Pegang d**a cewek

1040 Kata
"Ngapain lo, Yap, mandangin s**u sampe segitu amat? Bayangin megang-megang d**a cewek, ya!" AYAP MASUK ke kelas dengan wajah yang cemberut. Semakin cemberut lagi ketika melihat mejanya dipenuhi dengan gelas-gelas plastik berisi s**u berbagai warna. Kalau warna putih itu sudah biasa, ada s**u yang berwarna coklat, berwarna pink, berwarna kuning, hijau, ungu, bahkan ada yang warna hitam pekat. Di setiap gelas-gelas plastik berisi s**u itu tertempel kertas yang bertuliskan nama pemberinya lengkap dengan asal kelasnya. Hal seperti ini memang sudah biasa Ayap alami jika jam istirahat tiba. Namun bedanya kali ini malah lebih banyak dan belum pernah sekali pun ia melihat ada cewek yang memberikannya s**u berwarna hitam pekat. Ayap mengernyit sambil memandang lekat ke gelas berisi s**u warna hitam itu. Dia bahkan sampai membungkukkan badan guna mengamatinya dari segala sisi. Mendadak teman sekelasnya datang. Pokeng namanya. Dia langsung mengagetkan Ayap dari belakang. Dan seperti biasa, dia pasti akan menggoda Ayap untuk mau memberikan sebagian dari s**u-s**u yang bertebaran di atas meja itu. "Dor!" Seru Pokeng sambil tersenyum licik. "Ngapain lo, Yap, mandangin s**u sampe segitu amat? Bayangin megang-megang d**a cewek, ya!" Ayap pun bangkit dari posisi membungkuknya. Dia menoleh ke arah Pokeng, memandangi hidung tak simetris lawan bicaranya itu. "Lo tu kali yang bayangin aneh-aneh. Oh gue ngerti sekarang kenapa hidung lo bisa kayak lembah yang pinggirannya longsor begitu." "k*****t lo pangeran botol s**u jamuran!" Pokeng tampak tak terima, tapi dia cukup penasaran dengan pernyataan Ayap yang mengkiaskan keindahan hidungnya barusan. "Maksud lo apa ngatain hidung gue kayak lembah longsor? Sembarangan aja lo. Gue kasih tahu, ya, sama lo, Yap, hidung gue ini adalah pemberian terindah dari Tuhan yang mahaesa." Ayap malah tersenyum mengejek. Wajahnya yang tampan dengan hidung mancung, dagu terbelah, matanya persis mata orang Arab, ditambah dengan bibir yang juga terbelah dibagian tengahnya serta rambut lurus yang jatuh memikat di sepanjang pinggiran kepalanya, membuat senyum itu terlihat bukan sebagai ejekan, melainkan seperti pancaran pesona tersendiri. "Gue akui hidung lo memang indah, Keng. Saking indahnya semut aja sampe malas masuk ke dalam lubangnya." "Anjir lo!" Sahut Pokeng tak terima. "Udah, ah, nggak usah bahas-bahas masalah hidung gue. Tar lo naksir lagi kayak Bibi cendol hari itu." Ayap mengernyit. "Hah, ada juga, ya, yang naksir sama lo, Keng? Wanita paling sial mana lagi ini?" Pokeng agak cemberut dan hidungnya sungguh menjadi sangat tak simetris dan terlihat bukan bagaikan lembah longsor lagi, tapi bagaikan pinggiran botol s**u yang digigiti tikus kelaparan. "Itu Bibi cendol yang sering lewat depan rumah gue. Gue tahu dia itu sengaja lewat depan rumah gue terus hanya untuk melihat betapa indahnya hidung ini." Pokeng menunjuk-nunjuk bagian bawah hidungnya. Ayap membatin, ya elah bibi cendol mah lewat depan rumah lo memang sengaja supaya ada yang beli bangke. Bukan karna pengen lihat hidung lo yang kayak sikat WC itu. Namun kemudian Ayap berpikir untuk tidak terus-terusan menghina hidung Pokeng. Dia takut hukum karma berlaku. Dipegang-peganginya hidungnya sendiri sambil berdoa semoga hidung itu tetap indah seperti sedia kala. Dia memutuskan untuk mengalihkan pembicaraan. "Iya, iya, deh, gue percaya kalau Bibi cendol itu naksir sama hidung lo. Oh iya, Keng, tadi lo ada nyebut-nyebut masalah botol s**u jamuran, kan! Kok kurang ajar betul, sih, lo!" Pokeng sontak menguncupkan tangan. Wajah pria berjanggut seputih s**u dan memakai kaos bergambarkan botol s**u seketika memenuhi pikirannya. "Plis, Yap, maafin gue! Gue keceplosan aja, kok, tadi, suer. Jangan aduin gue ke Opa lo, ya! Lagian lo duluan juga, sih, yang hina-hina hidung gue." "Eh siapa yang mau aduin lo ke Opa, sih? Emangnya gue anak bayi apa yang dikit-dikit ngadu minta susu." Pokeng langsung berpikir begini dalam hatinya, hah anak bayi bisa ngadu? Baru dengar gue. Anak bayi mana bisa ngomong. Ini sebenarnya siapa yang b**o, sih, gue atau si pangeran minyak jelantah ini? Ah gue nggak boleh salah-salah kata. Gue bisa kena hukuman kayak lawan kelahinya Ayap tadi pagi. "Eh hidung lembah! Lo kok malah melamun, sih? Mikirin apa lo? Pasti mikir jorok, kan, lo. Atau jangan lo mikirin anunya Kakek gue lagi. Ngaku lo!" Pokeng menggelengkan tangan. "Nggak, nggak, kok, Yap. Gue nggak mikir apa-apa. Trus, trus, sampe mana tadi? Botol s**u jamuran, ya! Kenapa dengan botol s**u, Yap? Botol s**u Opa lo jamuran? Atau anunya Opa lo jangan-jangan yang jamuran!" "Bukan, k*****t! Opa gue kayaknya udah mulai nggak waras, deh." "Nggak waras gimana maksud lo?" "Ini, masalah botol susu." "Oh gue paham. Lo diceramahin tentang botol s**u lagi, kan, sama Opa lo. Ya elah wajar kali, Yap. Opa lo, kan, pengusaha raksasa botol susu." "Ya gue paham, sih, tapi masa' cucunya sendiri dikasih hukuman disuruh jualin seratus biji botol s**u dalam tempo sebulan aja. Nggak lucu, kan!" Pokeng malah mau ketawa. Hanya saja dia menahannya. "Lo musti jualin seratus biji botol s**u dalam sebulan, Yap?" "Iya. Gila, kan, tuh Kakek-Kakek!" Pokeng menggeleng-geleng. Ayap melanjutkan. "Heran gue. Opa gue itu yang ada di pikirannya cuma botol s**u tahu. Ya tapi karna botol s**u juga, sih, yang bikin dia kaya raya sampe sekarang. Lo punya ide nggak, Keng, buat bantuin gue? Gue pusing, nih." Mata Pokeng langsung berbinar saat memandangi deretan gelas plastik berisi s**u yang ada di meja Ayap. Seketika ide melesat-lesat di pikirannya. Dia mendekati meja itu dan mengambil salah satu gelas plastik susunya. Dia mengangkat gelas itu di hadapan Ayap. "Kenapa lo nggak manfaatin ini aja?" Ayap mengernyit dan melotot memandangi gelas plastik s**u di tangan kanan Pokeng itu. "Manfaatin gimana maksud lo, Keng?" "Sini, sini!" Pokeng mengarahkan Ayap untuk mendekat. Dia membisiki temannya itu dan memberitahukan apa ide yang sejak tadi melesat-lesat di dalam kepalanya. Ayap mengangguk-angguk paham. Bahkan sesekali ia tersenyum licik. "Paham, kan, lo?" Seru Pokeng seraya melepaskan bisikannya. "Ya gue paham. Jadi maksud lo kita ngelakuin itu sambil nemuin siapa yang ngasih s**u warna hitam pekat nggak ada namanya ini?" Pokeng membunyikan jari telunjuk dan jempolnya. "Bener banget. Gimana lo setuju?" "Apa pun bakal gue lakuin, Keng, asalkan seratus biji botol s**u Opa gue bisa habis terjual." "Kalau gitu kapan kita lancarkan aksi heroik botol s**u ini?" Ayap sambil menimbang-nimbang. "Gimana kalau mulai besok?" Pokeng setuju dan mereka langsung saling kompak. Namun dalam hati Ayap tetap saja gelisah. Dia bukan hanya memikirkan perkara botol s**u itu, melainkan dia juga memikirkan siapa cewek yang sudah memberinya s**u berwarna hitam pekat tadi. s**u hitam pekat ini sungguh misterius.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN