Enam

731 Kata
Ajiz baru menyelesaikan pekerjaannya tepat pukul tujuh malam, dia memeriksa ponselnya dan tak ada satu pun pesan atau panggilan dari Amel yang masuk pada ponselnya.Ajiz menarik napas panjang kemudian memutuskan untuk  menghubungi seseorang. Tersambung...   "Halo?"   "Kamu sedang apa?" itu pertanyaan yang terlontar spontan dari bibir Ajiz.   Hening beberapa saat sebelum akhirnya kembali."Aku baru saja sampai di rumah, kenapa?" "Nggak ada, cuman mau nanya saja." setelah itu percakapan mengalir begitu saja.   Kadang Ajiz tertawa kecil, tersenyum, sejenak dahinya mengerut. "Baiklah, selamat malam." sambungan terputus, Ajiz tersenyum samar dengan tatapan mata menerawang.   Ajiz segera membereskan tas dan juga jasnya yang ia sampirkan di sandaran kursi, Kemejanya pun sudah berantakan tak serapi tadi pagi. Ajiz beranjak dari duduknya kemudian berlalu meninggalkan ruangannya.   Ajiz berhenti dilantai lima, berganti lift untuk turun langsung ke basemen.Langkahnya terhenti melihat sosok yang sangat tak asing baginya, Amelia.   "Amel!" seru Ajiz sedikit keras. Amelia berhenti melangkah menoleh ke belakang, Ah ternyata Ajiz. Amel berhenti di tempatnya berdiri menunggu Ajiz menghampirinya.   "Kenapa masih di kantor?" tanya Ajiz setelah bersisian dengan Amel.   "Lembur, sebentar lagi pulang, kok," sahut Amel tersenyum lembut. "Kamu kenapa masih di sini?" tanya Amel menatap mata Ajiz dalam.   "Aku juga baru selesai periksa berkas," jawab Ajiz membalas tatapan Amel. "Kamu lembur sendiri?”   Amel mengedikan bahunya. "Tadi nggak sendiri, sama Ferdi. Tapi Ferdi sudah selesai duluan, jadinya aku sendiri."   Ajiz mengangguk paham. "Ya sudah, aku temani sampai kamu selesai." Sesaat Amel terdiam, Amel hendak mengeluarkan protesan. Namun, tertahan oleh ucapan Ajiz yang tak mau dibantah. "Kamu kan kekasihku, akan sangat tidak baik kalau kamu harus di sini sendiriandan lebih buruknya kamu harus pulang sendiri. Jangan membantah, ini perintah mutlak." Ajiz berseru tegas.   Bahu Amel luruh tak bersemangat hanya bisa tersenyum masam. Bukan ia tidak mau ditemani, masalahnya sekarang di mejanya banyak camilan, makanan fastfood, dan satu lagi, ada beberapa botol s**u juga di sana.   Amel meringis dalam hati, dia menyesal memilih pergi ke toilet  menyebabkan dirinya akan berakhir mendapatkan ceramah dua jam berturut-turut.   Ajiz menggenggam jemari Amel, menuntunnya berjalan beriringan. Dalam hati Amel merapalkan doa supaya makanan itu akan menghilang saat mereka sampai di sana.   Ketika sampai di kubikel Amel, mata Ajiz terbelalak melihat isi meja kerja Amel. Ajiz menoleh ke sampingnya dengan tatapan mata yang sulit diartikan."Kamu mau gemuk lagi?" tanya Ajiz spontan membuat Amel meringis. "Amel, astaga.." Ajiz memijat pelipisnya kesal.   Amel diam mematung tak mengucapkan sepatah kata pun."Mel!" seru Ajiz setengah jengkel.   "Itu, bekas Ferdi. Bukan punya aku," kilah Amel berharap Ajiz percaya.   "Mau ngeles?" Ajiz menghela napas panjang. "Kamu pikir aku nggak tahu begitu?" Ajiz segera meraih botol s**u yang sudah kosong dan beberapa bungkus makanan ringan yang juga sudah kosong.Gerakan Ajiz terhenti melihat satu ember kecil chiken wing yang tinggal setengah lagi.Kali ini Ajiz gerambukan main, susah payah dia membantu Amel menurunkan berat badannya yang melibihi gentong selama bertahun-tahun harus gagal karena satu malam lembur? Yang benar saja!   "Mel, jujur aku kecewa dengan hawa nafsu-mu yang nggak bisa dikendalikan." Ajiz duduk di kursi dekat Amel berdiri. "Apa kamu lupa, bagaimana kamu dihina dan diejeki teman kamu dulu semasa SMA dan kuliah?" Ajiz benar-benar tak habis pikir. "Kamu dijauhi orang lain, dikucilkan, dan hanya Seira yang mau menemani kamu. Kamu nggak bisa menghargai pengorbanan Seira?" Amel masih diam bergeming tak menyahuti ucapan Ajiz. "Aku minta kamu berhenti kayak gini, jangan bikin aku kesal. Ayo pulang." Ajiz beranjak dari duduknya hendak meraih tangan Amel, tapi Amel segera menghindar dari jangkauan Ajiz.   "Kamu duluan saja, pekerjaanku masih banyak." Amel menolak tanpa berani menatap Ajiz. Alis tebal Ajiz terangkat sebelah mendengar penolakan Amel.   "Nanti, aku akan pulang minta dijemput Mas Burhan saja." Amel melangkah menjauhi Ajiz. Amelia benar-benar tersinggung dengan ucapan Ajiz yang mengungkit masa lalunya. Amelia geleng-geleng kepala mengabaikan denyutan yang sebenarnya kentara terasa di dadanya.   Ajiz merasa tak enak melihat reaksi Amel, seharusnya dia lebih bisa mengendalikan emosinya. Ajiz segera berbalik menyusul Amel, memeluknya dari belakang menggumamkan kata maaf. "Maaf, aku nggak bermaksud menyakiti hati kamu. Aku melakukan itu juga karena aku menyayangimu, aku nggak mau kalau sampai kamu dikucilkan seperti dulu, hanya karena berat badanmu."   Benar, Ajiz menyayangi Amel dia sudah menganggap Amel sebagai adiknya, bukan sebagai wanitanya.   Amel tersenyum. "Bukan masalah, memang benar apa katamu, seharusnya aku lebih bisa mengendalikan hawa nafsuku. Terimakasih sudah mau memedulikan aku."   Amel segera berbalik memeluk Ajiz erat, dia seharusnya jangan tersinggung, seharusnya dirinya bersyukur mendapati Ajiz yang mau memperjuangkannya, bukan malah menebak maksud terselubung dari ucapan Ajiz.  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN