apa yang Tian sampaikan. Ia tak mengatakan apapun lagi di telepon. Tapi, Lenny juga tak mematikan ponselnya, ia setengah berlari dengan ponsel yang masih menempel di telinganya. Pandangan Lenny fokus mencari sosok Tian, hingga ia melihat sesuatu yang hanya bisa membuat mulutnya terus menganga takjub dengan bola matanya yang membelalak lebar. Lampu indah menyala terang di tengah taman malam itu. Jajaran lilin kecil yang menuntun setiap langkah Lenny tertata rapih bersama taburan kelopak mawar merah yang sangat indah. Kontras bersama rumput hijau yang terlihat pekat di malam hari. Lalu, sebuah altar berbentuk hati berwarna merah menanti di ujung jalan penuh bunga tersebut. Altar yang di penuhi dengan karangan bunga dan juga air mancur coklat di atas sebuah meja. Di meja itu juga tertata berbagai banyak camilan manis, jus buah segar dan juga beberapa lillin cantik. Semua tertata rapih menanti Lenny dengan sosok sang kekasih yang berdiri tepat di atas altar tersebut. "Apa-apaan ini?" adalah kalimat pertama yang keluar dari mulut Lenny saat itu. Perasaan cemas yang sebelumnya menumpuk kini berubah takjub. Apa lagi saat ini, Tian justru terlihat baik-baik saja. Sangat baik malah, dengan senyumannya yang lebar berdiri di atas altar cantik tersebut. Menanti sang kekasih yang akan ikut naik ke atas altar. "Ya ampuuunn... Apa Abang menyiapkan semuanya untukku?" Pertanyaan tersebut tak dijawab oleh Tian. Ia hanya tersenyum manis sambil menatap Lenny yang terkagum-kagum dengan segala yang ia siapkan. Sebenarnya Lenny sangat ingin berlari kencang ke arah kekasihnya itu, namun semua yang Tian siapkan membuat kakinya malah sedikit lemas akibat kagum dengan keindahan yang begitu romantis tersebut. Sesuatu yang bahkan sudah bisa ditebak arahnya saat pertama kali melihat dekorasi indah tersebut. "Ah, apa bang Tian akan melamarku?" benak Lenny yang tak berani berasumsi sama sekali. Lenny takut dugaannya salah. Ia juga takut bila pemikirannya malah menjadi kebalikan dan hal buruk lah yang akan terjadi. Namun, segala pemikiran itu terpatahkan begitu saja saat Lenny menatap Tian yang berdiri dengan senyumannya yang lebar dan penuh kebahagiaan. "Abang!!" Lenny terpaku di saat ia baru saja tiba di atas altar berbentuk hati itu. Setelah ia menyusuri jalan penuh bunga tersebut. Tian pun langsung menyambut Lenny dengan mengulurkan tangannya. Meraih jemari Lenny yang juga terulur begitu ia menaiki altar tersebut dan di saat Tian berlutut sembari menjulurkan sebuah cup cake kesukaan Lenny dengan dekorasi sebuah cincin berlian yang mengkilat tersinari cahaya lampu hias di taman tersebut di atas cup cake tersebut. Cantik dan terkesan menggemaskan dengan nuansa romantis mawar merah dan coklat yang manis. Persis seperti apa yang kerap Lenny dambakan. Kala itu pula lamaran manis itu tucap dari bibir Tian, yang tentu saja tidak akan bisa dilupakan begitu saja oleh Lenny. Kebahagiaan pertama awal dari segala permulaan dan juga tekad yang kuat untuk menjalin hubungan serius yang tidak ingin digoyahkan lagi oleh apapun. "Lenny, maukah kamu menjadi istriku?" tanya Tian yang kemudian di sambut teriakan yang tiba-tiba muncul dari dalam rumah. "Terima!" "Terima!" Teriakan itu meriah dengan suara ceria yang membuat suasana semakin haru. Tanpa bisa Lenny duga ternyata di rumah Tian sudah begitu ramai dengan keluarganya. Ada ayah dan ibu Tian, adiknya dan juga ayah dan ibu Lenny serta kakak Lenny pula. Serta ada beberapa saudara dekat yang turut hadir di sana. Lenny tak menyangka jika semua orang ternyata sudah mempersiapkan segalanya untuk dirinya. Lamaran manis yang akan ia kenang seumur hidupnya. Harapan terbesar untuk calon suaminya kelak dan tentu saja, jawaban dari lamaran itu adalah "Iya.. aku mau menjadi istrimu!" Tak butuh waktu lama setelah lamaran manis itu hingga ke pesta pernikahan. Semua di siapkan dengan baik oleh Lenny dan juga Tian. Hanya sebuah akad sederhana yang di hadiri keluarga besar dan tanpa resepsi. Lenny dan Tian sepakat untuk tidak mengadakan resepsi. Tapi sebagai gantinya mereka menyewa sebuah vila mewah dan pergi berlibur bersama keluarga besar mereka. "Abang, serius kita sudah nikah, nih?" Entah berapa kali Lenny mengulang ucapannya. Ia sama sekali tidak menyangka jika ia sudah sah menjadi istri seseorang. Kebahagiaan tentu terlihat jelas di wajahnya dan lagi segala kehangatan yang kala itu ia rasakan benar-benar terasa bagaikan sebuah mimpi. "Tentu saja, kita sudah menikah." "Kamu istriku dan aku suamimu. Lalu, ini bukan mimpi. Ini semua nyata. Kamu tidak akan terbangun dari mimpi tiba-tiba nantinya. Jadi, —" Tian menjeda ucapnnya menatap ke arah Lenny yang terus saja terlihat kebingungan. "Jadi, kamu tenang saja. Percayakan semua padaku, istriku." Begitu mendengar ucapan tersebut, Lenny pun menguatkan kembali hatinya bila ia sebenarnya tidak sedang bermimpi. Semua adalah kenyataan dan itu tidak akan membuatnya tiba-tiba terbangun dari mimpi indah yang masih sulit untuk ia yakini. Kebahagiaan terbesarnya untuk bisa berada di sisi pria yang paling ia cintai. Sama halnya dengan Tian, ini juga adalah kebahagiaan yang paling besar untuknya. Memiliki Lenny adalah mimpi indahnya, wanita yang ia cintai sepenuh hatinya. Seorang wanita yang akan ia curahkan seluruh kasih dan sayangnya. Wanita yang bisa menghapus segala resah dan gundah yang ia rasakan, sekaligus sumber dari kebahagiaan miliknya. "Aaaaaw... sakit, Abang!" Melihat Lenny yang menggemaskan saat menanyakan tentang fakta pernikahan mereka, Tian tentu jadi ikut gemas. Ia mencubit pipi Lenny dengan sedikit keras. Membuat Lenny menjerit dan tentu saja, ledekan pun Tian layangkan yang membuat tawa memenuhi hari mereka. Keduanya pun kelelahan dengan candaan mereka yang tiada henti itu. Namun, meski lelah mereka tidak bisa berhenti begitu saja, sebab Lenny dan juga Tian harus bersiap untuk pergi berlibur dan mereka saat ini sedang dalam kondisi untuk berbenah membawa segala hal yang diperlukan saat pergi bulan madu nantinya. "Abang, kita harus membereskan banyak barang bawaan!" "Apa ga bisa liburannya di undur satu hari lagi?" tanya Tian berharap pada Lenny yang langsung di sambut dengan gelengan kepala dari Lenny. Tidak tahu apa alasan Tian meminta hal itu pada istrinya, padahal sebelumnya yang mengatur sewa vila dan juga tiket keberangkatan adalah Tian sendiri. Tetapi, hal itu tentu tidak bisa terjadi. Semua harus sesuai dengan jadwal yang mereka buat. "Oh, tidak bisa Abang. Kan, cuti kerja Abang terbatas!" "Tidak apa untuk merasa lelah sekali-sekali. Hal ini juga akan mengukir kenangan yang langka. Jadi, ayo semangat, Abang!" Kenyataan menampar Tian, faktanya dunia nyata tak seindah kisah di dalam sebuah novel. Ia hanya memiliki waktu sebatas cuti yang ia dapat dari kantornya. Di waktu yang sama semua harus ia persiapkan dengan matang. Mulai dari akad nikah hingga agenda liburan mereka. Bukan honey moon pada umumnya, tapi murni untuk bisa saling mengenal dan mendekatkan diri antar keluarga dengan liburan bersama itu. Selain, demi menghemat uang resepsi juga yang Tian dan Lenny anggap jauh lebih bermanfaat bila digunakan seperti ini dibandingkan dengan pesta meriah sehari yang melelahkan. Semua karena dana yang terbatas, meski begitu hal tersebut tidak membuat kebahagiaan mereka memudar tentunya. Pagi hari mereka melaksanakan akad nikah, lalu keluarga juga berkumpul bersama hingga jam makan malam. Malamnya, mereka harus kembali berkemas karena keesokan harinya mereka akan pergi ke vila yang telah di sewa untuk berlibur beberapa hari. "Kita ini sibuk Bang, jadwal padat merayap. Bukan lagi kayak kereta api, tapi udah mirip ulat kaki seribu!" "Kita harus gerak dan tak bisa lagi menunda semuanya." Penuh semangat Lenny pun mulai menaikkan lengan bajunya. Bersiap untuk bisa mengemas barang selama liburan mereka nantinya. Benar-benar tak ada istirahat dalam rencana mereka sampai batas cuti Tian habis kelak. Semua akan sibuk dengan liburan yang mungkin akan terus mereka kenang sebagai sebuah kenangan terindah mereka kelak. Oleh sebab itu, baik Lenny dan juga Tian sama sekali tidak memiliki waktu yang cukup untuk sekadar memasukkan pakaian ke dalam koper mereka. Sebab, selama ini mereka terlalu sibuk dengan persiapan akad nikah dan pindahan rumah Lenny ke rumah Tian kala itu. Sehingga dengan sangat terpaksa demi kelancaran seluruh agenda yang telah mereka rencakan. Secara terpaksa mereka harus berkemas bahkan di malam pertama setelah akad nikah yang sah secara agama dan hukum tersebut. "Tapi, Bang, bagaimana kita beres-beres barang bawaan aku? Semua barangku di dalam kardus semua!!!" Baik Lenny maupun Tian menatap hampa ke arah tumpukan kardus yang masih belum terbongkar di rumah Tian malam itu. Bisa dibilang Lenny sendiri tidak tahu dimana saja letak barang yang akan ia bawa sebelum seluruh kardus itu di bongkar satu persatu yang mungkin justru akan memakan lebih banyak waktu lagi untuk berkemas. Sementara hari semakin larut dan tubuh sudah terasa semakin lelah. "Hmmmm.. kalau gitu kamu tidak usah bawa apa pun!" "Nanti kita beli baru saja semua yang kamu butuhkan!" sombong Tian, sambil bertolak pinggang. Tak ada jawaban apapun dari Lenny hanya pandangan mata dengan kening yang berkerut dan bibir cemberut Lenny yang tertekuk. "Emang abang punya banyak uang?" tanya Lenny polos yang langsung di sambut gelengan kepala dari Tian. "Fffft... fftft... Ha-ha-ha.." Tawa pun pecah dari keduanya. "Yah, kan pengen gitu. Gaya bisa ngomong gitu ke istri!" Tian membela diri sambil menggaruk kepalanya yang sejatinya tidak gatal. "Kalau gitu aku mau baju baru, mau sepatu baru, mau tas baru. Oh, aku juga mau dompet baru." Tanpa menanggapi ucapan Tian tadi Lenny pun mulai berlagak meminta semua hal yang ia inginkan dan tentu saja Tian langsung mengiyakan seakan-akan ia benar akan membelikan semua itu untuk istrinya. Meski semua itu hanyalah sekadar khayalan, tapi keduanya tampak senang dengan segala "Hmmmm.. Abang, aku juga mau itu loh!!" Tiba-tiba saja, nada suara Lenny berubah dan ia terlihat ragu untuk mengatakan apa yang ia inginkan. Kemudian, di saat Tian sudah memperlihatkan rasa penasaran yang besarnya itu. Lenny pun melanjutkan ucapannya sambil setengah berbisik pada Tian. "Aku juga mau suami baru." "Apaaaaa!!!!!!" Ekspresi Tian benar-benar luar biasa. Membuat Lenny yang kala itu sedang membongkar kardus langsung terjungkal di lantai sambil memegang perutnya. Menahan tawa saat melihat ekspresi suaminya itu. "Baru nikah denganku tadi pagi udah minta suami baru!" Lenny benar-benar tertawa lepas mendengar ocehan dari Tian itu dan candaan itu pun terus berlangsung bersama dengan barang yang mereka kemas bersamaan. Walau hanya niat baik, walau Tian tidak benar-benar bisa memberikan segalanya. Walau Lenny tidak bisa mengadakan pesta pernikahan yang megah. Tapi, ia bahagia. Ia sangat bahagia dengan pernikahannya dan dengan sosok suami yang terus memperhatikannya penuh kehangatan dan cinta. Siapa sangka hal manis dan penuh pengertian itu bisa hilang dalam sekejap, dengan alasan buah hati yang tak kunjung datang. Memudarkan seluruh kenangan manis dan perjuangan yang telah mereka lalui bersama. Menghapus jejak bahagia dengan pertengkaran yang terus menerpa.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN