Chapter 2: Kabut Gengsi.
“Ini seperti sebuah magnet yang berlawanan namun saling menginginkan. Tapi itu semua tertutup kabut pekat. Sejenis kabut gengsi yang tak terukur.”
________
Kelompok teater sedang berlatih di gedung pertunjukan yang menjadi pusat latihan dan pementasan seni pertunjukan teater ‘World of Face’. World of Fece adalah sebuah sangar seni teater yang di kenal luas oleh masyarakat. Sangar teater ini termasuk sangar terbesar dan nomor satu di Indonesia. Maka dari itu banyak sekali yang ingin masuk dan bergabung di sangar ini. Namun, itu semua tak mudah. Hanya pemain yang mempunyai kemampuan akting, daya ingat yang tinggi, tekad yang kuat dan percaya diri. Bisa masuk di sana dengan melewati sleksi yang ketat dan rumit. Sangar itu juga menjunjung tinggi nilai persaudaraan, solidaritas, toleransi dan gotong royong. Para anggota teater hidup dalam nuansa keluarga yang erat dan hangat. Tak ada perbedaan di sana, semua sama. Hal itulah yang membuat Verity nyaman berada di lingkungan sangar teater World Of Face.
Hari jum’at sore memang pemusatan latihan di gunakan untuk rapat. Rapat di gelar sebanyak empat kali seminggu. Pada hari jum’at, sabtu dan minggu. Sebelum dan sesudah pementasan. Pementasan teater di lakukan setiap hari sabtu dan minggu dengan tema cerita yang berbeda serta pemain yang berbeda. Menggunakan sistem gilir antar pemain dalam setiap pementasan, agar adil.
Rapat telai usai, Verity dan kedua sahabatnya tengah membantu berkemas. Setelah membantu berkemas, mereka bertiga pamit pulang kepada para kru yang masih bekerja untuk pementasan besok. Mereka bertiga keluar area gedung pertunjukan dengan mengayuh sepeda masing-masing.
“Verity, kita pulang dulu ya!”
“Hati-hati!”
“Iya, sampai jumpa besok!”
Saat kedua sahabatnya pulang menuju jalur yang berlawanan dengannya, Verity mengayuh sepeda dengan pelan menuju rumah kontrakannya. Dengan mengenakan aerphone warna putih sembari bersenandung ria dengan pelan.
Arza mengendarai motor sport warna merah melaju dari lawan arah dengan kecepatan sedang. Ia melihat Verity dan membuatnya memutar arah. Ia mengklakson namun tak di dengar oleh Verity. Tak menyerah, ia pun mengikuti Verity dengan senyum penuh harap.
Verity sampai di depan rumah namun saat ia akan masuk ke dalam gerbang, ia mendengar suara klakson motor.
Arza melepas helmnya dan menunjukkan cengiran ke arah Verity.
“Kak Arza!” sapa Verity bingung.
Arza memasukkan motor sportnya ke dalam pelataran rumah Verity.
Verity hanya mengeryit bingung dan memasukan sepedanya ke dalam garasi setelah itu ia menaiki tangga menuju teras rumah.
“Kakak, ada perlu apa?” Verity melihat Arza yang mengikutinya dari belakang.
Arza hanya menunjukkan wajah bersahabat dan tak menjawab pertanyaan Verity.
Verity membuka kunci rumah lalu tanpa permisi, Arza menyerobot masuk. Seperti tak punya sopan santun.
“Kakak, ada perlu apa?” tanya Verity sekali lagi, ia terlihat mulai kesal dengan tingkah Arza. Arza tak menggubris dan duduk di sofa yang terletak di samping jendela kaca.
“Terserah! Aku mau mandi dan jangan ngintip. Duduk di situ.” Verity terdengar sangat kesal dan berjalan menuju ruang tengah.
Arza hanya tergelak tawa, mendengar perkataan Verity berusan. “Aku bukan cowok b******k yang ngintip orang mandi, ya!” respon Arza sambil terus tertawa dan menggelengkan kepala pelan.
“Bagus!” teriak Verity dari ruang tengah.
Arza terdiam dan sebenarnya ia agak tersinggung dengan apa yang Verity tuduhkan tadi tapi ia berhasil menutupi itu dengan pura-pura tertawa.
Arza memperhatikan rumah kontrakan Verity. Sebuah sofa berukuran medium yang menghadap ke arah lukisan realisme yang terpajang di dinding dan menghadap sofa yang ia duduki. Meja kaca di depan sofa, dihiasi bunga mawar putih hidup. Di sebelah ruang tamu, terdapat sebuah kamar tamu yang pintunya menghadap ke arah ruang tamu. Terdapat billy yang sekaligus menjadi sekat ruang tamu dan ruang tengah.
Arza beranjak dari duduknya dan menelusuri ruangan yang berada di balik billy itu. Sebuah ruang keluarga berukuran medium, penuh akan nuansa blue denim. Dinding di tempeli beberapa hasil jepretan foto polaroid. Lemari barang dua pintu dengan warna putih tulang sebagai sekat ruangan. Buffet kecil tempat televisi layar datar yang menghadap ke sofa bed.
Di balik lemari dua pintu yang menjadi sekat ruanganan terdapat sebuah dapur yang berisikan; meja makan, kulkas, dispenser, kompor gas dan lemari kecil tempat menyimpan prabotan dapur.
Arza kembali ke ruang keluarga, menghirup aroma bunga melati yang berpadu dengan aroma pengharum ruangan. Arza melihat ke arah langit-langit, sebuah kipas angin besar berwarna biru tua tergantung di atas sofa bed dan berhiaskan lampu. Setelah puas mengamati ruang keluarga Verity, Arza kembali duduk di sofa ruang tamu sembari melihat lukisan yang di pajang itu. Lukisan aliran realisme yang bercerita tentang seorang ibu yang memukul lesung dengan anaknya duduk di dekat kaki ibunya. Bibir Arza tersenyum memandang lukisan itu.
Karena merasa bosan, ia kembali masuk ke dalam ruang keluarga dan menyalakan televisi. Menganti saluran sesuka hatinya dan memutuskan untuk menonton berita ekonomi.
Arza mendengar pintu kamar mandi yang terletak di dekat kamar utama terbuka. Ia melihat Verity keluar dari kamar mandi, masih mengenakan pakaian yang sama. Sepertinya Verity lupa membawa baju ganti atau gaun mandi. Hal itu menarik mata Arza untuk terus memperhatikan Verity. Dari Verity keluar kamar mandi, cara berjalan Verity hingga Verity saat masuk ke kamarnya sampai kembali masuk ke dalam kamar mandi. Verity bergerak seolah tak ada kehadirannya di sana. Arza mengeraskan volume televisi hanya untuk mengalihkan perasaan aneh yang menyerang hatinya. Yang ada di benaknya saat ini; saat Verity mengayuh sepeda, wajah bingung Verity, saat Verity memanggil namanya, lekukan yang di buat Verity saat berjalan, sifat lugu Verity terhadap kehadirannya dan aroma yang berada di dalam rumah Verity. Arza mengacak-acak rambutnya frustasi.
Arza mendengar suara pintu kamar mandi kembali terbuka. Namun ia lebih memilih untuk memejamkan mata. Meghindar dari tatapan Verity atau melihat Verity. Rasanya sangat aneh, seperti sepasang kekasih yang saling canggung. Apa yang ia pikirkan. Kenapa berpikir sejauh itu. Oh Arza, dia memang sudah menghantuimu.
Dalam matanya yang terpejam, ia mendengar suara sofa bed yang di duduki oleh seseorang dan ia yakin bila itu Verity.
“Kakak, ada perlu apa?” tanya Verity ketiga kalinya kepada Arza, saat keduanya sama-sama duduk di atas sofa bed yang sama.
Kedua mata Arza terbuka dan kini ia menoleh ke arah Verity sembari menjawab pertanyaan Verity. “Hanya ingin berteman!” Arza menyunggingkan senyum ke arah Verity yang duduk di dekatnya.
Verity menatap Arza lalu mengalihkan pandangan ke layar televisi yang menyala. “Berteman?”
Arza dapat mendengar gumaman Verity barusan dan ia berucap, “Kita main di luar yuk?”
Verity menoleh ke arah Arza dan perempuan itu mengangguk. “Boleh sih, tapi kemana? Udah malam juga!”
*.*.*.*
“Kamu sebel gak sama Joe yang jarang pulang ke rumah?” tanya Arza saat mereka berdua yang bersandar di samping jok motor Arza. Menghadap hamparan rerumputan luas pada malam hari.
“Engak! Daripada dia mabuk pulang ke rumah dan nyusahin, mending dia gak usah pulang!” Verity mengedarkan pandagannya ke sekeliling.
“Dia emang susah di bilangin. Jangan sering mabuk malah gak terima!”
“Kakak tau gak kalo dia mabuk pulang ke mana?” tanya Verity dan Arza dapat mendengar nada penasaran sekaligus khawatir dari Verity.
Arza mengembuskan napas, “Ke rumah ku dan kadang ke rumah pacarnya, eh mantanya!”
“Dia gak ngerepotin kakak, kan?” tanya Verity dan Arza melihat aura tak enak hati dari wajah Verity.
“Sangat! Tapi, seru kalo ada Joe. Lagian, rumahku udah kayak hotel buat anak-anak.” Cerita Arza singkat dengan terkekeh mengingat betapa gaduh rumahnya bila Jonathan dan Ardo tengah mabuk berat dan hanya dia yang waras.
Terdengar embusan angin malam bertabrakan dengan embusan napas mereka. Jangkrik saling bernyanyi riang, memecah keheningan malam yang dingin. Tak ada yang saling bicara lagi, mereka diam. Arza masih terus mengontrol degup jantungnya yang tak menentu. Ia nampak tegang, tak tau harus berbuat apa.
“Kenapa kakak mengajakku kemari?” tanya Verity memecah keheningan.
Arza tersenyum simpul sambil melihat bayangan Verity. “Ini tempat yang damai. Lihat, kita bisa melihat bintang, bulan dan merasakan angin malam. Tempat ini, sangat hijau saat pagi dan siang hari. Akan berwarna oranye saat sore hari.”
“Kakak, sering ke sini?”
Arza suka saat Verity ingin tau tentang dirinya seperti ini. Meskipun itu basa-basi bagi Verity tapi baginya ini adalah sebuah kebahagiaan. “Terkadang!”
“Ini, pertama kalinya aku keluar sama seorang cowok!” akuh Verity dan nada suaranya itu sangat lugu.
Perasaan Arza sangat bahagia saat mendengar pengakuan Verity. Ia tak menyangka, bahwa ia menjadi pria pertama yang menemani Verity keluar malam. Perasaan yang tak pernah ia rasakan selama ini, walau pun banyak perempuan yang datang menghampirinya.
“Kamu gak takut sama aku?” tanya Arza dengan harapan bahwa Verity tak takut lagi padanya seperti kejadian pukul tiga dini hari yang lalu.
Verity menggeleng pelan dan Arza rasanya ingin berteriak kencang sambil mengucap syukur.
Perasaan yang timbul sangat berbeda dengan perasaan yang hadir dahulu. Entah itu cinta atau hanya sekedar suka dan perlahan memudar. Perasaan yang ada selama ini, perasaan yang setiap harinya semakin aneh. Apakah ini yang di namakan dengan cinta itu tak rasional. Atau rasa penasaran yang tinggi, sehingga rasa itu tetap hadir sampai rasa penasaran terobati. Ini seperti sebuah magnet yang berlawanan namun saling menginginkan. Tapi itu semua tertutup kabut pekat. Sejenis kabut gengsi yang tak terukur. Mampukah Arza menjawab teka-teki dalam hidupnya ini. Bisakah ia membuat perempuan lugu dan baik itu mencintai dirinya, seperti yang ada dalam ekspetasinya selama ini.
*.*.*.*
“Swear, I treat her well!” Joenathan tengah berbicara dengan seseorang yang berada di sebrang sana. Ia nampak serius dan berulang kali mengeluarkan sumpah serapah.
“I never let everyone hurt her again.” Ada jedah panjang dalam kalimatnya. “Bro, trust me! I’ll break everyone who hurt her.”
“Joe, kamu pulang!” Verity baru menginjakkan kaki di atas teras dengan Arza yang berada di sampingnya.
“Dari mana? Ini udah jam sebelas!” tegur Joenathan dengan menatap Arza tajam.
Arza akan bersuara tapi Verity menceritakan semua kejadian dari dirinya datang hingga pulang larut malam.
Kedua mata Arza menatap Joenathan dan sahabatnya itu mencoba untuk tenang.
“Lain kali kalo mau pergi pamit ke gue atau Ken. Biar kita gak khawatir!” nasehat Joenathan pada Verity kemudian berjalan dengan menarik lengan Arza untuk menuruni tangga teras.
“Gue pergi dulu dan jangan lupa kunci pintu!” pamit Joenathan dan telapak tangan Joenathan membekap bibir Arza agar tak bersuara.
“Gue udah bilang, jangan deketin adik gue!” sergah Joenathan kepada Arza yang tengah menyalakan mesin motor.
Arza menaruh kedua tanganya di atas d**a sembari membalas peringatan Joenathan. “Gue Cuma mau berteman sama dia. Gak ada niat jahat atau pun nyakitin dia. Percaya sama gue!”
Joenathan menutup kaca helm Arza kasar lalu berjalan menuju mobilnya yang terparkir tak jauh dari motor Arza.
To be continued.