PART 2

4313 Kata
Tamira melihat suaminya yang sibuk sendiri dengan kegiatannya. Sedangkan ada dirinya yang ingin mendapat perhatian dari Anandra. Pria itu—yang menikahinya untuk menyelamatkannya—bertingkah seolah jika sudah resmi menikah tak ada yang perlu dilakukan lagi. Tamira memang merasa aman, tidak ada lagi yang menyiksanya, tidak ada lagi yang menghalanginya untuk meneruskan karirnya sebagai model terkenal, tak ada hambatan apapun selama Tamira bersama Anan. Namun, hambatan itu datang dari satu nama; Galiya. Seolah tak cukup menjadi masa lalu, Anan selalu memikirkan wanita itu dalam kurun waktu kurang lebih satu tahun ini. Mereka sudah berpisah, tetapi masih saja berhubungan. Bagi Tamira yang sudah diizinkan masuk dalam hidup Anan, semua ini curang. "Kamu belum makan?" tanya Anan yang terkesan tak berasal dari ketulusan hati. Hanya pertanyaan yang muncul untuk basa-basi. "Aku nunggu kamu. Aku mau makan sama kamu, Nan." "Oh, sori. Aku lupa ngasih tahu kamu, kalo aku udah makan tadi." Tamira menghela napas keras. "Kapan?" tanyanya mulai tak suka. "Sebelum pulang." Jawab Anan singkat. "Sama siapa?" Anan berhenti menatap tabletnya dan beralih melihat Tamira. "Galiya." Jawab pria itu memilih jujur. Nilai tambah seorang Anandra adalah tidak menutupi apapun dengan kebohongan. Semua yang ditanyakan akan dijawab dengan fakta, tetapi hal tersebut juga menjadi kekurangan. Kalau selalu jujur dan kejujuran itu terkesan menyakiti lawan bicara... sudah pasti menimbulkan permasalahan. Sama seperti rumah tangga Anan bersama Galiya, pria itu jujur mengenai keadaan Tamira dan keinginan sahabat sejak kecilnya itu meminta dinikahi. Anan jujur akan hal itu, tetapi merobohkan rumah tangganya dengan Galiya. "Galiya? Apa urusan kalian sampai kamu harus makan dengan dia?!" "Urusan kami akan tetap menjadi urusan kami, Tami. Apapun itu, selama Galiya nggak menghendaki untuk mengatakan hal tersebut kepada siapapun... aku juga akan menghargainya dengan melakukan hal yang sama." Tamira mendengus. "Oh! Jadi hanya urusan kalian? Aku mungkin bisa bertanya sama mantan hampir maduku itu, apa yang kamu dan dia tahu sampai aku nggak boleh tahu?" Lalu Tamira membalikkan badan untuk keluar dari kamar. Anan tidak merasa harus susah payah dengan kelakuan Tamira. Toh, perempuan itu tak akan pernah tahu tempat dan nomor telepon yang bisa menghubungkannya pada Galiya. Anandra sedang tak ingin lebih peduli, sebab kepalanya sedang sakit memikirkan bagaimana cara agar Galiya meruntuhkan niat nya untuk menggugurkan kandungannya. * Saat itu malam dimana Galiya merasa sangat sepi dan perlu menghilangkan tekanan demi tekanan yang memberatkannya hingga terasa menjadi beban. Dia memutuskan menghabiskan uang terakhir dari Anan, dia berjanji akan menggunakannya untuk sekali ini saja. Setelahnya tak akan lagi dia membuka rekening tersebut. Untuk bersenang-senang tak akan menjatuhkan Anan menjadi miskin. Pub tempat yang lebih asik untuk dijadikan kandang minum bagi Galiya. Tidak memekakan telinga, menenangkannya yang ingin minum dengan santai, tidak diisi manusia-manusia heboh. Galiya menenggak setiap cairan mahal yang malam ini dia harapkan bisa membantunya melupakan masalah hidupnya sejenak. Sejujurnya Galiya bukan tipikal peminum, tetapi juga tidak mudah mabuk ketika diajak minum. Matanya masih bisa menangkap dengan jelas dan baik bagaimana Anandra datang dari seberang dengan wajah mengetat marah. Untuk apa pria itu marah? "Apa-apaan ini, Galiya!?" ucap Anandra. Galiya tak berniat menjawab. Dia hanya mengacungkan gelas kepada Anan guna mengajak pria itu duduk dan minum bersamanya. "Kamu nggak suka seperti ini! Kenapa malah kesini dan—" "Sssttt... minum aja. Ini duitmu juga, kok. Aku cuma nyari hiburan. Supaya kepalaku nggak sakit dengan masalah yang datang terus!" kata Galiya. Ditepuknya tempat yang kosong di sisinya, memberikan ruang bagi Anan untuk duduk disana. "Gal... berhenti." Galiya tidak menghiraukan. "Plis, Gal. Berhenti minum!" tekan pria itu. Lalu Anan menarik gelas shot tersebut dari Galiya dengan menenggaknya sendiri, karena kesal Galiya ingin terus meminumnya. Wajah Galiya sudah agak memerah sebenarnya, tapi tidak dihiraukan oleh perempuan itu sendiri. Dia menatap Anan yang menghabiskan sisa minumannya dan menarik tubuh Galiya untuk beranjak dari sana. "Aku nggak suka kamu seperti ini, Galiya!" "Aku juga nggak suka kita yang seperti ini! Bikin aku frustasi, kamu tahu? Bikin aku kangen setengah mati sama kamu! Kangen sama kamu yang bukan lagi milikku!" Kata Galiya setelah Anan memasukkan paksa tubuh perempuan itu ke mobil. "Aku kangen kamu! Apa kamu nggak bisa sadar itu? Aku mau kamu, tapi nggak bisa lagi. Kamu bukan milikku!" Galiya yakin dirinya belum sepenuhnya mabuk, tetapi efek akan mabuknya itu membuatnya berani mengatakan setiap seruan jujurnya itu. "Aku selalu milik kamu, Galiya. Aku milikmu...." Ucap Anan dengan lirih. Mereka saling bertatapan, membuat jarak yang semakin dekat dan Galiya menerima dengan hangat ciuman Anan di bibirnya. Galiya mulai mengalungkan lengannya, dia tahu hanya dengan 'memiliki' Anan-lah rasa rindunya akan terobati.  * Anandra menangis sendiri dalam tidurnya. Terlalu banyak menyakiti sepertinya berpengaruh besar pada dirinya sendiri. Setiap malam dia menangis bagaikan anak kecil, tersedu dalam tidur, entah pria itu sadar atau tidak. Namun, Tamira tahu kalau dalam tangis pria itu ada nama Galiya. Perempuan yang sudah hadir diantara persahabatan mereka. Meski sejujurnya Tamira tak menyukai kehadirannya, hanya diam yang bisa dirinya lakukan. Setelah memiliki kesempatan untuk berlindung pada Anan, barulah dia membuat rumah tangga sahabat sejak kecilnya mulai berantakan. Mengamati bagaimana Anan meringis sedih dalam tidurnya, melihat bagaimana pria itu meminta maaf dalam tidurnya yang hampir tak pernah lelap setiap malamnya... Tamira ikut bersedih. Dalam pikirannya, Anan hanya terbuai obsesi sementara saja. Sebab Tami dan Anan adalah pasangan lama sebagai sahabat, yang seharusnya menjalin kasih seperti banyak kisah diluaran sana; sahabat jadi cinta. Tamira meyakini bahwa takdir mereka memang bersama. Namun, entah bagaimana Anan sama sekali tak menunjukkan rasa cinta padanya. Tamira berpikir, Galiya-lah yang tidak tahu diri akan posisinya. Anan tak benar-benar mencintai Galiya, hanya Tamira-lah cinta sejati Anandra. Sayang, semakin kesini, semakin Tamira melihat jelas bahwa Anan tak berniat mencintai Tamira. Anan hanya merasa perlu membantunya dari siksaan mantan suaminya, dulu. Yang mana, Tamira pikir tindakan itu adalah bentuk cinta Anan padanya. Itulah mengapa Tamira dengan berani menunjukkan posisinya yang akan dimadu oleh Anan pada Galiya. Semenjak itu pula Anan selalu marah padanya karena Galiya yang menuntut perceraian. Membalikkan posisi tidur, menatap langit kamar. Tamira mengiba pada sang pencipta, "Kapan suamiku akan mencintai diri ini?" Bodohnya Tamira, bahwa hidup mereka bukanlah drama singkat di televisi yang selalu menunjukkan karma pada tokoh pemainnya. Hidup mereka akan lebih dramatis, dengan jalan cerita yang tak akan sama seperti yang lainnya. "Gal... maafin aku. Gal aku cinta kamu, Gal." Berkali-kali mendengar itu, Tamira tetap saja bodoh dengan bertahan dalam rumah tangga tak memiliki nyawa itu. * Arini melihat kedua orang berbeda jenis kelamin itu keluar dari kamar tanpa saling bicara. Tak pernah akur, bahkan terkesan selalu perdebat, menyebabkan berisik yang sangat Arini benci. Sebagai orangtua, Arini hanya bisa diam saja. Selain karena tak ingin banyak bicara, juga karena tak suka dengan kehadiran Tamira serta keputusan bodoh putranya. "Hari ini aku mau berangkat ke Bangkok. Ada syuting di sana." Arini tak melirik putranya sama sekali. Wanita baya yang kemana-mana harus menggunakan kursi roda itu enggan ikut campur dalam pembahasan keduanya. "Semalam kamu nggak bilang. Kenapa mendadak?" balas Anan. "Nggak mendadak, coba aja kamu semalam nggak cuek, aku bakalan bilang daripada milih berantem nggak jelas." Helaan napas Anan terasa jelas oleh Arini dan Tamira. Bukan hanya Anan dan Tamira saja yang lelah, bahkan Arini yang hanya mendengar saja sudah sakit kepala. Dia tak paham mengapa begitu cepat keduanya bertengkar. Semenjak menjadi pasangan yang sah, Tamira tak memiliki jiwa yang sama seperti saat mereka menjadi sahabat saja. "Mama udah selesai." Kata Arini seraya menggerakan kursi rodanya. Dia sudah cukup letih karena menunggu kepastian putranya guna membawa Galiya yang sedang hamil, dan pagi-pagi sudah disuguhkan perdebatan antara pasangan di depannya, Arini pasti sudah makin gila. Membiarkan kepergian Arini dari meja makan, Anan menatap Tamira kesal. "Bisa nggak, kamu itu kalo ngajak perdebat nggak di depan mama? Apa kamu nggak punya pikiran? Mama udah sakit, masih aja kamu mau nunjukkin kita yang seringnya berantem terus?!" "Oh, salah aku kalo kita berdebat di depan mama kamu? Bukannya kamu sendiri yang sok-sokan larang aku tadi? Siapa yang mulai sebenarnya?" "Tami!" "Aku nggak paham, Nan. Kenapa kamu selalu giniin aku? Mana pernah, sih, dari awal kamu peduli sama aku? Mau berangkat buat bulan madu aja nggak pernah jadi! Kapan hubungan kita bakalan maju kalo kayak gini terus?!" Anandra menggebrak meja makan dengan tenaganya. Amarah menguasai dadanya, ingin sekali berbuat jahat pada perempuan dihadapannya ini. Hanya saja nalarnya masih berfungsi dengan baik. "Kalo bukan karena kamu, aku nggak akan melepaskan Galiya. Kamu tahu seberapa jahatnya kamu dan aku? Jahat sekali, Tami. Aku nggak paham kenapa kamu hadir dan suamimu itu menyebabkan masalah. Kenapa hidupku dan Galiya hancur karena ulahnya juga?! Kalo aja, bukan kamu yang memiliki suami sakit jiwa kayak gitu... aku nggak akan peduli. Aku nggak akan mengorbankan Galiya keluar dari hidupku! Aku nggak akan menampung kamu yang luar biasa nggak tahu diri! Andainya suamimu belum masuk penjara, mungkin nggak cuma orangtua Galiya yang pergi... tapi aku juga. Bayangkan aja, apa nasibmu sekarang kalo aku nggak ada!" Mendadak, Tamira diserang panik kembali. Anan tak peduli. Dia akan pergi dari rumah dan membiarkan Tamira jalan seperti yang perempuan itu mau. Tak dipedulikannya jika ucapan itu membuat Tamira ketakutan. Dalam kepala Anan, dia ingin segera menebus kesalahannya dengan membuat Galiya mempertahankan bayi mereka. * Guyuran hujan kembali menahan langkah Galiya untuk pergi menuju kenalan yang dia cari sendiri guna membantunya menggugurkan kandungan. Si makhluk kecil yang belakangan selalu dia raba kehadirannya menjadikannya enggan untuk sering keluar rumah. Pekerjaan tetap juga belum dia dapatkan hingga kini. Galiya semakin bingung, kepalanya penuh akan segala pertimbangan jika dia memihak sisi baik dalam dirinya yang menginginkan si mahluk kecil untuk menemaninya dikala sepi menjamah. Jika dipertahankan, sudah pasti dia akan kesusahan untuk mengurus si mahluk kecil. Penghasilannya tak ada. Uang yang dirinya punya sekarang hanyalah kebetulan banyak, hasil dari kiriman mantan suaminya dan beruntung saja Galiya memiliki niatan aborsi, jadi uang tersebut bisa lebih berguna. Ketimbang dia bergantung pada uang kiriman Anan, yang sudah pasti akan terlihat berapa yang berkurang dalam rekening tersebut. "Makhluk kecil, apa kamu memang nggak mau aku menggugurkan kamu? Sampai, hampir setiap hari kamu meminta turun hujan kepada Tuhan. Begitu?" Monolognya berusaha mengajak bicara janinnya sendiri. "Kamu nggak berulah saat ketemu papamu. Itu tandanya kamu sayang sama dia, kan? Tapi aku nggak suka kamu sayang sama dia, mahluk kecil. Aku... masih sakit hati." Belakangan, Galiya menjadikan makhluk kecil sebagai tempat curhatan juga. Dia tidak membagi cerita mengenai perasaannya pada orang lain, termasuk Agustin, yang selalu siap membantunya. Melainkan si makhluk kecil yang mendadak menjadi kesayangannya, menjadi tempat bercurah gundah. "Apa yang harus aku lakukan? Kamu pasti akan kesakitan kalo keputusan menggugurkan kamu diteruskan. Tapi aku juga nggak mau kamu hidup susah ketika lahir nanti. Aku-pun nggak mau kamu hidup dalam keluarga papamu. Aku—bingung, makhluk kecil." Sekelebat bayangan keluarga bahagianya menyapa. Galiya begitu disayang, diurus dengan baik tanpa kurang satu apapun. Kehidupannya yang dulu tak begitu kaya, sebab keluarganya masih dalam tahap merintis. Lalu perlahan berkembang, membahagiakan Galiya sekeluarga tentu saja. Mereka sempat hidup sederhana, dan tiba-tiba saja Galiya menitipkan airmata. Jika kedua orangtuanya tahu, mungkin Galiya yang akan dihardik keras karena berniat membunuh nyawanya sendiri. Apa ruginya merawat nyawa yang sebagiannya adalah dirimu? Diri Galiya yang lain berkata. Menginginkankan kewarasan Galiya agar tak membuat makhluk kecil menangis. Akan sangat merugikan jika makhluk kecil menangis dan menghantuinya dengan rasa bersalah terus menerus. Menggenggam ponsel satu-satunya yang dia miliki, Galiya semakin ingin mempercepat keputusannya untuk menggugurkan kandungannya. Semakin lama berada di rumah, dia akan semakin memikirkan kemungkinan untuk tidak melepaskan makhluk kecil. Dengan cepat Galiya menghubungi nomor tersebut, memintanya untuk menunggu sebentar, lalu Galiya segera bersiap-siap menerjang hujan guna satu tujuan; meluruhkan bayinya. * Anandra kebingungan dengan informasi yang dirinya dapatkan dari orang suruhannya yang sudah dia limpahi amanat untuk mengikuti kemanapun Galiya pergi. Ya, seperti orang kaya yang sebagian besarnya pasti memiliki uang untuk menyewa jasa informan semacam itu, Anandra juga menggunakannya. Sebab, jika hanya mengamati Galiya dari kejauhan, dia tak akan bisa merasakan aman. "Kemana dia?" "Sekarang sedang menuruni mobil online, Pak. Kami belum sempat menyadap ponsel ibu Galiya. Untuk saat ini kami masih memantau pergerakannya lebih dulu." "Kirimi saya alamat pastinya. Kalau dia ke tempat yang mencurigakan, segera secepatnya kamu hubungi saya. Jangan biarkan dia melakukan proses apapun jika berhubungan dengan menggugurkan kandungan. Mengerti?!" "Ya, Pak." Kepala Anan terasa sangat sakit saat ini. Dia tak bisa mengambil banyak cara selain meminta bantuan orang profesional. Jika diteruskan, dia yang tidak akan mendapatkan jawaban apa-apa, karena Galiya selalu menolak kehadirannya. Melihat hujan yang membasahi dinding gedung kantornya, Anan semakin khawatir. Galiya begitu tegas pada ucapannya sendiri untuk menggugurkan kandungan. Bahkan rela pergi dalam keadaan hujan. Kesehatan perempuan itu akan menurun, dan bertambah dengan pengeluaran janin yang sengaja dilakukan... Anan tak yakin nyawa mantan istrinya akan baik-baik saja. Berulang kali menilik pesan baik di sms ponsel, chat, ataupun email, Anan belum mendapatkan apa yang diinginkannya. Selain Galiya, pikirannya juga bercabang pada Tamira yang semakin hari semakin aneh. Sejak awal, bukan pernikahan semacam ini yang mereka sepakati. Padahal, saat itu Tamira memohon agar bisa terlindungi dari suaminya, yang menjadi mantan. Sayangnya Anan tak tahu bahwa ancaman demi ancaman datang dari mantan suami Tamira. Dia kelewatan fokus pada masalah rumah tangganya dengan Galiya, dan menyebabkan lalai pada keamanan mertuanya. Menyalahkan Tamira? Bukan gaya Anandra. Dia menyalahkan dirinya sendiri yang terkadang begitu bodoh sehingga dimanfaatkan pihak satu dan lainnya. Ponselnya berdering. Nomor tanpa nama yang memang sengaja Anan simpan akan informannya. Dengan cepat Anan menjawab, dan dengan cepat pula dirinya buru-buru berlari untuk segera mengendarai mobilnya sendiri menuju tempat yang diyakini sebagai tempat dimana Galiya akan menggugurkan janinnya. * Kaki Anandra berkendara dengan cepat, bagai mesin mobil yang memiliki kecepatan tinggi. Begitu dia sampai di tempat yang dituju, kepala dan kakinya bergerak sesuai. Hanya saja Anan ingin segera sampai lebih cepat jika kakinya bisa. Bergerak, melaju, tanpa banyak berpikir itu yang Anan lakukan sekarang ini. Mencari keberadaan orangnya, Anan menunggu informasi yang bisa menghantar kabar baru mengenai Galiya. "Pak Anandra." Panggilan serta tepukan di bahu dari arah belakang membuat Anan segera menoleh. "Gimana?" "Nama ibu Galiya masuk daftar antri." Jantung Anan semakin berdenyut nyeri, padahal dia tidak memiliki komplikasi jantung. Rasanya memang luar biasa sakit, entah berasal dari mana. Penyakit fisik atau penyakit hati? Entahlah, Anan tak mau lebih lama lagi mendalami rasa kecewa yang menjelma begitu sakit. "Galiya sudah mengantri? Dimana?" Anan memang mendapat informasi dari orangnya untuk datang ke klinik yang tak terkenal apalagi terdata dalam internet. Klinik aborsi. Begitu kira-kira yang Anan ketahui dari kabar orang terpercayanya. "Bisa ikut saya, Pak." Orang suruhan Anan itu menggiring supaya segera ke tempat dimana Galiya berada. Begitu melihat sosok yang sedang dicarinya, Anan sontak berkaca-kaca. Disanalah ia menunggu dengan kedua tangan yang menjalin jemari untuk menguatkan diri. Anan tahu perempuan itu tak begitu siap untuk membunuh bayi mereka. "Saya permisi, Pak." Anan mengangguk seiring dengan perginya orang suruhannya. Pelan dan pasti, Anan mendekati Galiya. Perempuan itu duduk dalam deret kursi panjang yang tak ada penunggu lainnya. Galiya sendirian, Anan bisa menyimpulkan bahwa tidak ada antrian lain dan Galiya adalah antrian selanjutnya. Seperti ekspresi wajah perempuan itu, Anan-pun sedang gelisah dan takut dengan kondisi mereka saat ini. "Gal..." Anan bisa melihat bagaimana mantan istrinya menaikkan kepala dan tak langsung menoleh. Galiya pasti tak menginginkan kehadiran Anan, karena bukan itu yang Galiya memang inginkan. Melainkan segera menggugurkan anak mereka dan terlepas akan hubungan apapun dengan sang mantan suami. "Gal, aku—" "Ngapain kamu disini?! Gimana kamu tahu aku disini?!!" seru Galiya tak suka. Anandra tak menjawab langsung. Dia mendekati Galiya, duduk disamping perempuan yang sedang mengandung anaknya. "Aku akan tahu kemanapun kamu berada, karena aku mau melindungi kamu dan anak kita." Galiya mengeratkan giginya. "s****n kamu, Nan. Kamu cuma memperkeruh segalanya!" bentak Galiya yang tak mau mengalah. "Apapun keinginanmu... aku akan masuk dan bulat untuk menggugurkannya!" Karena suasana sepi, Galiya berani membentak. Pandangan perempuan itu bolak balik ke arah pintu dimana pasien terakhir belum juga keluar. "Aku mohon, Gal. Aku tahu kamu nggak akan jadi pembunuh anak kamu sendiri. Gal... kita bisa pikirkan masa depannya dengan baik-baik." Galiya menggeleng keras, kentara bahwa tak ingin ditanggap oleh Anan. "Nggak ada! Aku yang nggak ikhlas masa depannya bersinggungan dengan kamu! Apalagi dia tahu hidup orangtuanya yang kacau! Nggak ada masa depan, Nan!" "Ibu Galiya Putri Arkansa!" Nama Galiya disebut. "Sudah waktunya. Kamu nggak memiliki kesempatan untuk mengubah—" "Galiya... aku mohon. Aku mohon..." Anandra memohon dengan berlutut di depan Galiya. Kedua telapak tangan yang ditangkupkan menambah proses itu semakin sengit. "Aku mohon, Galiya... jangan, jangan membunuhnya." Galiya tak pernah melihat pria itu melakukan hal ini sebelumnya. Memohon padanya dengan cara seperti ini. Bahkan tangisan pria itu teramat menyakitkan untuk Galiya saksikan. Niat Galiya datang ke klinik itu adalah untuk meluruhkan nyawa yang tidak akan mendapat kasih sayang utuh dari mereka. Namun, kedatangan Anan membuyarkan rencana apik yang sudah Galiya buat. "Lalu apa? Apa yang akan kamu lakukan dengan memaksa aku mempertahankannya, Anandra?!" bentak Galiya dengan tangisnya yang mulai pecah. "Apa kamu nggak sadar? Dengan membuatnya hidup, dia hanya akan tersiksa?! Apa kamu nggak tahu kalau kita sudah membuatnya hadir karena kesala—" "KALIAN BUKAN KESALAHAN!" Anandra menghentikan ucapan Galiya. Membuat wanita itu sukses bungkam ditempat. Anandra sudah melakukan kesalahan itu sendiri, bukan Galiya ataupun bayi yang mantan istrinya kandung. "Aku yang salah, Galiya... aku yang salah, bukan kamu ataupun anak kita." "b******k sekali kamu, Anan. Bagaimana bisa kamu mengatakan kalau hanya kamu yang salah? Apa kamu ingin membuat aku terlihat lebih jahat dengan bahasa yang memuji? Apa kamu sedang bermain-main sekarang?" Anandra menggeleng sekeras yang ia bisa. "Lupakan itu. Galiya... aku ingin anak kita tetap hidup. Cukup kita berdua saja yang dikecam sebagai pendosa, jangan membuat kamu semakin berdosa dengan menghilangkan nyawa calon manusia." Dunia memang begitu kejam pada Galiya. Sudah besar usaha wanita itu untuk melepaskan Anandra, tetapi justru semakin didekatkan dengan mantan suaminya seperti ini. "Aku ingatkan kamu, Anan... kalau kamu adalah seorang suami dari perempuan yang sudah kamu ikat. Bagaimana bisa kamu berteguh mempertahankan anak dari perempuan lain? Ah, aku ingat... kamu juga melakukan hal yang sama ke aku, dulu. Iya, kan?" Galiya berdecak memaksakan seringai ditengah derasnya airmata. "Kamu pernah ada di posisi ini. Bukan, begitu? Yang berbeda, aku sedang hamil sekarang. Dan kamu punya alasan untuk bersikap sama—" "INI SEMUA KARENA AKU MENCINTAI KAMU! AKU MENCINTAI ANAK KITA!" Anan berteriak sekali lagi untuk menekan getaran suaranya akibat tangis. "Apa kamu nggak bisa melihatnya...? Aku nggak akan melepaskan kamu kalau aku nggak mencintaimu, Galiya." * Tangisan Galiya rupanya membuat tatapan orang yang berada disana sukses kebingungan. Entah bagaimana, tetapi drama mantan pasangan itu menjadi bahan tontonan bagi orang-orang sekeliling—walau hanya beberapa—klinik ilegal tersebut. "Cinta?!" Galiya menekankan. "Jangan bercanda kamu, Nan! Berhenti main-main, aku sama sekali nggak tertarik dengan gayamu yang membodohi perempuan begini!" Anandra menggelengkan kepalanya. Dia tak bisa menahan diri lagi, jika cara membujuk tak berhasil, maka lelaki itu akhirnya berdiri dengan cepat dan menarik tubuh Galiya dalam gendongannya. Tak peduli bahwa perempuan itu meronta ingin diturunkan—dilepaskan. "b******n kamu, Anan! Lepas!" Menulikan telinga, Anan terus membawa Galiya dan langsung menyuruh orangnya untuk mengurus administrasi di klinik yang sudah Galiya urus perjanjiannya. Bagi Anan, tidak ada janin yang akan digugurkan. Selama mereka mendapatkan rezeki yang begitu Adil itu dari Tuhan, maka akan seperti itu seterusnya Anan pertahankan. Lagi pula, Anan membawa mantan istrinya itu untuk menjelaskan apa yang belum melibatkan Galiya sama sekali. Sepertinya memang sudah waktunya untuk menjelaskan pada Galiya mengenai kebodohan yang terus menuntut Anan. "Lepaaassss!" teriak Galiya, dan memang langsung dilepaskan oleh Anan begitu tubuh perempuan itu masuk di mobil. Drama tetap terjadi, karena Galiya yang meronta memaksa  untuk keluar dari mobil. Berkali-kali hingga membuat Anandra kesalahan sendiri, meski begitu Anan tak habis cara memaksa Galiya tetap diam dan menurut. "Kamu mau membuat anak kita nggak hidup, 'kan? Oke, aku tawarin kamu cara paling instan buat ngebunuh anak kita." Anan sukses membuat Galiya kaku. "Masuk ke mobil ini, dan kita tabrakin mobil ini terus BOOM! Nggak perlu ada yang ngerasa bersalah kalo kita mati barengan." Membayangkan hal semacam itu jelas membuat Galiya bergidik. Tanpa sadar dia langsung mengeratkan pelukan pada perutnya sendiri. Tak pernah mau jika mahluk kecil tersiksa karena keinginan mereka, sebagai orangtua. "Masuk dan menabrakkan diri atau kita bicara tenang di mobil?" "Nggak ada yang perlu kita bicarakan!" ketus Galiya, menatap nyalang pada Anan. "Ada. Aku yang ingin bicara dengan kamu. Ada penjelasan panjang yang sudah seharusnya aku jelaskan pada kamu sejak awal, bukan malah menundanya." Mengeratkan giginya, Galiya akhirnya mengalah dengan menaruh kakinya ke dalam dan tubuh sepenuhnya duduk di kursi samping pengemudi. Matanya masih memerah, juga bekas airmata masih menghiasi pipinya yang tembam akibat efek hamilnya yang semakin besar. "Cepet bicara! Aku nggak berniat mengubah keputusan—" "Kamu harus mengubahnya. Karena kamu adalah ibu yang akan menjaganya, bukan menghilangkan nyawanya, Gal." Tercekat, Galiya tetap memasang wajah angkuh. Tak suka dengan sindiran Anandra yang memang benar adanya. Sejak dulu, dia menyukai anak-anak. Bagaimana mungkin dengan begitu tega dia membunuh bayinya sendiri? Namun, mengingat status serta kehidupan ekonominya... Galiya ingin menyerah. Ketimbang melihat hidup anaknya susah dimasa depan. "Cepet jelasin! Apa yang mau kamu jelasin?!" Menarik napas lebih dulu, Anan mengubah posisi menjadi miring menghadap Galiya. Meski diacuhkan karena tatapan perempuan itu masih lurus ke depan, Anan tetap tak menyerah. "Kamu tahu, aku lakuin ini karena mencintai kamu, Gal." "Inget istrimu di rumah. Jangan sembarangan mengumbar cinta!" sindir Galiya memutus ucapan Anandra. "Kamu memang sepatutnya marah, kecewa. Tapi harus ada yang kamu tahu." Anan menjeda sebentar. "Aku menikahi Tami dan setuju menceraikan kamu karena mantan suami Tamira akan mengincar siapapun yang jadi orang terdekatku. Dengan aku menceraikan kamu, maka dia akan berpikir kalo kamu nggak berarti dalam hidupku." Galiya mengernyitkan keningnya, merasa terbodohi dengan penjelasan Anan. "Ngomong apa, sih kamu?! Jangan ngarang cerita!" "Nggak ada alasan buatku ngarang cerita mengenai hal ini, Galiya. Aku serius. Apa kamu mau kehilangan orang yang kamu sayang dan berarti dalam hidupku lagi?" Ucapan itu membuat Galiya menoleh pada Anan. Disinggung mengenai kehilangan, Galiya jelas perasa dan sensitif akan hal tersebut. "Jangan menyinggung soal orangtuaku! Aku benci kamu sok peduli—" "Aku memang peduli! Kamu perempuan yang sangat aku hargai dan ingin aku jaga selalu. Begitu juga kedua orangtuamu. Tapi aku yang bodoh karena kurang bergerak cepat hingga mantan suami Tamira membuat kedua orangtuamu menjadi korban dalam rencananya!" Tangisan Galiya kembali datang. Menembus gelombang pertahanan perempuan itu. "Apa maksudmu, Anan? Orangtuaku? Ap—apa mereka meninggal karena disengaja?" Niat hati Anan tak ingin membagi fakta menyakitkan ini. Tapi jika terus menerus disembunyikan, maka Anan sendiri yang merasa tak aman meninggalkan Galiya secara fisik, setelah meninggalkan Galiya secara status. "Maafin aku. Aku memang nggak berguna. Maafin aku, Gal." Saat itu juga, Galiya meraung dengan tangis tak terbendung. Kerinduannya yang sangat mendalam serta rasa kehilangan yang masih basah, akhirnya terluapkan. Tak dipedulikannya lagi ketika Anan menariknya dalam pelukan. Menyematkan kata penyemangat agar tak berkubang pada tangis yang mengiris.  * Galiya membenci fakta itu. Sangat. Tetapi dia tak bisa lebih gila dari ini jika semua perkara datangnya dari perempuan bernama Tamira. Awalnya, Galiya mau memaklumi jika saja Anandra jatuh cinta pada sahabat sejak kecilnya itu. Namun, dipikir lagi dalam otaknya yang sepertinya mulai mengecil karena dilingkupi emosi... Galiya memiliki keinginan menghancurkan perebut Anandra itu. Menjarak pada tubuh mantan suaminya, Galiya menatap lelaki itu dengan lekat. "Kenapa kamu baru bilang sekarang?" tanyanya dengan suara sengau akibat tangis. "Seperti yang aku bilang tadi, aku yang bodoh, Gal." "Kamu memang bodoh, tapi nggak seharusnya membuat aku salah paham dan menghancurkan keluarga kita sendiri!" bentak Galiya. Emosinya yang naik turun menjelaskan bahwa saat ini Galiya ingin melampiaskannya pada Anandra. "Jawab aku. Kamu cinta sama aku?" Tanpa perlu berpikir panjang, Anan menjawab, "Aku nggak akan menceraikan kamu dan hampir membuat kamu memiliki madu jika aku nggak cinta kamu." "Terus buat apa kamu membantu Tamira sampai minta izinku untuk menikahinya? Apa membantu menjebloskan suami Tamira saat itu saja nggak cukup?!" Lagi, Galiya membentak mantan suaminya yang tidak tegas sama sekali. "Tamira bilang, suaminya akan menerima perceraian kalo Tami menikah dengan lelaki lain. Mereka akan benar-benar pisah jika Tamira menikah, itu sebabnya ak—aku bersedia membantunya, dengan menikah siri awalnya." "Membantu Tamira, dan membantu menghancurkan keluarga kita sendiri." Galiya mendengus kasar. "Kamu memang kepala rumah tangga paling hebat, Nan. Aku bisa apa saat itu? Karena sakit hati, jelas aku hanya bisa marah dan marah. Yang pasti, perceraian adalah satu keputusan yang aku inginkan. Nggak peduli apapun penjelasanmu." "Maafin aku." "Aku terlanjur benci dengan sikapmu yang nggak tegas. Bodoh mencari jalan keluar. Aku nggak tahu sampai kapan bisa menerima maafmu." Ucapan Galiya membuat jantung Anan semakin mencelos. "Tapi makasih mengingatkan aku buat lebih memertahankan apa yang aku punya. Seenggaknya, dia nggak akan mati sia-sia hanya karena dendam seseorang." Tak bisa berkutik dengan apapun, Anandra hanya bisa menghela napasnya pelan. Sudah cukup menyampaikan kekesalan yang—setidaknya—sudah bisa Galiya ungkapkan, meski dalam fase sudah menjadi mantan, perempuan itu merasa lebih lega. "Buka pintunya." Kata Galiya setelah senggukannya mereda. Ekspresi kebingungan Anan begitu kentara, dia menekan keinginannya memaksa perempuan itu untuk ikut pulang bersamanya. Dengan pelan Anan berkata, "Aku antar pulang." Galiya tahu, memaksa dengan otot tak akan membuatnya kembali menyelesaikan masalah. "Nggak perlu." Napasnya dengan pelan. "Jangan pulang dengan angkutan umum. Kamu pasti kelelahan—" "Kalo gitu pesenin ojek online. Kamu yang bayar, kamu yang pesen. Kita nggak perlu adu otot lagi." Masih kentara agaknya tak terima dengan usulan Galiya, lelaki itu masih berusaha membujuk. "Aku antar, Gal. Supaya aku bisa pantau kamu." Memejamkan matanya sesaat dengan hembusan napas lelah, Galiya tak berhenti berpikir. "Kamu dan orang suruhan kamu bisa mengikutinya dari belakang. Aku akan suruh abangnya pelan." "Tapi, Gal..." "Bisa nggak, sih, kamu bergerak tanpa harus melibatkan aku? Kalo kamu mau yang terbaik buatku dan anak ini, kasih perhatian yang nggak perlu membuat kita berinteraksi langsung." Protes Galiya cepat. "Maksud kamu?" "Kamu udah berhasil membuat aku berubah pikiran dengan nggak menggugurkan anak ini. Maka jadi tanggung jawabmu atas semua yang aku minta. Nggak ada penolakan, dan nggak ada bantahan. Semua yang kamu berikan untuk anak ini, akan aku gunakan sebaik mungkin. Tapi jangan harap kalo aku akan diam saja dengan sikap istrimu nantinya." * Mengantarkan Galiya hingga rumah sederhana yang kini ditinggali mantan istrinya itu, Anan memberikan tatapan tak suka pada hal tersebut. "Kita bisa pindah. Tempat seperti ini nggak bagus untuk pertumbuhan anak kita." Galiya memutar kunci pintu. Dia tak menginginkan komentar Anandra, tetapi tak bisa menghentikan anggapan lelaki itu mengenai rumah kontrak dihadapan mereka. "Aku sampaikan sekali lagi, Nan. Kalo kamu mau peduli, silakan. Tapi jangan libatkan aku denganmu langsung." Anan membaca betul ketidaksukaan Galiya dengan ucapannya yang sarat akan ikut campur. Perempuan yang biasanya memerhatikannya, kini bahkan tak mau banyak bertatap muka dengannya. "Tinggallah dengan mama." Galiya menghentikan putarannya akan kunci yang tiba-tiba saja menjadi begitu sulit. Membalikkan tubuhnya, Galiya membalas dengan tatap lelah. "Kamu tahu apa yang baru saja kamu katakan?" Anan mengangguk, seolah tak ada salah sama sekali. "Gila kamu!" cibir Galiya. "Serius, Gal. Mama ingin tinggal bersama kamu. Ada rumah yang bisa kalian berdua pakai, sementara aku akan mengurusi urusanku dan Tamira, begitu juga mengenai... mantan suami Tamira. Aku akan menaikkan kasus ini lagi, apapun caranya, mantan suami Tamira harus mendapatkan hukuman yang setimpal atas nyawa kedua orangtua kamu." Galiya merasakan betul perasaannya yang belum berubah pada Anan, hingga rasa kecewanya dan benci pada lelaki itu belum bisa menjadi biasa saja. Namun, Galiya tak mau menjadi perempuan yang bodoh dengan menjadi sama plin plannya dengan Anandra.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN