9. Hasil Yang Terpilih

2253 Kata
Tak terasa, sudah hampir sebulan aku bekerja di Bima Anggarajaya Grup. Setiap hari, aku melalui waktu yang kadang terasa ringan dan kadang terasa berat. Ringan, ketika aku bisa bekerja sesuai minat dan bakatku. Dan berat, jika aku secara tak sengaja bertemu dengan Arya. Ah, kenapa bisa hidup terasa jungkir balik dalam waktu bersamaan? Aku turun dari angkutan umum. Berjalan beberapa meter menuju kawasan perkantoran. "Dinda!" Aku menoleh ke arah sumber suara. "Pak Arif?" Cukup kaget melihatnya ada di depan area gedung kantor. "Pagi," sapa lelaki berkemeja biru dongker itu. "Selamat pagi, Pak." Kubalas menganggukkan kepala. Pak Arif adalah salah satu atasanku dulu ketika bekerja di Bagaskara Company. "Kebetulan lewat, jadi mampir buat sapa," terangnya. "Terima kasih." Kuberi seulas senyum. "Oh, ya. Pemilik perusahaan ini ... Arya, 'kan?" "Iya. Pak Arya," sahutku. Pak Arif menganggukkan kepala beberapa lagi. "Hari ini ada waktu. Bisa kita makan siang bersama?" Aku terdiam, untuk berpikir. Tak enak rasanya jika harus menolak. Dulu ketika aku bekerja di perusahaan yang sama dengannya, Pak Arif sering membantuku jika mengalami kesulitan. Akhirnya kuberi sebuah anggukan kepala. "Boleh," jawabku. Pak Arif tersenyum. "Kalau begitu nanti aku telepon kamu." "Iya." Mobil hitam melintas, memasuki area gedung. Aku tahu mobil siapa itu, dan aku bisa melihat jika dia melihatku dari balik kaca jendela. Merasa tak enak karena masih pagi sudah mengobrol di depan kantor, aku pun memutuskan untuk berpamitan. "Kalau begitu, saya masuk dulu, Pak Arif," ujarku. "Oh, ya. Silakan. Aku juga mau berangkat ke kantor," timpalnya. "Mari." Kuanggukan kembali kepala. "Ya." Pak Arif memberi seulas senyum. Aku melangkah meninggalkannya. "Dinda." Aku berhenti untuk menoleh. "Sampai bertemu nanti siang." "Ya." Kulanjutkan langkah. Memasuki lobi, kuanggukkan kepala pada security. Juga para resepsionis yang berjaga di mejanya. Setelah beberapa minggu bekerja di sini, aku mulai terbiasa beramah tamah dengan seluruh penghuni kantor. Pasti terasa berat jika di hari penentuan nanti kinerjaku tidak sesuai lalu aku harus resign dari kantor ini. Ketika beberapa meter mendekati lift. Tampak sosok itu berdiri. Tubuh tinggi tegap dengan punggung lebar. Memakai setelan jas hitam. Satu tangannya memegang tas, sedang tangan kanannya menelusup di balik saku celana. Arya. Tampak dari belakang pun, pesonamu sudah terlihat dengan jelas. Kadang aku ingin mengumpat pada diriku sendiri. Kenapa bisa aku jatuh cinta padamu? Pintu lift terbuka. Arya masuk dengan langkah cepat. Sedang beberapa karyawan lain memilih masuk ke dalam lift di sebelahnya. Aku? Sengaja memperlambat langkah agar kedua lift itu bisa naik tanpa aku. Walau begitu, sempat kulihat Arya menatapku sejenak sebelum pintu lift tertutup sempurna. . "Din, makan siang bareng, yuk!" ajak Yuni. "Aduh, maaf, Yun. Aku ada janji makan siang sama temen. Besok aja, ya?" Yuni meluruhkan bahu. Membuatku merasa bersalah. "OK!" sahutnya riang. "Ih, kamu. Aku udah takut kamu marah." Kutepuk pundaknya. "Santai aja kali," sahutnya diiringi tawa. Ponsel di atas meja berdering. Nama Pak Arif terlihat di layar. Kuangkat segera. "Halo." "Halo, Din. Aku udah di depan kantor kamu." "Ah, iya. Sebentar lagi saya turun," ujarku. "Ya," sahutnya. Kemudian memutuskan sambungan. "Siapa?" Yuni mengangkat kedua alisnya ke atas. "Temen di kantor dulu," jawabku. "Cowok, ya?" godanya lagi. "Ih, apaan, sih!" Kuraih tas di atas kursi. "Duluan, ya. Dah!" Kulambaikan tangan. "Dah!" balas Yuni. Aku melangkah cepat menyusuri koridor menuju lift. Beruntung ketika sampai di depannya, pintu lift terbuka. Seorang Office Boy keluar membawa kantong makanan. Mungkin pesanan salah satu karyawan. Aku bergegas masuk, menekan tombol untuk menutup pintu lalu tombol lantai dasar. Terlupa satu hal, aku mengambil sesuatu dari tas. Aku lupa belum melihat wajahku dari cermin. 'Ting' Lift berhenti. Pasti ada yang menekannya. Aku pun berbalik ke belakang untuk memoleskan sedikit bedak di wajahku. 'Ting' Pintu lift tertutup lagi. Aku berbalik seraya memasukkan kembali kotak bedak ke dalam tas. Setelah cukup nyaman, aku mengangkat kepala. Alangkah terkejutnya, ketika tahu siapa lelaki yang berdiri tak jauh di sampingku. "Selamat siang, Pak Arya," sapaku. "Siang," sahutnya dingin. Tanpa menoleh sedikit pun. Kenapa bisa satu lift dengannya? Kenapa bukan orang lain? Ruangan Arya memang berada di lantai lima, sedang divisi tempatku bekerja ada di lantai tujuh. Walau begitu, dari sekian banyak karyawan, kenapa harus sang big boss yang satu lift denganku? Kenapa bukan Office Boy? Atau siapa saja. Dari pantulan bayangan di depan, bisa kulihat tatapan lurusnya. Dia berdiri seperti biasa. Tangan kiri memegang tas kerja dan tangan kanan bersembunyi di balik saku celana. Hening. Aku hanya bisa meremas jemari. Hingga akhirnya pintu lift terbuka. Aku benar-benar merasa lega. Kubiarkan Arya melangkah lebih dulu. "Halo, Pak Mali. Saya di lobi," ucapnya. Kini tangan kanannya memegang ponsel yang dia tempelkan di telinga. Kami berjalan beriringan dengan jarak tiga meter. Beruntung ketika keluar dari lift tadi tidak ada orang yang menyadarinya. Arya berhenti di depan pintu lobi, sedangkan aku terus melangkah keluar dari gedung. Karena Pak Arif menungguku di depan area kantor. Pasti dia merasa tak enak jika harus masuk ke dalam parkiran. "Pak Arif," sapaku setelah melihatnya berdiri di trotoar. Pria itu berbalik. Kemudian memberi senyum lebar. "Dinda." "Maaf membuat Pak Arif menunggu lama," ucapku setelah berdiri di depannya. "Tidak apa. Santai saja," sahutnya ramah seperti biasa. Kemudian senyumnya memudar. Melihat ke arah belakangku. Aku ikut menoleh. Rupanya ada mobil Arya, mungkin dia juga akan makan siang di luar. Perlahan, kaca jendela terbuka. Menampakkan seraut wajah tampan tapi memiliki aura angkuh yang kentara. "Arya?" Aku berpaling. Rupanya Pak Arif sudah mengenal Arya. "Arif. Apa kabar?" tanya Arya datar. Pak Arif tersenyum. "Baik. Senang akhirnya bisa bertemu denganmu lagi walau dalam situasi seperti ini." Aku menoleh ke belakang kembali. Arya menaikkan satu sudut bibirnya. "Aku sebaliknya." Aku yang berada di antara mereka menjadi tak enak. Entah situasi macam apa ini. "Pak Arya, kenalkan. Ini ...." Aku berusaha mencairkan suasana. "Jalan, Pak!" perintah Arya dengan suara tegas. Diiringi kaca jendela yang mulai naik. Aku yang melihatnya merasa tak enak kembali. Kutatap kepergian mobil hitam mewah itu, hingga benar-benar menghilang. "Maaf, Pak Arif. Bos saya memang seperti itu." Pak Arif menoleh ke arahku, lalu menyunggingkan senyum. "Tidak apa. Aku sudah tau sifatnya seperti apa, dari dulu." "Sudah kenal lama?" Aku tertegun. "Sejak SMP," paparnya. Aku menganggukkan kepala. Ingin bertanya lebih jauh, tapi rasanya tidak pantas. Pak Arif hanya tahu aku adalah karyawan biasa, bukan mantan kekasih bos di tempatku bekerja. "Ayo," ajak Pak Arif membuyarkan lamunanku. "Ah, ya." Kusambut ajakannya. Kami pun naik ke dalam mobil, menuju sebuah kafe terdekat. . "Assalamualaikum." "Waalaikumsalam. Bunda, udah pulang?" Fia berlari ke arahku. "Udah, dong. Sekarang udah jarang lembur," sahutku sambil mengelus pipinya. Dia tersenyum lebar. "Ini apa?" tanyanya sambil menunjuk kantong di tangan kiriku. "Oh, iya. Lupa. Ini ada oleh-oleh dari Om Arif buat kamu. Katanya kemarin baru pulang dari Yogyakarta," terangku. Memberikan kantong di tangan pada Fia. Fia terdiam sejenak. "Om Arif?" "Temen Bunda," ucapku diiringi senyum. "Oh." Dia mengangguk. Kemudian meraih kantong di tanganku dengan senyum yang tak selebar tadi. "Udah pulang, Din." Opi muncul dari arah dapur. Pasti dia habis menyimpan sayur yang dia bawa dari rumah. "Iya, Pi." Aku mendudukkan tubuh di sofa ruang tamu. "Udah ada opor ayam di meja makan. Nasinya juga udah mateng. Fia udah makan, tapi kayaknya nanti malem dia mau makan lagi, tuh!" Opi menunjuk Fia yang sedang membuka bungkusan bakpia pathok. Fia menoleh, lalu tersenyum malu. "Mau cepet gede katanya, biar bisa bantuin Bunda," ucap Opi lagi. Aku menautkan alis kurang mengerti. "Besok dia ulang tahun," bisik Opi. "Astaga," gumamku. Kemudian menoleh ke arah Fia. "Maaf, Bunda lupa." Aku bangkit mendekatinya, duduk di atas lantai dengan lutut menekuk. "Mau kado apa dari Bunda?" Fia hanya tersenyum malu. "Ya udah, nanti kita ke toko kado. Kamu bebas beli apa aja yang kamu mau," ucapku. Fia tersenyum lebar sambil mengangguk. "Tante, ini buat Khanza," ucapnya sambil memberikan satu bungkus kue di kantong. "Buat Khanza? Wah, terima kasih banyak, Cantik." Opi menepuk puncak kepalanya. "Siapa yang abis ke Yogyakarta?" sambungnya. "Di kasih sama Pak Arif," sahutku sambil berdiri. "Pak Arif atasan kamu dulu?" "Iya." "Wah, sampai ke Yogya pun dia masih ingat kamu," goda Opi. "Cuma temen," tukasku. "Aku mandi dulu," lanjutku sambil melangkah ke kamar. Kusempatkan menoleh ke arah Fia. Dia merunduk memainkan tutup kemasan bakpia di pangkuannya. Aku hanya tersenyum kecil. Dia memang seperti itu jika aku menceritakan teman lelakiku. Mungkin karena ketakutannya pada lelaki dewasa. . Setelah memastikan Fia tidur dengan nyenyak, Aku kembali ke kamar. Kuluruhkan tubuh di tepian ranjang. Membuka laci, mengambil sebuah buku di sana. Buku sketsa tempat biasa aku menggambar dulu. Kubuka helai demi helai. Hingga tampak sebuah gambar yang terlihat lain dari yang lain. Gambar seraut wajah di antara gambar disainku. "Mana gambarnya?" "Ih, apaan, sih?!" "Mana coba lihat?" "Jangan!" "Kenapa?" "Malu!" Kusembunyikan buku di belakang punggung. Arya berdiri dengan tangan terlipat. "Ya udah, aku ngambek, nih." "Dasar anak cengeng," sindirku. "Nih!" Aku pun duduk di atas ranjang. Arya meraihnya, lalu mengkerutkan kening. "Kenapa?" Aku menatapnya yang masih berdiri. "Kirain selama ini gambar bangunan atau baju ... gitu?" Arya terheran. Aku merebut buku itu. "Papa aku disain interior," ketusku. Kemudian menatap kembali gambar di tangan. "Maaf, aku enggak tau," bisik Arya. Dia sudah duduk di sampingku. "Mmm," sahutku. "Yah, marah. Jangan marah, entar galaknya nambah," godanya. "Ih, Kakak!" pekikku. Kusimpan buku di atas bantal, kemudian memukuli dadanya. "Aduh, ampun ibu disainer. Ampun!" teriaknya. Aku berhenti, duduk tegak kembali. Kuraih lagi buku sketsa itu. "Bagus. Jadi nanti kalau kita nikah, rumahnya hasil rancangan aku, isinya hasil rancangan kamu." Aku menoleh ke samping, Arya tersenyum menatapku. "Papa kamu pasti bahagia. Karena putrinya sekarang udah pintar, dan selalu berusaha meraih impiannya," ucapnya lembut. "Makasih. Papa kamu juga pasti bahagia, karena memiliki putra ... sebaik dan sehebat kamu." Arya tersenyum, lalu mengangguk. Kemudian dia mengusap pipiku dengan lembut. "Makasih, karena selalu menjadi penyemangatku." "Makasih juga, karena selalu ada di sisiku." Kupeluk tubuhnya dengan erat. "Baru-baru ini aku juga belajar," ujarku setelah melepas rangkulan. "Belajar apa?" "Melukis." "Melukis apa?" "Wajah kamu." Kubuka helai demi helai lembaran kertas. "Ini, belum beres tapi," aku meringis. Arya menatapnya ditemani seulas senyum. "Nanti kalau udah beres, kasih lihat aku. Aku mau tau, seperti apa aku di mata kamu." Aku memberi sebuah anggukan pasti. Itu terjadi bertahun-tahun lalu. Sayangnya, perpisahan itu terjadi tanpa kami ketahui, sebelum aku sempat memperlihatkan hasil lukisan ini padanya. Kusimpan kembali buku sketsa itu. Arya, sepertinya rinduku sudah terlalu menumpuk. Hingga aku tak sanggup lagi menyimpannya dalam d**a. *** Pagi tiba. Aku sengaja bangun lebih awal agar bisa menyiapkan sesuatu yang spesial untuk Fia. Sepiring nasi kuning yang kuhias dengan telur dan mentimun. Setelah siap, aku pun membawanya ke depan kamar Fia. "Fia," panggilku sambil mengetuk pintu. "Iya, Bunda," sahutnya. Terdengar langkah kaki mendekat. Kemudian pintu terbuka. "Tada! Selamat ulang tahun!" Fia mengerjapkan mata berulang kali. "Bunda ...." Aku menurunkan tubuh agar bisa sejajar dengannya. "Akhirnya, tepat tujuh tahun. Semoga sehat selalu, tumbuh menjadi gadis baik dan soleha, panjang umur, dan dimudahkan rezekinya." "Makasih, Bunda," ucapnya pelan. "Jangan nangis, ini 'kan hari bahagia." Kuusap kedua pipinya dengan tangan kanan. "Fia terharu," lirihnya. "Cup, cup. Udah, ah. Bunda 'kan bikin ini biar kamu seneng. Ayo, makan dulu. Atau mau mandi." "Makan dulu aja. Fia lapar lihatnya." "OK. Ayo!" Kubawa piring di tangan, menyimpannya di atas meja. "Maaf, enggak ada dagingnya. Bunda lupa enggak suruh Tante Opi buat beli." "Enggak apa," sahutnya. Lalu meraih sendok, menyuapkan nasi kuning ke dalam mulutnya. "Enak, Bunda," ucapnya dengan mulut penuh. Aku tersenyum, mengelus pipinya. "Jalan-jalannya nanti aja hari libur, ya?" Fia mengangguk semringah. . "Pagi, Yuni." Kusapa perempuan berkacamata itu. "Pagi," sahutnya lesu. "Kenapa?" Aku duduk sambil menatapnya heran. "Nih," ucapnya sambil memberikan selembar kertas. Aku meraihnya. "Enam?" "Iya, enam. Itu artinya konsep ruang apartemen aku kali ini enggak masuk kriteria Pak Arya. Ini lebih jelek dari nilai proyek yang kemarin. Ah, padahal Surya udah enggak ada. Kirain enggak ada saingan lagi," ujarnya dengan nada pasrah. "Sabar. Mungkin di proyek selanjutnya Pak Arya bisa kasih nilai lebih. Asal kamu berusaha. Semangat," kutepuk lengannya. "Dinda." Aku menoleh ke arah suara. "Ya, Mbak Gisela." "Ditunggu di ruangan Pak Arya. Sekarang," ucapnya dengan nada datar. "Pak Arya?" "Iya. Pak Arya. Pimpinan perusahaan ini. Cepetan, dia enggak suka nunggu lama-lama," ucap Gisela lagi dengan wajah judesnya. Dia pun pergi begitu saja dari hadapan kami. "Ada apa, ya?" Aku berdiri sambil berkata sendiri. "Kayaknya disain kamu yang kepilih, Din," timpal Yuni. Aku menatapnya tak percaya. "Masa?" Kemudian aku merapikan blazer dan rokku. "Aku ke sana dulu." "Ya." Yuni mengangkat satu lengannya ke atas. Sepanjang jalan hatiku berdebar tak menentu. Keluar dari lift, aku melewati meja demi meja untuk menuju ruangan Direktur Utama sekaligus CEO perusahaan. "Langsung masuk aja," perintah Gisela ketika aku berdiri di depan mejanya. "Terima kasih," kuanggukkan kepala meski tak mendapat respon apa-apa darinya. Lalu berjalan kembali menuju pintu besar berwarna coklat tua. "Selamat pagi, Pak Arya." "Ya. Silakan duduk," jawabnya. Dengan kedua mata fokus menatap kertas di tangannya. Aku pun menutup pintu, setelah itu melangkah menuju mejanya. Agak canggung sebenarnya, harus berada berduaan di ruangannya seperti ini. "Dinda Almaira. Konsep ruangan dengan tema alam." Dia menyimpan kertas itu di atas meja. Kemudian menatapku. "Aku suka." Aku mengerjap tak percaya. Kutatap kertas itu, nilainya sembilan plus. Sedikit aneh sebenarnya. Menilai hasi kerja karyawan dengan angka seperti itu. Sepertu ulangan saja. "Kamu siap?" "Ya?" Aku mengangkat wajah. "Setelah konsepmu ini terpilih, selama beberapa bulan, mungkin kamu akan lebih sibuk dari biasanya. Dan ... akan lebih sering bertemu denganku." Aku mengedipkan mata kembali. "Ya, saya siap." "Bagus." Arya meraih kertas yang lain, memutar kursinya ke arah samping. "Silakan kembali ke tempatmu," tandasnya. Aku membuang muka, merasa tak percaya atas semua ini. Tentu saja karena hasil disainku, juga caranya memperlakukanku. Arya, kamu lebih dingin dibanding saat pertama kali kita bertemu. ***** --bersambung--
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN