Galiya tahu dirinya sudah bersikap bodoh karena menerima dan bersikap baik pada Anandra. Meski sejujurnya mereka semua memang sama gilanya dengan hubungan yang saling berkaitan semacam ini, tapi Galiya memiliki keinginan lain untuk menuntaskan rasa tak adilnya pada Tamira. Perempuan itu datang tanpa diundang. Membuat keluarga Galiya bersama Anan hancur. Lalu sekarang suaminya mengatakan jika dibalik semua kemalangan karena ulah mantan suami Tamira. Keinginan lebih besar Galiya untuk menumpahkan emosinya mendadak penuh.
Meraba perutnya yang kini usianya semakin bertambah, Galiya merekam jelas bagaimana Anan begitu peduli mengurusnya dan bayi dalam kandungan Galiya tanpa menunjukkan batang hidungnya sedikitpun. Lelaki itu seolah menahan sedikitnya untuk tak menunjukkan wajah atau melibatkan Galiya secara langsung. Hanya orang-orang suruhan Anan yang datang dan tak banyak bicara mengenai Anan yang menginginkan agar anak mereka dan Galiya sehat selalu.
"Selamat pagi, Bu." Sapa salah seorang suruhan Anan menjemput Galiya.
Memang Galiya sengaja menunggu orang Ana di teras depan kontrakannya. Tidak basa basi Galiya langsung beranjak dan memasuki mobil yang Anan siapkan khusus untuknya, sekaligus dengan sopir profesional.
"Apa Anan memberi perintah ke kamu?" tanya Galiya membuat kening sopir suruhan Anan mengerut.
"Maksudnya, Bu?"
"Apa dia mengatakan sesuatu sebelum kamu jemput saya kesini?"
Sebenarnya keinginan Galiya adalah titah Anan pada orang-orangnya yang kembali menanyakan mengenai kesediaan Anan memboyong Galiya ke rumah yang disiapkannya bersama Arini. Hanya saja Galiya masih gengsi untuk mengutarakan langsung.
"Sejauh ini tidak ada, Bu. Bapak hanya menyuruh saya mengantar ibu ke rumah sakit untuk periksa kandungan. Itu saja."
Galiya banyak berpikir semenjak Anan menghancurkan rencananya. Kembali ikut campur dalam hidupnya(secara tak langsung). Berpikir bahwa Galiya bisa membumihanguskan Tamira dengan membuat perempuan itu ketakutan akan keberadaan Galiya yang berpotensi menggoyahkan rumah tangga mantan suaminya tersebut.
Jika dipikirkan kembali, Galiya tak mau menjadi perempuan yang lemah. Tak mau mengalah lagi. Dia menang segalanya jika dibanding Tamira. Dia memiliki anak Anan, dan cinta lelaki itu. Kenapa harus mengalah dengan Tamira yang hanya menumpang hidup saja pada Anan?
"Ibu mau menyampaikan sesuatu? Nanti saya kabarkan ke bapak. Siapa tahu—"
"Bilang ke Anan, saya mau ketemu dengannya setelah dari rumah sakit. Tempat makan seafood yang dulu sering kami datangi."
Sengaja Galiya akan membuat skenario baru. Dia akan mengangkat mahluk kecil menjadi kesayangannya Anan hingga tak memiliki waktu untuk mengurus Tamira. Iya, Galiya hanya perlu egois dan sombong karena orangtuanya yang sudah dijadikan korban oleh kedatangan sahabat sejak kecil Anandra itu.
"Eh, kamu nanti hubungi dia saja. Saya mau dia Yang jemput saya setelah jadwal periksa saya selesai." Galiya mengubah keputusan. Makin cepat narik Anan, makin bagus.
Kali ini, Galiya pastikan bisa menjadi perempuan tegas dan egois daripada terus mengalah semakin naif saja. Meski dalam hati Galiya meminta maaf pada mendiang kedua orangtuanya, karena harus tega menyakiti orang lain setelah ini.
*
Tahu jika Anan akan dengan cepat mengikuti kemauan serta ucapannya bagai kerbau d***u, Galiya memasang wajah biasa saja begitu masuk mobil dan melihat Anan yang mengemudikannya sendiri.
"Kita jadi ke rumah makan seafood? Aku udah pesan tempat. Kamu pasti kepingin kepiting asam manis, kan? Aku juga pesan—"
"Bisa nggak, sih kamu diam? Jalan aja, toh aku juga nggak peduli kamu mau ngapain aja. Semakin cepat ke tempatnya, semakin kita bisa bicara cepat." Potong Galiya sengaja.
Dia akan melihat seberapa gigihnya Anan berusaha untuknya. Setidaknya, dia tak akan khawatir jika Anan memang bersikeras kali ini untuk menjadikan anak mereka satu-satunya yang paling Anan sayang.
Perjalanan mereka tetap diisi dengan kebungkaman. Galiya tak sedang ingin banyak bicara untuk basa basi, begitu juga Anan yang sibuk berpikir kenapa akhirnya Galiya mau mengajaknya keluar. Sejujurnya Anan tak peduli dengan apapun jika Galiya yang memanggilnya lebih dulu. Dia tak merasa perlu memikirkan yang lain jika Galiya-lah yang memiliki kepentingan dengannya. Galiya selalu yang menjadi pertama untuk Anan.
"Jangan turun sendiri. Sebentar." Anan lebih dulu keluar mobil, membukakan pintu belakang dimana Galiya berada.
Dengan ketus Galiya mengomentari sikap Anan. "Aku bisa sendiri! Kamu pikir aku pesakitan apa!?"
Bukannya mendapati ucapan terima kasih dan uluran tangannya yang disambut oleh Galiya, justru protes tajam dan abaian yang Anan dapatkan.
"Dimana mejanya?" tanya Galiya yang sudah berjalan lebih dulu.
"Di sana, meja nomor tujuh."
Galiya terhanyut sesaat, karena meja tersebut memang menjadi spot favorit mereka berdua ketika bertandang kesana.
"Makan dulu atau bicara dulu?" Anan bertanya begitu mereka duduk.
"Bicara, kalo makanannya datang, ya makan. Nggak perlu dibuat rumit!" balas Galiya.
"Oke." Anan mendesah napas tertahan. "Jadi, kamu mau bicara soal apa, Gal?"
"Rumah."
"Hm?"
"Rumah yang kamu bilang bisa aku pakai, masih kamu pikirkan untukku? Atau kamu akan berikan buat Tamira?"
Galiya bisa melihat antusiasme dari wajah Anan, tapi sedikit berkurang ketika nama Tamira disebut.
"Itu untuk kamu. Mama akan nemenin kamu disana." Senyuman Anan merekah. "Aku nggak jadi gampang khawatir kalo kamu bersedia tinggal di sana sama mama."
"Jangan seneng dulu."
Belum ada lima menit Galiya sudah siap memporak semangat Anan.
"Kenapa?"
"Aku nggak ingin tinggal langsung dengan mama. Beliau boleh menemani, tapi nggak tinggal bersamaku."
Resmilah Anan tak bersemangat lagi.
*
Mengikuti pemikirannya sendiri menjadi perusak rumah tangga mantan suaminya, Galiya membuat langkah pertama. Tak peduli jika sang ibu mertua begitu berharap untuk tinggal bersamanya, Galiya ingin lebih dulu melihat Tamira menyadari seperti apa hubungan yang didasari dengan ketidakbenaran. Sebenarnya Galiya tak melakukan hal tersebut untuk merebut Anan, justru dia ingin menyadarkan keduanya(pasangan sahabat) karena sudah begitu menyakitinya.
Bentuk balas dendam yang kata banyak orang tak perlu dilakukan, karena hanya akan membuat lelah. Meski awalnya Galiya berpikir demikian, dirasa kembali hanya dirinya saja yang tersiksa. Sedangkan tak ada pihak Anan yang peduli apa hidupnya tersiksa atau tidak. Galiya tak suka fakta tersebut. Apalagi, dari pengakuan Anan, orangtuanya menjadi salah satu korban dalam keegoisan mereka.
Jadilah dirinya yang ingin unjuk gigi agar tak diremehkan kembali. Tak dipandang dengan tatapan kasihan setiap hari. Tak menjadi pihak yang menyedihkan setelah ditinggalkan. Galiya tak ingin hidup seperti itu. Dia bukan perempuan yang suka menjadi dikasihani begitu saja.
Setelah Anandra menyetujui untuk permintaan Galiya, lelaki itu juga tidak memaksa mempertemukan Galiya dengan mantan mertuanya. Anan bersikap bijak untuk menunggu kesiapan dan kemauan Galiya sendiri. Namun, untuk tempat tinggal Anan tidak menahan-nahan. Galiya langsung menempatinya, karena di rumah tersebut sudah terisi penuh dan lengkap, ditambah dengan kebersihan rumah tersebut yang dijaga.
"Aku belum rapiin baju-baju. Mana bisa langsung tinggal di sini? Besok aku akan minta orangmu untuk antar—"
"Jangan." Larang Anan. "Aku... yang akan siapkan kebutuhan kamu dan anak kita."
Galiya menatap Anan heran. "Nan, anak ini bahkan masih berukuran kecil. Belum jelas bentuk manusianya. Kamu mau siapkan kebutuhannya macam apa?" kata Galiya sembari melewati mantan suaminya menuju kamar mandi dapur.
Anan mengikuti. Sontak Galiya menghadap ke belakang langsung. "Ngapain kamu ikut?"
"Aku mau bilang ke kamu. Kebutuhan anak kita bukan cuma pakaian. Aku akan penuhi semua kebutuhannya, termasuk yang sepele dan terkecil sekalipun. Kamu nggak perlu memikirkan bagaimana macamnya, aku akan pastikan semuanya terpenuhi."
Setelahnya Anan meninggalkan Galiya yang termenung dengan ucapan Anandra. Di depan pintu kamar mandi, dia termenung menyadari memang Anan tipikal lelaki yang sangat bertanggung jawab.
"Sayangnya saking bertanggung jawabnya kamu, sampai perempuan lain-pun kamu beri tanggung jawab yang sama dengan istrimu, Nan." Galiya bergumam menyadari sikap serta kondisi mereka saat ini.
*
Arini menyambut putranya dengan rasa penasaran tinggi. Seperti yang diungkapkan Anan sebelum berangkat menemui Galiya yang mengajak makan di rumah makan kesukaan mereka dulu, Arini mengira jika akan ada kemajuan yang terjadi antara putranya dan Galiya kembali.
"Gimana? Apa yang dibilang Liya, Nan? Dia bilang apa ke kamu?"
Meski kepalanya sudah sedikit lega akan pikiran mengenai Galiya yang tinggal di kontrakan sederhana, tetap saja Anan memikirkan kemungkinan Galiya yang tinggal di rumah sendiri.
"Galiya mau tinggal di rumah yang dulu aku beliin buat mama."
Sinar bahagia terpancar dari wajah Arini. Dia tak menyangka jika usaha anaknya akan segera mendapatkan hasil.
"Bagus sekali, Nan! Liya dan calon cucu mama bisa tinggal di tempat yang lebih layak."
Anandra berusaha menghantarkan senyumannya. Agak tak tega menyampaikan bahwa Galiya tak ingin ditemani oleh Arini.
"Iya. Sangat bagus, Ma. Tapi masalahnya..."
"Apa? Kenapa sama Liya?"
Menghela napas lebih dulu, Anan mengusap rambut mamanya dengan sayang. "Galiya nggak mau mama tinggal bersamanya di rumah itu."
Benar saja perkiraan Anan, mamanya langsung memasang wajah kecewanya begitu saja.
"Tapi kata Galiya mama boleh nemenin dia, cuma nggak tinggal bersama."
"Kenapa? Mama, kan maunya bisa jaga Liya sepenuhnya. Dia lagi hamil, Nan. Anak kamu. Masa mama tega membiarkan dia mengurus bayi kalian sendiri?"
Anan menggelengkan kepalanya. "Anan juga nggak tahu apa alasan Galiya menolak untuk tinggal sama mama. Tapi yang pasti, dia ingin yang terbaik, Ma. Mungkin ada alasan yang dia simpan sendiri kenapa memilih melakukannya."
Menangis. Ya, seperti yang biasa Anan dapati. Wanita dan perasaan mereka. Sebagai lelaki yang terlalu sering dikelilingi perasaan para wanita itu, Anan bisa menanganinya tetapi tak pandai membuat keputusan yang jelas. Sebab terlalu sering melihat sikap wanita yang lebih banyak berubah.
"Tapi mama... mama kepingin ikut menjaga—"
"Iya, Anan paham. Tapi perlahan, Ma. Galiya juga butuh waktu. Ini semua karena kesalahan Anan, dia yang nggak jadi menggugurkan kandungan jelas sudah lebih baik, Ma. Jangan banyak menuntut Galiya dulu, Ma. Dia butuh waktu, apalagi keadaannya yang sedang hamil begini."
Percakapan itu diakhiri dengan tangis dan permintaan Arini untuk menyambangi Galiya malam harinya. Menjenguk menantu kesayangannya, yang kini memilih tak ingin diberi banyak kasih sayang dari Arini lagi, karena kesalahan putra wanita baya itu.
*
Malam yang seharusnya Galiya habiskan dengan tenang nyatanya tak begitu saja bisa tenang. Berniat tak menghabiskan tangis, kehadiran Arini justru menguak luka hingga Galiya teriris. Andainya Anan tak memiliki Arini lagi, mungkin Galiya tak akan bimbang untuk berbuat jahat pada putra wanita baya yang sudah sakit dan harus berada di kursi roda terus itu.
Bukannya tak mau menemui Arini yang sudah sangat baik padanya, tapi Galiya membutuhkan waktu sendiri dalam menyiapkan diri menghadapi segala kegilaan yang melanda hidupnya kini. Galiya tahu Arini begitu menyayanginya seperti anak sendiri, hanya saja... rasanya tak akan pernah sama lagi ketika Anandra sudah menyakiti seperti ini.
Belum lagi fakta bahwa Arini menerima Tamira menjadi menantunya. Tak melakukan apapun ketika Anan membawa Tamira dan membuat rumah tangganya kacau balau. Sedikit banyak Galiya memang menyalahkan Arini, sadar maupun tidak.
"Sayang, Liya...." Begitu sapaan pertama kali yang Galiya dengar dari mantan ibu mertuanya.
Galiya rindu akan suara itu, tapi tidak mau langsung merasuk pada pelukan Arini. Gaya menyambut Galiya juga membuat Arini dan Anan canggung seketika. Karena tatapan tajam Galiya langsung mengarah pada Anan. Tak lama dengan semua itu, Galiya membalas. "Mama." Tak melupakan panggilan yang sering dirinya gunakan untuk Arini.
Senyum Arini melebar. Lengkungannya sampai pada mata wanita itu. Kentara sekali jika kebahagiaan itu berasal dari penerimaan Galiya. Adegan selanjutnya, sudah pasti drama keduanya dalam tangis yang hanya bisa Anan pandangi saja.
*
"Aku nggak nyangka kamu bergerak cepat untuk membuat aku berubah pikiran." Kata Galiya memulai pembicaraan mereka setelah Arini akhirnya Galiya mempersilakan untuk menginap malam ini.
"Ini bukan niatanku sama sekali, Gal. Mama memang ingin datang melihat kamu. Dia memaksa datang karena keadaan kamu, mama nggak bisa tenang kalo nggak melihat kamu yang sudah setuju tinggal di sini."
Galiya memicing tak suka. "Ini sama sekali bukan masalah niatan lagi atau nggak. Kamu yang bertanggung jawab membawa mama datang ke sini, sedangkan kamu tahu aku belum siap menemui mama! Apa kamu mau membuat aku memikirkan kemungkinan lain karena menggunakan cara seperti ini?!" cecar Galiya.
Anan memasang wajah bersalahnya. Jemarinya mengepal di atas pangkuan yang duduk di kursi halaman belakang. Kemungkinan besar Arini mendengar akan jauh, karena halaman belakang memang cukup jauh dari kamar.
"Maaf. Aku memang salah. Nggak seharusnya aku menuruti kemauan mama untuk ke sini. Besok aku akan minta mama—"
"Nggak perlu!" potong Galiya meski dengan nada kesal. "Kamu siapkan aja barang-barang mama untuk tinggal di sini."
Anandra sontak merasa sangat bahagia.
"Makasih, Gal."
"Tapi aku mau kamu segera bilang ke istri kamu tentang keadaan kita. Apapun itu alasannya, aku mau menemuinya secepatnya. Nggak perlu menunggu aku siap lagi!"
"Tapi—"
"Terserah kamu! Pokoknya sesuai kesepakatan, apapun yang aku inginkan harus segera terealisasi. Ini demi anak kamu juga, kan? Jadi, lakuin apapun yang bisa kamu lakukan selama semua yang aku pinta adalah demi anakmu juga."
Anandra menyadari betul rasa sakit Galiya kepadanya mengenai Tamira. Dia tak bisa merasa tenang karena permintaan Galiya yang kali ini. Jika Tamira tahu kondisi Galiya, tak menutup kemungkinan Tamira akan nekat menyerang Galiya yang secara tak langsung hadir diantara Anandra dan Tamira.
"Gal... aku nggak mau kamu diapa-apain sama Tami."
"Ada kamu. Toh kalo dia anarkis, kamu bisa menjebloskannya ke penjara seperti suaminya yang kriminal itu!" balas Galiya dengan cibiran. Tak peduli bahwa ucapannya sangat tajam.
"Gal..."
Tahu bahwa Anandra menginginkan Galiya bersikap lemah lembut seperti dulu, tapi perempuan itu menekan habis perasaan lemah lembutnya itu. Galiya ingin menunjukkan sikap tak kenal ampunnya pada siapa saja yang bergerak untuk kembali menyakitinya.
"Aku nggak masalah dengan Tamira yang akan menghardik aku. Tapi aku nggak mau anakku kenapa-napa. Kalo kamu banyak pikiran, stres, aku nggak bisa biarin itu."
"Kalo kamu peduli, lebih cepat lebih baik untuk bilang ke istrimu bahwa nggak lama lagi kamu akan punya anak dari mantan istrimu."
Bagian kalimat itu sebenarnya membuat Galiya ingin tertawa, hidupnya sudah seperti judul kisah drama harian Indonesia. Anak mantan istrimu. Jika saja tak ada pengganggu, mungkin hidup Galiya tak akan patut ditertawakan seperti ini.
"Galiya."
Perempuan itu mangangkat tangannya, seolah tertangkap basah oleh polisi. Tapi gerakan itu bukanlah untuk menyerah pada Anan, justru tak peduli dengan semua protes dan usaha Anan yang sedang membujuknya untuk bersikap lebih baik. Berusaha menahan keinginan Galiya.
"Dengar, Nan. Aku nggak peduli. Kamu mau membahas salah siapa aku jadi seperti ini?" Anan tertohok dengan ucapan itu. "Kamu. Kamu penyebab aku yang hancur begini."
Dan Anandra semakin terperosok pada rasa bersalahnya.
*
Setelah bicara dengan Anan yang akhirnya menuntut habis lelaki itu untuk segera memberitahu Tamira mengenai keadaannya yang berbadan dua, hasil dari perpaduan antara Galiya dan Anan sendiri, dia menatap pantulan diri di cermin panjang seraya tak memakai kaus. Hanya b*a dan celana dalamnya. Galiya sengaja ingin melihat bagaimana tumbuh kembang mahluk kecil diperutnya. Mahluk kecil yang tak jadi dia hilangkan nyawanya.
Menyentuhnya, Galiya bisa merasakan perutnya yang tak lagi rata. Bagian perut bawahnya juga lebih terasa keras. Dia usap perlahan dari bawah ke atas. Matanya tak menatap keadaan dirinya sendiri, melainkan mengamati bagaimana perubahan bentuk perutnya yang terisi mahluk kecil di dalamnya.
"Kamu kecil sekali, mahluk kecil. Aku nggak sadar kalo kamu terlalu kecil untuk disiksa. Maafin aku."
Bahasa yang Galiya berikan sebenarnya masih begitu kaku. Dia tak menyebut dirinya sendiri sebagai ibu, melainkan aku, untuk mengajak bicara calon bayinya. Padahal mereka terhitung dekat, Galiya yang membawa dan menampung. Sedang mahluk kecil dibawa dan ditampung kemanapun Galiya pergi.
"Suatu hari, kalo kamu besar. Kamu pasti akan membenci aku. Karena aku berniat menghilangkan nyawa kamu, mahluk kecil."
Galiya menitipkan airmatanya. Mengingat bagaimana dirinya begitu keras kepala menginginkan bayinya hilang dan tak terlahir ke dunia.
"Tapi aku melakukan ini demi kamu. Sekarang, sudah saatnya untuk bersikap berbeda. Iya, kan mahluk kecil? Pokoknya sebelum kamu lahir, aku akan pastikan hak kamu sebagai anak dari Anandra Majesta akan terpenuhi. Jangan marah sama aku, ya. Ini semua demi kebaikan kamu."
Segalanya yang ada dipikiran Galiya memang yang terbaik untuk anaknya. Dia akan berusaha habis agar Anan menjadi b***k cinta anaknya. Sebab aliran darah antara Anan dan anak itu tak akan terputus, beda kasus dengan tali hubungan mereka yang bisa terputus. Bagaimanapun caranya, Galiya akan membuat Anan begitu jatuh cinta pada anak mereka dan menjungkir balikkan realita hidup Tamira yang kini isinya bersenang-senang saja atas semua pemberian Anandra.
*
"Pagi, Liya sayang."
Galiya sempat tertegun mendengar sapaan dari mantan mertuanya itu. Sudah bersih dia bangun dan berniat mengisi perut, ternyata Arini sudah bangun juga.
"Pagi, Ma. Kok udah bangun? Ini masih jam lima. Mama istirahat lagi aja." Galiya mencoba bersikap biasa saja. Sebab hormonnya yang suka meledak-ledak itu menginginkan untuk bicara agak ketus pada Arini.
Pikirnya, mengapa Arini bersikap seolah tak terjadi apa-apa diantara mereka. Bersikap seolah Galiya masih menantunya. Hal itu sejujurnya membuat Galiya geram. Dia ingin menyerukan pada mantan mertuanya itu, bahwa hubungannya dengan putra Arini sudah berakhir. Tidak ada hal baik yang harusnya bisa menyatukan mereka. Apalagi Arini selama setahun belakangan sudah tinggal bersama dengan menantunya yang lain. Pikiran Galiya semakin kencang saja untuk sinis pada Arini.
"Kamu, kan tahu mama nggak bisa tidur lagi kalo adzan udah berkumandang. Kamu juga terbiasa bangun sepagi ini."
Galiya tersenyum dengan balasan Arini. Meski agaknya sedikit canggung, Galiya tetap berusaha sopan pada Arini.
"Biar aku buat sarapan untuk kita. Mama mau makan apa?"
Arini memang duduk di kursi rodanya menghadap ruang keluarga. Dia hanya duduk dan merenung di sana. Wanita itu sudah tak bisa bergerak bebas memasak ataupun berkegiatan yang lain.
"Apa aja yang kamu masak, mama suka."
Kalimat semacam itu memang begitu melegakan bagi Galiya semasa menjadi menantu Arini. Segala pujian, dan kalimat bangga yang Arini berikan tak henti-hentinya Galiya dengar. Namun, ketika ia mendengarnya sekarang ini... rasanya aneh.
Sembari melangkah menuju dapur dengan Arini yang mengikuti dibelakangnya, Galiya mengumpulkan bahan masakan yang ada di mesin pendingin. Semuanya lengkap, Anan yang menyuruh orangnya untuk segera mengisi segala kebutuhan di sana, termasuk s**u kehamilan yang berjajar di rak bawah dapur agar Galiya tak kesulitan mengambilnya.
"Mama kangen masakan kamu, Li."
"Kan mama bisa minta dimasakin juga sama yang lain. Sampe kangen banget? Padahal masakanku nggak yang rumit, cuma kebanyakan yang tumis-tumis aja."
Terdengar helaan napas Arini, dan Galiya membiarkannya saja. Tak mau memancing mengapa mantan mertuanya seperti sedang mengeluh, bahkan hanya dengan napas yang dihela kasar.
"Nggak ada yang bisa diharapkan masak di rumah, kecuali mbak yang Anan bayar tiap bulan. Nggak ada menantu yang bisa masak dan bangun pagi seperti kamu."
Tak benar memang jika hanya mendengarkan tanpa menanggapi ucapan Arini yang notabene lebih tua. Tapi Galiya juga tak tahu harus membalas bagaimana agar pembicaraan mereka tak semakin canggung saja.
"Mama pengennya kamu yang jadi menantu sebenarnya mama. Bukan yang lain."
Gawat, kalau diteruskan mama pasti berharap lebih.
Saat itu juga gerakan mengiris Galiya terhenti bersiap memikirkan balasan yang bisa diterima oleh Arini tapi tak menyakiti.
*
Gerakan mengiris Galiya terhenti, bersiap memikirkan balasan yang bisa diterima oleh Arini tapi tak menyakiti.
"Apa mama nggak sedang resah dengan sesuatu sekarang ini?" tanya Galiya untuk membalas mertuanya secara perlahan.
"Resah soal apa, Li? Mama sudah sangat tenang sekarang ini. Kamu ada di sini, sama mama. Rasanya begitu menyenangkan."
"Ma." Panggil Galiya lebih dulu. Wanita itu mendongak, menatap Galiya yang sudah menanggalkan pisaunya dari tangan.
"Kenapa, Sayang?"
"Mama harusnya sadar kalo saat ini aku dan anak mama nggak bersama. Juga, mama punya menantu lain yang harusnya sekarang bersama mama."
Arini terlihat lemas dengan balasan Galiya. Kembali diingatkan dengan Tamira, menambah semangat Arini meluntur.
"Dia bukan menantu yang mama harapkan, Li. Dia cuma membuat mama susah di rumah. Kerjaannya cuma kesana kemari jadi model, nggak ngurus rumah. Apalagi ngurus mama dan Anan. Dia juga sukanya bikin keributan. Mancing emosi Anan terus."
Galiya mensejajarkan wajahnya dengan Arini.
"Apapun itu. Mama harus bisa menghargainya sebagai istri dari Anan. Jangan bersikap seperti itu ke istri Anan, Ma."
"Tapi mama cuma mau kamu yang jadi mantu. Mama cuma mau kamu bersama Anan. Jangan paksa mama untuk mengingatnya sebagai menantu mama." Ditatapnya Galiya dengan lekat. "Cuma kamu yang pantas jadi menantu mama, Gal."
Galiya menggeleng pelan. "Mama nggak bisa bersikap egois begini. Aku bukan menantu mama lagi. Meski begitu aku sangat menghargai kebaikan dan kasih sayang mama. Bersikap seperti ini tak baik, mama harus berusaha menerimanya."
Bagus Gal. Kamu dorong mantan mertuamu menyukai Tamira, tapi kamu akan segera menghancurkan si Tamira itu.
"Siapa? Mama menerima Tamira? Nggak akan!"
"Tapi dengan mama bersikap seolah semua yang terjadi antara aku dan Anan baik-baik saja... itu rasanya nggak adil. Aku tetap ingin diperlakukan seperti putri mama, bukan menantu."
Galiya tahu jika ekspresi Arini menjadi sangat kecewa, tapi memang Galiya harus mengatakan sedikit banyak kejujuran mengenai perasaannya soal hubungan semacam ini.
"Kamu... nggak mau jadi menantu mama lagi?" tanya Arini dengan lirih.
Galiya diam sejenak, sebelum menganggukan kepalanya pada pertanyaan Arini.
"Liya..."
"Maaf, Ma. Tapi aku dan Anan memang sepertinya bukan jodoh. Tapi kita akan tetap menjadi orangtua untuk anak ini."
Bagus Galiya... ucapkan segala kejujuran supaya mama Anan tidak berharap.
"Tap—tapi mama..."
"Nggak bisa, Ma. Maafin aku, tapi memang nggak bisa. Anan sudah memilih. Dan pilihannya adalah untuk memertahankan sahabatnya. Aku nggak berminat lagi untuk menjadi yang kedua maupun diduakan."
Arini menangis. Wanita itu menjadi sangat cengeng sejak semalam bertemu dengan Galiya setelah satu tahun lamanya.
*
"Kamu bicara apa dengan mama, Gal?"
Perempuan itu tidak akan heran jika Anandra datang menanyakan apa yang terjadi hingga Arini menangis kecewa tiada henti. Bahkan wanita itu meminta dipulangkan kembali ke rumah dimana Anan beserta istrinya berada. Galiya sukses mengusir mantan mertuanya yang katanya menyayanginya dengan tulus, tapi jika dipikir lebih dalam Arini hanya menginginkan teman serta pembantu yang mengerti apa maunya.
"Bicara apa? Aku cuma bilang mengenai hubungan kita yang nggak seharusnya diharapkan untuk bersatu lagi."
Galiya bisa mendengar mantan suaminya mendesis kesal. Sayangnya Galiya tak peduli. Dia merasa benar dengan mengeluarkan sedikit beban dalam hatinya pada Arini. Meski risikonya melihat wanita yang tak lagi muda itu menangis kecewa.
"Kamu nggak seharusnya bicara langsung pada intinya seperti itu. Kamu seperti sedang menyalahkan mama yang mengharapkan kita kembali bersama!"
Galiya meludah. Benar-benar meludah pada baju Anandra. Seperti bukan perempuan beradab, Galiya tak peduli dengan hal tersebut.
"Itu keinginan kamu. Kita yang kembali bersama. Itu keinginanmu, apalagi ada anak di dalam perutku, kamu manfaatkan hal itu!" Galiya mendengus tak sopan. "Coba pikirkan ini. Mana ada mantan mertua yang bersikap seolah nggak ada masalah apa-apa dan bilang kepengen aku balik jadi menantunya dan menjelekkan menantunya yang lain di depan mantan menantunya?! Apa itu normal!? Kamu pikir, itu nggak salah sama sekali!? Aku yang salah karena bicara fakta ke mama kesayanganmu?! Hm!?"
Anan menggelengkan kepalanya tak percaya. "Galiya... kamu sudah menyakiti mama. Aku tahu kamu kecewa—"
"Kamu nggak pernah tahu sebesar apa kekecewaanku!" potong Galiya dengan marah. "Kalo sekarang kamu diberi kemudahan untuk menghancurkan seluruh rencanaku, itu hanya karena kamu beruntung. Tapi lain kali, kamu nggak akan mendapatkan keberuntungan dari calon anakmu."
"Galiya, jangan paksa aku untuk menarik hak asuh anak kita nantinya."
"Oh. Apa kamu pikir mengurusnya gampang? Kita nggak dalam masa dalam rumah tangga. Dan kamu juga akan kesulitan mengurus hak asuh, karena kamu nggak tercantum secara sah hukum sebagai suamiku. Ingat, Nan. Anak ini ada di luar tali pernikahan."
"Aku nggak akan diam aja, Gal. Aku bisa membalikkan segala catatan sipil anakku. Jadi, jangan gegabah membuat aku marah."
Galiya menyeringai. "Kalo kamu cinta anakmu... akui aku dan dia di depan khalayak ramai. Katakan bahwa kamu memiliki anak dari mantan istrimu. Di depan istrimu dan media yang selama ini menilai kamu begitu bersih. Dengan begitu, aku akan bekerja sama untuk urusan catatan sipil anak ini. Juga hak asuh. Kamu bebas menentukan jika berani mengungkapkan kesalahanmu."
*
Galiya melakukan segala rencananya yang terlalu s***s karena tak mau tersakiti kembali. Dia ikhlas melakukan segalanya, dulu, sebagai istri dan menantu. Namun, dirinya tidak bisa diam saja ketika Anan mengungkap fakta bahwa kehadiran Tamira bukan hanya menyebabkan rumah tangganya hancur, tetapi juga kedua orangtuanya yang menjadi korban. Tidak terkira betapa sakit hatinya. Dan alasan mengapa dirinya melukai Arini, adalah karena wanita itu seakan menutup mata akan kesakitan Galiya ketika masih menjadi istri Anan tetapi beranjak melepas status tersebut.
Memang, saat itu Arini menangis. Galiya pikir Arini akan membantunya untuk tetap bertahan dan mengusir Tamira habis-habisan. Namun, Arinin hanya menangis karena kehilangan menantu yang biasanya melayaninya, mengasuhnya dan menemaninya. Arini tetap berat pada putra kesayangannya yang suka tak suka memang telah menyakiti perasaan Galiya. Ucapan untuk tak berhenti saja tidak dia terima begitu keluar dari rumah tersebut. Miris.
Jadi, Galiya tak peduli jika harus menyakiti Arini dengan kata-kata. Toh Arini ikut menyakiti Galiya pertama dengan tak berusaha mengucapkan apa-apa pada Anan, yang kedua karena hadir dan meminta Galiya kembali menjadi menantu karena tugas Tamira yang tak becus. Memangnya siapa yang ingin menjadi babu untuk kesekian kalinya? Jika Galiya mau, dia akan memilih mengurus kedua orangtuanya di masa tua mereka. Sayang, takdir memang melibatkan orang-orang yang sudah menyakiti Galiya dengan perceraian, kembali menyakitinya dengan melibatkan orangtuanya menjadi meregang nyawa.
Sekarang, Galiya hanya perlu menunggu. Sampai kapan Anan akan terus bungkam dengan keberadaannya yang secara tak langsung memang menjadi pengusik rumah tangga Anan dan Tamira. Tak akan Galiya berhenti sampai di sana, dia akan menyakiti sahabat sejak kecil Anandra itu dengan berpura-pura menginginkan Anan kembali. Tujuan Galiya hanya satu; menghancurkan keluarga Anandra.
*
Agustin menatap tak percaya pada kehadiran Galiya di tempat prakteknya ketika malam hari. Sungguh Agustin terkejut dan bahagia bisa melihat wajah Galiya yang semakin berisi, serta perutnya yang berkembang dari hari sewaktu memeriksakan diri di rumah sakit tempat Agustin praktek pagi hingga siang hari.
"Galiya! Akhirnyaaaaa!" seru Agustin pertama kali.
Mereka saling memeluk, menumpahkan rasa haru. Bagaimanapun, ada campur tangan Agustin sampai Anan mengetahui kehamilannya dan Galiya memutuskan membalas sakit hatinya.
"Ya, ampuuunnn. Galiya, Galiya, Galiya. Akhirnya lo bisa berpikir jernih buat nggak bunuh anak lo sendiri. Gue seneng banget!"
Galiya membalas senyum Agustin yang kentara begitu lega sekali. Dokter kandungan itu juga segera mempersilakan Galiya duduk untuk bincang-bincang malam mereka. Galiya tak peduli jika orang Anan sedang menungguinya.
"Gimana-gimana? Lo mau cerita gimana?"
"Gue mau minta tolong, Gus."
Agustin mengganguk. "Iya, minta tolong apa? Asal bukan gugurin kandungan lo lagi!"
Galiya berpikir sejenak. Dia tak mau menceritakan banyak mengenai masalah pribadinya, sebab Galiya memang sudah merencanakan untuk pergi jauh ketika rencananya berhasil terjadi.
"Gue mau kerja, Gus."
"Hah? Dalam keadaan hamil gini?"
Galiya-pun mengangguk. Tak ada alasan yang patut sebenarnya untuk menahan Galiya tak bekerja. Statusnya dalam hidup Anan hanya ibu dari anak pria itu saja. Galiya harus memikirkan rencana jangka panjang agar seluruh hidupnya tak bergantung pada Anan ketika sudah waktunya tiba.
"Kerjaan apa yang bakal nerima lo dalam keadaan hamil gini, Gal? Yang ada, perempuan hamil di luar sana yang kerja udah sibuk mikirin cuti yang pas buat menunggu kelahiran."
"Iya, paham. Tapi gue emang butuh kerjaan, Gus."
"Suami lo nggak nyari dan tanggung jawab?"
Galiya mengernyit tak suka. "Mantan suami, Gus!" koreksinya. "Lagian dia ada istrinya, ngapain gue minta duit ke dia. Kalopun dia ngasih duit dan gue terima, itu buat anak ini. Bukan buat gue."
"Terus? Gimana maksudnya? Lo ini sedang bermain apa, Gal?"
"Nggak ada permainan. Gue emang mau kerja buat ngisi tabungan sendiri. Nggak selamanya uang mantan suami bisa diandalkan. Gue pengen punya penghasilan sendiri buat masa depan gue dan anak gue nanti."
Agustin menghela napasnya perlahan. Melihat Galiya yang usaha begini begitu membuat Agustin lelah sendiri. Bekerja menjadi dokter kandungan saja yang lebih banyak duduk dan berpikir sudah melelahkan, apalagi Galiya yang kesana kemari untuk bertahan?
"Sebentar, gue ambil buku kontak dulu. Biasanya gue catet apa keperluan terakhir mereka hubungin gue. Duduk sini dan minum teh sama biskuitnya!"
Galiya terkekeh. "Mana ada tamu dipaksa buat minum dan makan hidangan dari pemilik rumah? Orang, tuh disuruh baik-baik, Gus."
"Nggak ada! Lo kalo disuruh baik-baik pasti tetep keras kepala."
Akhirnya, Galiya memang menunggu sebentar karena ditinggal Agustin menuju ruangan pribadinya di tempat praktek yang memang milik Agustin sendiri. Anak orang kaya, pasti ada saja perlakuan khusus keluarga.
"Gal! Ini saudara jauh gue ada yang cari pengasuh anaknya. Lo mau nggak?"
"Hah? Gajinya?"
Ya, Galiya tak munafik dengan gaji. Bagaimanapun dia tetap ingin uang bukan hanya pengalaman.
"Dia orang punya, kok. Cuma agak protektif aja sama anak perempuannya yang masih dua tahun."
"Mamanya pasti sibuk banget, sampe anak dua tahun aja dicariin pengasuh."
"Eh. Bukan tahu! Ini dia duda ditinggal mati. Makanya protektif abis kalo nyari pengasuh. Kalo gue bilang pengasuh ini pilihan gue dan terjamin, dia pasti percaya, Gal. Lo mau nggak? Masalah gaji, nanti gue hasut dia. Tapi yang udah-udah setahu gue dapet bayaran delapan juta per bulan, itupun beberapa bulan lalu. Biasanya dia naikin—"
"Gue ambil, Gus. Secepatnya kasih tahu gue, ya."