Wedding Night

1348 Kata
Shera’s POV Malam ini aku lelah sekali. Siang tadi kami menikah. Aku resmi menjadi istrinya, dia resmi menjadi suamiku. Ya ampun, ini seperti mimpi. Dia bisa mengucap akad dengan lancar. Sebenarnya moment ijab qobul tadi siang itu begitu mengharukan. Aku pikir aku tidak akan tersentuh karena aku menikah dengannya tanpa cinta. Namun ada sesuatu yang bergetar hebat di dalam hati, ada sesuatu yang berdesir dan untuk sejenak aku merasa begitu tersentuh. Bagaimanapun juga di moment itu aku menapaki babak baru kehidupanku sebagai seorang istri. Ayahku sempat menangis kala aku sungkem. Bisa kurasakan tetesan air matanya membasahi jari-jariku. Pada moment ini aku ikut menitikkan air mata. Aku teringat semua pengorbanan dan perjuangan ayah untuk membiayai kuliahku. Dulu ayah seorang supir angkot. Alhamdulillah sekarang ayah punya lima angkot yang semuanya aktif beroperasi. Kondisi perekonomian kami mengalami peningkatan. Meskipun begitu aku tetap kerja part time agar bisa meringankan beban ayah. Lagipula emak tiriku itu bawelnya luar biasa. Setiap kali aku minta uang spp, emak langsung manyun-manyun dan mengeluarkan celoteh keluhannya, katanya biaya kuliah mahal, jatah dia beli makeup dan baju jadi berkurang. Dia memang tidak pernah memikirkan kebutuhanku, selalu saja kebutuhannya dinomorsatukan. Aku duduk mematung di sini, di rumah Kendra. Dia memang hebat sih, di usianya yang masih muda, dia sudah punya rumah sendiri. Rumahnya agak jauh dari rumah orangtuanya. Dan aku terjebak di ruang tengah ini bersama anak SMA berusia 17 tahun, bernama Axel Pradhipta, adik Kendra. Dia tampak serius menonton film action. Kata kendra, dia tinggal di sini agar lebih dekat dengan sekolahnya. Selain adik, Kendra juga punya seorang kakak, laki-laki juga yang sudah menikah dan memiliki seorang anak. Tadi mereka datang di pernikahan kami. Anaknya juga sangat manis meski sempat tantrum karena dia tak suka keramaian. Kata Kendra, ponakannya ini anak berkebutuhan khusus, dia didiagnosa autism spectrum disorder, atau biasa disebut autisme. Sesungguhnya aku ingin cepat-cepat tidur tapi Kendra juga belum ke kamar, dia sedang membuat jus mangga. Aku bahkan tak tahu harus tidur di mana. Sebenarnya emak tiriku inginnya aku dan Kendra menginap di rumah semalam. Entah ini pura-pura atau beneran, yang pasti di depan orang lain emak bisa menjadi sosok ibu peri yang super manis dan menyayangi anak gadisnya. Makanya jarang ada yang percaya kalau dia bisa menjadi sosok mak lampir di rumah. Tapi aku tahu, dia sebenarnya ingin aku cepat-cepat pergi. Makanya aku ikut kendra pulang dan membawa semua baju dan keperluanku. Kendra datang mendekat dan meletakkan tiga gelas jus di meja. “Shera, Axel ayo diminum jusnya.” Dia duduk di sofa lain. Jadi kami bertiga duduk masing-masing di satu sofa. Suasana yang agak canggung. Aku ambil gelas itu dan kuteguk sedikit. Anak SMA itu juga meminumnya. Dia meletakkan gelasnya lalu menoleh kami bergantian. “Kalian nggak ke kamar?” Pertanyaan anak ini cukup membuatku terperanjat. “Nanti ajalah, baru juga jam delapan.” Jawab Kendra sekenanya. “Baru kali ini ada pengantin baru nggak ngebet ke kamar. Aku nggak akan ganggu kak, tenang aja.”Axel melayangkan senyum menggoda pada kakaknya. Aku dan Kendra mati kutu dibuatnya. Anak SMA sekarang masa pubernya itu lebih cepat dibanding dulu. Hal-hal berkenaan dengan malam pengantin seakan menjadi hal menarik untuk dijadikan bahan bercandaan. “Kalau kakak mau, aku bisa nginep di tempat Bryan.” Ujarnya lagi sambil menaikkan alis matanya. “Nggak usah Xel. Tidur di rumah aja. Lagian kamar kakak kan di atas, kamarmu di bawah. Kalau ada suara-suara aneh nggak akan sampai ke kamarmu.” Seringai Kendra. Aku tak mengerti dengan apa yang dikatakan Kendra, “suara apa emangnya? Apa kamarmu berhantu Ken? Dan mengeluarkan suara-suara aneh?” Mata Kendra dan Axel menatapku dengan terbengong-bengong. Apa aku salah ucap? Axel tertawa terpingkal-pingkal. Aku makin kesal karena ditertawakan seperti ini, oleh anak SMA pula. Kulihat Kendra memijit-mijit keningnya. Axel kembali mengambil gelasnya. Kurasa dia haus setelah tertawa keras-keras. “Aku ngantuk Ken, aku tidur di mana?” Tanyaku datar. Tiba-tiba Axel yang sedang meminum jus tersedak. “Tidur di mana? Emang kalian nggak tidur sekamar?” Axel membelalakkan matanya. “Tidur sekamar kok. Kak Shera itu bingung karena jumlah kamar di sini ada banyak.” Sela Kendra. “Shera, kamar kakakku ada di atas. Bersiaplah dulu, nanti kakakku bakal nyusul. Jangan lupa pakai lingerienya.” Axel mengedipkan matanya. “Panggil dia kakak Xel.” Kendra memperingatkan. Aku agak kaget juga dia memanggil namaku tanpa sebutan kakak. “Dia tampak seumuran denganku. Nggak apa-apa kan kalau aku panggil nama?” Axel melirikku. “Aku 22 tahun,” sahutku. “Tapi pikiranmu masih polos. Bahkan lebih polos dariku. Mukamu juga kayak anak ABG, muka cabe-cabean.” Glek.. Ya ampun, sempurna sekali. Aku baru saja menikah tanpa cinta dan adik iparku enggan memanggilku kakak, ceplas-ceplos dan kurang sopan. Masa aku disamain sama cabe-cabean? “Sopan sedikit Xel.” Kendra memperingatkan sekali lagi. Aku yakin Kendra selalu berusaha mati-matian untuk bisa bersabar menghadapi adiknya. Kendra beranjak dari duduknya. Dia melirikku, “yuk..” Aku mendongakkan kepalaku, “kemana?” “Ke kamar lah. Katanya ngantuk?” “Di sini sih ngantuk, nanti di kamar lain lagi ceritanya,” Axel tersenyum tipis dan melirik kami berdua. “Aku benar-benar ngantuk kok.” Ujarku. Dia tertawa kecil dan sepertinya menahannya agar tak tertawa keras lagi. Aku berdiri dan mengikuti langkah Kendra. Kami tiba di kamar sama dengan kamar yang aku masuki ketika baru tiba di rumahnya. “Aku tidur di sini?” Aku duduk di ranjang, sedang Kendra membuka lemari dan mengambil satu stel piyama. “Bukan aku, tapi kita. Kita tidur di sini. Kamu nggak liat gimana tadi Axel ngledek kita?” Kendra membuka bajunya tanpa sungkan sedikitpun. Aku lihat badannya bagus, berotot meski bukan otot yang berlebihan. Namun segara kupalingkan wajahku. Dia yang sudah mengenakan piyamanya menghempaskan badannya dan berbaring di ranjang. Bagaimana aku akan berbaring jika ada Kendra di sebelahku. “Kamu katanya ngantuk, ayo tidur.” Ujarnya. Dengan ragu, aku baringkan badanku di sebelahnya dengan jarak sekitar 60 senti. “Jadi kita tidur seranjang?” Aku menolehnya. Kendra balas menatapku, “jangan khawatir, aku ingat perjanjian kita, aku nggak akan nyentuh kamu.” Aku lega mendengar perkataannya. “Aku malah jadi nggak ngantuk,” gumamku. “Tidur di sebelah cowok ganteng nggak akan bikin ngantuk.” Sahut Kendra dengan kepercayaan diri yang begitu tinggi. Aku menyeringai dan kutatap dia yang juga sedang menatapku, “aku kenal banyak cowok ganteng, jadi kegantenganmu ini bukan hal yang istimewa.” “Yakin? Nggak ada istimewanya sedikitpun?” Kendra mendekatkan wajahnya. Kutelisik setiap detail bagian wajahnya. Matanya tajam, bersinar, dan seperti menyimpan banyak cerita yang tak terungkap, hidungnya mancung, bibirnya tipis dengan warna merah alami, seperti bibir wanita saja. Kulitnya bersih bahkan mungkin lebih cerah dariku. Aku baru menyadari dia ternyata seganteng ini. “Ehm aku dulu pernah disukai cowok yang paling diinginkan para cewek di sekolah. Dia ganteng banget, sayang badboy. Sampai kemarin sehari sebelum nikah, dia masih berharap pernikahan kita batal.” “Kenapa kamu tidak minta dia menikahimu. Kan yang penting kamu bisa lari dari rumah?” Kami masih saling beradu pandang. “Aku nggak suka ama gaya pacarannya bersama mantan-mantannya dulu. Jadi aku nggak bisa menerimanya.” Kendra tersenyum, “aku juga punya mantan pacar. Bahkan kamu nggak tahu gaya pacaranku dan mantanku seperti apa. Tapi kamu mau menikah denganku.” Glek.. aku mati gaya dan lidahku kelu. Dipikir-pikir pernyataannya masuk akal juga. Kenapa aku nggak berpikir ke arah sana. “Emang gaya pacaran kalian seperti apa?” Kendra menghela napas, “nggak ada yang berlebihan kok. Dia tipe wanita yang punya prinsip dan menjaga kesuciannya.” “Baguslah, perempuan memang harus bisa menjaga kesuciannya sebelum menikah.” “Kalau sudah menikah? Apa masih harus menjaga kesuciannya dari suaminya?” Aku tersentak. Aku tahu kemana arah pembicaraannya, “untuk pernikahan yang nggak didasari cinta, ya sementara harus menjaga dulu sampai waktu yang tak ditentukan. Lagipula tidur sebelahan denganmu juga udah kerasa aneh, apalagi lebih dari itu.” Aku membalikkan badanku dan tidur memunggunginya. Kutarik selimut menutupi seluruh tubuhku kecuali kepala. “Lebih dari itu yang kayak apa ya Sher?” Suara Kendra terdengar seperti meledek. Aku tak menjawab. Bisa kudengar tawa kecil melengking dari bibirnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN