1. Prolog

2313 Kata
"Aku juga ingin jadi ibu, Bang!!!" "Aku juga mendambakan buah hati." "Abang kira selama ini perasaanku seperti apa?" "Bagaimana bisa Abang bilang kalau aku kurang sabar?" Lenny menarik lengan baju suaminya sambil menghentakkan kasar genggamannya. Hidungnya sudah merah, matanya berkaca-kaca, dan Lenny hanya menunduk sambil menggigit ujung bibirnya, tak lagi bisa bicara. Sementara itu, Tian masih diam seribu bahasa tak lagi menjawab setiap kata yang istrinya ungkapkan. Ia sadar jika sang istri saat ini sudah pada batas kesabarannya. Tak sekali pun Lenny berani menatap suaminya itu. Padahal sebelumnya ia sedikit meninggikan suaranya karena tak sanggup lagi menahan gejolak yang sudah ia pendam sekian lama. Perasaan Lenny tumpah dengan tangis yang ia tahan sebisa mungkin. Lenny menahan napasnya berusaha agar ia tidak menumpahkan air mata tersebut demi harga dirinya. "Abang tau sendiri gimana aku berjuang selama ini untuk bisa hamil." "Kalau semua yang aku lakukan itu tak berarti, Abang benar-benar keterlaluan!" Masih teringat dengan jelas sebesar apa perjuangan Lenny demi bisa mendapatkan buah hati, ia melakukan segala hal yang ia dengar dan dapatkan dari orang sekitar, beragam cara, pengobatan, hingga datang pada dukun yang katanya bisa berhasil memberikan keturunan pun Lenny sudah lakukan. Namun, ia masih saja belum hamil hingga saat ini, setelah seluruh perjuangan yang ia lakukan. Parahnya lagi, tak terhitung jumlahnya bagi Lenny berapa kali ia mendapatkan hujatan dari orang lain karena ia tak kunjung hamil. Masih bisa dimaklumi jika itu hanya sekadar tetangga iseng, teman yang sudah lama tidak bertemu atau mungkin rekan kerja yang sering bertanya hanya sekadar basa-basi saja. Semua itu jelas berbeda jika yang bertanya adalah orang terdekat, ayah, ibu, mertua atau saudara yang terus mendesak akan kehamilan yang tak kunjung datang. "Abang tau sendiri, kan. Seperti apa pandangan orang ketika mereka tahu aku belum hamil?" Jujur, Lenny bahkan tidak berani membayangkan seperti apa tatapan dari orang-orang begitu mendengar bahwa ia sama sekali belum memiliki anak setelah bertahun-tahun menikah. Tidak hanya sekadar tatapan aneh yang terasa menjijikkan, ucapan mereka yang sok menasihati juga ternyata melukai Lenny. Semua nasihat yang katanya demi kebaikan Lenny, hanya terdengar sebagai sebuah kalimat mencemooh di telinga Lenny. "Tentang apa saja yang mereka katakan padaku selama ini!" Suara Lenny bergetar dengan napasnya yang terasa semakin sesak. Hatinya dihantui oleh hal yang sama secara terus menerus dan berulang. Harapan yang tak pernah berubah sejak pertama kali ia menjadi seorang istri hingga sekarang, sudah pasti Lenny mendambakan kehadiran buah hatinya. Pernikahannya nyaris menginjak usia enam tahun dan hingga saat ini kehamilan lah yang terus menjadi harapan terbesar bagi Lenny, bukannya ia tak mau memiliki anak. Hanya saja, segala usaha yang ia lakukan masih tidak membuahkan hasil. Lantas, tentu saja semua itu membuat Lenny semakin tertekan dan menderita. Semua orang berharap kepadanya, dari suaminya, mertuanya, saudara terdekatnya, bahkan orangtuanya sendiri. Namun, harapan itu juga dimiliki oleh Lenny. Anehnya orang lupa akan hal tersebut dan malah terus berkata sesuka hati mereka. Melupakan fakta jika yang paling mengharapkan buah hati adalah sosok Lenny sendiri. "Kenapa? Kenapa selalu wanita yang disalahkan saat kehamilan itu tak kunjung datang?" "Kenapa selalu wanita yang dianggap rendah dan tidak berguna bila ia tidak bisa memberikan buah hati?" Kali ini air mata Lenny benar-benar tumpah, isakan tangisnya itu membuat tubuhnya bergetar. Sedangkan Tian sang suami, tak bisa berkata apa-apa. Ia hanya diam, mendengarkan keluh kesah istrinya yang selama ini telah ia pendam. Tidak ada yang menyangka jika rumah tangga mereka akan menjadi berantakan seperti ini. Pernikahan mereka mulanya begitu bahagia. Tak ada pertengkaran, tak ada perdebatan, semua berlangsung dengan begitu manis. Tanpa adanya prasangka saling menyalahkan. "Sejak kapan semua ini berubah?" "Kenapa hubungan kami jadi seperti ini?" Pertanyaan itu terlintas begitu saja dalam benak Tian. Rumah tangganya yang semula baik-baik saja, kini penuh dengan ketegangan, teriakan bahkan tangisan. Pembahasan juga hanya berkutat di itu-itu saja, lagi-lagi soal anak dan selalu soal anak. Bukan tak tahu jika Lenny selama ini sudah berusaha cukup keras. Tian pun sudah berusaha untuk menerima keadaan Lenny yang belum juga memberikannya keturunan. Tak peduli seberapa keras ibunya yang menuntut untuk bisa segera menimang cucu untuk meneruskan garis keturunan. Bahkan menawarkan sebuah tawaran yang benar-benar tak sanggup Tian bayangkan, untuk menikah lagi dengan istri baru demi seorang anak. Sebuah hal yang rasanya mustahil untuk Tian lakukan. "Apa abang mau menerima tawaran itu? Mencari istri baru yang bisa hamil?" Pertanyaan dari Lenny itu terdengar begitu ketir. Menyayat hati Tian yang sejatinya memang tak pernah memikirkan pilihan seperti itu. "Bagaimana bisa pernikahan terasa semudah itu, hanya karena harus memiliki anak, aku harus menikah lagi dengan wanita yang tidak aku cintai." Ingin rasanya bagi Tian untuk mengatakan hal tersebut dengan lantang, tapi Tian sadar jika saat ini Lenny justru sedang berbalut emosi yang mungkin saja akan membuat perkataannya tidak akan didengar sama sekali oleh Lenny. Pada akhirnya, Tian hanya bisa menatap sosok istrinya yang sudah penuh dengan air mata. Sejenak, Tian pun merenung jauh lebih dalam. Entah sejak kapan terakhir kali ia melihat istrinya tersenyum dengan manis dan bebas. Belakangan ini yang terlihat dari dirinya hanyalah air mata, isakan serta beragam keluhan yang sama. Linangan air mata yang terus menghiasi wajah indahnya. Wajah yang dulu selalu tersenyum manis dan tertawa renyah. Kini wajah indah istrinya itu selalu berlinang air mata, berkaca-kaca. Istrinya bak lilin redup yang goyah dan akan mati begitu saja meski dengan hembusan napas berbisik yang lembut. "Ah, aku rindu senyuman itu. Aku rindu tawa renyah itu. Aku merindukan canda riang dengan suara lembutnya itu!" Tian sadar, setiap kali Lenny melihat ada seseorang yang tengah menggendong bayi. Matanya seketika berkaca-kaca, bak anak kecil yang sangat menginginkan permen namun di larang oleh orang tuanya. Tatapan harapan yang terkadang menyentuh hati Tian, seakan ia merasa bersalah karena mereka tak kunjung memiliki buah hati. Tidak hanya itu, setiap kali Lenny melihat ada anak kecil yang lucu. Ia kerap menghampirinya dan bermain dengan anak tersebut. Terkadang, Lenny juga sering melihat video anak-anak yang menggemaskan di media sosialnya. Menatapnya dengan penuh harap dan keinginan. "Sungguh aku menyadari semuanya. Aku tahu perjuanganmu itu." Tian akhirnya membuka suaranya. Membuat Lenny yang sedari tadi menunduk mulai menengadahkan kepalanya. Melihat ke arah dua bola mata indah suaminya itu. "Aku sadar semua itu berat untukmu. Aku tahu kamu memaksakan dirimu setiap kali ada metode pengobatan yang kamu ketahui. Tapi, ---" Tian menjeda ucapannya, ia menarik dagu istrinya tersebut. Mengusap kedua pipi sang istri untuk menghapus air mata yang masih terus menetes. "Tapi, aku lupa kalau kamu juga merasa lelah. Aku lupa jika yang lelah dengan semua ini bukan hanya aku." Ucapan itu sama sekali tidak menenangkan hati Lenny. Apa yang ia inginkan adalah sesuatu hal yang pasti. Jawaban yang tegas dari sang suami, tulus dari hatinya. Ia tak butuh jawaban yang menggantung. Jawaban yang membuatnya masih terus berjuang tanpa benar-benar merasa ada yang mendukung. Tian tak menjawab pertanyaan yang paling penting darinya. Ia tak mengatakan apapun tentang apa yang ia lakukan dengan penawaran sang ibu untuk memiliki istri lain yang bisa melahirkan anak dan itu membuat Lenny hanya bisa menggigit ujung bibirnya itu lagi. "Jangan digigit. Sudah... Sudah.. Maafkan aku!" kata Tian seraya mengusap lembut punggung sang istri. Lagi-lagi yang Tian lakukan adalah menenangkan dirinya tanpa benar-benar mampu membuat Lenny tenang. Sungguh ketenangan yang Lenny inginkan cukup sederhana. Ia tak ingin dipaksa untuk mempunyai anak. Ia juga tak ingin semakin kepikiran dengan tanggung jawabnya itu. Selayaknya Lenny yang menerima apa adanya sosok suaminya. Lenny juga berharap sang suami mau menerima dirinya apa adanya. Bahan jika memang kehadiran anak masih belum datang pada rumah tangga mereka. Lenny berharap sang suami mau menerima dirinya apa adanya. Menyerahkan segalanya pada Tuhan tanpa memaksakan kehendak yang pada akhirnya hanya berakhir menjadi masalah-masalah baru yang terus menggerogoti kebahagiaan rumah tangganya. Apa lagi, jika sudah ada campur tangan dari pihak lain dalam rumah tangga tersebut. Sungguh hal itu membuat Lenny malah semakin tidak berdaya dan merasa sangat tidak adil. "Aku masih sanggup berjuang Bang. Aku masih merasa belum menempuh semua cara. Aku belum putus asa sampai bisa merelakan kamu dalam pelukan wanita lain!" Sungguh ingin rasanya Lenny meneriakkan hal tersebut dengan lantang pada suaminya. Namun, apa daya bila ternyata Lenny sangat takut mendengar jawaban apa yang akan keluar dari mulut suaminya itu, ia masih belum siap mendengar apa pun. Andai kata apa yang ia dengar adalah hal terburuk yang sempat Lenny bayangkan. Lenny benar-benar tidak akan sanggup untuk menghadapinya. Perjuangannya tidak bisa dibilang mudah. Ia melakukan segala hal yang ia bisa, ia dengar dan apa pun yang dikatakan orang untuk bisa memiliki keturunan. "Aku sungguh mendambakan buah hati, Bang." "Aku ingin menjadi ibu. Hal itu membuat aku merasa jika aku benar-benar sudah menjadi istri yang sempurna." Untuk kesekian kalinya, segala perkataan itu hanya bisa Lenny sampaikan dari dalam hati. Ia tak punya keberanian apa pun untuk mengakui hal tersebut. Sampai Lenny mendengar sendiri dari suaminya jika Tian tidak keberatan bila hanya berdua di dunia ini bersama dengan Lenny. Setidaknya Lenny ingin dengan tenang berusaha, tanpa desakan dan tanpa adanya pemaksaan. Mana ada pasangan suami istri yang tak ingin memiliki anak. Bahkan bagi mereka yang memang berkomitmen untuk tidak memiliki anak saja tetap ingin punya anak dengan cara adopsi. Lantas, kenapa pula Lenny terus merasa tak ada yang benar-benar mendukungnya. Termasuk sang suami yang kian hari terasa semakin dingin akibat pertengkaran yang terus terjadi diantara mereka. "Aku rindu masa-masa itu. Saat kita hanya tertawa riang, saat kita bisa membicarakan segalanya, saat pembahasan kita bukan lagi-lagi tentang program hamil. Aku sungguh merindukan masa-masa itu," batin Lenny dengan segenap hatinya. Lenny yang terus bergumul dengan segala perasaannya itu memeluk sang suami dengan erat. Mendekapnya penuh kerinduan, dekapan yang membuat Lenny berharap jika ia bisa terus memeluk suaminya itu. Akan tetapi, setiap kali Lenny mampu mengendalikan perasaannya. Hal yang membuatnya cemas selalu datang menyerangnya. Seperti saat ini, di kala sang ibu mertua yang tiba-tiba datang ke rumah. Setiap kali sang ibu mertua datang, Lenny pasti akan mendapatkan ceramah yang sama, sindiran yang sama, dan omelan yang sama pula. Bisa dibilang Lenny sendiri sudah hapal apa saja yang akan di katakan oleh ibu mertuanya itu. "Jangan malas minum jamunya. Pantes aja nggak pernah jadi itu. Kalau minumnya setengah hati begitu!" ketus sang ibu mertua seraya menyodorkan segelas besar ramuan yang katanya ia dapat untuk kesuburan wanita. "Baik, Bu!" jawaban satu-satunya yang bisa Lenny berikan pada ibu mertuanya itu. "Uccch.. rasanya pahit banget. Jamu apa sih, ini?" dalam hati Lenny mengeluh tentang rasa jamu yang mengerikan. Ia ingin menjeda meminum jamu tersebut atau mungkin menolak meminum sesuatu yang tak bisa ia telan. Tetapi, bila itu terjadi. Jawaban dari sang ibu mertua pun sudah pasti akan lebih membuatnya merasa sesak dan menyakitkan. Pahit, melebihi rasa pahit dari jamu yang telah ia telan saat ini. Pasalnya bila Lenny menolak program hamil rekomendasi dari sang ibu mertua. Maka Lenny langsung akan di cap sebagai menantu yang tidak berbakti. Ia akan di anggap tidak berusaha sepenuh hati untuk mendapatkan buah hati. Lalu, yang terburuk hal tersebut akan membuat Lenny memiliki kelemahan yang menjadi senjata bagi ibu mertuanya mengenalkan Tian pada wanita lain. Sungguh Lenny tak ingin semua itu terjadi. Sehingga, ia memaksakan dirinya untuk meminum jamu yang sangat pahit itu dan tetap tersenyum pada sang ibu. Seolah itu bukan apa-apa, meski air mata sudah menggenang di ujung matanya. Menahan pahit dan tenggorokannya yang terasa perih. Semua itu tidak berarti bila dibandingkan harga dirinya. "Nah, gitu dong.. benar, begitu! Habisakan semuanya!" seru sang ibu sambil sedikit mendorong gelas jamu tersebut pada Lenny. "Uuuhukkks... Uhukkk..." Tentu saja, hal tersebut membuat Lenny tersedak dan berakhir dengan menyemburkan jamu tersebut. Lantas, hasilnya sudah pasti bisa di tebak. Ibu mertua Lenny kembali marah besar, omelannya kini terus melayang pada Lenny tanpa henti. "Pantesan tidak hamil-hamil. Minumannya disembur begitu!" "Kamu tuh, usaha sedikit dong. Masa minum ini saja tidak bisa?" Omelan itu kini tiada henti, setelah menyalahkan satu hal, maka hal lain pun akan kembali di ungkit sebagai menantu tidak becus yang seakan tidak bisa melakukan apa pun. Seolah, segala usaha yang Lenny kerahkan selama ini tidak pernah terjadi. "Ma-maaf, Bu!" Lenny kembali hanya bisa meminta maaf sembari mendengar terus setiap ocehan dari sang mertua. Tentu saja, Lenny hanya bisa tertunduk saja. Mana ada yang mau membelanya. Termasuk adik ipar dan juga suaminya sendiri. Sampai sang ibu merasa puas, saat itu pula ia akan melepaskan Lenny dari omelannya. "Kalau sudah tidak sabar menjalani program hamil, harusnya setuju saja membiarkan Tian menikah lagi dengan Sala," ketus sang ibu setiap akhir pertemuan mereka yang membuat hati Lenny selalu hancur setiap kali melepas kepergian mertuanya itu. Untung saja, Tian berhasil berdiskusi pada sang ibu untuk bisa memberikan Lenny kesempatan terakhir. Meski begitu perkataan ketus dari sang mertua tak kunjung berhenti terlontar untuk Lenny. Lalu, Tian pun menawarkan hal yang sejak awal sudah ingin Lenny lakukan namun tak juga kunjung didengar. "Istriku, bagaimana jika kita pergi ke dokter di luar negeri?" "Mungkin dengan pemeriksaan yang lengkap semua akan jelas terlihat hasilnya?" Rasanya emosi benar-benar sudah menumpuk di ujung ubun-ubun Lenny. Sejak awal ia tak kunjung hamil seperti ini, Lenny sudah meminta untuk mengunjungi dokter spesialis saja. Namun, selalu saja metode "obat kampung" ini yang terus saja menjadi pilihan utama dari Tian dan keluarganya. Meski Lenny pernah menemui seorang bidan, tapi Lenny sanggat ingin pergi ke dokter spesialis. Mungkin mengunjungi beberapa dokter untuk memastikan diagnosis yang sama pada dirinya. Namun, semua itu tidak pernah terjadi. Lenny benar-benar sibuk dengan segala pengobatan, ramuan, hingga pola makan yang seluruhnya di tentukan untuk program hamil. Lantas, di saat Tian menawarkan hal yang sejak awal memang ia inginkan, itu jelas membuat darah Lenny benar-benar mendidih. "Setelah sekian lama akhirnya Abang mau juga bawa aku ke dokter. Padahal dulu kita baru ke bidan tanpa mencoba memeriksa lebih lanjut ke dokter!" "Padahal berkali-kali aku mengajak Abang untuk ke dokter dan Abang tidak pernah mau mengantarku. Mengatakan bahwa obat kampung lebih baik dibandingkan pengobatan dokter!" Lenny pun kali ini dengan berani menyindir suaminya itu. Lalu hasil dari pemeriksaan itu pun jauh lebih mencengangkan. Tentang fakta yang sebenarnya tersembunyi selama ini, sebagai penyebab Lenny yang tak kunjung hamil.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN