Pertemuan Kedua

1815 Kata
Kendra’s POV Rasanya seperti hidup di alam mimpi. Sebulan lagi aku akan dinikahkan dengan seorang gadis yang belum pernah aku temui, bahkan melihat fotonya saja belum pernah. Dia anak teman ayah. Dan jika ayah sudah memiliki keinginan kuat, aku harus menurutinya. Aku hanya tahu nomer w******p-nya. Kami sudah saling mengirim pesan WA beberapa hari belakangan ini. Besok akan ada pertemuan keluarga untuk membicarakan kelanjutan rencana pernikahan kami. Terkesan mendadak, tapi mereka udah ngebet ingin menikahkan kami dengan cara yang sederhana, nggak mewah, makanya mereka berani menentukan pernikahan kami bulan depan setelah sebelumnya mereka sudah sering bertemu beberapa bulan yang lalu dan merencanakan pernikahan ini. Kami seperti boneka yang harus menurut. Mungkin karena kondisiku yang sedang patah hati mendukung, jadi aku pun menyetujuinya. Besok adalah hari di mana aku akan melihatnya untuk pertama kali. Perasaanku sempat galau tak menentu. Di satu sisi aku tak bisa menolaknya karena aku tak mau mengecewakan ayah. Di sisi lain aku masih mencintai mantan kekasihku. Memang kami sudah putus, tapi aku masih berharap bisa kembali padanya. Walau sepertinya tidak mungkin karena aku dengar dia sudah bertunangan. Dia cinta pertamaku di masa kuliah dulu. Kami putus saat dia meneruskan kuliah S2nya di Australia. Hubungan jarak jauh membuat masalah semakin runyam, cemburu, tak ada waktu komunikasi karena sibuk dengan urusan masing-masing. Aku menyesal kehilangannya meski dia yang memutuskan cinta kami. Perasaanku masih kuat padanya. Bagaimana nanti aku menjalani pernikahan sementara hatiku masih tertambat pada wanita lain? Terpikir untuk mengirim WA untuk Shera, gadis yang akan dijodohkan denganku. Aku memang ingin membangun keakraban dengannya sebelum kami bertemu. Shera apa pengalaman paling gila yang pernah kamu lakukan? Sambil menunggu balasannya, aku memainkan gitar di balkon seraya memandangi suasana malam yang senyap. Sesaat kemudian smartphoneku bergetar dan berbunyi. Ada balasan dari Shera. Aku pernah membuat permainan menantang dengan teman-teman SMAku. Kami berhompimpa, siapa yang berbeda sendiri, dia harus mengutil di minimarket. Sialnya aku yang mendapat tantangannya. Dan kamu tahu? Ada seorang cowok menyebalkan mengejarku hingga akhirnya aku terpaksa menyerahkan kartu pelajarku. Esoknya dia datang ke sekolah dan melaporkan perbuatanku pada kepala sekolah dan aku kena skorsing. Kalau pengalamanmu yang paling gila apa? Aku terperanjat dan kaget setengah mati. k****a ulang rentetan huruf di pesan WA-nya. Kejadian lima tahun lalu seakan terekam kembali tepat di depan mataku. Aku seperti tengah menonton film dokumenter yang membawaku pada masa lalu. Jadi dia Shera Anindhita? Anak SMA yang dulu mengutil di minimarket ayah? Kubalas WA-nya. “Pengalamanku yang paling gila adalah saat aku mengejar gadis yang mengutil di minimarket ayahku, lalu aku minta kartu pelajarnya dengan paksa dan esoknya aku datang ke sekolahnya untuk melaporkan perbuatannya.” Entah apa reaksinya membaca balasanku. Tapi aku harus jujur dari sekarang, sebelum dia kaget saat melihatku besok. Itu juga kalau dia masih ingat wajahku. Sosok Shera di masa lima tahun yang lalu menelusup ke dalam memoriku. Aku ingat waktu itu rambut panjangnya dikucir kuda. Dia mengenakan kaos yang ditutup dengan kemeja lengan panjang bermotif kotak-kotak dan kancingnya dibiarkan terbuka. Sepertinya kaos dan kemeja yang ia pakai lebih tepat dibilang pakaian laki-laki. Dia memang tomboy. Celana jeansnya berlubang seperti dicakar di sepanjang lutut. Kulitnya tidak gelap tapi juga tidak terlalu terang, mungkin kuning langsat. Matanya tajam, agak bulat dan aku tak begitu ingat detail wajahnya, tapi kesan awal yang aku tangkap adalah dia cukup manis, makanya aku heran, cewek manis tapi tukang ngutil? Dari pesan di WA-nya aku tahu, ternyata dia mengutil karena kalah hompimpa dengan teman-temannya. Dia termasuk murid bandel di sekolahnya. Dia bilang, dia kena skorsing setelah aku melaporkan perbuatannya. Mungkin saat ini dia berpikir ulang tentang perjodohan ini. Awalnya kami sama-sama setuju, aku tak tahu apa pernikahan ini akan dilanjutkan atau tidak. Shera’s POV Aku kaget membaca balasannya. Amarah yang dulu tertahan seakan meluap, meluber hingga membuat hatiku kesal, sesak dan penuh rasa benci. Aku tak akan lupa di hari itu, saat dia datang ke sekolahku dan melaporkan perbuatanku. Pak Kepala Sekolah menatapku dengan tatapan penuh amarah dan kekecewaan. “Sheraaaaaa ini kesekian kalinya kamu berbuat ulah. Malu-maluin. Ke minimarket hanya untuk mengutil satu coklat? Apa kamu udah nggak bisa berpikir jernih? Untung pemilik minimarket itu tidak menyebarkan berita ini kemana-mana. Coba kalau tersebar, reputasi SMA ini bakal turun gara-gara ulah murid bandel kayak kamu.” Aku harus mendapat skorsing selama satu minggu. Bahkan hukumanku sama dengan hukuman murid yang tawuran. Itu artinya apa yang aku lakukan sama jahatnya dengan tawuran? Harusnya aku senang karena dalam waktu seminggu aku bebas dari pelajaran sekolah, tapi waktu itu aku udah kelas 12, rasanya rugi juga melewatkan pelajaran karena karena sudah mendekati UN. Aku menyesal mengiyakan perjodohan ini. Payahnya lagi Adhyastha Kendra ini adalah satu-satunya sosok yang aku harapkan bisa membawaku lari dari rumah ini. Sudah lama aku ingin kabur dari rumah dan hidup mandiri. Tapi rasanya sulit sekali untuk mandiri secara finansial karena aku butuh biaya yang banyak untuk kuliah. Aku sudah lulus sekarang dan aku masih kerja di coffee shop. Sekarang aku kerja full time, tidak seperti saat kuliah, aku kerja part time di coffee shop itu. Rencananya aku ingin mencari pekerjaan lain yang lebih baik. Aku sudah sangat muak tinggal seatap dengan mak lampir itu. Dia setuju sekali aku dijodohkan dengan Kendra karena keluarga Kendra punya bisnis minimarket di mana-mana. Kendra selain bekerja sebagai chef di hotel berbintang juga membantu ayahnya mengurusi bisnis minimarketnya. Emak tiriku itu mata duitan, semua orang tahu soal ini. Besok kami akan bertemu. Entah seperti apa rupanya sekarang. Dia cukup tampan sih dan tinggi, aku suka cowok yang tinggi. Tapi masalahnya dia orang yang menjebakku dalam masalah lima tahun yang lalu. Payahnya aku tak punya sosok lain untuk bisa menikahiku dan membawaku lari dari rumah ini. Aku tak pernah punya pacar, kenyataan ini membuatku bangga sekaligus malu. Bangga karena aku tetap memegang prinsipku untuk tak sembarang jatuh cinta dan belum pernah ada seorang cowokpun yang menjamahku. Malunya itu ketika orang menyipitkan matanya seolah meyakinkan aku serius atau bercanda. Masa nggak pernah ada satu cowok pun yang menyukaimu? Atau kamu ini lesbian ya? Sebenarnya pernah ada beberapa yang mendekat, termasuk Roland teman satu genk di SMA, tapi aku belum punya keinginan untuk menjalin hubungan lebih dari teman dengan siapapun. Meski kalau terhadap Roland aku ada ketertarikan sih, namun satu hal yang tak bisa aku terima adalah aku tahu gimana gaya pacarannya dengan mantan-mantannya, jadi aku nggak bisa menerima cintanya. Setidaknya mereka mengenalku dan aku juga mengenal mereka. Nah untuk kasus perjodohanku dengan Adhyastha Kendra ini, aku sama sekali tak mengenalnya dengan baik. Aku seperti mempertaruhkan masa depanku untuk sesuatu yang absurd. Aku belum mengenalnya dengan baik, aku tak tahu seperti apa karakternya, dan satu fakta yang mencengangkan adalah dia cowok menyebalkan yang mewarnai perjalananku sebagai remaja bandel lima tahun yang lalu. Aku ingat di pertemuan kami yang tak terduga dulu, dia mengenakan sweater bertuliskan “amore incondizionato”. Ini kejutan atau musibah? *** Kendra’s POV Kami duduk bersebelahan dan tenggelam dalam pikiran kami masing-masing. Aku agak tersentak juga melihat sosoknya saat ini. Bayangan penampilannya yang tomboy lima tahun lalu dengan celana jeans robek seperti dicakar dan kaos oblong yang dibalut kemeja cowok yang dibiarkan kancingnya terbuka musnah sudah. Dia terlihat lebih feminim meski masih dengan gaya casual. Dia mengenakan t-shirt warna putih dibalut cardigan pink kalem dan celana jeans yang lebih sopan, tanpa cakaran kucing lagi. Rambutnya tidak sepanjang dulu, tapi tergerai rapi. Aku akui dia manis sih, meski jujur mantanku jauh lebih menawan dari ini. Astaghfirullah kenapa aku malah membandingkan Rania dengannya. Kulirik dia yang tengah membisu. Aku bisa melihat ada rasa tak suka tergambar dari raut wajahnya. “Jadi gimana? Masih mau meneruskan perjodohan ini?” Tanyaku datar. “Ya, mau gimana lagi? Kita sudah melangkah sejauh ini. Lagipula aku sudah lama berharap ada orang yang mau membawaku pergi dari rumah ini. Meski orangnya ternyata jauh dari ekspektasi.” Aku menyeringai mendengar kata-katanya. “Jauh dari ekspektasi? Aku tak cukup ganteng ya? Kamu pikir aku menerima perjodohan ini karena aku tertarik ama kamu? Sama sekali nggak. Mantanku itu seperti bidadari. Kalau pada akhirnya aku menerima perjodohan ini, ini semata untuk memenuhi permintaan ayah dan mengalihkanku dari patah hati.” “Oh jadi mantanmu yang seperti bidadari itu membuat kamu patah hati?” Dia tertawa kecil. Aku tak suka melihat caranya meledekku. “Okay kita impas ya. Tapi aku ingin kamu berjanji satu hal yang harus kamu penuhi sebelum kita nikah.” Aku mengernyitkan dahi dan menatapnya dengan tanda tanya, “apa yang harus aku penuhi?” “Kamu harus janji, selama kita menikah jangan ada kontak fisik.” Aku terhenyak mendengar persyaratan yang ia ajukan. “Sampai kapan?” Refleks aku menanyakan soal ini. “Entahlah. Yang penting jangan dulu ada kontak fisik.” Aku mengangguk. “Kenapa kamu nanya sampai kapan? Jangan-jangan kamu pikir kalau akan ada kontak fisik antar kita selama kita menikah?” Intonasi suaranya agak meninggi. Aku sampai melirik jendela kaca rumahnya di mana di dalamnya ada orangtua kami yang tengah berbincang. Aku harap mereka tak mendengar obrolan kami di taman depan rumah yang dikelilingi bebungaan dan satu pohon mangga menjulang yang menaungi bangku panjang tempat kami duduk. Aku terkesiap, “wajar dong aku berpikir ke sana. Kita akan menikah bukan pacaran. Kamu juga tadi bilang “jangan dulu ada kontak fisik”, itu artinya suatu saat mungkin ada kontak fisik kan? Kamu juga berpikir ke arah situ. Ini bukan pernikahan kontrak, ini nikah beneran.” Dia tergugu dan mungkin bingung hendak berkata apa. “Aku nggak mau mikir ke depannya gimana, yang penting kita jalani dulu. Semakin cepat aku keluar dari sini, semakin bagus.” Ucapnya sambil bersedekap. Kuamati ibu tiri Shera yang selalu Shera gambarkan sebagai ibu tiri menyebalkan. Jangan-jangan memang kepribadian Shera yang bermasalah. Ibu tirinya dibilang menyebalkan, padahal beliau cukup ramah, aku juga dibilang menyebalkan, semua dibilang menyebalkan. “Ibumu kurasa orang yang baik. Tadi dia muji-muji kamu juga. Katanya rajin kerja, waktu wisuda dapat IPK cumlaude meski harus membagi waktu dengan bekerja, mandiri, nggak ngrepotin dan belum pernah punya pacar.” Shera memijit pelipisnya, “harus ya bawa-bawa bagian “belum pernah punya pacarnya”? Eh emakku tuh muji-muji aku di depanmu dan orangtuamu itu karena dia berharap banget kamu jadi menantunya. Kalau dia nggak setuju pasti bakal jelek-jelekin namaku.” Aku tersenyum, emak mana yang nggak bakal seneng punya menantu kayak aku? Dulu ibunya Rania juga setuju banget kalau misal kami melanjutkan hubugan ke jenjang yang lebih serius. Sayangnya semua kandas. Dan pada akhirnya hatiku seperti teriris-iris tiap mengingat kegetiran ini. “Dia nggak pernah senang aku kuliah karena katanya ngabisin banyak uang ayah. Makanya aku sambil kerja part time biar nggak selalu minta uang ke ayah.” Setiap orang selalu punya sisi positif. Ini salah satu sisi positif yang aku lihat darinya. Dulu dia memang bandel, tapi sekarang dia banyak berubah. Aku masih saja merasa ini seperti mimpi. Gadis ini akan menjadi istriku? Ah, mungkin benar katanya. Jalani saja semuanya, jangan berpikir bagaimana ke depannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN