Behind The Scene With Arrogant Chef | 4

3096 Kata
*** Pagi-pagi sekali Manda sudah selesai bersiap-siap. Hari ini dirinya akan tetap kembali ke kantor seperti biasa. Jika nanti Pak Viktor atau bos besar mereka mengsuirnya, maka Manda akan kembali pulang. Ia akan menerima apapun keputusan dari atasannya nanti. "Mau ke mana lo?" tanya Dilla saat melihat Manda membuka pintu kamarnya. Dilla baru saja keluar dari kamar mandi. Manda menampakan gigi putihnya sebagai permintaan maaf karena ingin pergi begitu saja tanpa berniat menunggu Dilla. Dilla mencebikan bibirnya. Sebenarnya Dilla sudah terbiasa dengan kebiasan Manda yang satu ini. Namun tetap saja ia kesal. "Pamit dulu kek, jangan-jangan nanti pas lo nikah lo nggak bilang ke gue dulu!" sindir Dilla. Kalau itu orang lain Manda pasti sudah tersinggung saat membahas perihal nikah tapi ini Dilla sahabatnya. Maka Manda ikut mencebikan bibirnya. "Lo bakal jadi bridesmaid, tenang aja," canda Manda. "Alah emang lo siap bayarin gaun kesukaan gue?" cibir Dilla. Manda mendengkus sinis, "ini ngapain bahas nikahan sih? Calon aja nggak punya! Udah ah gue mau ke tempat kerja gue dulu," ucap Manda. Dilla melebarkan matanya, "ngapain lagi lo ke sana?" tanyanya. "Kerja. Iya kali mantengin Chef songong itu." balas Manda dengan jengkel. Dilla terkekeh. Sebenarnya dibalik rasa kesalnya terhadap chef Arfa, Dilla menaruh rasa penasaran yang teramat kepadanya karena berani mengusik ketenangan Manda yang biasanya selalu berpura-pura baik-baik saja itu. "Udah ah gue berangkat dulu. Bye!" Manda meninggalkan Dilla yang masih berteriak memanggil namanya untuk meminta sarapan bersama. Tapi Kamanda sudah menghilang begitu saja. "Kayak punya ilmu menghilang aja tuh anak," komenatar Dilla. Sementara itu Manda kembali memikirkan masalahnya setelah keluar dari rumah Dilla. Wajahnya tertekuk, bahunya turun dan lemah. Entah bagaimana respon anak-anak Behind the Scene setelah melihatnya nanti. Apa mereka akan membencinya atau memaafkannya. Tetapi, ini kan bukan sepenuhnya kesalahannya. Dirinya hanya kurang beruntung karena harus menjadi pemicu permasalahan ini. Manda menunggu bus yang biasa membawanya ke hotel. Hanya butuh satu kali transit saja tetapi Manda merasa perjalanan kali ini terasa berat. Ia merasa tidak sanggup kembali ke BTS. Bahkan dengan sengaja Manda melewatkan dua bus yang bisa membawanya ke hotel. Jika biasanya Manda rela berdesakan untuk secepatnya sampai di sana, tapi kali ini Manda hanya menunggu bagaikan patung di tepi jalan. Meskipun ia sudah meninggalkan rumah Dilla sepagi mungkin. Itu hanya karena ia ingin sendirian dan merenungi semuanya. Manda melirik jam yang melingkari pergelangan tangannya. Sudah siang. Artinya jika tidak bergerak sekarang maka Manda akan terlambat sampai ke sana. Dengan sangat terpaksa ia naik ke dalam bus yang berhenti tepat di depannya itu. Manda menempelkan kartunya dengan malas. Manda membiarkan dirinya berdiri. Ia hanya berpegangan pada pegangan yang diperuntukan untuk orang-orang yang tidak kebagian kursi. Manda benar-benar menghilangkan kebiasaan yang sering dirinya lakukan jika berada di bus seperti ini. Jika biasanya Manda akan sangat senang hati mendapatkan kursi yang kosong, namun saat ini ia bahkan tidak peduli pada kursi yang seharusnya bisa ia tempati. Manda membiarkan dirinya tetap sadar dengan berdiri saja sepanjang perjalanan. Ia takut tidak siap beranjak lagi ketika sudah mendudukan dirinya di kursi itu. Meskipun sebenarnya itu hanya alasan Manda saja agar pikirannya teralihkan dari permasalahan yang saat ini sedang ia hadapi. Tak terasa satu jam lebih Manda berdiri di dalam bus. Walaupun hanya satu kali transit tapi tetap saja membutuh waktu satu jam dari rumah Dilla. Itupun ia harus naik ojek dulu untuk sampai di pemberhentian bus. "Neng mau turun nggak lo?" tanya supir bus yang melihat langkah ragu-ragu milik Manda. Ingin sekali Manda menjawab tidak karena kakinya sangat berat untuk melangkah namun ia tidak bisa seegois itu. Apapun permasalahannya ia harus ikut menyelesaikan semua itu. "Terima kasih, Pak," ucap Manda pada supir bus karena bersedia menunggu keraguannya. Bus sudah kembali melaju, dengan begitu Manda sudah bisa menyeberang namun kaki Manda kembali terasa berat hingga suara klakson membuyarkan lamunannya. Ardafaza dengan mobil mewahnya berhenti tepat di depan Kamanda. "Ayo naik!" Dafa menunjuk kursi yang berada tepat di sebelahnya dengan dagunya sendiri. Tidak ada gunanya Manda menolak. Dafa adalah temannya dan Manda segan menolaknya untuj saat ini. Apa lagi kemarin ia meninggalkan Dafa begitu saja, tanpa pemberitahuan sama sekali, padahal ia sudah mengiyakan ajakan Dafa untuk pulang bersama. Manda yakin sebentar lagi Dafa akan bertanya kepadanya perihal menghilangnya ia kemarin. "Ada yang kamu jelaskan, Kamanda?" Tebakan Manda benar, Dafa akan bertanya kepadanya. Merasa serba salah, akhirnya Manda membohongi Dafa. "Ternyata Dilla sudah menjemputku kemarin. Dia maksa aku nginap di rumahnya," kekeh Manda. Tapi Dafa sedikitpun tidak menyunggingkan senyumnya. Okay. Manda tahu Dafa marah. "Dafa maaf," ucap Manda dengan tulus. Dafa menghela napasnya. "Jadi Dilla lagi?" tanyanya. Mohon maaf yang sebesar-besarnya kepada Dilla karena kali ini Manda akan kembali menjual namanya kepada Dafa demi menyelamatkan rasa tidak enak hatinya kepada Dafa. Dengan tenang Manda menganggukan kepalanya. Mungkin saat ini telinga Dilla sedang berdengung. Sahabatnya itu sering mengeluhkan hal tersebut kepada Manda, mungkin itu karena Manda sering menjual namanya kepada Dafa seperti saat ini. "Tapi nanti sore jangan bilang Dilla mendadak jemput kamu lagi, bisa, kan?" Manda terkekeh salah tingkah. Sepertinya selama ini Dafa telah mencium kebohongannya yang selalu membawa nama Dilla jika Dafa mulai menunjukan taringnya untuk mendekatinya. Manda menganggukan kepalanya dengan percaya diri. Ia berjanji pada dirinya sendiri, apapun yang terjadi nanti ia akan memenuhi keinginan Dafa. "Ayo turun!" ajak Dafa karena mobilnya sudah sampai di basement hotel. "Oh ehhh iya haha," Manda salah tingkah karena terlalu banyak melamun. Dafa mengacak rambut Manda dengan gemas. Itu tak luput dari perhatian beberapa mata yang tak sengaja bertepatan dengan mereka saat memasuki basement. Salah satunya adalah mata tajam milik Arfaraja. Ia memukul setir mobilnya dengan kesal. Bagaimana mungkin perempuan sok berani itu masih saja bisa tertawa bersama Dafa sementara dirinya adalah penyebab teamnya kehilangan pekerjaan. Saat Arfa melihat Dafa dan Manda turun dari mobil, buru-buru Arfa juga turun dan menghampiri mereka. "Pacaran aja terus," sindirnya. Manda yang memang enggan bertemu Arfa memutar bola matanya dengan jengah. Dafa terkekeh. Ia sengaja merangkul Manda di depan rivalnya. Ya, kalau bukan rival kenapa Arfa sibuk mengurusi hidup Manda? Dafa mengangkat alisnya. Lihat saja sekarang, mata Arfa sibuk mendelik pada telapak tangannya yang bertengger manis di bahu Manda. "Gue ada urusan sama Manda, lo pergi duluan aja, Daf," ingin sekali Dafa menertawakan Arfa. Jika di mata sepepunya itu Manda adalah pacarnya, kenapa Arfa justru mengusirnya. Sialan si Arfa. "Sorry, gue yang nggak ada urusan sama lo!" tunjuk Manda pada Arfa. Dafa menarik salah satu sudut bibirnya. Virus benci sudah bertebaran di sekeliling Manda. Ketakutan Dafa bertambah. Jangan sampai Manda benar-benar menjadi korban benci jadi cinta. Tetapi Dafa tidak tahu saja bahwa Arfa dan Manda memang musuh bebuyutan. Jika semua orang menyuruhnya untuk berhati-hati agar menghindari kejadian benci jadi cinta, maka Manda dengan sangat percaya diri mengatakan tidak perlu membuat benteng pertahanan agar bisa mencegahnya jatuh cinta pada Arfa karena rasa bencinya sudah mengakar sampai ke mana-mana. Jadi, tenang saja, Arfa tidak akan pernah menempati hatinya. Begitu juga dengan Arfa. Bagaimanapun orang menilainya, Arfa tidak akan pernah jatuh cinta pada Manda. Melihat wajah dan bodynya saja Arfa sudah tahu Manda tak ada apa-apanya dibanding model yang beberapa waktu lalu menyatakan cinta padanya. Dafa saja yang terlanjur terjerumus pada guna-guna Manda. Apa lagi menurut Arfa, Manda ini ketus dan tidak tahu sopan santun. Lihat saja gadis sialan itu mempermalukannya. "Cewek gue bilang dia nggak ada urusan ama lo bro," ucap Dafa. Manda berdecak dengan kesal. Ia menyingkirkan telapak tangan Dafa yang masih betah bertemgger di bahunya. "Dan lo," tunjuknya pada Dafa. "Gue bukan cewek lo!" tegas Manda. Ia tidak tahu apa maksud Dafa mengakuinya sebagai ceweknya. Tapi yang harus Dafa tahu Manda tidak suka di pegang seintim itu oleh lelaki. Apa lagi Manda tahu persis bagaimana perasaan Dafa padanya. Gelak tawa Arfa menggema di basement. "Jadi cewek resek ini bukan siapa-siapa lo, Daf? Dasar edan! Ngapain lo ngaku-ngaku???" suara tawa Arfa masih saja terdengar. Dafa mendengkus kesal. Dia tidak menyalah Kamanda sama sekali karena seperti itulah sifat Manda. Dia bukan perempuan gampangan dan itu membuat Dafa semakin menyukainya. Dafa hanya merasa kesal pada Arfa yang terus saja menertawakannya. "Diam lo! Dafa ini teman gue, puas lo?" tanya Manda membalas ucapan Arfa. Kini Dafa yang tertawa. Astaga! Mandanya ini memamg tidak pernah terduga. Dia gadis yang tidak bisa Dafa abaikan sampai kapanpun. Dafa berjanji akan mengejar Manda sampai ke ujung dunia kalau perlu. "Songong banget sih lo!" ujar Arfa tidak terima. "Etssss!!" tangan Dafa menghalangi tangan Arfa yang ingin menjangkau Manda. Melihat itu, Manda memilih meninggalkan keduanya. Lagi pula mereka terlihat akrab di mata Manda. Mungkin pernah di kelas memasak yang sama. Pikir Manda. "Woy Manda!!" teriakan Arfa diabaikan oleh Manda. Gara-gara mereka Manda jadi telat masuk kerja. Ah, bukan kerja seperti biasanya. Tapi.. Entahlah, Manda tidak tahu cara menjelaskannya. Berada di sini pun karena Manda mengikuti kata hatinya. Sesampainya Manda di depan ruang kerja Behind the Scene, ia sudah mendengar suara Pak Viktor berteriak memberi semangat pagi untuk team. Manda menghela napasnya dengan lelah. Seumur-umur ini adalah pertama kalinya bagi Manda datang terlambat. Selama ini Manda selalu datang lima belas menit sebelum morning briefing dimulai. Tapi hari ini keterlambatannya bahkan sudah melewati morning briefing. Dengan jantung berdegup kencang, Manda mengetuk pintu ruangan. Perlahan ia memutar knop pintu karena tak suara yang membalas ketukannya. "Pagi!" sapa Manda saat pintu sudah terbuka dengan lebar. Kemudian yang Manda dengar selanjutnya adalah dengusan kesal dari para senior yang sudah lebih dulu bekerja di Behind The Scene dibanding dirinya. Manda bisa menebak mereka semua sudah tahu permasalahan yang sedang terjadi. Manda menatap Dini dan Ayu karena mereka berdua yang paling dekat dengannya di tempat ini. Ayu berkomat kamit memberi isyarat pada Manda bahwa anak-anak sudah mengetahui perselisihannya dengan chef Arfa. Bahu Manda melemas. Pasti pak Viktor sudah dipanggil oleh bos besar mereka sehingga masalah ini sudah diinfokan ke semua team. Dengan keberanian yang tersisa Manda mengalihkan tatapannya kepada pak Viktor. Manajernya itu menghela napas dengan berat. "Ikut ke ruangan saya, Manda." perintahnya. Manda mengikuti pak Viktor sambil terus menolehkan kepalanya pada Ayu dan Dini yang diam-diam memberinya support. Saat sampai di ruangan pak Viktor yang hanya memerlukan beberapa langkah saja itu, Manda di minta untuk duduk oleh pak Viktor. Mata pak Viktor penuh selidik kepada Manda, "kamu nggak cek group?" tanyanya. Manda menggelengkan kepalanya. "Saya tidak tahu harus mengatakan apa, Manda, tapi Bu Fara sudah memecat kamu tadi pagi lewat pesan di group." hati Manda sakit sekali mendengarnya. Jadi dia telah diusir begitu saja oleh ibu Fara selaku bos besar mereka. Dia di pecat secara tidak hormat oleh suatu kesalahan yang jauh dari kata besar. Kesalahan yang bahkan tidak disengajanya. Bagaimana mungkin Bu Fara memperlakukannya seperti ini bahkan setelah apa yang dua tahun ini ia lakukan. Bos besarnya tidak mempercayainya. Bahkan mengusirnya dengan cara yang menyakitkan bagi Manda. Tadi pak Viktor bertanya apakah ia mengecek group. Jangan katakan bahwa bu Fara sudah mengeluarkannya dari group chat mereka. Dengan tergesa-gesa Manda mengecek handphonenya dan benar saja, ia tidak lagi bisa berkomunikasi di group mereka. Ada pemberitahuan bahwa bos besar telah mengeluarkannya. Manda ingin menangis namun ia berusaha keras untuk menahannya. Bagaimanapun caranya Manda tidak boleh menangis. Selain pemberitahuan dari group chat, ternyata Ayu dan Dini sudah berusaha untuk memberitahunya tetapi sejak tadi pagi Manda tidak memainkan handphonenya sama sekali. Alhasil ia tidak tahu apa-apa. "Kalau gitu saya pulang dulu pak," pamit Manda. Ia tidak lagi menatap pak Viktor. Tidak juga berpamitan pada yang lain termasuk Ayu dan Dini karena mereka tidak kelihatan di meja mereka masing-masing. Sedangkan seniornya juga mengacuhkannya. Jadi Manda tidak perlu repot-repot berpamitan. Dengan segera ia meninggalkan tempat itu. Saat melewati toilet ia ditarik oleh dua orang sekaligus. Mereka adalah Dinu dan Ayu. "Kamu nggak apa-apa, kan?" tanya Dini. Mata Manda berkaca-kaca. Ia terlalu terkejut dengan sikap yang diambil oleh Ibu Fara. "Gue pikir Ibu Fara akan adil. Gue nggak nyangka dia nyalahin gue, Din," ucap Manda sambil tersedu. Setegar apapun Manda ia juga hanya manusia biasa yang akan menangis jika diperlakukan tidak adil. "Ini semua karena chef Arfa. Gue nggak nyangka kejadian ini berujung seperti ini," ucap Manda. Ia tidak lagi menangis. Matanya menampakan kebencian yang mendalam pada chef Arfa. Tanpa tahu harus melakukan apa, Dini dan Ayu hanya bisa memeluk Manda. Sekarang teman mereka diperlakukan tidak adil oleh atasan yang seharusnya mendukung mereka. Padahal Manda adalah karyawan lama sama seperti mereka. Manda bukan karyawan yang baru masuk bulan ini dan tiba-tiba menghilang di bulan berikutnya. Dua tahun Manda ada di Behind The Scene tapi Ibu Fara justru memperlakukan Manda seperti ini. Wajar kalau hati Manda kecewa. Manda menggenggam tangan Ayu dan Dini masing-masing satu, ia menatap kedua teman kerjanya itu dengan tatapan penuh dukungan. "Kalian masuk aja, gue pulang dulu. Thanks buat selama ini." ucap Manda. Dini menepuk punggung tangan Manda yang melingkupi tangannya. "Lo harus kabarin kita ya, Man. Kapan-kapan kita nongkrong bareng. Semoga Behind The Scene nggak dibubarkan," ucap Dini. Manda juga berharap seperti itu. Sesakit apapun hatinya do'a terbaik akan selalu Manda panjatkan untuk Behind The Scene, tempat teman-temannya mencari nafkah hingga saat ini. "Gue pulang dulu," pamit Manda. "Manda tunggu!" ucap Dini saat Manda membalikan tubuhnya. Mendengar itu Manda kembali menghadap kepada Dini. "Kenapa?" tanyanya. "Chef Dafa tahu tentang ini?" tanya Dini hati-hati. Manda menggelengkan kepalanya. "Tolong jangan kasih tau chef Dafa. Nanti aku sendiri yang akan ngabarin dia," jawab Manda. Ayu dan Dini hanya bisa menyetujui permintaan Manda. Lagi pula mereka tidak begitu dekat dengan chef Dafa. "Kalau gitu lo hati-hati, Man," Ayu dan Dini melambaikan tangan kepada Manda setelah memeluk Manda sekali lagi. Langkah kaki Manda membawanya ke dapur karyawan. Diam-diam Manda mengintip chef Dafa yang sedang sibuk mempersiapkan masakan untuk makan siang karyawan. Sungguh, chef Dafa sangat piawai. Ia tidak pernah ragu memilih bahan masakan terbaik. Chef Dafa juga merupakan pemimpin yang baik dalam teamnya. Saat Manda akan menyapa temannya itu tiba-tiba biang kerok dari masalahnya ini menampakan batang hidungnya di depan chef Dafa. Berdasarkan hasil pengamatan Manda dari jarak jauh, Manda dapat menyimpulkan bahwa chef Dafa dan Chef songong itu sedang mendiskusikan sesuatu. Sepertinya mereka tak dapat diganggu. Selain itu Manda juga enggan menghampiri Dafa jika ada Arfa. Manda memilih membalikan tubuhnya setelah ia mengirim pedan kepada Dafa bahwa hari ini pun ia kembali mengingkari janjinya untuk pulang bersama Dafa. Sementara tak akan pernah ada hari-hari berikutnya setelah ini. Manda berjalan menuju pintu keluar. Seperti biasa, ia akan memberikan tanda pengenalnya untuk terakhir kali kepada secuiryty. Karena besok ataupun lusa dirinya tak akan pernah ada di sini lagi. Sesuai prosedur, seluruh tubuh Manda diperiksa. Tas yang ia bawa juga ikut diperiksa. "Terima kasih," ucap Manda saat secuiryty menyatakan bahwa dirinya bersih. Setelah melewati ruangan keamanan ini, Manda akan melewati gerbang yang di awasi anjing penjaga. Biasanya Manda akan ketakutan karena setiap kali ia berjalan sendirian, si anjing penjaga mendadak menggonggongnya. Namun kali ini, Manda sama sekali tak merasakan hal itu. Ia tidak peduli pada anjing penjaga yang besarnya melebih tubuhnya sendiri itu. Meskipun langkahnya pasti menuju gerbang lalu ke pemberhentian bus, mata Manda tidak fokus pada pandangannya. Hingga gerbang terlewati, hingga kakinya berhenti tepat di pemberhentian bus, Manda tak juga bisa berpikir jernih. Ia telah dipecat, lantas setelah ini harus bagaimana?? Kalau saja dirinya pergi secara baik-baik, ia akan merasa bebas tanpa beban. Mungkin di Jakarta hanya membutuhkan satu dua hari saja, setelah itu ia bisa kembali ke kotanya. Ia bisa berkumpul bersama ibunya lagi dan menceritakan betapa asyiknya pengalaman yang dirinya dapatkan di tempat kerjanya. Tapi karena kejadian ini, Manda tidak bisa meninggalkan Jakarta dengan hati yang lapang. Sekarang harus bagaimana??? "Neng naik nggak?" Manda mendongak. Ia melamun lagi rupanya. Manda tidak sadar bus sudah berhenti di depan matanya. "Naik pak!" balas Manda. Kali ini ia mencari tempat duduk agar bisa sedikit berpikir jernih. Semua sudah terjadi. Ia hanya bisa mengikhlaskan semuanya. Semoga saja setelah ini semua akan kembali membaik. Manda berusaha membuat dirinya sendiri rileks. Ia mengeluarkan hadsat agar bisa mendengar lawakan yang sering ia tonton dikala jenuh. Beruntung ia masih ada stok lawakan yang sudah dirinya download saat masih bekerja di Behind The Scene dengan free wifi. Manda ikut terkekeh saat lawakan yang dibawakan salah satu pelawak terkenal itu membuat penonton tertawa. Selama kurang lebih dua jam Manda berkeliling dengan bus. Ia tidak ikut turun di pemberhentian yang biasanya membuatnya turun. Hingga dua jam kemudian Manda memutuskan untuk pulang ke kostnya. Sesampainya di kost Manda langsung membersihkan diri. Ia mandi lagi meskipun tadi pagi sudah mandi. Setelah itu Manda mengistirahatkan tubuhnya di atas tempat tidurnya. Di waktu berikutnya Manda habiskan dengan rebahan. Ia sudah menjadi bagian dari kaum itu hingga pagi di hari kedua setelah semuanya, keterkejutan menghampirinya. Lantas Manda terpaksa melakukan sesuatu yang tak pernah dirinya inginkan. Senyum remeh terlihat di wajah Arfa saat Manda mendatanginya. Manda terpaksa. Sungguh sangat terpaksa. Kalau bukan karena telpon dari Dini yang menceritakan bahwa Behind The Scene tidak bisa terselamatkan lagi, maka Manda tidak mungkin ada di sini. Tentu saja setelah Manda sempat memaksa bertemu owner tapi gagal karena orang asing yang tidak berkepentingan dilarang berkeliaran di area hotel kalau bukan karena ownernya sendiri yang mengundang. Akhirnya, Manda yang kehabisan akal berlari mencari Chef Arfa yang entah bagaimana ceritanya Tuhan mempertemukan mereka di lobi hotel. Napas Manda terengah. "Tolong bantu," Arfa terdiam. Senyum sinisnya menghilang setelah mendengar suara Kamanda. Lirih sekali. Melihat tidak ada respon dari Arfa, Manda semakin nelangsa. Wajahnya memelas sebelum berubah jutek. "Lo benar-benar keterlaluan kalau Behind The Scene sampai bubar. Ini semua salah lo!" ketusnya. Wajah Arfa yang tadinya tegang mendengar suara Manda mendadak kembali berubah sinis. "Gue bantu tapi dengan satu syarat." Seperti yang Manda duga, Arfa pasti mengajukan persyaratan dan meskipun membenci semua itu tapi Manda tidak punya pilihan lain. Manda setuju. Apapun persyaratan itu ia setuju. Manda menganggukan kepalanya dengan tegas. "Apa syaratnya?" tanyanya. Arfa terkekeh. Ia menatap Manda dengan serius. Lagi-lagi senyum sinis menghiasi wajah Arfa. "Lo harus jadi pembantu gue selama yang gue mau." Manda membawa telunjuknya tepat di depan hidung Arfa. Ingin sekali Manda berkata kasar tapi saat melihat salah satu alis Arfa terangkat maka Manda tahu ia memang tidak mempunyai pilihan lain. "Okay!" jawaban Manda membuat kedua sudut bibir Arfa berkedut. Akhirnya gadis songong itu bisa juga ia kerjai. Arfa berjanji akan membalas Manda dengan berkali-kali lipat. Lihat saja nanti! "Jam Enam tepat gue tunggu di depan hotel, atau di pemberhentian bus, kita bicarakan kesepakatan kita." Ucap Arfa sebelum ia meninggalkan Manda. Manda tidak memiliki pilihan selain menganggukan kepalanya. Ia menatap punggung Arfa yang semakin lama semakin mengecil. "Ganteng sih tapi nyebelin!" gerutunya. . . . Bersambung. Jangan lupa tekan LOVE ya. Terima kasih :)
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN