Delapan

933 Kata
Amel mengaduk salad sayur yang sama sekali tak menggugah selera makannya. Sesekali Amel mencuri padang ke arah makanan Ajiz yang sangat menggoda iman.   "Kenapa nggak dimakan?" tanya Ajiz baru sadar jika salad punya Amel hanya diaduk-aduk saja.   Amel mendengus mendelik sebal pada Ajiz yang pura-pura tak mengerti keinginannya. Ajiz mengambil alih wadah yang berisi salad sayur kemudian menyuapkannya pada Amel.   Amel menerima suapan pertama tanpa protesan sedikit pun."Kalau kamu sebal, atau mual, lihat saja wajah Aku. Aku yakin kamu pasti bakalan nafsu makan kalau sambil lihat Aku," ujarnya tersenyum lebar.   Lagi-lagi Amel mendengus mengembungkan pipinya kesal. "Mana ada lihat kamu nafsu makan aku jadi bertambah? Yang ada kan malah down, kamu curang ah! Kamu menyuruh aku lima sehat empat sempurna, tapi kamu sendiri nggak kayak begitu!" sungut Amel memberengut kesal.   Ajiz kembali menyuapkan salad sayur yang kedua, setelah itu mencubit pipi Amel gemas."Hey, Aku kan nggak ada riwayat gemuk, Sayang.. Jadi nggak perlu repot-repot buat hidup sehat lima sempurna," sahut Ajiz gemas.   Amel menepis tangan Ajiz yang mencubit pipinya sedikit keras.   Pipi Amel merona dan sekujur tubuh Amel terasa menghangat atas panggilan Ajiz barusan, untung saja Ajiz tidak melihatnya. Kalau sampai melihatnya, Amel malu sekali.   "Sakit tahu!" protes Amel. "Kamu sih bicara gampang, coba kalau kamu diposisi Aku. Ini nggak boleh, itu nggak boleh, kamu itu kekasih Aku atau ahli gizi sih," ketus Amel.   Ajiz menyeringai sejenak nampak berpikir. "Dua-duanya."   Ajiz menatap Amel lekat. "Aku nggak bisa bayangin posisi kamu, karena Aku nggak suka ngemil atau makanan sejenisnya." sungguh, jawabannya sangat menusuk sampai ke ulu hati.   Astaga... Rasanya Amelia ingin menenggelamkan sang Kekasih saat itu juga, tapi sayangnya, Danaunya tidak ada.   *** Semua karyawan di Perusahaan sudah tahu hubungan Ajiz dan Amel, tak ada yang bisa menunjukkan rasa tak sukanya, karena Amel bukan tipe wanita lebay yang akan diam saja kalau dirinya ditindas.   Begitu juga dulu waktu SMK, dirinya sering diejek dan dikerjai, tapi Amel tidak pernah diam, dia selalu melawannya. Namun, nahasnya Raja buli-nya tak pernah menyerah mem-bulinya terus, bahkan sampai saat ini pun Nino sering mem-bulinya jika berpapasan dengannya.   "Eh Amel, mencari siapa Mel?" tanya Ika rekan kerja beda divisi melihat Amel yang berdiri di ambang pintu.   Amel menggaruk kepalanya yang terasa panas. "Ini, Seira-nya sudah pulang belum? Aku cari Seira, sekarang juga kan sudah jam pulang," jawab Amel kikuk.   Ika membulatkan bibirnya mengangguk paham. "Tadi sih sebelum jam pulang, Seira dipanggil Pak Ajiz buat ke ruangannya, tapi nggak tahu deh sudah kembali lagi atau belum." Ika menjawab pertanyaan Amel jujur.   Memang benar, tadi sebelum jam kerja selesai, sekretaris Ajiz meminta Seira untuk ke ruangan Ajiz dan sampai sekarang belum kembali lagi.   "Ah baiklah, makasih ya," ucap Amel terburu-buru berjalan meninggalkan Ika yang tercengang di tempatnya.   Amel mempercepat langkahnya, tadi dirinya melihat penampakan yang luar biasa menyeramkan di belakang Ika."Ndut tunggu!" nah kan penampakannya malah mengikutinya. Amelia semakin mempercepat langkahnya, sesekali memejamkan matanya merapalkan supaya penampakan itu tidak mengejarnya lagi."Ndut!" berhasil, Dia berhasil meraih pergelangan tangan Amelia. Ya ampun.. Ini dirinya yang lemot atau Dia yang jalannya kecepatan.   Amelia segera berbalik, tersenyum paksa. "Eh selamat sore Pak Nino," sapanya tanpa rasa bersalah. "Lo tuh tuli beneran, ya? Gue panggil-panggil tuh seharusnya lo noleh ke belakang," gerutu Nino kesal.   "Ah, Bapak manggil saya? Kok Saya nggak dengar, ya?”Amelia menyelipkan rambut hitamnya ke belakang telinganya. "Kata orang tua jaman dulu itu pamali menoleh ke belakang, nanti takut kena sial."   Alis Nino terangkat sebelah, sementara bibirnya sedaritadi mengulum senyum geli atas jawaban Amel."Lo nyari Seira?" tanya Nino yang diangguki Amelia. "Seira dari tadi di ruangannya Ajiz, mau ke sana?" tanyanya lagi.   Tanpa sengaja mata Amel menatap manik hitam tajam milik Nino, pantas saja aura intimidasinya sangat kuat, orang tatapan matanya juga tajam sekali. Amelia menggelengkan kepalanya dengan kuat. “Nggak perlu, Saya pulang naik taksi saja."   "Kok lo nggak nyambung sih, Gue kan menawarkan lo buat masuk ruangan Ajiz. Kenapa urusannya jadi naik taksi?" sewot Nino gemas dengan ketidak pekaannya Amelia.   "Terus masalahnya di mana? Saya kan nyari Seira buat ngajak pulang bareng, tapi berhubung Seira masih ada kerjaan, ya sudah saya naik taksi saja."   "Astaga, Ndut. Lo polos atau b**o sih! Mereka berdua di ruangan yang sama. Ber-dua oke," tekan Nino gemas sendiri. "Dan lo nggak ada rasa penasaran yang tinggi untuk sekedar mencari tahu apa yang mereka lakukan di dalam sana?"   "Seira dipanggil ‘kan pas waktu kerja, mungkin mereka membahas pekerjaan," jawab Amel masih berkilah.   Nino berdecih tersenyum sinis. "Kalau lo lupa Seira itu sekretaris gue, kalau ada pekerjaan pun seharusnya masuknya ruangan gue, bukan Ajiz."   Amelia diam, benar juga apa kata Nino, tapi dia tidak boleh berprasangka buruk pada Ajiz apalagi Seira. Disela lamunan Amel, Nino memanfaatkan kesempatan untuk memojokkan Amel tanpa dirinya sadari.Amel sudah terpojok, Nino mengukung Amelia dengan kedua tangannya yang bertumpu pada tembok. Nino menatap lekat manik cokelatAmelia, wajah mereka sangat dekat, bahkan Nino bisa merasakan hembusan napas Amel yang tidak beraturan.   Amelia terkesiap baru sadar jika dirinya sudah dalam kukungan Nino. Sebenarnya dirinya takut, tapi dia harus melawannya. Dengan berani Amel membalas tatapan Nino tanpa ia sadari dengan begitu dirinya semakin terhanyut dalam manik hitam pekat Nino.   "Nggak semua yang lo lihat baik, iti baik. Adakalanya yang lo lihat baik bakal menusuk lo dari belakang. Dan nggak selalu orang yang lo anggap musuh atau semacam pengganggu itu jahat, adakalanya sebenarnya peduli sama lo," bisik Nino terdengar berat. Bulu halus di permukaan kulit Amel meremang. Setelah membisikan itu, Nino meninggalkannya.   Amelia merasa degup jantungnya berpacu sangat cepat, Amel tertegun dengan apa yang diucapkan Nino padanya.   Tidak, tidak mungkin seperti itu.   Siapa Nino? Dia hanya tukang buli yang senang mengganggu dirinya. Iya, Nino hanya tukang buli.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN