Behind The Scene With Arrogant Chef | 5

2111 Kata
*** Angin berhembus lembut, cuaca mulai berubah dingin ketika senja perlahan bersembunyi di peraduannya. Manda melirik gerbang utama hotel tempat ia bekerja beberapa hari yang lalu. Sesuai janji, Manda menunggu Arfa yang belum juga menampakan batang hidungnya. "Katanya sih jam Enam! Ini udah jam setengah Tujuh tapi nggak keliatan juga." gerutu Manda sambil menghentak pelan ujung jari kakinya ke permukaan tanah yang ia pijak. Ingin sekali Manda meninggalkan tempat itu namun hanya dengan menjadi pembantu Arfa, ia bisa membantu teman-temannya. Bagaimanapun Manda harus berkorban. "Mana si tukang masak itu?? Jangan bilang dia ngerjain gue?" ucap Manda bertanya-tanya. Baru saja ia ingin meninggalkan tempat itu, tiba-tiba suara klakson mobil menghentikannya. "Dafa?" pikir Manda. "Gawat! Dafa nggak boleh tau semua ini," ucapnya khawatir. Manda tidak ingin membuat Dafa terlibat. Manda tertawa salah tingkah saat Dafa menurunkan kaca mobilnya agar dapat melihat Manda. "Ayo masuk! Mau pulang? Kirain nggak masuk lagi," ucap Dafa. Manda gugup bukan main. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Sejauh ini Dafa belum tahu bahwa dirinya sudah tidak lagi bekerja di hotel. Masih sambil memaksakan tawanya, Manda menggerakan telapak tangannya di depan wajahnya sendiri. "Nggak usah! Gue nungguin teman," ucap Manda terpaksa mengakui Arfa sebagai temannya. Padahal dalam hati kecilnya ia akan menyikat mulutnya berkali-kali agar apa yang dirinya ucapkan tidak pernah terjadi. Siapa yang betah berteman dengan chef Arfa yang arrogant itu. Manda bergidik ngeri. "Amit-amit!" pekiknya tanpa sengaja. Membuat Dafa mengernyitkan dahinya. "Manda??" tegur Dafa. Lagi-lagi Manda salah tingkah. Ia mendekati mobil Dafa dan merunduk agar dalat melihat wajah Dafa dengan jelas. "Daf, maaf tapi gue ada janji beneran sama teman," ucap Manda. "Dilla?" tanya Dafa. Manda menggelengkan kepalanya. "Teman yang lain," jelasnya. "Siapa?" kejar Dafa. Ringisan kecil dari Manda membuat Dafa terkekeh. Ia sadar bukan ranahnya untuk bertanya lebih detail kepada Manda. "Kalau gitu gue duluan," pamit Dafa. Manda hanya bisa tersenyum penuh rasa bersalah. "Hati-hati," katanya. Setelah itu Dafa menghilang bersama mobilnya. Tak lama kemudian mobil Arfa berhenti tepat di depan Manda. Decakan kesal terdengar dari mulut Manda melihat Arfa baru datang. Padahal dia yang membuat janji waktu temu mereka. "Ngambek?" sindir Arfa. Manda memutar bola matanya. Tanpa disuruh pun Manda masuk ke dalam mobil Arfa dan duduk tepat di samping lelaki itu. "Jadi gue harus ngapain? Kesepakatan apa yang bisa menjamin kelangsungan hidup teman-teman gue?" tanya Manda tanpa basa-basi. Kini giliran Arfa yang tidak tahan untuk memutar bola matanya. Ada sedikit penyesalan dalam hatinya kenapa ia harus berurusan dengan perempuan ini. Namun kerena semua sudah terjadi Arfa hanya perlu memanfaatkan situasi saja. "Pertama, lo harus lihat apartemen gue dulu," jawabnya. Sesungguhnya Manda tidak setuju mengingat ini sudah tidak petang lagi. Namun Manda tidak bisa berbuat apapun salain mengiyakannya. Arfa membawa mobilnya membelah jalan raya. Ia mengebut demi agar secepatnya sampai pada tujuan. Di karenakan jam sibuk, sekitar satu jam kemudian mereka baru sampai, padahal jarak tempuh seharusnya hanya setengah jam saja. "Turun!" ujar Arfa kepada Manda. Dengan berat hati Manda membuka pintu mobil Arfa, lantas menggerakan kakinya agar berpijak pada lantai basement apartemen. "Lelet lo!" ujar Arfa sambil menghampiri Manda. Kemudian menarik pergelangan tangannya. Manda sedikit teekejut. Arfa ini suka sekali menyentuhnya. Padahal Manda risih dengan semua itu. "Lepasin gue! Nggak usah pegang-pegang," ketus Manda sambil menghempaskan tangan Arfa. Bunyi pintu mobil yang berdebum menandakan jika Manda sedang kesal pada Arfa. Tetapi Arfa tidak perlu memikirkan kemarahan Manda. Ia tidak peduli, yang jelas mulai hari ini dirinya memiliki seorang pembantu gratis yang bisa ia kerjai setiap hari. Ketika Arfa memunggungi Manda dan melangkah duluan menuju unitnya, Manda sempat berpikir ingin kabur saja. Namun saat mengingat suara Dini yang lemas, Manda jadi tidak tega dan mengurungkan niatnya. Manda mengikuti Arfa dari belakang. Ia sedang memperhatikan lelaki itu. Tubuh Arfa lebih tinggi dari Dafa, pikir Manda. "Kenapa dari belakang dia mirip Diko?" bisik Manda setelah memandang lekat punggung Arfa. Manda menggelengkan kepalanya. Mana mungkin mirip Diko? Seratus persen berbeda. Diko adalah lelaki yang selalu membuatnya nyaman. Tidak seperti Arfa yang setiap detik membuatnya gugup dan takut. Manda memukul keningnya. Ia menyesal telah menyamakan Diko dengan seorang Arfa yang sombong. Langkah Manda terhenti saat mereka sampai di depan lift. Ia ragu masuk ke sana karena hanya ada mereka berdua. Arfa mengedikan dagunya agar Manda cepat ikur masuk ke dalam lift. Karena Manda masih saja melamun, Arfa kembali menarik lengannya. Alhasil, Manda yang sedang tidak siap mendadak berada dalam pelukan Arfa. Untung saja tidak ada orang yang melihat. Secepar kilat Manda mendorong Arfa agar tubuh mereka tak lagi bersentuhan. Ini yang Manda takutkan, Arfa selalu mencuri kesempatan menurut Manda. Karena menyadari kegugupan Manda, kejahilan Arfa membuatnya ingin mengerjai Manda. "Tubuh kamu wangi," goda Arfa sambil tersenyum m***m. Manda bergidik ngeri. Demi apapun ia tidak akan pernah membiarkan Arfa mengambil keuntungan sedikitpun darinya. "Apa lagi ini, lembut dan harumnya seperti strawberry," ucap Arfa sambil menyentuh bibir Manda. Dengan kasar Manda menepis tangan lelaki itu. Kekurang ajaran Arfa membuat Manda mendelik padanya. Kenapa Arfa berani sekali melakukan itu kepada Manda, padahal Manda bukan perempuan yang suka pamer belahan d**a ataupun paha. "Jangan berani sentuh!" Manda dengan berani memperingati Arfa. Ia benar-benar tidak suka dengan sikap Arfa yang seenaknya sendiri seperti ini. Bagaimanapun juga Manda adalah seorang perempuan yang bukan muhrimnya. Arfa tidak berhak menyentuhnya secara sembarangan. Namun dasarnya Arfa tidak mengerti dengan peringatan Manda. Lelaki itu justru menghimpit Manda. Benda berukuran sempit itu membuat Manda semakin sesak. Ia tidak tahan ingin segera keluar dari tempat ini. "Kenapa? Takut?" tanya Arfa sinis. Manda meninggikan dagunya. Ia berprinsip, sosok seperti Arfa akan semakin menginjak saat ia menundukan kepalanya. Manda tidak akan membiarkan hal itu. Tetapi, ternyata pilihan Manda salah. Arfa yang sejak tadi mengincar benda kenyal milik Manda itu akhirnya bisa mendapatkannya berkat Manda yang mendongakan kepalanya. Sekali lagi Manda terkejut. Ia mendorong Arfa dengan sekuat tenaga namun badan Arfa yang besar tidak bergeser seincipun. "Arfa lepasin gue!!!! Ehmm," Manda masih berusaha melepaskan diri dari Arfa. Bagi Manda, Arfa tidak punya pikiran. Ia melecehkan Manda dengan semena-mena. Sampai kapanpun Manda akan membenci Arfa. Dengan sekuat tenaga Manda menendang s**********n Arfa. Mana bisa dirinya pasrah begitu saja di depan Arfa. Lelaki itu merinngis kesakitan. Senyum kemenangan muncul di wajah Manda. "Lain kali jangan berani nyentuh gue!" tegas Manda. Kini Arfa terkekeh. Seumur hidupnya baru sekali ini ia ditolak oleh seseorang. Biasanya perempuan yang menawarkan diri untuk ia sentuh. Tapi Manda?? Perempuan itu justru mendorongnya sekuat tenaga agar menjauh. "Awas aja kalau adik gue kenapa-napa," adik yang Arfa maksud adalah asetnya yang paling berharga. Manda berdecih, ia tidak peduli dengan itu semua. "Di mana apartemen lo?? Ingat ya, gue hanya akan datang di siang hari aja. Jangan harap lo bisa lihat gue di malam hari dan berniat nyentuh gue secara sembarangan!" jelasnya. Sambil menahan sakit, Arfa mengeluarkan tawanya. Lagi pula kenapa ia sangat tergoda untuk menyentuh Manda??? Tidak ada yang istimewa dari perempuan sok berani ini. Tetapi seakan semua di bawah kendali Manda, Arfa tidak menyadari kejahilannya berujung ia menginginkan kecupan lembut dari bibir Manda. "Sial!" maki Arfa. Ia tidak suka situasi yang seperti ini. Pintu lift terbuka setelah terdengar suara berdenting. Manda dapat melihat mereka berhenti di lantai tiga puluh lima. Cukup tinggi, pikir Manda. Mengabaikan lamunan Manda yang entah apa, Arfa melangkahkan kakinya dengan tertatih menuju unitnya. "Masuk!" ujar Arfa kepada Manda. Meskipun ragu, namun pada akhirnya Manda berhasil memaksa kakinya untuk berada di dalam apartemen Arfa. "High-end apartment," pikir Manda. Ini adalah apartemen mewah yang memiliki fasilitas lengkap. Manda yakin harga perunitnya sangat mahal. Mungkin bisa di atas tiga puluh jutaan dikali dua belas bulan. Setidaknya begitu keterangan yang ada di internet saat Manda iseng browsing harga apartemen mewah dulu. Manda meringis melihat angka itu. Kemana kiranya ia bisa mendapatkan uang sebanyak itu. Mendadak Manda sadar jika Arfa adalah orang kaya. Pantas saja dia terlihat sangat arrogant. "Duduk!" perintah Arfa. Mau tak mau Manda menurutinya juga. "Man ini sakit, lo nggak mau ngelus?" tanya Arfa jahil sambil menunjuk asetnya. Buru-buru Manda mengalihkan tatapannya ke arah lain. Untung saja ia tidak harus seatap bersama Arfa, kalau tidak matilah Manda. Melihat reaksi Manda yang seperti salah tingkah, Arfa menertawakannya. Lucu juga mengerjai Manda seperti ini, pikir Arfa. "Kasih tau tugas gue apa? Setelah itu gue mau pulang," ucap Manda dengan kesal. Ia sangat muak melihat wajah m***m Arfa. Arfa berdehem, "lo!" ucap Arfa dengan nada suara yang dingin. Hal itu membuat Manda menatapnya. Tebakan Manda benar, wajah m***m Arfa sudah berubah kembali menjadi kaku. Manda tidak mengerti kenapa cepat sekali lelaki itu berubah. Semakin tidak mengerti kenapa orang-orang mengaguminya. "Tugas lo adalah nyapu, ngepel, masak buat gue, dan mandiin gue," ucap Arfa. Bola mata Manda melotot sempurna mendengar tugas terakhirnya. Ekspresi terkejut di wajah Manda membuat Arfa berusaha keras menahan tawanya. "Sinting!!" pekik Manda. "Kenapa?" tanya Arfa biasa saja. Manda mendengkus, "bisa aja gue mandiin lo, tapu saat lo udah nggak bernyawa," balas Manda dengan sengit. Arfa memasang wajah ngeri miliknya. "Gue juga nggak sudi dimandiin sama lo, nggak ada enak-enaknya," balas Arfa sambil memandang seluruh tubuh Manda. Kesal melihat kelakuan Arfa yang tidak punya sopan santun, Manda menghampirinya dan ingin menampar wajahnya. Mungkin itu bentuk kekesalan Manda terhadap Arfa karena telah memperlakukannya dengan buruk hingga sejauh ini. Manda ingin menangis, menyesali semuanya. Namun ia menahan agar air matanya tidak tumpah di depan Arfa. Tentu saja telapak tangan Manda tidak pernah sampai pada wajah Arfa. "Lo nggak bisa seenaknya melakukan kekerasan sama gue, Kamanda!" "Karena gue yang akan nyiksa bathin lo mulai dari sekarang." Manda terdiam. Ia dan Arfa saling membunuh melalui tatapan tajam mereka masing-masing. Sesungguhnya, dalam ketangguhan yang Manda perlihatkan, ada begitu banyak rasa takut yang tak mampu diringa bendung. Ancaman Arfa membuat Manda gemetar namun ia menahan semua itu. Manda kenal betul dengan pemilik sifat sombong seperti Arfa ini, Manda yakin Arfa tak pernah main-main dengan apa yang dia katakan. Sebenarnya Manda tak yakin ia akan bertahan tanpa meneteskan air mata selama nanti menjadi pembantu Arfa. "Ingat kata-kata gue!" tegasnya. Meskipun begitu rencana Arfa namun siapa sangka ada rahasia dibalik semuanya. Rahasia itu yang membuat Arfa ragu dengan rencananya sendiri. Tetapi melihat sikap Manda yang selalu melawannya, Arfa merasa tidak apa sedikit bermain dengan Manda. Setelah itu, ia akan membebaskan Manda, tentu setelah ia berhasil dengan apa yang harus ia lakukan. Arfa menghempaskan tangan Manda saat melihat embun di mata gadis itu. "Lo boleh pulang. Kosong tiga kali, angka tiga juga tiga kali. Itu pasword apartemen gue. Besok pagi datang sebelum gue bangun tidur," katanya. Manda mengulang pasword apartemen Arfa di dalam hatinya. Ia masih enggan menatap Arfa karena matanya mulai tidak bisa berkompromi. Tanpa peduli sopan santun, Manda meninggalkan Arfa begitu saja. Setelah berada di dalam lift yang lagi-lagi tanpa orang lain selain dirinya, Manda menumpahkan tangisnya. Ia tersedu dengan hebat karena merasa beban yang akan bathinnya pikul akan bertambah berat. Manda sungguh menyesal karena semua rencana indahnya harus terhempas begitu saja hanya karena pertemuan tak terduganya bersama Arfa. "Keterlaluan," lirih Manda sambil menepuk dadanya dengan pelan. Baru sehari saja ia sudah sangat kesakitan, apa lagi nanti setelah berhari-hari. Bahkan semua ini tidak tahu kapan bisa berakhir. "Ikhlas Manda!!!" tegasnya. "Jangan cengeng! Ini pilihan lo," ucapnya demi memberikan semangat untuk dirinya sendiri. Dentingan kembali terdengar. Untung saja keadaan masih sama sunyinya dengan tadi. Manda berlari meninggalkan gedung tinggi yang beberapa waktu ke depan akan menjadi saksi kesialannya. Meskipun sangat lelah namun Manda masih memaksakan dirinya untuk pulang menaiki bus. Ia berjalan kaki demi menemukan tempat pemberhentian bus atau halte. Syukurlah, tidak terlalu jauh dari apartemen Arfa ada halte yang berdiri kokoh. Manda segera mengecek ke mana arah yang harus dirinya tuju. Ia mendesah karena harus melakukan dua kali transit. Apartemen Arfa cukup jauh dari kos-kosannya. Namun Manda tidak bisa mengeluh. Beruntung di dekat sinj ada halte seperti ini sehingga bisa memudahkannya pulang pergi. "Ayo Manda!!! Semangat! Besok harus bangun lebih awal agar si tukang masak nggak marah-marah mulu." pekiknya dalam hati. Manda ikut mengantri untuk masuk ke dalam bus yang baru saja berhenti. Beruntung tidak terlalu penuh hingga Manda bisa mendapatkan kursi. Ia duduk diam di sana sambil merenung kembali. "Kenapa ini seperti novel?" tanyanya lirih. Manda berusaha menerima semuanya dengan lapang d**a. Ia berjanji setelah semua ini berakhir dan BTS kembali aman, ia akan pulang ke kampung halamannya. Ia akan menuruti keinginan mamanya, termasuk bila mamanya itu berniay menikahkannya dengan anak sahabat namanya. Manda juga berjanji, setelah nanti ia kembali pulang, ia akan mengunjungi Diko dan menceritakan semuanya pada satu-satunya lelaki yang sampai saat ini ia cintai. Manda tidak berharap Diko mengelus kepalanya, memberinya kata-kata yang kaya akan kebijaksanaan seperti dulu, Manda tidak mengharapkan itu semua karena Manda tahu itu tidak mungkin bisa terjadi. Namun Manda patut bersyukur karena setelah sekian lama ia baru berani mengunjungi Dikonya lagi. "Aku takut, tapi aku rindu sama kamu, Dik," bisik Manda. Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN