1. “What’s your name, again?” (1)
Chapter 1 :
“What’s your name, again?” (1)
******
“LAMA banget, sih, mikirnya?”
Ucap Lucian tiba-tiba, membuat Selin, Maxi, dan Aria tersentak dari rumitnya isi kepala mereka sendiri. Mereka sedang duduk di café yang ada di kampus, masih kepikiran soal apa yang baru saja dosen mereka katakan dua puluh menit yang lalu di dalam kelas, sebelum akhirnya mereka pergi ke café bersama-sama saat jam mata kuliah dosen tersebut selesai.
“Lucian, kalo emang ada tempatnya, kita nggak bakal mikir lama-lama kayak gini!” sahut Maxi, gadis itu mendadak jadi kesal sendiri. Aria—pacarnya Lucian—juga memperingati Lucian dari gerakan matanya.
Lucian nyengir; dia seakan-akan merasa tak bersalah. “Bukan gitu maksudku. Buat apa kalian repot-repot mikir keras soal ke mana kita bakal ngerjain tugas kelompoknya?”
Maxi mulai emosi. “Ya, kan, karena di rumah kami semua rame—”
“—kan bisa di rumahku,” potong Lucian.
Maxi terdiam. Agak kaget, sebetulnya. Aria dan Selin juga tertegun, mereka seolah baru berpikir seperti ini: “Lah...kalo dipikir-pikir...iya juga, ya.”
“Eh, iya juga, ya,” sahut Aria, seolah menyuarakan pikiran mereka bertiga. Maxi juga agak kaget, kok dia tidak kepikiran sampai ke situ, ya? Apa karena mereka belum pernah sama sekali main ke rumahnya Lucian?
Jadi, sebenarnya mereka sudah kenal Lucian dari semester pertama, tetapi memang tidak pernah main ke rumah pemuda itu. Hanya saja, mereka tahu bahwa ibunya Lucian sudah lama meninggal dan anak tunggal itu diurus oleh ayahnya seorang. Dari dulu, Lucian memang tidak pernah mengajak mereka main ke rumahnya.
Sebenarnya, kalau ditelaah dari sisi Lucian, Lucian bukan tak mau mengajak mereka main ke rumahnya; dia belum pernah kepikiran saja, soalnya dia juga nempel sama Aria terus. Isi hidupnya itu cuma tidur, makan, kuliah, olahraga, jalan sama Aria, lalu kembali lagi ke rumah. Jadi, lebih ke...tidak pernah kepikiran saja untuk mengajak teman-temannya datang ke rumah. Teman-temannya pun jadi tak pernah punya inisiatif untuk datang karena Lucian sendiri tak pernah mengajak mereka. Agak segan juga, sih, sama ayahnya Lucian, soalnya mereka tahu bahwa Lucian ini anak dari pengusaha sukses. Ayahnya itu adalah seorang konglomerat. Pemilik business conglomerate. Jadi, agak gimana…gitu, mau datang ke rumahnya tanpa diajak.
Well, tetapi mereka pernah, sih, melihat foto ayahnya Lucian. Namun, itu hanyalah foto selfie berdua dengan Lucian. Di foto itu, mereka sama-sama memakai sunglasses.
Intinya, mereka tahu bahwa ayahnya Lucian adalah Juan Abraham Damon Zacharias, yang sering dikenal dengan nama Juan Zacharias. Dia pengusaha besar yang mempunyai perusahaan multinasional Zach Enterprises, Inc. yang juga dikenal sebagai Zach Corp. atau Zach Industries. Anak perusahaannya ada banyak dan bahkan ada yayasannya, yaitu The Zach Foundation. Akan tetapi, Selin dan kawan-kawan tak pernah melihat Mr. Zacharias secara langsung walau anaknya setiap hari main sama mereka.
Lucian pernah sesekali bercerita soal teman-temannya kepada sang ayah saat sarapan atau saat berolahraga bersama di hari libur. Sejauh ini, sang ayah tak pernah komplain tentang pergaulan Lucian, soalnya Lucian memang tak pernah neko-neko juga.
Dia agak sengklek saja, sih.
Selin menempatkan jemarinya di dagu, mengernyitkan dahi sedikit berpikir, lalu bersuara, “Nggak apa-apa, nih, Lucian? Soalnya kami belum pernah ke sana. Dibolehin nggak sama ayah kamu?”
Ini Selin serius bertanya, soalnya dia betulan agak segan. Mereka sudah berteman dengan Lucian selama bertahun-tahun, tetapi untuk pergi ke rumah pemuda itu…rasanya tetap agak segan. Segan, tetapi penasaran. Pengin tahu juga isi rumah konglomerat itu seperti apa.
Lucian meminum sisa americano di cup miliknya, lalu mengangguk santai seraya menelan likuid yang sedang ia konsumsi itu. “Boleh. Ayahku juga lagi nggak ada di rumah kok. Dia ada perjalanan bisnis ke China. Udah pergi dari empat hari yang lalu.”
Tubuh Aria, Selin, dan Maxi langsung sedikit menegap, mereka seolah mendapat sebuah sambaran energi baru. Ada kilatan semangat di mata mereka yang agaknya bergerak dengan sangat cepat. Maxi sampai-sampai sulit untuk menyembunyikan senyumnya. Jujur, dia jadi excited banget. “Bener, nih?!”
Lucian mengangguk. “Iya. Dia pulangnya besok malem. Kita bisa pake rumahku buat ngerjain tugasnya. Nanti aku ajak Dylan juga.”
Mendengar nama Dylan, rasa semangat Selin jadi agak turun. Ia merasa seolah-olah ada pukulan tak berwujud yang mengenai jantungnya. Agak nge-jleb sedikit.
Tidak, Selin tidak membenci Dylan. Tidak sama sekali. Selin dan Dylan juga tidak bertengkar. Mereka baik-baik saja kok.
Tadinya, sih, begitu.
Kalau sekarang...Selin agak merasa canggung ke Dylan.
Sekadar informasi, Selin ada sedikit rasa bersalah ke Dylan. Akhir-akhir ini, Selin menjauhi Dylan. Ia merasa harus melakukan itu karena tak ingin pertemanan mereka menjadi super-tidak-menyenangkan kalau ia menolak pernyataan cinta dari Dylan. Jadi, dia memilih jalan tengah, yaitu sedikit menjaga jarak dari Dylan. Namun, ya...memang hanya bisa sedikit, soalnya Dylan itu adalah sahabatnya Lucian. Selin dan Maxi juga adalah temannya Lucian. Jadi, mereka tidak bisa benar-benar ‘punya’ jarak. Ada Lucian yang menjembatani mereka.
Agak susah kalau sampai mau menjauhi Lucian juga, soalnya Lucian orangnya baik. Tajir pula.
Ups.
“Kalo mau nginep di rumahku juga nggak apa-apa. Biar sekalian selesai tugasnya. Kalian bisa pulang besok,” kata Lucian, pemuda itu meyakinkan mereka semua.
Alhasil, karena tawaran yang bagus itu (tawaran itu juga merupakan pilihan yang terbaik daripada harus mengerjakan tugas di rumah mereka yang ramai dengan keluarga), mereka semua akhirnya mengangguk setuju.
“Oke, sip. Kita nginep aja. Sesekali nginep di rumah konglomerat,” jawab Maxi seraya mengacungkan jempol.
Selin mengangguk dan tertawa mendengar jawaban Maxi; agaknya, dia sudah mengikhlaskan soal Dylan tadi. “Oke, Lucian. Pulang dari kampus ntar kita langsung bareng-bareng pergi ke rumah kamu.”
Sementara itu, Aria memilih untuk memeluk lengan Lucian, mengusap-usapkan kepalanya ke lengan atas Lucian sebagai tanda bahwa dia setuju dan bahagia atas tawaran dari kekasihnya itu. Lucian tersenyum melihat Aria yang memang selalu bertingkah manja, sementara Maxi dan Selin—yang sudah terbiasa dengan pemandangan tersebut—hanya cuek dan kembali fokus untuk membahas rencana menginap mereka di rumah Lucian.
*****
“Lucian, aku boleh numpang mandi nggak?” tanya Selin. “Soalnya badanku udah kerasa agak lengket.”
“Badan bagian mana, nih, yang lengket?” sahut Lucian yang langsung dihadiahi pukulan di kepala oleh Aria. “Dasar!”
Lucian tertawa dan menghadang pukulan Aria dengan kedua tangannya yang menyilang. Seraya menghindari pukulan itu, Lucian pun menjawab Selin, “Oke, Selin. Mandi aja. Pake aja kamar mandi yang ada di dalem kamar tamu lantai dua. Yang ada di sebelah kamar Ayahku.” []