Bantuan Agustin memang sangatlah berguna. Jika saja dia tak datang waktu itu, mungkin nasibnya akan berbeda lagi. Galiya mendatangi kediaman pria yang notabene masih saudara Agustin dan katakanlah wawancara di sana.
Saat itu, pria bernama Naraya atau yang biasa dipanggil Nara itu mengatakan tak suka jika harus menampung Galiya yang tengah hamil dan memaksa bekerja.
"Menjaga anak umur dua tahun itu bukan hal yang mudah. Putri saya sedang aktif bergerak, sedangkan kamu hamil. Bukannya menjaga putri saya, yang ada saya harus menjaga kalian nantinya. Bilang sama Agustin, saya mau pengasuh yang kompeten. Bukan yang sedang hamil dan beresiko keguguran jika mengasuh putri saya."
Namun, bukan Galiya yang sekarang jika tak keras kepala membantah.
"Saya tahu batas dimana saya harus bilang untuk berhenti sama bapak. Sama sekali bukan masalah bagi saya jika menjaga anak balita. Saya juga bekerja untuk mengumpulkan biaya untuk anak saya kelak. Jika saja perusahaan mau menerima dengan cepat karyawan hamil, saya akan lakukan. Anak dalam perut saya ini selalu paham, Pak. Bahwa mamanya tak pernah berhenti untuk menghidupinya."
Sejak balasan itu, Nara tak sampai hati menolak kegigihan Galiya. Memasuki satu bulan pertama bekerja Galiya memang menunjukkan bagaimana dengan cekatannya dia mengurus putri Nara—Utari.
Untuk urusan Galiya dengan Anan sendiri tak ada kemajuan yang terlihat. Semenjak Arini kembali ke kediaman lama karena ucapan Galiya, tak ada yang membuat kemauan Galiya bekerja menjadi mundur. Orang suruhan Anan juga tahu, dia bekerja di rumah—milyarder—kaya yang tak tanggung-tanggung dalam memberi gaji.
Sewaktu membicarakan gaji sebagai kesepakatan sejak awal, Nara sudah memberi harga 12 juta untuk dua belas jam Galiya berada di rumah itu dan mengurus Utari. Dari jam enam pagi hingga enam malam. Tapi Galiya tak keberatan karena ukuran pekerjaan yang tak begitu berat.
Setelah dijalani, Nara justru memberikan gaji lebih dari kesepakatan karena tahu Galiya selalu pulang lebih malam hingga Utari tertidur nyenyak kembali.
"Pak, ini bukan jumlah yang seharusnya saya terima." Begitu protes Galiya karena keesokan harinya, dia tahu jumlah yang Nara berikan tak rasional untuk pekerjaannya yang hanya menjaga balita.
Galiya melakukan itu karena dia sadar betul, mengurus Utari sangat mudah. Apalagi dengan sikap balita itu yang sangat manja pada Galiya. Tak ada kesulitan, sebab Utari seperti merasakan Galiya sebagai ibunya sendiri. Bahkan anak itu memanggil Galiya dengan sebutan bubu.
"Itu jumlah yang, bagi saya saja belum tentu cukup, Galiya. Saya minta maaf jika jumlahnya tak rasional bagimu, tapi ini memang keputusan saya. Karena kamu menjaga Utari dengan luar biasa." Kata Nara meyakinkan Galiya akan jumlah uang tersebut.
"Tapi, Pak..."
"Saya bahkan berpikiran untuk membelikan kamu tempat tinggal dekat sini. Supaya Utari lebih mudah menjangkau kamu, dikala malam dia mencari kamu."
Galiya tahu, tatapan Nara memang tulus untuk membantu dan lega karena terbantu Utari begitu dijaga. Namun, mendapatkan jumlah uang sebanyak itu dalam satu bulan bukanlah bayangannya. Apalagi fakta bahwa dia hanya mengasuh balita saja.
"Bapak tahu saya nggak akan mengambil tawaran itu. Untuk sekarang."
Nara mengangguk santai. "Ya. Tentu saja. Saya tahu kamu bukan berasal dari keluarga biasa saja sebelumnya. Saya tahu kamu punya harga diri yang besar, bukan tipikal yang suka jika langsung dibantu. Makanya saya lakukan itu untuk menghargai kerja kerasmu hingga membuat Utari jarang mengamuk mencari mamanya."
Ah, Galiya menjadi ikut sedih jika mengingat minggu awal-awal Utari lebih sering mengamuk mendengungkan kata mama. Nara selalu membengkalaikan pekerjaannya, yang Galiya tahu tak sedikit demi sang putri. Namun, lama-lama Galiya menggunakan cara membiasakan Utari memanggilnya ibu yang berujung bubu pada lidah Utari.
Galiya berkaca pada dirinya sendiri. Bagaimana dirinya akan melakukan segalanya sendirian nantinya? Bukan dengan maksud dia ingin menikah lagi, tapi fakta bahwa anaknya akan kehilangan sosok ayah. Apakah akan seperti Utari?
"Jangan terlalu dipikirkan, Galiya. Saya hanya menawarkan. Gajimu, ambilah. Kamu pasti tahu, saya nggak membutuhkan uang kertas seperti itu." Aku Nara sombong.
Ya, mau diapakan juga. Karena serba berkecukupan, bahkan kelebihan, Naraya memang sombong. Seperti kata Agustin, Nara bukan orang yang gampang terbuka. Apalagi masalah pribadi. Yang Galiya tahu kini saja, Nara ternyata tukang ganti pasangan atau pacar. Kamar tidur pria itu sepertinya tak pernah sepi, karena setiap malam ada saja perempuan yang menginap, dan Galiya tak peduli akan hal itu.
"Terima kasih, Pak. Saya permisi."
"Ya. Sopirmu sudah menjemput, kan."
Galiya terbelalak. "Bapak... tahu?"
"Kenapa juga saya harus tidak tahu? Saya orang kaya, banyak mata dimana-mana."
Kembali lagi Nara menunjukkan kesombongannya. Dia begitu percaya diri. Berbeda dengan Anan yang sangat—
"Kok masih melamun di sini? Sana pulang." Ujar Nara yang sepertinya sudah tak mau diganggu oleh Galiya.
Kembali mengundurkan diri. Galiya berjalan pelan menuju mobil yang biasa menjemputnya. Begitu masuk dan duduk nyaman, Galiya terkejut karena yang membawa mobil tersebut adalah Anan.
"Sudah selesai bekerjanya? Kita pulang?"
*
"Aku perlu jelaskan kenapa kamu berada di sini?"
Galiya paham yang dimaksud mantan suaminya adalah mengapa Galiya tinggal di rumah yang pria itu berikan untuknya. Segala kebutuhan yang Anan beri, dan bukan hal biasa jika Anan marah karena mendapati informasi mengenai Galiya yang bekerja di rumah orang lain hanya karena mencari gaji.
Pria itu sibuk melangkah kesana kemari untuk mengambil napas panjang, menenangkan diri yang sejujurnya tak bisa membantu sedikitpun. Melihat bagaimana Galiya berada di rumah orang lain dan betah saja berada di sana untuk hitungan waktu yang tak sebentar, amarah Anandra jelas naik. Dia tak pernah memikirkan kemungkinan bahwa Galiya akan keluar rumah dan bekerja saat segala kebutuhan sudah Anandra penuhi.
"Apa masih kurang?! Masih kurang semua yang aku kasih ke kamu, Gal?!"
Galiya bisa menerima jika Anandra marah padanya karena dia yang bekerja, tetapi Galiya tak pernah suka disinggung dengan ketidakberdayaannya dan dinilai kurang menerima secara tak langsung oleh siapapun. Lagi pula Galiya bukan tipikal orang seperti itu. Dia tahu bagaimana cara mengurus keungannya dengan baik, apalagi Anandra yang notabene adalah mantan suaminya. Pria itu pasti tak buta bahwa Galiya bukan tipikal perempuan yang suka merasa banyak kurangnya menerima jatah yang diberikan.
"Aku bukan perempuan semacam itu! Kamu bilang kurang??? Sekarang aku tanya ke kamu, apa pernah aku melayangkan protes mengenai apa yang kamu berikan?!"
Anan tersengal dengan napasnya sendiri. Balasan dari Galiya mengingatkan pria itu mengenai rumah tangga yang pernah mereka jalani bersama. Pertanyaan Galiya benar, sebagai istri dia tak pernah melayangkan protes akan kekurangan uang. Semua terencana dengan baik, dan Galiya memang bukan perempuan semacam Tamira yang suka meminta pada Anan.
"Justru itu, Gal. Kenapa kamu memutuskan hal semacam ini?? Apa mau kamu sebenarnya? Apa yang kurang dengan melakukan semua ini?" tanya Anan dengan nada frustasi.
"Nggak ada hal apapun yang perlu kamu tahu. Ini keinginanku sendiri."
Anandra menatap mantan istrinya dengan berkaca-kaca. Merindukan Galiya memang menjadi kesehariannya sejak ditinggalkan oleh perempuan itu. Bahkan dia tak bisa menyentuh Tamira yang sudah bersedia menjadi rumahnya. Melihat Galiya yang sudah mau berada dalam pengawasannya tentu saja adalah berkah. Namun, semenjak Galiya mengiyakan untuk tinggal dan dalam pengawasan Anan, perempuan itu memberikan banyak kejutan baru.
Galiya yang mulanya begitu menghormati dan menyayangi Arini, tiba-tiba saja membuat wanita baya itu memilih kembali ke rumah dimana adanya menantu yang tak disukanya. Ibunya bahkan mulai banyak diam sejak pulang dari kediaman yang seharusnya dihuni oleh Galiya dan wanita baya itu. Anandra juga mendapati Galiya yang begitu keras kepala. Kini, yang dia dapati adalah Galiya yang kokoh akan pendiriannya untuk tetap bekerja meski Anandra memenuhi segala kebutuhannya.
"Kenapa kamu sangat berubah sekarang, Gal?" lirih pria itu.
Galiya menatap tajam pada manik Anandra. Menyiratkan kebenciannya di sana.
"Apa kamu buta? Sampai masih berani bertanya denganku mengenai perubahan yang terjadi? Apa kamu lupa? Bahwa sumber masalah yang membuat aku berubah begini adalah kamu? Apa kamu ingin berandai-andai sekarang? Andai saja kamu nggak membawa perempuan itu ke dalam hubungan kita, andai kamu nggak dengan bodohnya memutuskan segala sesuatunya seperti orang bodoh... kita---aku---nggak akan mengalami hal semacam ini. Dan aku nggak akan mengubah sikapku yang penurut itu supaya kamu dan mamamu tetap senang. Begitu?"
Anandra terhenyak. "Apa maksud kamu dengan aku dan mamaku akan senang?"
Galiya mendecihkan suara. "Aku muak bahas ini. Tapi mama kamu pasti tahu apa yang aku maksudkan. Bahwa menjadi menantu yang menuruti semua kemauannya, mengurus sosok tuanya, dan berkata lembut seluruhnya ke mama kamu adalah salah satu bentuk hal bodoh yang baru aku sadari setelah kita berpisah."
"Galiya... apa yang sedang kamu pikirkan?" Anan melirihkan nama perempuan yang masih begitu dicintainya itu. Semakin sedih karena Galiya merasa bahwa perilaku Arini bukanlah tulus adanya. "Ucapan kamu sangat menyakitkan, Galiya. Aku nggak paham dengan jalan pikiran kamu ini."
"Kalo begitu, sudahi saja bicara denganku. Nggak akan ada bedanya! Kita akan tetap berpusat dalam kubangan yang sama. Aku yang merasa kamu menyakitiku dengan menjadi sumber kesengsaraanku, dan kamu yang merasa sakit dengan jalan pikiranku. Berhenti di sini. Karena aku mulai memikirkan, setiap cara yang aku lakukan sekarang ini... nggak akan membuat kamu lepas menjadi pengecut. Kamu, tetap Anandra yang pengecut dan selalu mengatasnamakan cinta untuk membuangku diam-diam!"
"GALIYA!!" bentak Anandra.
Galiya yang terkejut sontak memundurkan diri. Meski sudah berusaha menjadi kuat dan tega. Galiya yang dulu selalu diajarkan lemah lembut tak akan sepenuhnya hilang.
"Aku tahu... kamu nggak benar-benar mencintaiku sejak awal. Kalo benar kamu mencintaiku, kamu nggak akan merusak hidupku seperti ini!"
Lalu yang terdengar terakhir kali oleh telinga Anan adalah debuman pintu kamar yang Galiya tempati. Hatinya yang ikut remuk dengan tuduhan Galiya akan rasa cintanya yang palsu.
*
Menangis. Itu adalah hal utama yang Galiya lakukan. Tentu saja, bicara dengan Anandra sangat menguras emosinya yang semakin tak menentu semenjak hamil. Dia bahkan suka mencari-cari keputusan yang dirasa tepat untuk selanjutnya. Tak kokoh akan satu pilihan saja, semakin hari dipikirkan semakin Galiya ingin mengambil jalan lain untuk dirinya dan calon anaknya kelak. Namun, semuanya menjadi sangat tak jelas dan menyakitkan dengan hubungannya yang semakin tak jelas saja dengan sang mantan suami.
Hidungnya terasa sakit karena terus menerus diusap dengan keras, seiring dengan tangisannya yang masih deras membuat cairan dari hidungnya juga ikut tak berhenti mengalir. Perutnya ikut keram seketika. Sakit yang dirasanya luar biasa. Meski tak asing lagi dengan hal tersebut, tapi Galiya merasa yang kali ini berbeda. Kaku diperutnya begitu intens, hingga Galiya tak bisa berhenti menyentuh perutnya sendiri.
Merasakan ada yang tak benar dengan perutnya, Galiya mulai panik sendiri. Tangisannnya menjadi parah sebab diiringi dengan kecemasan. Menunggu, Galiya mencoba menenangkan diri, menarik napas dan mengembuskannya berulang kali. Matanya yang memanas karena tangis masih menjadi hal yang paling memengaruhi kepanikannya bertambah.
Satu-satunya cara agar dirinya bisa segera tenang dan teratasi hanya dengan menghubungi seseorang. Sebab Galiya tak mau terjadi apapun dengan bayinya, jika itu yang memang akan terjadi. Galiya tak siap, mungkin tak akan pernah siap. Meski sebelumnya dia pernah menginginkan anaknya pergi karena keegoisannya.
"Gus... tolongin gue."
*
Agustin merasa sangat bersalah karena kejadian yang menimpa Galiya ini. Perempuan itu nyaris kehilangan bayinya, jika saja penanganannya terlambat. Dia tak pernah menginginkan akan adanya kondisi Galiya yang lemah untuk memertahankan bayinya.
Mendengar suara Galiya yang teramat menyedihkan, Agustin menjadi miris sendiri. Sebab, begitu dia mendatangi alamat yang temannya sebutkan itu Galiya memang sendirian. Tak ada orang lain di rumah tersebut, membuat kening Agustin mengerut tak paham. Rumah besar yang sudah pasti pemberian Anandra tak berpenghuni kecuali diri Galiya sendiri.
Apa yang terjadi sebenarnya? Agustin tak paham mengapa mereka yang mengetahui keadaan Galiya yang tengah hamil, malah tak menunggui, atau paling tidak menyewa jasa siapapun untuk memantau keadaan Galiya sewaktu-waktu.
Berakhir dengan memutuskan membawa Galiya menuju rumah sakit yang berbeda, dimana Agustin tidak pernah praktek di sana sama sekali, dia menjadi seorang teman yang sedang menolong. Bukan dokter kandungan yang biasanya menangani pasiennya.
"Boleh tahu ibu ini siapanya nyonya Galiya?" tanya si dokter dengan lembut.
"Saya temannya. Apa ada sesuatu yang harus Anda sampaikan?"
Dokter bernama Gana itu memberikan senyuman. "Iya, saya memang butuh menemui anggota keluarga nyonya Galiya. Memberikan keterangan secara jelas mengenai keadaannya. Apa ibu bisa menghubingi nomor suaminya?"
Agustin tahu jika dirinya tak bisa gegabah dengan menghubungi Anandra, sedangkan sepertinya Galiya tak akan baik-baik saja jika dirinya memberitahu mantan suaminya itu, pilihan tersebut mendadak membuat Agustin kebingungan menjawab si dokter.
"Bagaimana, Bu? Bisa segera menghubungi suami nyonya Galiya?"
Dengan segala pertimbangan yang ada dalam kepalanya, Agustin mengangguk dan menyiapkan diri akan tindakannya untuk segera menghubungi Anandra. "Iya, dokter. Akan segera saya hubungi."
"Baik, kalau begitu akan saya tunggu di ruangan. Terima kasih, Bu. Saya permisi."
Sopan santun yang Gana lakukan memang membuat Agustin tersentuh. Dia merasa perlu lebih lembut dan sopan lagi terhadap pasien dan keluarganya jika nanti berhadapan, sebab melihat orang lain yang melakukan pekerjaan tersebut sedikit banyak membuat Agustin ingin menjadi ramah.
Melupakan sejenak urusan ramah tamah, Agustin segera mencari ponsel Galiya dan menekan panggilan pada nomor yang dinamai Anandra disana. Kepalanya berdenyut, sebab prakteknya kacau, dan kini harus berurusan dengan masalah rumah tangga Galiya yang seharusnya sudah usai tetapi masih saling berkaitan.
"Anan. Ini gue Agustin. Gue nggak akan basa-basi, jadi gue cuma akan jelasin kalo Galiya lagi di rumah sakit. Dokter butuh bicara sama lo, sebagai wali si bayi yang Galiya kandung..." Agustin tak menyinggung soal suami. "... cepet ke sini dan jangan bikin drama. Gue juga butuh balik tempat praktek."
Setelahnya Agustin segera menutup panggilan tersebut. Bahkan Anan belum sepenuhnya bicara begitu dia menyapa halo dan langsung Agustin potong saja. Benar-benar tak mau terlalu lama berurusan dengan dua insan yang tak kunjung jelas masalah perasaan masing-masing. Kini, Agustin hanya perlu menunggu.
Sekitar dua puluh menit menunggu, Agustin mendapati Anan dan mamanya yang didorong kursi roda muncul juga. Wajah keduanya pucat dan kentara cemas. Agustin tak mengerti kenapa Arini selalu saja menangis begitu melihat Galiya meski dari kejauhan. Padahal, mereka belum mendengar secara jelas apa yang terjadi dengan Galiya.
"Agustin." sebut Anan.
"Langsung ke ruangan dokter Gana. Dia nunggu buat bicara." Lalu Agustin menatap Arini yang menitikan airmata tiada henti tanpa bicara. "Tante di sini, biar sama Agustin."
Anandra mengangguk, dia segera menuju ruangan dokter Gana dan membiarkan mamanya serta Agustin menjaga Galiya yang masih terpejam. Semoga kalian selalu sehat dan baik-baik saja sayang-sayangku.
*
Arini yang terus menangis di samping Galiya yang sudah mulai sadar membuat Agustin tak paham. Sebab Galiya terlihat tak begitu bersemengat mendapati mantan mertuanya berada di dalam ruangan rawatnya. Tensi yang ada di sana sama sekali tak bagus. Agustin bahkan merasa giginya Kering karena berusaha tersenyum diantara kedua orang itu.
Siapapun bisa merasakan sesuatu yang berbeda, yang pada dasarnya sangat buruk, dan Agustin bahkan tak enak hati untuk mengundurkan diri dari sana. Tak ada kesempatan bagus untuk pergi, belum lagi Anandra yang cukup lama bicara dengan dokter yang menangani Galiya. Suasana begitu canggung dan menyakitkan bagi Agustin yang hanya orang luar di sana.
Denting waktu yang terlewati oleh mereka juga tak begitu dihiraukan meski harus terlewat tanpa kegiatan apapun. Agustin yakin jika ada ketidakberesan antara keduanya hingga menjadi tak akur seperti ini.
"Eum... saya mau permisi untuk praktek--"
Ucapan Agustin terpotong tepat ketika Anandra memasuki ruangan dan menatap ketiga perempuan di ruangan tersebut dengan bingung. Yang paling mencolok adalah bagaimana tatapan lelah Galiya menyorot kedatangan Anan. Perempuan itu bahkan tak mau berkata apapun. Tidak, bahkan setelah tahu Anan sudah bicara dengan dokter dan mengatakan bahwa ada yang tak bagus akan kehamilan Galiya ini.
"Oh, Anandra sudah datang, Tante, Galiya. Kalo begitu saya permisi dulu. Saya masih ada jam praktek."
Semuanya mempersilakan, meski Galiya diam saja. Agustin tahu temannya itu masih menginginkan keberadaannya di sana guna menemani. Namun, Agustin tak bisa berlama-lama lagi di sana selain karena alasan praktiknya, juga karena suasana dingin yang begitu kentara menguar diantara mereka.
Anandra yang menyadari hal tersebut tak menghalangi niatan Agustin. Toh, perempuan itu sudah sangat membantu dengan membawa Galiya ke rumah sakit. Andaikan tak ada Agustin, Anan tak mengerti seperti apa rasa sesal yang akan dirinya hadapi jika benar terjadi seperti yang dokter Gana sampaikan.
"Gimana, Nan? Gimana keadaan Liya?"
Meski yang ditanyakan sudah sadar dan mendengar, Arini tetap ingin mengetahui keadaan Galiya dari sisi dokter yang menangani. Tak bisa dipungkiri bahwa Arini tetap takut sesuatu terjadi pada Galiya, walau mantan menantunya itu sempat menyakiti secara bahasa sebelumnya. Arini bagaikan lupa dengan hal tersebut. Kini, yang ada dalam kepalanya adalah bagaimana bisa Galiya masuk rumah sakit dan Arini benar-benar cemas akan kondisi Galiya serta calon cucunya.
"Stres, Ma. Galiya terlalu banyak tekanan sampai memengaruhi keadaan bayinya. Kalau telat dibawa ke sini, mungkin..."
Anan mendapati raut tak suka dari Galiya. Perempuan itu melarangnya menjelaskan apa yang sudah dapat ditebak. Bagaimanapun, Galiya menghargai Arini, meski berniat mendorongnya untuk akrab dengan menantunya yang sekarang dimiliki. Galiya tahu, Arini akan semakin tak sehat jika memikirkan kemungkinan buruk yang disampaikan padanya.
"Aku nggak apa-apa. Jangan cemas, setelah ini aku nggak akan melakukan apapun supaya kalian bisa istirahat tenang." Kata Galiya yang terdengar menyindir ditelinga Arini dan Anan.
"Kenapa kamu berpikiran seperti itu, Gal? Aku dan mama, bagaimanapun kami akan mencemaskan keadaan kamu—"
"Nggak perlu. Kalo memang cemas, harusnya kamu mikir. Siapa yang membuat beban pikiranku bertambah sebelum kejadian ini terjadi?! Siapa yang ninggalin aku dengan memancing keributan lebih dulu?! Aku begini juga karena ulahmu yang nambah pikiranku aja!"
Arini menatap ke arah keduanya yang beradu mulut. Belum apa-apa sudah bertengkar lagi.
"Sudah. Jangan bertengkar terus. Kamu dan bayimu bisa tambah stres nanti, Li."
Galiya menuruti dengan langsung diam. Perempuan itu juga mengalihkan wajahnya agar tak bersitatap dengan Anan. Benci menggelayuti d**a Galiya. Anan yang mengaku cemas sama sekali tak membuat Galiya percaya.
"Liya... maafin mama."
Sontak saja Anan dan Galiya tersentak. Permintaan maaf Arini yang tiba-tiba keluar membuat keduanya heran.
"Ma?" tegur Anan.
"Maafin mama, Li. Kalau dipikirkan lagi... mama memang nggak pernah memberikan kasih sayang yang kelihatan tulus ke kamu. Semuanya mama berikan karena kamu yang mengurus mama dengan baik selama ini." Arini menghela napasnya sebelum melanjutkan ucapannya. "Mama juga sadar, ucapanmu memang ada benarnya. Anan yang memilih melepaskan kamu dan menikahi Tamira memang sudah keputusan jelas. Harusnya mama nggak membandingkan siapa-siapa, mama juga nggak seharusnya mengatakan untuk meminta kamu kembali menjadi menantu mama. Karena memang, keputusan Anan yang membuat segalanya rumit." Kata Arini sembari menatap putranya.
"Ma—"
"Ucapanmu benar. Seharusnya mama mulai belajar untuk menerima Tamira sebagai istri Anan. Mama akan belajar untuk hal itu."
Kenapa rasanya masih sakit? Galiya mengepalkan tangannya dibalik selimut.
"Tapi mama minta, izinkan mama untuk merawat kamu sebagai putri mama. Bukan memaksa kamu menjadi menantu lagi. Kamu adalah putri mama, Li."
Pada akhirnya Galiya tetap menangis mendengar permintaan maaf dan permohonan Arini. Sebab Galiya memang merindukan sosok keibuan untuk menjaga dan menemaninya.
*
Galiya belum pernah semerasa bersalah ini dengan melihat Arini begitu menyesal akan sikapnya. Bahkan wanita itu menjanjikan perubahan yang bahkan belum Galiya tahu apakah benar-benar bisa dipertahankan oleh mantan mertuanya itu atau tidak. Namun, kesempatan yang dia berikan tidak akan sia-sia jika dia mencoba, bukan? Galiya akan mencoba menjadi putri dari mantan mertuanya itu.
Galiya begitu mengapresiasi sikap tegas yang dimiliki Arini. Berbeda dengan Anandra yang begitu membingungkan. Bahkan hingga kini Galiya belum juga mendapat kabar jika Tamira mengetahui keadaannya yang tengah berbadan dua, hasil perbuatan dari suami Tamira kini tentu saja. Bukan masalah bagi Galiya, karena akan menjadi masalah bagi Anan sendiri. Hanya saja Galiya tetap ingin kejelasan akan status yang akan anaknya dapatkan nantinya.
Bagaimana menjelaskannya? Galiya kini malah memikirkan nasib anaknya yang hadir diluar pernikahan setelah berdamai dengan mantan mertuanya. Galiya tak akan bisa sepenuhnya santai-santai saja setelah ini. Usia kehamilannya yang sudah memasuki bulan keempat tak akan bisa disembunyikan lagi. Otomatis perutnya juga akan membesar dengan keadaan yang tak jelas.
Apa berikan saja anak ini kepada Anan dan Arini? Terlintas dalam pikiran Galiya untuk melakukan hal tersebut, tetapi dia mulai menyayangi si mahluk kecil. Bahkan membayangkan jika saja takdir berkata lain pada si mahluk kecil, mungkin dia akan begitu terpuruk.
"Sudah. Berhenti memikirkan hal yang berat-berat, Li. Sini, makan. Mama suapin."
Begitu dimanja oleh Arini membuat Galiya menyadari bahwa dia suka sekali dimanja oleh sosok ibu. Menerima setiap uluran yang Arini berikan. Padahal wanita itu juga membutuhkan bantuan untuk kemanapun. Kursi roda Arini sudah dipakainya semenjak kehilangan sang suami. Galiya tak tahu dan tak mencari tahu ketika masih berstatus menjadi istri Anan mengenai hal tersebut. Yang dia tahu, mengurus Arini adalah bagian dari pengabdiannya semasa menjadi istri dari Anandra, itu saja.
"Aku bisa sendiri, Ma." Tolak Galiya karena merasa malu. Walaupun sebenarnya dia suka perhatian yang diberikan oleh Arini. Bahkan akhirnya dia juga membuka mulutnya untuk merasakan nikmatnya diurus oleh ibu.
"Ini makanannya nggak enak, Ma." Protes Galiya.
Arini menghadapinya dengan sabar. Dia coba bubur yang dia suapkan untuk Galiya, lalu meringis. "Iya, nggak ada rasa, Li." Lalu menaruhnya di meja samping tempat tidur Galiya.
Sejujurnya Arini juga tahu bahwa makanan rumah sakit tak akan memberikan stimulan enak dimulut si pemakannya. Namun, dia tak mau Galiya dan calon cucunya terpaksa memakan menu yang tak mereka mau.
"Biar mama suruh Anan bawa makanan ke sini. Kamu mau apa, Li?"
"Sup daging, Ma." Jawab Galiya dengan enteng. Dia tidak keberatan sama sekali dengan usul Arini yang pastinya akan menganggu kerja Anan.
Galiya mendukungnya karena beginilah salah satu bentuk bagaimana dia akan menyusahkan Anandra sebagai ayah si mahluk kecil. Selama Arini juga mendukung rencananya(tanpa sadar) maka Galiya akan terus melakukannya, sampai istri dari Anandra menyadari perubahan sikap suami serta mertuanya yang sibuk di tempat lain.
"Oke, sup daging." Arini mulai mengenakan kacamatanya dan mendekatkan layar ponsel ke wajahnya. Mencari kontak Anan dan mulai menunggu panggilan tersambung.
Galiya ikut menunggu dengan melihat Arini yang menempelkan ponsel ke telinga. Begitu Arini memanggil nama putranya, senyum Galiya naik. Entah karena faktor keberadaan si mahluk kecil atau tidak, tapi Galiya suka dengan Arini yang mau merepotkan Anan.
"Ini Liya kepengen makan sup daging." Ucap Arini tanpa membesarkan suara sambungan telepon.
"Makanan rumah sakit itu nggak ada rasanya!" seru Arini.
Galiya yakin Anandra berusaha mengelak karena pekerjaannya yang tak bisa ditinggal. Sebab, kebiasaan pria itu sedari dulu mereka menikah, Anan akan sangat sulit dilepaskan dari kegiatan pekerjaannya jika menyangkut klien besar.
"Ma... boleh aku yang ngomong?" Galiya menawarkan diri untuk bicara dengan Anan.
Arini mengiyakan dengan menyerahkan ponsel kepada Galiya. Meski tahu putranya masih bicara dan membuat Galiya mendengar ocehan pria itu tanpa sengaja.
"... masalahnya aku sekarang lagi meeting---"
"Aku nggak bermaksud ganggu waktu rapat penting kamu, tapi anakmu maunya makan sup daging, bukan makanan dari rumah sakit yang nggak ada rasanya. Aku benci banget harus nahan mual dengan memaksa makanan yang nggak disukai anakmu untuk masuk ke perutku. Kalo kamu keberatan, aku akan minta orang lain---"
"Jangan! Aku aja! Jangan suruh orang lain yang beli. Aku akan siap-siap, kemauan anak kita lebih penting. Aku akan cari caranya. Tunggu, ya."
Galiya memberikan ponsel kepada Arini kembali, dan ketika wanita itu bertanya bagaimana, Galiya menjawabnya dengan santai. "Dia tahu tanggung jawabnya sebagai ayah anak ini, Ma. Jadi, dia akan berangkat untuk membelikan makanannya secepatnya."
Ya, ini anak Anandra. Galiya tak akan mengingkari bagian itu.
*
Saat Galiya sedang sibuk dengan upayanya berdamai dengan sang mantan mertua, serta melanjutkan rencananya untuk menyederai rumah tangga mantan suaminya, ada bagian lain dimana kehidupan seseorang sedang dipertaruhkan untuk tetap kuat mendengar tangisan serta rengekkan anak kecil dalam hiruk pikuk pekerjaannya sebagai pemimpin. Ditinggal sebentar untuk menandatangani satu berkas saja tak bisa.
Ialah Naraya yang kini disibukkan dengan tangisan putri kesayangannya yang tak henti-hentinya merengek. Memanggil satu nama; Bubu. Utari Remaja—nama si kecil—yang Naraya cinta, sibuk mencari perhatian sang ayah guna membawakan bubunya yang kini sungguh disayangi oleh Uta—panggilan si kecil.
"Uta... bubu lagi nggak bisa dateng." Begitu terus pengertian yang Nara berikan. Padahal terus saja Utari menangis—walau tak benar-benar keluar airmata—membuat ayahnya kelimpungan tanpa ampun.
"Auuu bubu, Papaaa. Aaauuuu bubu!" kata anak itu tetap mengucapkan kalimat yang sama.
Naraya memejamkan matanya. Putrinya ini memang keras kepala. Mungkin benar kata ibu Naraya, bahwa dia sebagai orangtua terlalu memanjakan Utari. Makanya anak perempuan itu terlalu keras kepala dan tak mau tahu dengan apa yang diberitahukan.
Utari cenderung tak mau mengerti sebuah larangan maupun pengertian yang diberikan, sebab Naraya terlalu memanjakannya. Walau bagi Naraya, sikap itu muncul karena rasa bersalahnya pada sang putri karena ketiadaan ibu kandung dalam hidup Utari.
"Iya, Uta. Besok bubu ke sini. Tapi nggak hari ini, ya. Dengerin papa, ya, Sayang, ya?" pinta Naraya agar putrinya berhenti menangis.
Wajah awut-awutan Utari menjelaskan bahwa anak itu tak mau diberi bujukan lagi. Yang diinginkan Utari saat ini adalah bubunya, Galiya.
Naraya mendesah lelah. Dia sandarkan punggungnya pada badan sofa mahalnya, dengan Utari yang ada dipangkuannya. Putrinya terus menangis, jengkel, sebab permintaannya tak dituruti. Padahal sudah sekitar sebulanan ini Utari tak pernah menangis dan berteriak akan permintaannya. Kini, bukan lagi mama yang balita itu gemakan, tetapi bubu kesayangannya yang dia cari.
Pasrah, Naraya pada akhirnya menghubungi Agustin untuk mendapatkan informasi lebih pribadi mengenai Galiya. Karena ponsel perempuan itu tak menjawab pesannya, dan Naraya sendiri tak mau mengganggu dengan telepon jika pesannya tak kunjung dibaca. Mungkin saja Galiya sedang sibuk dengan acara keluarga—kaya—yang bertanggung jawab atasnya.
"Gus!" sapa Nara dengan cepat dan agak membentak.
"Gimana, Kak?"
"Galiya ada ngasih info soal dia lagi ada acara apa? Udah dua hari dia nggak baca pesan gue."
"Loh? Dia belum izin, ya? Lagi sakit orangnya. Dirawat karena hampir keguguran—"
"Kok bisa???" potong Naraya dengan panik. "Kecapekan karena ngurus Uta, ya???"
"Nggak. Dia stres. Biasalah, urusan rumah tangganya yang nggak selesai-selesai. Eh—keceplosan, kan gue!"
Naraya lebih tenang dengan Agustin yang tanpa sadar membagi informasi mengenai hal tersebut. Setidaknya, bukan karena Utari-lah perempuan itu masuk dan dirawat di rumah sakit.
Helaan napas lega Nara tak melegakan Utari. Anaknya itu makin histeris karena Nara tak menggubris dengung tangisannya dan malah mengobrol sendiri di telepon.
"Haaaaaa!!"
Telinga Naraya otomatis begitu pengang karenanya. Agustin langsung paham mendengar jeritan bocah yang luar biasa cantik itu.
"Uta nyariin, ya?" tanya Agustin langsung.
"Iya. Dia kesel, dari kemaren gue tipu kalo hari berikutnya bubunya bakalan dateng."
Telinga tajam Utari langsung menangkap kata bubu. Otomatis saja dia menyerukan panggilan tersebut.
"Bubuuuuuuuuu! Buuuubuuuu! Huhuhu...."
Mau tak mau, Agustin menjadi mendengarnya. Siapapun tak akan tega mendengar jeritan nelangsa Utari tersebut. Maka dengan kesadaran yang melekat, Agustin percaya bahwa satu jalan keluarnya...
"Bawa, gih nemuin bubunya. Kasihan nangis gitu."
"Hah???"
"Ih! Biasa aja, dong, Kak. Bawa aja sana nemuin Galiya. Biar Uta diem, kakak juga jadi nggak stres ngadepin marahnya Uta."
Naraya tak masalah membawa Utari menemui Galiya. Masalahnya adalah, apa respon dari pihak Galiya nanti? Naraya itu tak bodoh untuk tahu bahwa Galiya tak seharusnya menjadi pengasuh. Namun, bukan bermaksud mengejek juga mengenai gaji yang dia beri.
"Bukan gitu, Gus. Masalahnya... itu–itu... duh! Itu bukan masalah gampang. Lo tahu, kan siapa Galiya itu? Mungkin aja sekarang dia lagi diurusin keluarganya yang kaya—"
"Bawa aja dulu! Demi Uta! Biasanya juga kak Nara lakuin apapun buat Uta, kan? Masalah keluarga Galiya nggak perlu diambil pusing. Nanti juga Galiya yang jelasin soal kerjaannya. Udah, kak Nara bawa Uta ketemu Galiya. Hitung-hitung juga jenguk pekerja tersayang kakak."
Nara berdecak. "Jangan ngejek, Gus!"
Agustin memang tak begitu dekat dengan Nara, tapi bisa bercanda dengan saudara jauhnya itu. Meski tak paham apa status jelasnya Naraya pada Agustin, apakah paman atau apa, tapi mereka saling menghargai sebagai saudara. Dengan bekerjanya Galiya pada Nara jugalah hubungan keduanya menjadi lebih dekat.
"Nggak ngeledek. Kak Nara cepetan sana. Aku pusing denger suara nangis Uta yang melengking, nih. Aku tutup teleponnya. Bye!"
Setelahnya, Naraya hanya bisa memaki tertahan karena kelakuan Agustin. Menatap putrinya, dia akhirnya berkata, "Ayo, kita ketemu bubu." Ajaibnya tangisan Utari langsung berhenti.
Kenapa jadi nurut kalo disebut bubunya, sih?