DUA tahun yang lalu, Judy mengira dia punya segalanya. Teman yang baik, keluarga harmonis, harta berlimpah, hubungan yang berjalan lancar, tanpa pengkhianatan ataupun air mata.
Namun, Judy salah. Segalanya yang ia miliki tidak pernah setia padanya. Tidak ada kata tulus pada tiap hubungan yang ia rangkum bersama orang-orang yang ia kira dekat dengannya. Mereka memiliki motif di balik sikap ramahnya pada Raden Ajeng Judyrastika.
Tidak ada yang benar-benar tulus—kecuali Myla, mungkin juga Dean, Sergy dan Lema juga.
Talu?
Astaga, mendengar namanya saja, hati Judy ngilu. Sudah berbulan-bulan sejak Judy mengetahui motif Talu mendekatinya bukan karena Talu ingin memupuk rasa yang lebih dibanding teman. Keinginan itu sebaliknya. Namun, Judy salah mengartikan maksud Talu datang ke rumahnya nyaris tiap malam hanya untuk mengobrol dengannya. Judy salah mengartikan tatapan hangat Talu. Talu selalu bersikap hangat kepada siapa saja.
Judy salah mengartikan, bahwa orang yang dituju bukanlah dirinya, tapi adiknya, Anin.
Hancur hati Judy. Tapi dia bisa apa? Menangis meraung menyalahkan Talu yang tidak mengutarakan maksudnya sejak awal? Menyalahkan adiknya yang menerima pernyataan suka Talu? Atau bahkan, menyalahkan dunia karena Talu dan adiknya akhirnya bersama, jadian, seolah menutup mata dan telinga akan perasaan Judy yang sebenarnya.
Sungguh kejam.
"Eee... Dy."
Panggilan itu membuat Judy mendongak. Bertanya. Wajahnya tentu saja tampak jengkel sampai-sampai Noura yang memanggilnya berjengit ngeri. Pasti bila tidak dipaksa, Noura tidak mau mengganggu Judy. Sejak kejadian kemarin malam di pesta Alavan, Judy jauh lebih galak dibanding biasanya. Yah, bisa dibayangkan. Biasanya saja, Judy sudah sangat galak, apalagi lebih dari biasanya?
"Apa?" tanya Judy sedikit menyentak.
Noura mulai kelabakan. Matanya jelalatan mencari bantuan, tapi semua orang menutup mata dan telinga, sibuk dengan urusan sendiri-sendiri. Bagi Noura, kelas mereka yang luas ini jadi tampak sempit, seolah hanya ada Judy dan dirinya.
Noura meneguk ludah. "Jadi... tiap anak ditawarin, mau ikut pertukaran pelajar antar kota, enggak? Nah... lo mau, enggak?"
"Benefit buat gue apa?" tanya Judy langsung.
"Eee... lo dapet temen baru di sana. Pengalaman juga! Terus... di sana kurikulumnya beda sama di sini. Eee... pokoknya seru, deh! Udah banyak yang daftar, tapi yang daftar harus tes dulu."
Judy manggut-manggut. Dia mencondongkan badannya ke arah Noura, berbisik. "Di sana banyak cogan, enggak?"
Tentu saja Noura penggila cogan alias cowok ganteng langsung berseru heboh. "Banyak! Di sana kan international school, jadinya banyak cowok blasteran! Udah tinggi, ganteng, pinter pula.... Ah, idaman banget, pokoknya! Oh iya, asal lo tau, sebagian besar yang daftar pertukaran pelajar ini cewek. Tentu aja gara-gara banyak cogannya itu. Makanya, kan lo nyari cogan tuh, lo juga lumayan pinter, jadi gue nawarin. Siapa tau lo bisa masuk ke sana, terus bisa ngirimin satu cogan ke gue lewat JNE."
Tuh, kan. Ada motifnya, Judy tersenyum tipis.
"Lumayan pinter?" tanya Judy, mengibaskan rambutnya dengan gaya sombong, setengah bercanda setengah menunjukkan kalau dia percaya diri. "Emang pinter, kali."
Kalau orang yang ngomong tadi bukan Judy, pasti sudah Noura tempeleng kepalanya. Sombong sekali.
"Ya udah, gue ikut. Di sini cogannya udah keabisan stok, gue mau nyari lagi," ucap Judy akhirnya, acuh tak acuh. Kemudian dia sibuk memainkan ponselnya lagi, membuka feeds i********:.
Noura mengangguk, memasukkan nama Judy dari sekian banya pendaftar acara pertukaran pelajar ini. Sambil harap-harap cemas Judy lolos tes. Sambil harap-harap cemas dapet cowok ganteng.
"Boleh enggak, kita ngomong sebentar?"
Judy menatap sekilas ke arah laki-laki di sampingnya, yang tanpa aba-aba mencegat bahu Judy lembut, seolah gestur tersebut sudah lumrah dilakukan. Judy menepis tangan laki-laki itu, kemudian berkata dengan lantang. "Enggak."
Talu menarik dan membuang napasnya secara perlahan. Sabar.
"Dy," panggil Talu ketika Judy sudah berlalu meninggalkannya di koridor menuju kantin. Demi berbicara empat mata dengan Judy, Talu menunggu perempuan itu turun dari koridor ini. Setelah bertemu, hanya dihadiahi tatapan dingin dan satu kata penuh tekanan.
Judy masih berjalan.
Talu mengejar.
"Dy, Dean kasih tau gue kalo semalem lo nangis."
Judy berhenti berjalan.
Talu masih mengejar.
"Maafin gue," ucap Talu ketika berhasil mengejar Judy. Mata cokelatnya bersinar penuh harap dan cemas. "G-Gue salah, gue akui. Tapi, apa kita enggak bisa balik kayak dulu lagi? Sahabat, Dy?"
"Gila ya lo, enggak punya otak, otak lo dimakan zombie kali, ya," tuding Judy langsung. "Lo kira gue besi? Dengan mudahnya lo bilang balikan sahabatan? Mau gue minta Lema buat nendang kepala lo?"
Talu sedikit mundur. Kata-kata Judy tadi. Baru kali ini Judy berbicara sepanjang itu setelah mendiamkan Talu selama berbulan-bulan. Tapi kata-kata yang dikeluarkan Judy jauh berbeda dibanding yang Talu kenal. Seolah... Talu bukan sahabatnya lagi.
"Gue tau, emang enggak bisa. Tapi—"
"Lo udah tau enggak bisa, masih aja ngotot! Lain kali kalo suka sama cewek lain, jangan bikin yang di sini baper. Punya harapan yang pupus gitu aja... apa pernah lo ngerasain jadi gue? Sakit, anjir."
"Dy—"
"Jangan panggil nama gue lagi! Mau gue beneran minta Lema nendang lo?!"
Talu akhirnya diam. Apalagi Judy sudah masuk ke areal kantin. Talu tidak mau berurusan dengan orang lain, apalagi jadi pusat perhatian di sana. Judy tahu Talu takut, maka dari itu, saat dia sampai di tengah kantin, dia kembali menoleh ke arah Talu, seolah mengejek.
Kemudian tanpa disangka, Judy berseru kencang. Membuat aktivitas seisi kantin terhenti karena suara lantangnya.
"Kenapa nggak ngejar gue? TAKUT GUE TERIAK? IYAAA? AS-TA-GA, GUE UDAH TERIAK. MAAF, TALU."
Talu meneguk ludah. Dia tahu Judy memang kurang waras. Namun dia tidak pernah tahu bahwa ketidakwarasannya separah ini.
Dan Judy hanya bisa termenung melihat Talu melangkah pergi meninggalkan kantin. Meninggalkan dirinya. Hahaha. Judy salah menyukai seorang pengecut seperti Talu. Salah besar. Tapi... kenapa sesak di dadanya tidak jua hilang?
SEPULANG sekolah, Judy mengejutkan Myla dengan bertandang ke rumah perempuan itu, tanpa peringatan apa-apa. Padahal katanya, Myla sedang belajar untuk penilaian harian besok. Mata pelajaran terpenting di sepanjang sejarah hidup Myla; Biologi. Namun dengan gaya cueknya yang biasa, Judy menerobos pintu rumah mungil Myla dan berjalan ke arah kamar sahabatnya itu seolah tiap jengkal rumah ini miliknya.
Pernah punya teman seperti itu.
Jadilah, Myla menemani Judy yang tidur-tiduran tidak jelas di kamarnya sambil main ponsel, sementara Myla belajar dengan giat di meja belajarnya.
“Mama lo mana?” tanya Judy menganggu konsentrasi Myla saat sedang menghapal gangguan pada organ ekskresi manusia.
“Mama pergi tadi banget,” jawab Myla. Menatap sekilas ke arah Judy. “Dy, maaf banget, tapi gue lagi belajar–“
Dengan cepat, Judy memotong.
“Iya udah, kalo belajar mah belajar aja. Gue liat kali kalo lo lagi belajar. Gue enggak nyari perhatian, kok. Serius.”
Itu artinya Judy mencari perhatian.
Lima menit setelah Myla mengangguk paham, Judy kembali membeo.
“Ada Indomie, enggak?”
Tuh.
Myla akhirnya menyerah. Dia bisa belajar nanti malam, kan? Bukannya lebih baik bila dia memperhatikan Judy dibanding menghapal pelajaran. Lagipula, kondisi hatinya sedang tidak bisa diajak kompromi. Selalu seperti ini bila seseorang seperti Judy mencari perhatian padanya.
Myla agak melempar kertas rangkuman di mejanya, kemudian berdiri, menatap sahabatnya dengan cengiran.
“Mau dibikinin?” tawar Myla seperti biasanya bila Judy mampir ke rumah.
Mata Judy langsung berbinar. Dia terduduk di kasur Myla. Rambut panjang tebalnya jatuh dengan lembut di sekitar bahu.
“Mauuu,” seru Judy antusias.
Yah, memang hanya Judy yang bersikap semanja ini pada Myla. Mau diapakan lagi?
Lantas, Myla ke dapur untuk memasak mie instan kesukaan Judy, sementara Judy mengekor di belakangnya. Ketika Myla sibuk memasak, Judy malah asyik bermain ponsel dan bersenandung.
“Tumben mampir,” ucap Myla, menunggu mienya matang dalam panci. Terdengar derik kompor, menandakan bahwa ruangan ini memang terlalu sepi sampai suaranya terdengar. Myla pun duduk di hadapan Judy, berpangku tangan. “Jadi, yang terhormat Putri Judy ingin cerita apa?”
Judy langsung mengerucutkan bibirnya. “Gue enggak mau cerita....”
Oke. Myla berdiri, membuat Judy menatap ke arahnya, heran.
“Ya udah, kalo enggak ada cerita.”
Seolah tak acuh, Myla kembali menghadap ke kompor. Bersiap meniriskan mie. Sampai akhirnya Judy mengaku.
“Iya! Iya, gue mau cerita,” sungut Judy jengkel sendiri. “Tadi gue berantem sama T. Katanya T tau gue nangis dari Dean. Dia minta maaf. Lah, gue kesel! Masa dia enggak punya otak sih, sampe minta maaf? Emangnya dengan dia minta maaf, gue bisa langsung bahagia, gitu?”
Seperti sahabat pada umumnya, bila sudah membicarakan seseorang yang spesial atau doi, pasti hanya menyebut insial nama. Atau nomor urutan abjad dari inisial nama. Contohnya T jadi 20, A jadi 1.
Ya... namanya juga cewek.
“Mungkin dia enggak enak aja karena udah bikin lo baper, tapi ternyata enggak sesuai ekspetasi,” ucap Myla seraya meniriskan mie. Menuangkannya ke dalam mangkuk, lalu memberinya pada Judy. “Mungkin T ingin... apa ya? Menenangkan hatinya. Resah tau, kalo ada orang yang marah sama lo. Apalagi masalahnya soal hati. Dan menurut gue, T udah bersikap baik. Cuma ya, masa sih, bisa langsung maafin gitu aja.”
Judy mengaduk mienya sendiri dengan garpu yang sudah ia siapkan sejak tadi. Dia mengangguk khidmat. “I know, right? Maksud gue, kasih gue ruang buat nenangin diri gue sendiri.”
Myla merasa empati pada sahabatnya yang satu ini. Tapi mau bagaimana lagi, dia tidak bisa ikut campur bila urusan perasaan. Myla hanya bisa memberikan saran yang terbaik untuk keduanya.
Kemudian di sela-sela makannya, Judy bercerita.
“Gue ikut pertukaran pelajar. Tadi udah tes, tesnya lumayan gampang, sih. Jadi gue yakin bakal lolos,” cerita Judy, bibirnya sedikit jontor karena mie yang ia makan diberi cabe rawit tiga biji. Myla dalam hati tertawa geli. “Terus, Lema juga ikut. Tapi kata dia susah tesnya, jadi enggak yakin berhasil. Gue sih, yah, yakin. Lo enggak mau ikut juga, Myl? Besok masih bisa susulan.”
Myla hanya nyengir tipis. Uangnya darimana?
“Terus, kalo Dean?” tanya Myla buru-buru mengalihkan topik. “Kok bisa, Dean tau lo nangis? Seinget gue, lo sama dia marahan.”
Judy sejenak berhenti menyeruput mienya, dia termenung, sebelum akhirnya menggeleng pelan.
“Gue enggak marahan sama Dean, cuman....”
“Cuman...?”
“Cuman pas Dean nembak gue, gue diemin.”
Mata Myla melotot. Judy tidak pernah cerita. JUDY TIDAK PERNAH CERITA. Sahabat macam apa dia?
“Diemin? DIEMIN GIMANA?” tanya Myla kehilangan kontrol diri.
“Ya...,” Judy sedikit salah tingkah melihat reaksi Myla. “Gue enggak jawab apa-apa. Seolah enggak denger. Terus gue pergi. Terus dia ngambek berbulan-bulan. Terus kemaren baru gue sapa lagi.”
Myla menebah dadanya, geleng-geleng kepala. Tidak percaya Judy sebebal ini. Dia marah karena Talu, tapi dia memperlakukan hal yang serupa pada Dean. Ironis.
“Udah ah, males ngomongin cowok,” ucap Judy dengan sisa kuah mie masih bertengger di sisi mulutnya. Dengan sisa tawa dan syok, Myla mengambil tissue dan menyodorkannya pada Judy. Sambil mengelap bibirnya, Judy mengoceh lagi. “Yang penting, gue harus nyari cogan di sekolah itu! Nggak ada cogan potensial di sekolah!”
“Iya, enggak ada,” ucap Myla sambil nyengir. “Semuanya udah lo pacarin, terus diputusin.”
Ya Judy diledek seperti itu cuma bisa manyun lima senti.
Sebenarnya bukan masalah siapa laki-laki yang menjadi pendampingnya nanti. Tapi, masalahnya, Judy tidak mau laki-laki yang telanjur ia sukai ternyata tidak tulus.
Yang menyukainya banyak, yang tulus bahkan hitungan jari pun tidak ada.