Tujuh

842 Kata
"Tumben bangun pagi Mel, biasanya kamu kan bangun nanti jam tujuh pagi," sindir Laras ketika melihat Amel yang sudah berkutat di dapur entah membuat apa.Sekarang baru jam enam pagi, Laras pikir Amel sedang mengigau, tapi ternyata tidak.   "Terpaksa Mbak, aku harus bikin sarapan yang empat sehat lima sempurna," sahut Amel tanpa menoleh ke belakang.   Malam kemarin Ajiz memohon dengan sangat padanya untuk kembali mengatur pola makannya serta menjaga kembali makanannya yang mulai kembali ngaco. Mau tidak mau Amel menurutinya, karena menghargai usaha Ajiz waktu membantunya menurunkan berat badannya.   "Bagus deh, sekali-kali kan kamu yang bikin sarapan," ucap Laras senang. Dahi Laras mengerut melihat Amel yang berbalik menyeringai jahil ke arahnya.   "Jangan bilang kamu," ucapan Laras terhenti melihat Amel yang cengengesan. "Dasar perhitungan!" seru Laras kesal.   "Ayolah Mbak, Juna sama Mas Burhan mana suka sarapan kayak begini," tunjuk Amel pada omlet yang masih mengepulkan asap. "Aku juga sebenarnyaingin protes sama menu yang disaranin Ajiz, tapi daripada kentang doang kan, mending omlet." Omlet yang ia buat jauh dari Omlet yang sebenarnya, hanya tepung terigu dan juga sedikit garam, margarin rendah lemak dan salad sayur yang harus ia makan juga. Astaga... Menu macam apa itu. Amel pikir ia sudah terbebas dari menu sialan itu, tapi sayangnya Ajiz kembali memperketat menu makanannya.   Laras melangkah mendekati Amel. "Ya bagus dong, itu artinya Ajiz peduli sama kamu." Laras mengambil alih wajan yang ada di atas kompor, "Kamu harusnya bersyukur Ajiz mau menerima kamu apa adanya dari dulu sampai sekarang."   "Ralat Mbak, aku dulu sama Ajiz hanya berteman. Baru dua hari kami resmi jadi sepasang kekasih." Amel tak terima dengan kata Laras barusan.   "Mel, Ayo! Aku kira kamu masih tidur," Seira muncul dari pintu masuk dapur.   Laras menoleh ke belakang tersenyum lebar, "Eh Sei, kok pagi banget berangkatnya?" Laras membuka suara.   Seira tersenyum kemudian melangkah mendekati Amel dan juga Laras. "Iya nih Mbak, tadi Amel menghubungi aku ingin dijemput lebih pagi, katanya ada pekerjaan yang belum beres," terang Seira seraya mencomot omlet yang tersisa di piring.   "Ada apa?" Seira bertanya disela kunyahannya mendapati Amel yang menatapnya penuh selidik.   Amel menggeleng tanpa membuka suara berlalu meninggalkan keduanya di dapur. "Kenapa anak itu?" gumam Seira heran.   Laras mengedik kemudian kembali berbalik melanjutkan masakannya.   Seira sedikit was-was melihat sikap Ameli barusan. Namun buru-buru ia menepis ketakutannya sejauh mungkin.Amel memang selalu berangkat bersama Seira, karena Amel belum punya kendaraan apapun.Amel tak mau bergantung atau meminta pada Mas iparnya, jadi Amel lebih memilih menumpangi bus atau angkot saja, meskipun kurang nyaman tapi lumayan hemat.   Amel sudah kembali lagi ke dapur membawa tas dan juga laptopnya, menyempatkan menyeruput teh hijau yang menurutnya sangat pahit itu."Yuk Sei, Ferdi sama Andri sudah telepon barusan," ajak Amel tergesa-gesa.   Seira ikut menyeruput teh hijau milik Amel berpamitan pada Laras kemudian menyusul Amel yang sudah berjalan mendahuluinya.   "Mel, kamu kenapa sih kayaknya badmood benar?" Seira membuka suara setelah mobilnya melaju meninggalkan halaman rumah Laras.   Amelia menoleh mendesah frustrasi menyandarkan punggungnya. "Sumpah, malam kemarin aku kepergok Ajiz ngemil waktu lembur, sebagai sangsinya aku harus makan makanan yang aku bekal ini," keluh Amelia memejamkan matanya sejenak.   Diam-diam Seira menghembuskan napas lega kemudian berdeham menormalkan deru napasnya. "Kan aku sudah bilang dari dulu, kurangi ngemil yang begituan. Ajiz seperti itu karena memang dia peduli padamu."   Amelia kembali menegakkan tubuhnya menatap Seira dari samping. Seira menyadari diperhatikan Amel, membuatnya gugup takut salah bicara.   "Kok rasanya kayak lebih sesak ini ya daripada dikhianati," celetuk Amel menerawang.   Seira seketika menoleh, wajahnya terasa kaku merasa tersindir dengan ucapan Amel.Sementara Amel memperhatikan ekspresi Seira yang menurutnya aneh. "Kenapa? Memang benar kan, itu nggak boleh, ini nggak boleh. Harus makan ini, makan itu, kan capek. Kalau dikhianati kan kita bisa makan sepuasnya dengan alasan putus cinta," cerocos Amel sebal diakhiri dengan seringaiannya.   Seira tersenyum kikuk, terlalu parno dengan pikirannya sendiri. "Ya sudah sih, memang bagus juga kan kalau hidup sehat lima sempurna. Kamu nggak akan cepat terlihat tua," ucap Seira memutar setir mobilnya.   Amel hanya bergumam tak jelas karena Seira kurang menangkapnya dengan jelas.   "Ah aku lupa ceritakan kejadian tempo lalu, waktu aku satu lift sama Nino." Seira menoleh sekilas kemudian kembali fokus pada kemudinya. "Kamu tahu, waktu aku ngedumel di lift, Nino menimpalinya dan malah memuji kamu." Amel lanjut bercerita tak peduli Seira mau mendengarnya atau tidak.   "Dan yang lebih memalukan lagi itu waktu Nino semakin merapat padaku dan aku sudah soudzon saja padanya, eh ternyata dia malah membersihkan remah yang masih tersisa di sudut bibirku. Ya ampun.. Rasanya malu sekali waktu itu." Amel menutup matanya mengusap wajahnya frustrasi.   Seira tertawa renyah mendengar cerita Amel, astaga.. Bagaimana bisa ada remahan yang tersisa.Astaga... Seira membayangkan bagaimana ekspresi Amel waktu itu, dan tawa Seira semakin membahana membayangkan lagi bagaimana Nino menyingkirkan remah yang tersisa.   Amelia mendengus mendelik ke arah Seira, menyesal dirinya menceritakan ini padaSeira.Pantas saja Seira terbahak-bahak, coba bayangkan, seorang Pria yang berdiri di sampingmu tiba-tiba merapatkan dirinya padamu, pasti yang ada di pikiran saat itu adalah bahwa Pria itu akan menciumnya. Namun, nahasnya Pria itu malah memperhatikan remahnya saja.Benar-benar, Amel merasa hari itu adalah hari terburuknya.Pertama kejadian memalukan itu, dan kedua karena makanan itu yang membawa petaka padanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN