Bab 4

1908 Kata
BAGAI bencana badai tersirat di wajah Lema, dia mendatangi kelas Judy. Matanya tidak nengok kemana-mana. Ya langsung fokus pada perempuan dengan sifat paling cuek yang pernah Lema tahu. Lema sedikit menyeruduk saat duduk di hadapan Judy. Tepatnya, duduk di bangku yang ada di depan perempuan itu. Judy lantas mendongak, menatap heran wajah Lema yang panik. “D-Daffa tadi pagi digebukin!” seru Lema, raut wajah panik dan mata bergerak cemas. Seisi kelas menghentikan aktivitas mereka, melihat kepanikan di wajah Lema dan tentunya tertarik dengan topik ‘digebukin' yang dibawa oleh perempuan itu. Bagi mereka, sensasi adalah sesuatu yang memuakkan sekaligus menggali rasa ingin tahu. Sedikit ragu, Judy mencopot earphone di telinganya. “Siapa yang digebukin? Dan kenapa gue harus peduli?” Lema dengan gemas menarik tangan Judy, bermaksud keluar kelas. Judy tidak membantah, membiarkan perempuan mungil itu menariknya. Ketika mereka sampai di luar, Lema berbisik pelan. “Kakak lo nyuruh temen-temen pacarnya buat gebukin Daffa. Sekarang Daffa di UKS, kakak lo di BK,” beritahu Lema, masih sedikit panik karena tadi melihat ruangan BK ramai dengan anak-anak. Namun karena jarak antar jurusan IPA dan IPS terpaut jauh, berita ini lebih cepat didengar oleh anak IPA. Apalagi karena ruang BK bersebelahan dengan kelas Lema, XI-IPA-5. Untuk waktu yang cukup lama, Judy terdiam. Kemudian tersenyum sangat tipis. “Terus?” tanya Judy acuh tak acuh. “Ya terus?” balas Lema tidak percaya akan balasan Judy. Dia sudah berlari cukup jauh dari kelasnya ke kelas Judy, dan jawabannya cuma itu? “Dy, Amara masih kakak lo!” “Emang gue nyuruh dia buat ngelakuin hal itu? Enggak, kan?” Judy mengedikkan bahu, santai. “Tapi dia sayang sama lo,” balas Lema, pandangan matanya mulai melunak. “Kak Amara sayang sama lo.” “Gue enggak peduli,” balas Judy dengan dengusan kecil, kembali ke kelasnya. Lema termangu melihat kekeraskelapaan sahabatnya. Di lain sisi, Judy duduk di tempatnya lagi dan menyumpalkan earphone ke salah satu telinganya. Jengkel sekaligus muak, Lema berseru. “Ya udah, kalo lo segitu enggak maunya punya kakak, mending kakak lo buat gue! Nyebelin! Dasar, keras kepala! Jutek!” Lema berderap pergi. Mata masih mengikutinya seolah tidak mau luput dari berita hangat ini. Tidak ada yang simpati, hanya penasaran. Ketika suasana mulai mereda, mereka sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Dan Judy tidak setenang tadi. Di balik wajahnya yang cuek, tangannya mengepal hebat. Ribuan tanya bersarang di otaknya, membuatnya sulit untuk bernapas. Kalau Kak Amara sudah enggak peduli dengan Judy lagi, kenapa dia rela melakukan hal ini? Tanpa bicara banyak hal, Judy bangkit dari kursinya, berderap keluar. Menuju ruang BK. JUDY ingat, saat-saat bahagia itu. Dirinya adalah anak tengah dari tiga bersaudara. Kakaknya, Amara, beda setahun darinya, sedang menepuh tahun terakhir di SMA. Anin, adiknya, setahun di bawah Judy, dan baru saja masuk SMA. Mereka bahagia pada waktunya. Masa anak-anak, mungkin? Ah, intensitas kebahagiaan anak kecil memang sangat tinggi. Ketiga saudara itu masuk SMA yang sama. Tapi yang mengejutkannya, Amara tidak tinggal bersama Judy dan Anin di rumah ibunya. Anak sulung keluarga Prawira itu memilih tinggal bersama bibinya. Cukup jauh dari rumah yang sekarang ditinggali oleh Judy dan Anin. Dan lama juga luka yang harus Judy sembuhkan ketika Amara pergi dari rumah dengan menyeret koper, berkata kasar padanya untuk minggir dari pintu, dan bahkan, Amara menampar Anin yang menghalanginya. Kedua adik Amara akhirnya hanya berdiri diam dan gemetar, sementara Amara benar-benar meninggalkan mereka. Ibunya tidak ada dalam pigura saat itu. Entah kemana. Judy yang berumur lima belas saat itu tidak tahu. Tidak pernah tahu dan tidak mengerti. Mengapa Amara pergi? Mengapa di rumah hanya ada ibunya? Dimana ayah? Semua pertanyaan itu hanya bisa Judy telan dalam diam. Tidak pernah berani ditanyakan, apalagi mendapat jawaban. Judy mencoba menghubungi Amara, tapi kakaknya selalu menolak. Judy yang masih SMP menemui kakaknya di SMA, dan tetap saja, dia menghindar. Sampai akhirnya Judy bertekad untuk sekolah di tempat yang sama dengan Amara. Judy yang kelas sepuluh mencoba mencari perhatian Amara yang kelas sebelas. Sulit? Memang. Bahkan terkadang Amara meminta teman-temannya untuk menindas Judy kalau terus menganggunya. Suatu hari di kelas sebelas, Judy memutuskan berhenti berusaha menarik kakaknya kembali dalam pigura keluarga. Lelah kalau hanya berjuang seorang diri, bukan begitu? Dan kenapa, sekarang malah Amara membantunya? Kaki Judy rasanya kaku begitu melihat keramaian di ruang BK. Semua orang berkumpul di sana, berdesakan melihat Amara dan teman-temannya disidang. Memang, hal ini menurut mereka lebih menarik dibanding belajar atau jajan di kantin. Sensasi. “Misi, woi,” ucap Judy berusaha membelah keramaian tersebut. Awalnya orang tersebut tampak marah dengan ucapan Judy. Namun begitu melihat wajah sangar Judy, tanpa kata, semua orang minggir. Judy melangkah ke depan dan membuka pintu ruang BK. Semua orang menatap dirinya. Termasuk Amara. Judy tersenyum sedih. “Saya yang nyuruh Kak Amara buat ngehajar Daffa. Soalnya Daffa jahat.” Bilang Judy gila. Semua orang sudah tahu rahasia umum itu. RUANGAN BK itu terasa sepi bagi Judy. Tentu saja. Setelah ucapannya tadi, semua orang terkesiap kaget. Seperti penonton FTV kesayangan mereka. Kemudian guru BK, Bu Lili, menyuruh semua orang untuk keluar ruangan BK, kecuali Judy. Judy malah digiring menuju ruangan yang lebih privat. Judy duduk di sofa nyaman dekat dengan meja Bu Lili, sementara wanita paruh baya itu membuat segelas teh hangat di sudut ruangan. Di sana memang disediakan dispenser serta kotak teh dan lainnya. Rasanya, Judy ada di sebuah ruangan yang nyaman, dimana dia bisa menceritakan apa saja tanpa beban. Mungkin ruangan ini memang diperuntukkan seperti itu. “Silahkan,” ucap Bu Lili seraya menaruh segelas teh hangat di hadapan Judy. Senyumnya sangat menenangkan, keibuan, mungkin? Judy mengangguk, “Makasih, Bu,” lalu menyeruput teh tersebut. Chamomile tea, enak. Di tenggorokan terasa segar setelah rasanya sangat serak karena mengetahui fakta bahwa beberapa jam sebelumnya, Amara meminta pacarnya untuk menghajar habis Daffa. “Jadi, kamu bisa cerita yang sebenarnya seperti apa?” tanya Bu Lili. Pertanyaan itu membuat Judy sedikit membeku. Haruskah ia bercerita? Tapi, bagaimana kalau Bu Lili malah menceritakannya pada guru-guru lain dan dia dicap siswi bermasalah? Itu menyebalkan—bukan berarti cap tersebut belum ada, sih. Dari dulu, Judy kan menyebalkan. “Saya bukan tipikal guru yang malah menambah masalah dalam masalah, Dy,” suara Bu Lili sangat menenangkan. Senyumnya juga, melengkung sempurna tanpa dipaksa. “Kamu bisa cerita. Saya tidak akan menilai. Biarlah Ibu yang hidup lebih lama dibanding kamu ini memberikan solusi. Pengalaman lebih menyakitkan, bukan?” Judy menaruh gelasnya ke meja, sedikit menunduk. Darimana ia harus bercerita? Dari kisah dua tahun lalu? Atau hanya masalah Daffa? “Saya pacaran sama Daffa, sekitar… tiga bulan yang lalu?” mulai Judy. “Saya pacaran sama dia karena, yah, saya kira dia enggak punya motif apa-apa ke saya. Bener-bener sayang. Bener-bener pengen lindungin saya. Dan pada saat itu, saya memang butuh rasa sayang dari orang lain,” di sini, Judy tersenyum miris. “Sedih, ya? Seharusnya saya dapet kasih sayang dari orangtua, tapi saya sendiri enggak tahu lagi bentukan keluarga saya gimana. Semuanya mencar-mencar.” Bu Lili masih diam, tidak memberikan komentar apa-apa, dan menurut Judy, itu saja cukup. Dia tidak mau dikomentari macam-macam. Keadaannya memang seperti ini. Apa lagi yang harus diganti? “Kemudian seiring berjalannya waktu, Daffa minta gandeng tangan saya. Saya enggak masalah. Kadang saya juga sering gandengan tangan sama teman cowok saya, misalnya kalo saya nyebrang, gitu. Atau kalo saya lagi panik. Tapi, enggak lama, Daffa minta peluk. Saya enggak mau. Ngapain peluk-peluk? “Terus, setelah itu Daffa mulai jarang ngobrol sama saya. Udah jarang ketemu sama saya lagi. Tiap kali ketemu, pasti minta peluk, dan saya selalu nolak. Dan lusa kemarin, saya tahu kalo Daffa pacaran sama cewek lain. Dan asumsi saya, cewek itu mau dipeluk Daffa. Menurut saya, pacaran itu untuk apa, sih, sebenernya? Saya kira, pacaran itu untuk selalu ada satu sama lain, saling dukung, saling sayang. Tapi kalo tujuannya buat menuhin hawa nafsu, kayaknya mending enggak usah pacaran. Nambah dosa.” Bu Lili tidak tampak kaget dengan perkataan Judy. Malah, dia memeriksa lembar kertas di hadapannya. Ketika mengintip lembar kertas itu, wajah Judy dan Amara tampak di sana. Ada wajah Anin juga. Sejenak, Judy bertanya-tanya apa yang sebenarnya Bu Lili pikirkan. “Di sini, alamat rumahmu dan Anin berbeda dengan Amara. Tapi kalian satu keluarga, bukan begitu? Kenapa bisa berbeda? Bisa Judy cerita ke Ibu?” tanya Bu Lili. Lidah Judy kelu. Bukan karena dia tidak bisa cerita, namun, dia sendiri tidak tahu kenapa bisa sampai terpecah belah seperti ini. Mungkin dari hari itu. “Sudah... sudah dua tahun, saya enggak tinggal bareng kakak saya lagi. Dia sekarang tinggal di rumah Bibi saya. Saya juga enggak tau alasannya kenapa. Ibu enggak pernah cerita ke saya. Tiap saya singgung soal Kak Amara, Ibu marah. Jadi saya enggak pernah singgung hal itu lagi.” “Kalau ayahmu?” Judy tersenyum sangat tipis. Sampai-sampai Bu Lili tidak mengira itu senyuman. “Di awal kan saya tadi sudah bilang, Bu. Bentukan keluarga saya sudah hancur. Saya enggak tahu Ayah pergi kemana. Ibu enggak pernah cerita.” Ruangan lengang untuk sesaat. Perlahan Judy mengangkat cangkir dan meminum tehnya. Sementara Bu Lili masih terhenyak di kursinya. Tidak menyangka anak seperti Judy mengalami hal seperti ini. Kemudian setelah waktu yang begitu menyiksa, Bu Lili mulai berbicara. “Perasaanmu sekarang bagaimana?” Judy lagi-lagi menunjukkan senyum tipis itu. “Memang, orang-orang peduli sama perasaan saya?” Bu Lili bungkam. Judy benar. “Tapi, Ibu peduli. Kalau enggak, kenapa Ibu bertanya?” PERNAH merasa lega, tapi tidak sepenuhnya lega? Itu yang Judy rasakan ketika keluar ruangan BK dan melihat Amara menunggu di depan pintu. Kakak Judy itu tampak lega melihatnya. Perasaan Judy mulas ketika menyadari bahwa mereka sudah lama tidak bersinggungan meski satu sekolah. Wajah Amara yang membuat Judy sadar. Ada perubahan di sana. Garis keras yang ada di wajah Amara kini melembut, membentuk garis halus yang menunjukkan kedewasaan kakak satu-satunya Judy. “Maaf, Kakak ketauan pas ngeroyok Daffa,” ucap Amara seraya mengenggam tangan Judy yang sudah lama tidak pernah digenggamnya. Rasanya hangat, seolah energi Amara tersalur pada Judy. Membuat Judy seketika merasa aman. “Ya, enggak apa-apa,” balas Judy, tenggorokannya kering, tercekat. Dia harus apa? Semua kebaikan kakaknya sangat tiba-tiba. Entahlah, apakah Amara masih bisa disebut sebagai kakaknya? Sangat amat tiba-tiba sampai Judy takut. “Lo maunya apa, sih?” tanya Judy, menatap balik mata cemas Amara dengan emosi yang jelas berbeda. Judy menepis tangan Amara cepat. “Kalo misalnya mau baik-baik gini supaya lo bisa pulang ke rumah, mending enggak usah. Rumah lebih baik tanpa lo. Lo bisa seenaknya pergi dari sana, tapi jangan harap lo bisa seenaknya kembali lagi.” Amara tercenung mendengarkan ucapan Judy, kemudian dia mundur selangkah, tersenyum dan mengangkat bahunya. “Kalo itu mau lo, ya udah,” ucap Amara dengan nada sangat santai. Dan Judy tidak bisa dibawa santai saat ini. Tangannya tidak kuasa untuk menampar pipi Amara. Tapi Amara tidak membalas. Seolah sudah tahu bahwa ini balasannya karena sudah pergi dari segala masalah, mengabaikan semua panggilan Judy untuk kembali ke rumah, menutup mata dan telinga ketika Judy memohon-mohon pada Amara untuk kembali, agar Ibu senang, agar Ibu tersenyum. Tapi Amara tidak peduli. Dan kenangan itu sudah terkubur dua tahun lamanya. Kenangan yang sekarang menyeruak. “Gue benci sama lo! Jangan balik ke rumah, jangan ketemu Ibu!” seru Judy saking kalapnya. Dada Judy berdentum sangat kencang. Air mata meleleh begitu saja. Seiring langkahnya, seolah satu persatu tali persaudaraan antara Judy dan Amara terputus. Menyisakan jurang tanpa jembatan yang tidak bisa diperbaiki lagi. Judy tahu. Bahwa di titik ini, semua memang hancur lebur.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN