Bisikan itu tepat terdengar di belakangku, suaranya bikin bulu kudukku berdiri. Sial bener, ini rumahnya Ki Mengkis, seharusnya semua setan atau dedemit sudah mengenalku. Atau ini setan baru, makanya dia gak tahu siapa aku?
“Bunga ... Ki Mengkis mencarimu.” Oke, aku musti muter badan buat ngelihat siapa dia. Pelan tapi pasti aku membalikkan badan, dadaku kebat-kebit, khayalanku kemana-mana.
Tapi waktu tahu siapa gerangan, aku menghela napas lega. “Lain kali jangan main bisik-bisik, Steve.” Aku mengelus da da, lega bener karena kupikir tadi ada penampakan.
“Memangnya kenapa? Apa kamu takut? Sini aku peluk.” Aku melotot, dasar Steve doyan bener peluk-peluk orang.
Astaga, tuh bocah kok gitu amat ya. Apa anak kota semuanya seperti Steve yang suka main mepet cewek gitu aja.
Aku mengambil sapu lalu balik ke ruang tamu. Steve dengan setia mengekor di belakangku. Sampai di ruang tamu, aku memulai aksi dengan menyapu semua ruangan sementara Hengky dan Steve bagian meletakkan barang-barang ke tempat semula. Tapi itu khayalanku karena Hengky balik mendekatiku, ia memandangku iba macam kucing minta makan.
“Pulang saja Hengky. Aku gak papa kok. Ini soal kecil.” Aku menjentikkan jari, meremehkan pekerjaan yang amboi, bisa menghabiskan waktu lama buat membersihkannya. Kalo sendirian.
Steve tiba-tiba mencengkeram kerah baju Hengky dan mendorongnya sampai punggung Hengky menyentuh tembok. Aku kaget banget sama tingkah Steve yang macam orang bar-bar gak berpendidikan.
“Steve. Apa yang kamu lakukan?” pekikku.
Aku berusaha melerai keduanya tapi Steve terlalu kuat, ia bikin Hengky susah bernapas. Kutarik pundak Steve tapi dia mendorongku bikin aku jatuh ke lantai. Cengkeraman tangan Steve pada kerah baju Hengky sangat bertenaga sampai menutupi bibir bawah Hengky. Cowok yang selalu bikin aku tak berdaya alias Hengky tegang banget. Kurasa Steve rada edan. “Sudah Steve. Lepaskan dia. Kasihan...” pintaku.
“Sekali lagi kamu minta pulang. Aku akan membuat perhitungan denganmu.” Ancaman Steve bikin aku ngeri.
“Steve. Sudah. Biar saja Hengky pulang. Aku bisa ngerjain sendiri. Kamu boleh tinggal dan membantuku kalo kamu mau,” tawarku.
“Tentu saja aku disini. Tapi dia juga harus disini. Bersama kita,” kata Steve.
Tapi dasar Steve, kupikir dia mau membantu. Ternyata dia asyik duduk sambil makan apel yang ia ambil dari meja makan. Sementara Hengky lagi mencuci tikar pandan di sumur belakang rumah aku menyapu ruangan ini sambil melirik Steve yang dengan santainya nongkrong di atas frame jendela.
“Steve. Katanya mau bantu?” Aku melirik Steve, dia menoleh, menatapku sambil tersenyum sok ganteng.
“Aku bantu kok,” celetuknya.
“Bantu apa?” tanyaku heran.
“Bantu ngawasi pekerjaan kalian.” Aku dongkol mendengar jawaban Steve. Dasar cowok aneh bin ajaib. Bisa-bisanya orang macam dia, eksis di dunia ini.
Aku dan Hengky bahu membahu merapikan ruangan ini seperti sedia kala. Aku senang walau sebenarnya Hengky dipaksa Steve tapi seneng banget bisa bersih-bersih rumah berduaan saja.
Aku fokus mengepel lantai sambil sesekali mencuri pandang ke Hengky yang lagi mengembalikan meja ke tempat semula. Gak tahu kenapa tapi setiap kali melihat Hengky, bawaannya tetep sama. Jadi bahagia gak jelas, macam ada bunga-bunga di sekitar kami berdua dan juga patung bule sakti bernama Steve.
Ki Mengkis keluar dari kamarnya, ia membawa botol bekas air mineral dan sebuah kendi. “Bunga. Mulai besok, lakukan tugasmu! Aku sudah membuatkanmu ramuan penangkap setan. Semburkan air ini ke jin yang mau kamu tangkap, maka dia gak akan bisa bergerak dan dengan mudah bisa kamu masukkan ke dalam botol ini,” kata Ki Mengkis.
“I ... iya, Ki.” Menyembur air ke jin yang bahkan belum pernah kulihat bentuknya? Amboi, meskipun aku bisa lihat makhluk astral tapi sampai sekarang aku belum terbiasa, makanya kalo lihat jin jenis baru aku tetap aja merasa merinding bulu roma. Tapi harus bagaimana lagi, aku harus bertanggung jawab sama apa yang udah aku lakukan. Mengingatnya, aku lemas, kepalaku tertunduk dan menghela napas bera t.
“Rilex, aku akan setia membantumu.” Steve menepuk pundakku, aku menoleh kepadanya. Seenggaknya ada Steve yang mau menemaniku, ada untungnya dekat sama bule satu ini.
***
Hari kembali seperti sedia kala kecuali nanti malam aku harus memulai perburuanku. Duduk di bawah pohon beringin, seperti biasa aku lagi-lagi memandang Hengky dari kejauhan. Seperti biasa kecuali ada sesosok orang yang kini ikut duduk di sampingku.
“Duduk disini enak. Pantas kamu suka sekali duduk disini.” Steve tertawa riang, sejak ada Steve aku gak sendirian.
Sejak pagi, ia sudah menyapaku. Bikin cewek-cewek sekolah makin nyinyir karena mereka pikir aku udah jampi-jampi Steve biar lengket sama aku. Steve teman sekelasku, duduk di belakangku, menjahiliku dan kini pas jam istirahat, dia malah ikutan duduk di tempat kekuasaanku dan jambrong.
Aku mendongak, menoleh ke kanan dan ke kiri buat nyari Jambrong yang biasanya usil sama siapapun yang duduk disini kecuali aku tapi gak tahu kenapa tuh makhluk malah gak muncul.
“Nyari siapa?” Steve ikut-ikutan mencari sesuatu.
“Tumben,” lirihku.
“What?” Steve memandangku dengan pandangan bertanya, bikin aku bingung jawabnya. Kalo aku bilang lagi nyari si Jambrong alias genderuwo kan jadi lucu.
“Engga nyari siapa-siapa. Eh, pergi sana! Disini tuh ada genderuwonya. Itu setan asli Indonesia. Serem banget deh. Mumpung dia belum eksis mending kamu pergi dulu sebelum dia bikin kamu pingsan disini. Ntar kekerenanmu turun lo.” Aku berusaha merayu Steve.
“Genderuwo? Aku belum pernah melihatnya. Dimana dia sekarang? Kudengar kamu bisa melihat hantu jadi pasti tahu dimana keberadaannya.” Wah ini bocah nantang banget.
“Noh disana.” Sengaja aku bohong, toh si Steve gak bisa lihat hantu, terbukti dia celingukan nyari-nyari wujud Jambrong.
Selama Steve sibuk melototin pohon beringin, aku pergi ninggalin Steve sendirian. Semoga Jambrong segera datang dan nggodain Steve biar tahu rasa dia.
***
Jam menunjuk angka sembilan malam, masih terlalu dini buat melakukan pencarian jin botol yang lagi menikmati kebebasan mereka. Seseorang membuka tirai penutup kamarku, Ki Mengkis masuk ke dalam kamar.
“Kubuatkan kalung jimat pelindung. Biar kamu gak kemasukan roh-roh halus.” Ki Mengkis memberiku sebuah kalung dengan liontin berupa sesuatu yang dibungkus dengan kain putih.
Aku menerimanya dan langsung kupake. Ki Mengkis memberiku dua kalung serupa. “Itu buat dua temanmu,” katanya.
Aku memasukkan kalung itu ke saku celana. Persiapan buat menangkap hantu gak terlalu banyak, Cuma bawa kendi dan botol bekas air mineral, alat buat memasukkan jin yang kutangkap yang masih teronggok di atas meja.
Tiba-tiba botol air mineral melayang lalu jatuh ke atas lantai. Benda itu berputar-putar gak jelas sebelum berhenti menunjuk ke arah selatan.
“Botol mendeteksi jin yang harus kamu tangkap. Berangkat sekarang! Jangan sampai telat!” kata Ki Mengkis.
“Tapi ini masih jam sembilan malam, Ki.” Masih terlalu pagi buat jin menampakkan diri.
Ki Mengkis melotot. “Jam berapapun, jin bisa menampakkan diri sesuka mereka. Kamu ini, cepat sana!” Ki Mengkis keluar kamar, aku mendesah berat.
Aku memasukkan kendi dan botol ke dalam tas selempang, kugantung di pundak kanan lalu melangkah keluar kamar. Ki Mengkis lagi bersemedi, kalo sudah begitu aku gak bisa mengganggu. Tanpa pamit aku keluar rumah, berjalan ke arah selatan sesuai dengan panduan dari botol.
Jam sembilan malam, jalanan mulai lengang. Beberapa hantu sudah mulai keluar, kugenggam tali tas erat-erat. kutundukkan kepala karena sejujurnya aku gak suka melihat hantu apalagi di malam hari nan sepi begini. Aku berjalan sambil membawa senter besar, suara-suara binatang malam bikin bulu kuduk merinding, ditambah suara-suara makhluk astral menambah rasa takutku. Beberapa wanita memakai gaun putih berjajar di pinggir jalan, ada juga sinar merah dan kuning yang lewat tepat di depanku. Meski takut, tapi aku harus kuat. Aku harus terus jalan buat melakukan aksi penangkapan jin.
Melewati kuburan yang terkenal angker, gak perlu menoleh aku sudah tahu disitu bermacam-macam jenis hantu mengawasiku. Langkahku sangat berat, kulihat seorang bocah gundul memeluk kaki kiriku. Huaa, aku takut...
Tuh bocah melihatku, dua matanya menghitam macam panda tapi kulitnya putih pucat. Dia hanya mengenakan celana dalam berwarna putih, badannya kurus membuat tulang-belulangnya mencuat walau masih tertutup kulitnya. Aku bisa melihatnya dengan jelas karena bantuan lampu jalan dari lampu dop sepuluh watt.
“Pergi sana. Aku gak ganggu kamu, jadi jangan ganggu aku.” Kutendang-tendang kakiku biar bocah itu lepas. Tapi bocah itu malah cengengesan gak jelas, bikin aku sebal setengah mati.
“Bunga. Ngapain kamu disitu?” itu suara Steve. Dia ada di belakangku.
“Steve...” Aku memutar badan sambil menunjuk kaki dimana bocah seram itu menggelayut.
“Apa?” tanya Steve.
Steve dan Hengky berdiri di depanku. Steve memakai celana kargo dan kaos hitam yang melekat ketat di badannya sementara Hengky, tampak ganteng dengan celana hitam dan kaos putih yang ditutup dengan jaket hitam andalannya.
“Ada hantu nangkring di kakiku.” Aku masih menunjuk ke arah kakiku.
“Mana?” tanya Steve.
Aku menunduk, melihat kedua kakiku sudah bebas. Aku celingukan dengan mata setengah terpejam. Si bocah sudah gak ada. Syukurlah...
“Jadi kemana kita mencari hantu itu?” Hengky berbicara dengan nada yang so cool banget.
Steve melirik Hengky, seperti melihat musuh bebuyutannya. Steve lucu banget sih, orang gak suka Hengky tapi selalu ngajakin Hengky kemana-mana. Sudah jelas banget gimana sikap Steve yang sok berkuasa kepada Hengky.
“Memangnya kamu berani?” sindiran Steve bikin Hengky nyengir sambil garuk-garuk kepalanya.
Steve itu tega bener jatuhin harga dirinya Hengky di depanku. Walau begitu Steve orang yang paling semangat buat nolongin aku. Makanya aku gak berani marahin dia, takut kalo dia marah terus gak mau nemenin aku.
“Jadi kemana kita pergi?” Steve bangunin lamunanku.
“Ke arah selatan.” Aku balik badan dan mulai berjalan di depan.
“let’s go.” Steve merangkul pundakku sambil tertawa senang.
“Lepaskan!” Aku meliriknya sebal, Steve terlihat kaget tapi kemudian ia tertawa dan rangkulan tangannya makin erat.
“Steve...”
“Kalo begini kan jadi anget.” Tuhkan, sudah kubilang kalo Steve itu rada edan alias setengah gila.
Aku berjalan sambil menepis lengan Steve, malu banget sama Hengky. Steve merusak image banget. Semoga Hengky mengerti kalo Steve yang berusaha menempel padaku, bukan aku yang ingin.
Sampai di depan rumah tua yang terkenal keangkerannya tiba-tiba botol keluar sendiri dari dalam tasku. Ia jatuh di atas tanah lalu berputar-putar beberapa kali sebelum berhenti menunjuk ke arah rumah tua.
Aku menoleh, memandang rumah angker peninggalan jaman Belanda yang selama ini sangat ditakuti oleh warga Kampung Singosari, nama desa tempat ini. Aku menelan ludah susah payah. Memandang Steve dan Hengky bergantian.
“Aku lupa, musti nemenin Ibu bikin kue. Aku mau pamit dulu.” Hengky memutar badan, kayaknya dia juga gak berani menghadapi masalah ini tapi Steve menahan lengan Hengky dan memberinya tatapan maut, membuat Hengky menghela nafas berat.
“Kamu siap, Bunga?” tanya Steve.
Siap gak siap aku harus siap. Aku memandang rumah tua beberapa saat sebelum memberanikan diri untuk masuk dan memulai aksi perdanaku.