Aku, Hengky dan Steve berdiri di depan sebuah rumah tua peninggalan jaman Belanda yang udah lama gak dihuni manusia. Rumah dua lantai dengan cat yang sudah kusam, mengelupas dan ditumbuhi lumut disana-sininya. Jendela sudah bolong dan ada juga yang masih ada framenya tapi kacanya sudah pecah. Di halaman depan ditumbuhi tumbuhan liar yang merambat menutupi pagar besi yang sudah berkarat.
Steve membuka pintu pagar, aku menahan lengannya sementara tangan lain merogoh saku buat mengambil kalung jimat dari Ki Mengkis. “Pakai ini!” Kuberikan kalung jimat ke Hengky, dia langsung memakainya sementara Steve, dia justru memandang kalung itu dengan muka terheran-heran.
“What’s this?” tanyanya.
“Ini jimat. Biar kamu gak dimasukin roh halus. Sudah pakai saja!” perintahku.
“Jimat? Baru dengar,” kata Steve.
“Ck, dasar bule. Pakai aja, itu dari Ki Mengkis. Dukun paling sakti di seluruh kampung sini.” Ucapan Hengky bikin hatiku gembira, ia ternyata percaya sama kesaktian Ki Mengkis dan secara gak langsung dia menerimaku apa adanya.
“Oke. Tolong pakaikan!” pinta Steve.
“Pakai sendiri. Apa susahnya sih,” cibirku.
“Kalo kamu yang memakaikan. Jimat ini makin ampuh.” Dasar Steve, modus banget.
Tanpa banyak omong, aku mengalungkan jimat itu ke leher Steve. Steve mendorong pintu pagar sekuat tenaga tapi sepertinya susah sekali. Ia meminta Hengky untuk membantunya, Hengky mencemooh Steve melalui lirikannya. Dua cowok itu mendorong pagar sekuat tenaga tapi sepertinya masih sangat berat, jadi kuputuskan untuk turut membantu.
Aku mendorong pagar sekuat tenaga sampai tanganku terasa panas dan urat leherku mencuat tapi pagar bergeming, gak bergerak barang sedikit pun. Aku menyerah, begitu juga Steve dan Hengky. Aku memandang keduanya bergantian, Steve di sebelah kanan dan Hengky di sebelah kiri.
“Kita menyerah saja! Besok kita balik lagi,” celetuk Hengky.
“Sayangnya gak bisa begitu. Aku harus menangkapnya malam ini juga. Kalo kalian memang sibuk. Biar aku sendiri yang melakukannya.” Meskipun aku takut tapi tetap aja musti melakukannya.
Hengky menghela napas berat, aku tahu dia gak mau membantuku. Dia cuma gak berani sama ancaman Steve, melaksanakan tugas ini memang sangat berat khususnya buat Hengky yang notabene gak pernah bergelut dengan dunia per-jin-an.
“Kalo mau pulang, kamu pulang saja, Hengky. Biar aku dan Steve yang melaksanakan tugas ini,” ucapku, meski berharap Hengky mau membantuku.
“Hei, tidak bisa...”
Ucapan Steve tertahan waktu tiba-tiba pintu gerbang terbuka bersama hembusan angin yang muncul dengan kerasnya, bikin sampah plastik dan kertas berhamburan. Rambutku yang kebetulan kuurai, melambai-lambai tertiup angin.
“Bunga ... Steve. Diakah...” Hengky membuatku menoleh ke arahnya dan mengikuti arah telunjuknya. Aku mendongak, melihat sosok wanita ada di atas Hengky.
Sesosok wanita memakai gaun noni-noni Belanda, lehernya panjang lebih panjang dari manusia pada umumnya, mungkin sekitar setengah sampai satu meteran. Wanita itu terbang tepat di atas Hengky. Ia tersenyum dengan mulut yang sangat lebar sampai ke tulang pipinya.
Botol di tas selempangku menyala dan berputar-putar di depan Hengky. Kurasa wanita inilah yang harus kutangkap. Wanita itu memandang botol lalu memandangku, matanya melotot sangat lebar sampai bola matanya mencuat tapi tertahan oleh otot-ototnya.
“Jadi kamu orangnya?” Wanita itu tertawa lebar, suaranya seram dan bikin bulu kuduk meremang.
Wanita itu kembali menoleh kepadaku, senyum tipis terpahat di wajahnya tapi tetap saja mengerikan. “Aku takkan pernah bisa kau tangkap, Nona.” Wanita itu melayang lebih tinggi, dua tangannya merangkum badan Hengky, bikin Hengky ikut melayang bersamanya.
“Turunkan aku!” Hengky meronta berusaha lepas dari cengkeraman wanita itu.
Wanita itu tertawa terbahak-bahak, ia melayang lebih tinggi lagi. “Kamu cakep sekali dan aku sangat cantik. Kita cocok, Sayangku.” Wanita itu kembali tertawa terbahak-bahak lalu terbang masuk ke rumah tua sambil membawa serta si Hengky.
“HENGKY...” Aku berteriak sekencang mungkin dan berlari mengejar Hengky tapi pintu gerbang yang tadinya terbuka tiba-tiba tertutup secepat kilat, bikin mukaku menabrak palang besi.
“Hengky. Aku harus menolongmu,” rintihku.
Aku mendongak, memandang pintu gerbang. Aku harus cari jalan supaya bisa masuk, tapi bagaimana caranya jika pintu ini tertutup rapat?
Aku menoleh, memandang Steve yang bertubuh jangkung. Kayaknya aku ada ide dengan memanfaatkan tinggi badan Steve.
“Steve. Tolong aku!” Aku meminta Steve berdiri membelakangi pagar. Dua tangannya dirangkum jadi satu di depan badannya.
Aku menjauhi Steve untuk bersiap, setelah berpikir beberapa detik, aku berlari mendekati Steve lalu satu kaki menginjak tautan tangannya sebagai pijakan buat melompat, satu kakiku menginjak pundaknya sebelum aku melompat pagar dan mendarat dengan sempurna ke dalam gerbang.
“Wow. Fantastic...” Steve melongo di luar gerbang, aku yakin dia baru pertama kali lihat cewek bisa melompat pagar setinggi itu.
Aku memandang Steve, sejujurnya aku ingin Steve ada disini bersamaku tapi bagaimana caranya bisa masuk? Ah sudahlah, yang penting aku bisa menyelamatkan Hengky dari setan wanita itu.
Aku memandang botol yang ada di dekat Steve. “Steve, ambilin botol itu!” pintaku.
Steve memungut botol itu dan menyerahkannya kepadaku. Aku mengatur napas, bersiap buat melakukan aksi menegangkan untuk pertama kali.
Berjalan masuk lebih dalam, ku pandangi sekitar halaman. Dengan bantuan sinar bulan aku bisa melihat bayangan semak-semak yang tumbuh subur serta bayangan sosok-sosok yang aku yakin menyeramkan. Meski begitu, perasaan takut yang biasanya suka datang, menghilang begitu saja. Kini yang ada hanya bagaimana cara bisa menangkap hantu wanita itu dan menyelamatkan Hengky.
Aku sampai di depan pintu besar yang terbuat dari kayu setengah lapuk. Kupegang handle pintu lalu membukanya dan dengan mudah aku bisa masuk. Di dalam ruangan sangat gelap sekali. Aku memasukkan botol ke dalam tas dan mengambil senter untuk membantuku melihat sekitar.
Saat senter menyala, kulihat ruangan ini lebih buruk dari pemandangan luarnya. Ruangan ini berdebu cukup tebal, ada lukisan wanita dan pria Belanda yang sudah berjamur menempel di dinding. Ada satu set meja kursi yang sudah rapuh, jam antik berdiri di dekat kursi. Di ujung kanan, ada tangga penghubung ke lantai dua. Kotoran kucing dan tikus bertebaran dimana-mana, bau busuk dari kotoran binatang langsung menyapa.
Seorang wanita memakai gaun putih dengan rambut terurai menutup wajah berdiri di sebelah jam. Wanita itu mengangkat kepalanya lalu tersenyum menakutkan kepadaku. Tangan kanannya menunjuk ke arah belakangku, bikin aku menoleh dan mengangkat senter untuk membantu penglihatanku. Mataku membulat, jantungku berdetak kencang sekali. Seorang wanita dengan bibir lebar sampai ke tulang pipi berada tepat di depan mata. Lidahnya keluar, sangat panjang dan lancip, seolah lidah itu mau menjilatku. Membuatku spontan menjauhkan kepala darinya.
Wanita itu tertawa terbahak-bahak. Wajahnya menjauh, baru kusadari ia menempel di dinding seperti cicak, lehernya panjang sedang berputar ke kanan dan ke kiri sebelum menjadi leher normal seperti manusia. Wanita itu merayap bagai cicak naik ke atas atap, ia sedang mempermainkanku dengan caranya. Ia memutar kepala tiga ratus enam puluh derajat lalu memanjang dan mendekatiku, sontak aku menghindar ke kanan.
Aku mengambil kendi dari dalam tas dan meminumnya sedikit, aku ingin menyemburkannya ke wanita itu agar wanita itu berhenti berulah dan dengan mudah kumasukkan ke dalam botol. Aku menyemburkan air kendi tapi sayang wanita itu dengan mudah bisa menghindarinya. Wanita itu kembali tersenyum lebar sambil menunjukkan lidahnya yang panjang dan lancip.
“Katakan, dimana kamu sembunyikan Hengky?” tanyaku.
“Hengky. Nama yang bagus, sebagus namanya. Hahahahaha...” Wanita itu melompat turun dan dengan mudahnya mendarat dengan posisi berdiri membelakangiku.
Wanita itu memutar badan, lagi-lagi tersenyum lebar, kepalanya miring ke kanan lalu lidahnya yang panjang keluar tapi gak lama kemudian kembali masuk ke dalam mulut. Sepertinya dia suka sekali tersenyum sambil pamer lidah, dikira dia secantik apa waktu tersenyum? Tapi sebelum aku bisa menjawabnya, wanita itu tiba-tiba berjalan cepat naik ke lantai dua. Begitu cepat hingga serasa melihat bayangan saja.
Aku berlari mengejar wanita itu, menaiki tangga satu persatu sampai akhirnya aku ada di lantai dua. Aku menyorot lantai dua dengan senter. Lantai dua berupa lorong dengan pintu-pintu tertutup di kanan dan di kiri ruangan.
Sosok-sosok hantu noni-noni Belanda berdiri berkerumun, menutupi seluruh lorong yang ada di lantai dua. Aku menelan ludah susah payah, melihat wajah suram mereka, mata yang terbuka dengan iris mata yang sangat kecil bagai titik di tengah kertas putih.
Seandainya bukan karena Hengky, lebih baik aku tak ada di tempat ini. Seandainya Steve ada disini, semuanya pasti lebih baik.
Sosok-sosok wanita itu mendekatiku, mengerumuniku membuatku mundur cantik hingga aku tersudut di pojokan, di dekat sebuah jendela yang sangat besar. Dari sinar bulan, aku bisa melihat kalo sosok-sosok itu jumlahnya sangat banyak dan sialnya jendela dimana aku berdiri di sebelahnya masih tertutup kaca walau sudah sedikit bolong karena pecah. Mereka membuatku gak bisa bergerak.
“Tunggu! Apa mau kalian?” tanyaku.
Sosok-sosok itu berhenti sejenak, memandangku dengan matanya yang sangat menyeramkan. Wajah mereka yang sangat pucat menambah seram saja, aku ketakutan dan gak tahu harus bagaimana.
“Katakan padaku. Aku ... akan mengabulkan keinginan kalian.” Semoga tawar menawar ini bisa bikin mereka melepasku.
Tiba-tiba semua sosok wanita berjubah putih mendongak, membuatku ikutan mendongak sambil mengarahkan senter ke atap. Sosok wanita yang menangkap Hengky ada di atas, menempel di plafon. Lehernya memanjang, bergerak fleksible seperti ular meliuk-liuk ke kanan dan ke kiri. Senyum seram lagi-lagi ditunjukkannya. Aku menelan ludah susah payah, aku terjebak, tak tahu musti bagaimana. Sosok-sosok wanita itu kembali memandangku tajam, mereka kembali mengerumuniku semakin dekat dan semakin dekat. Aku menjerit ketakutan, berharap ada orang yang bisa menolongku.
Baru aksi pertama, aku sudah dibuat seperti ini, entah apa yang akan terjadi selanjutnya. Mungkinkah aku bisa lolos dan melanjutkan misi ini atau aku malah tamat di aksi pertamaku ini?
Hengky, Steve ... kuharap kalian ada disini untuk menyelamatkanku...