Bab 2

1695 Kata
JUDY menghapus riasan yang baru saja dipulas di wajahnya. Padahal itu hanya bedak tabur tak seberapa. Lama perempuan itu termenung di depan meja rias, menatap wajahnya sendiri. Masih polos, tidak diulas dengan riasan apa pun. Ponselnya berdenting, membuat matanya perlahan beralih ke layar. Dean: Udah di rumah lo. Lagi ngobrol sama Emak lo. Eeeh, Emak lo makin cakep aja, sih. Kayak anaknya. Ujung bibir Judy terangkat, hanya sedikit. Tanpa membalas pesan dari Dean, Judy pun kembali memulas wajahnya. Bedak, eyeliner, dan lip tint. Sudah, itu saja. Judy tidak mau terlihat ‘wah’, apalagi di pesta ulang tahun orang lain. Setelah mengecek gaun floral berwarna hijau lumutnya tidak lecek, akhirnya Judy turun. Di sana Dean sedang ngobrol dengan ibunya, ramai, hangat. Ketika mereka sadar keberadaan Judy, Dean lantas berdiri. Begitu pun Ibu. “Dy,” panggil Dean, menatap Judy dari atas ke bawah. “Wow, cantiknya Judy-ku ini.” Ibu tertawa. “Bisa aja, Nak Dean.” Judy memutar matanya. “Ayo, udah telat, nih.” Dean, seperti biasa, selalu ramah dan wara-wiri dengan siapa saja lantas pamit pada ibunya. Tentu saja ibu Judy senang dengan sikap ramah Dean. Judy jadi mengingat sesuatu yang tidak perlu dia ingat. “Nak Dean sering-sering ke sini, ya. Akhir-akhir ini soalnya Tante jarang lihat,” ucap ibu Judy mengakhiri percakapan itu dengan menggantung, karena Dean hanya tersenyum tipis. Sangat tipis sampai Judy mengira itu bukan senyuman. Ketika mereka sampai di mobil Kak Qory–kakak Dean, barulah Judy membuka percakapan. “Sorry, Emak gue bikin lo enggak enak,” ucap Judy acuh tak acuh, sementara Dean sibuk menyalakan mesin mobil dan mengatur suhu AC. “Enggak enak gimana?” tanya Dean pura-pura bodoh. Judy mendengus. “Males, ah.” “Yeee... Tuan Putri marah-marah terus. Sayang banget itu, udah cakep.” Dan hanya itu percakapan yang terjalin. Judy lebih memilih untuk melihat pemandangan di luar jendela sementara Dean bersenandung lagu yang diputar di radio. Mereka sampai di perumahan yang cukup megah, kemudian berhenti di sebuah rumah tingkat dua yang tampak ramai dari luar. Mobil-mobil diparkir di sisi kiri-kanan jalan. Dean tentu saja sedikit kesulitan mencari tempat, tapi akhirnya ketemu, meski mereka harus berjalan cukup jauh dari tempat parkir. “Sergy ikut?” tanya Dean ketika mereka masuk ke dalam rumah setelah menunjukkan undangan digital pada penerima tamu. “Sama Lema,” jawab Judy, lagi-lagi acuh tak acuh. “Ooh,” balas Dean, mereka menuju meja yang penuh dengan berbagai macam minuman. Judy baru sadar dia haus ketika melihat minuman segar itu. Sementara Dean masih mengoceh. “Myla pasti enggak ikut. Dia lebih milih belajar di rumah dibanding ke sini. Tapi... kalo Talu?” Sejenak tangan Judy yang ingin meraih gelas terhenti, namun tak lama, karena dia bersikap biasa lagi. Meneguk minumannya sekilas. “Nggak tau tuh, saya,” ucap Judy dengan kedikan di bahu. “Paling juga sama adik gue.” “Oh, Anin juga ikut? Gue kira cuma angkatan kita aja yang boleh ke sini,” Dean masih saja bersikap santai padahal Judy ingin menabok mulutnya yang tidak bisa diam. “Tadi kok gue enggak ketemu sama Anin? Dia duluan?” Sebenarnya, tadi Judy melihat Anin, dengan gaun berwarna merah mudanya, melintasi kamar Judy, terlihat dari bayangan cerminnya. Anin keluar kamarnya ketika ada klakson mobil terdengar dari luar. Klakson mobil Talu. “Aaah, enggak tahu, yang punya hajat kan bukan gue!” Judy menarik hidung Dean sampai laki-laki itu mengaduh keras. Meminta Judy melepas hidungnya. Akhirnya setelah Judy yakin mulut Dean tidak nakal lagi, dia melepasnya. “Ayo ke Alavan.” Dean mengangguk, masih mengusap-usap hidungnya. Judy pun menggamit lengan Dean, akhirnya laki-laki itu bersikap gagah, berjalan bersanding dengan Judy. Suasana pesta ulang tahun Alavan, siswi XI-IPA-1 itu sangat ramai. Terdengar musik up beat dari berbagai sisi rumah. Orang-orang mengobrol dan bercanda dengan kelompok mereka. Semuanya memakai pakaian formal, termasuk Judy dan Dean. Ketika sampai di depan Alavan yang sedang bersama gerombolan temannya, Judy terpaksa memasang senyuman lebarnya. Padahal dia ingin sekali memberengut karena melihat Daffa dan Ashilla sedang duduk-duduk di dekat kolam renang. Jarak di antara mereka? Sudah habis, enggak ada lagi. Menjijikan. “Alavan! Selamat ulang tahun, ya,” ucap Judy, merentangkan kedua tangannya. Alavan lantas menerima pelukan Judy. Perempuan itu dari dulu memang ramah pada siapa saja. “Makasih udah dateng, Dy!” “Alavan, happy birthday, jangan manja-manja lagi ya,” kekeh Dean seraya menyodorkan kadonya untuk Alavan. Wajah Alavan sedikit memerah di balik pulasan make up tebalnya. “Dean, iiih, jail!” Ya, Dean memang jahil. Dean memang bersikap seperti itu di depan semua perempuan. Mereka mengobrol basa-basi, kemudian Alavan harus menyambut tamu yang lain, maka dari itu Judy dan Dean akhirnya duduk di dekat kolam renang. Jarak mereka hanya beberapa meter dari Ashilla-Daffa. Mata Judy sedari tadi memperhatikan bagaimana Daffa mengusap pipi Ashilla lembut. Ashilla tertawa, senang dengan perlakuan Daffa padanya. “Kalo sakit, kenapa diliat?” tanya Dean tiba-tiba. Judy menoleh. Laki-laki dengan rambut yang lebih rapi dibanding biasanya itu kini sibuk memainkan ponselnya. Bosan dengan acara ini. “Siapa yang sakit?” tanya Judy balik. Dia mendengus. “Lucu. Gue sakit gara-gara orang yang enggak pantes bikin gue sakit.” “Seriusan, enggak mau nangis?” kini Dean menatap Judy sepenuhnya. Bola matanya memancarkan kecemasan nyata. “Kalo lo butuh sandaran, bahu Talu tersedia, lho.” Judy lantas menabok bahu Dean. “Udah ada yang punya kali.” “Ooh, sakit, ya?” Dean tersenyum, tipis, sangat tipis sampai Judy mengira itu bukan senyuman. “Diembat adek lo sendiri, sih.” Sebelum sempat Judy menempeleng kepala Dean, suara cempreng Lema membahana di taman belakang rumah Alavan. “JUUUDY!” Gubrak. “AAAW.” “Lema! Makanya, hati-hati,” omel Sergy seraya membantu perempuan itu untuk berdiri. Tadi, Lema berlari sekuat tenaga ke arah Judy tanpa menyadari bahwa ada lubang besar di depannya. Tentu saja Lema terpeleset, membuat Sergy panik. Ah, Lema dan Sergy tampak cocok dengan pakaian mereka yang serasi. Gaun oranye cerah Lema dengan jas putih Sergy. Kenapa mereka tidak pacaran saja, sih? Judy dan Dean akhirnya menghampiri mereka. Sergy masih membantu Lema, sementara Lema mengibaskan roknya yang kena tanah. “Makanya jangan pecicilan!” omel Dean, seperti biasa sifat protektifnya selalu muncul karena kecerobohan Lema. Lema tentu saja lebih ganas. “Iiih, bawel!” “Bawel? Nanti kalo kaki lo luka, gimana? Tuh, lo pake hak tinggi begitu. Bisa patah loh kaki lo!” balas Dean makin menjadi. “Ya tadi kan gue enggak lihat-lihat!” “Makanya lihat-lihat! Punya mata kok enggak dipake dengan bener?” “Dean iiih, jelek! Berisik! Nyebelin!” Judy menghela napas. Astaga, dua orang bawel dipersatukan jadinya seperti kapal pecah belah. Judy jadi ingin menculik Sergy keluar dari lingkaran setan ini. Menyebalkan harus mendengar bla-bla-bla tidak penting mereka. Saat percakapan mereka tidak kunjung selesai, Judy lantas mengomel. “Udah woy, kampungan banget sih ribut mulu.” Dean dan Lema langsung diam. Saling menatap sengit. Ah, jadi ini yang ibunya rasakan ketika melerai Judy dan Anin saat bertengkar. Geli sekali melihat mereka jinak karena omelan Judy. Akhirnya mereka kembali akur. Lema berisik dengan wara-wirinya. Sergy bertanya kepada Judy apakah dia baik-baik saja setelah putus, tapi Judy hanya tersenyum dan berkata balik kalau Sergy yang tidak baik-baik saja setelah putus. Sergy malah ikut senyum. “Kalo enggak ada kalian, ya gue sedih banget. Udah jomlo, temen pun enggak punya.” Judy setuju. Dengan Sergy, Judy merasa bisa menceritakan apa saja. Laki-laki itu punya caranya sendiri agar orang lain bisa bercerita. Pendengar yang baik, mungkin? Tidak seperti Dean, Sergy tidak balas mengomel atau mengomentari tindakan. Dia hanya diam, mendengarkan, dan berusaha memahami. Pantas saja Lema lengket dengan Sergy. Tidak banyak orang yang bisa mengerti sikap unik Lema. Mereka pun duduk di jajaran kursi yang disediakan, dekat dengan kolam renang dan makanan–tentu saja Judy yang memilih duduk di sini, dekat makanan, lho! Judy duduk dengan Sergy, Dean dengan Lema. Baik Judy maupun Sergy mendengarkan cerita Lema tentang pertandingan karate tingkat kota yang minggu lalu Lema ikuti. Dean sesekali mengomentari seperti biasa, “Ah, elo sih, kebanyakan makan mecin, jadinya lemah pas tanding.”. Tentunya komentar itu dihadiahi geplakan tangan oleh Lema. Pada penghujung acara, akhirnya, semua orang berkumpul di dekat Alavan. Bernyanyi Selamat Ulang Tahun. Judy memperhatikan betapa bahagianya Alavan dengan wajah datar, hanya senyum tipis yang tidak benar-benar senyum. “Tiup lilinnya,” ucap ibu Alavan ketika nyanyian selesai. Alavan meniup lilin. Tepuk tangan riuh terdengar seiring lamunan membawa Judy melayang terbang jauh dari realita. Yang langsung ditarik Dean dengan cepat. “Jangan bengong!” mata Dean berkilat. “Nanti kerasukan jin.” Judy mendengus. “Gue ambil minum dulu,” ucap Judy, melepas tangan Dean yang melingkar di pergelangan tangannya. Dean mengangguk, masih khawatir Judy kerasukan. Judy masuk ke dalam rumah. Tiap langkahnya, astaga, bahkan tiap langkahnya Judy tahu bahwa akan terjadi hal yang buruk. Yang membuat seribu jarum menusuk hatinya. Talu dan Anin sedang mengobrol, berhadapan, dengan jarak yang tidak bisa dibilang jauh. Hanya satu napas jarak mereka. Senyum keduanya cerah, tawa mengalun merdu, dan hati Judy tidak terbentuk lagi. Judy berdiri di ambang pintu, sesaat bingung harus bebuat apa, lalu akhirnya memilih untuk mundur, kembali menemui Dean. Judy menggenggam erat tangan Dean, berbisik dengan suara serak. “Pulang.” Mata Dean mencari mata Judy, tapi perempuan itu hanya menunduk. Dean pun melihat Sergy dan Lema yang sedang makan kue penuh suka cita. Alavan sampai jengkel. Kemudian Dean melihat ke arah rumah, dimana Talu dan Anin berada. Tentu saja mata Dean jeli melihat mereka dari jarak sejauh ini. Dean mengangguk. “Kesel ya, ngeliat Ashilla sama Daffa? Ya udah, ayok pulang.” Mereka keluar lewat jalur taman, diam-diam. Tangan Judy masih menggenggam tangan Dean. Ketika mereka sampai di jalan menuju mobil, Judy berhenti. Dia berjongkok, menutup wajahnya, terisak. “It damn hurts,” desau suara Judy di sela tangisnya. “Ashilla sama Daffa emang–“ “Yan, stop pretending that you are stupid.” Dean diam. Dean tahu. Tapi Dean tidak bisa menghakimi. Dean menghela napas berat seraya melepas jasnya. “Dy, ada gue,” Dean menaruh jasnya di kedua bahu. “Sekarang kita pulang.” Judy mengangguk, menyambut tangan Dean yang terulur. Malam ini menangis, esok kembali tegar.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN