Tawaran Tak Terduga
“Theo…” lirih Selena, begitu titik terlemah dari tubuhnya disentuh sedemikian rupa oleh Theodore Roosevelt. Sentuhan itu bukan hanya pada kulitnya, tapi jauh lebih dalam—menggetarkan pusat kesadarannya, meruntuhkan setiap pertahanan yang pernah ia bangun.
“Ya, panggil namaku terus setiap kali aku menyentuhmu seperti ini, Selena,” gumam Theodore, suaranya berat, bernapas di kulit leher Selena. Tangan besar itu menggenggamnya dengan kuat, menarik tubuh wanita itu lebih dekat ke tubuhnya sendiri yang panas dan berdenyut menahan gelora yang ada.
Selena mengatupkan mata, rahangnya menegang. Setiap inci tubuhnya merespons, seolah mengenali pria ini jauh sebelum pikirannya sempat mencerna apa yang sedang terjadi.
"Theodore..." ucapnya lagi, kali ini dengan nada pasrah dan menuntut sekaligus.
Ia mengangkat wajahnya, membiarkan pria itu menangkap bibirnya dengan ciuman dalam—basah, hangat, dan rakus. Ciuman mereka saling menelan keluh, seolah ingin melupakan waktu dan ruang.
Theodore melepaskan bibirnya sebentar, menarik napas berat di antara jeda. “Selena, jika kau minta aku berhenti, aku akan berhenti sekarang.”
Namun Selena justru menarik kerah kemeja pria itu, merenggutnya hingga kancing-kancingnya terlepas, membiarkan d**a kokoh Theodore terbuka di hadapannya. “Jangan berhenti… Kumohon, jangan malam ini…”
★★★
Beberapa bulan sebelumnya...
Gedung kaca tinggi menjulang di tengah hiruk-pikuk kota yang sangat padat. Cahaya matahari memantul di permukaannya, memantulkan bayangan seorang perempuan muda berusia 25 tahun yang bernama—Ashana Selena. Hoodie yang dikenakannya tak menyembunyikan auranya sebagai rising star Hollywood. Tapi pagi itu, dia hanya gadis biasa yang cemas akan satu pertemuan penting.
Sesampainya di lantai 22, Selena disambut oleh suara khas sang manager—Miranda Liu, wanita kharismatik berdarah Tionghoa-Amerika yang sudah menukangi karier banyak bintang besar.
"Selena, cepat masuk. Ada tawaran yang tidak bisa kau abaikan," ucap Miranda sambil menyodorkan folder hitam.
"Apa ini?" tanya Selena curiga, menatap sang manager dengan dahi mengernyit.
"Baca saja dulu judulnya."
Selena membuka folder itu. Matanya langsung terpaku pada tulisan besar di halaman pertama.
VELVET MIDNIGHT
Sutradara: Jace Leclerc
Produser: Eleanor Bryce
Pemain utama: Theodore Roosevelt & Ashana Selena
“Theodore Roosevelt?” bisiknya lirih. Raut wajahnya tak bisa bohong jika ia sedang terkejut saat ini. Serasa tak percaya.
Miranda menyilangkan tangan di depan d**a. “Ya, aktor theater yang sukses lintas film, pria yang jadi langganan Festival Cannes dan Venice. Dan... dia memilihmu sebagai lawan main!”
Selena membeku. “Iya aku tahu! Maka dari itu aku terkejut. Siapa yang tak tahu seorang Theodore Roosevelt? Tentu aku mau! Tapi... kenapa harus aku?”
“Katanya dia melihat penampilanmu di Scarlet Ashes. Dia bilang—dengan sangat datar—‘dia bisa jadi sesuatu, kalau tidak hancur di adegan pertama.”
“Kurang ajar!” desis Selena.
Miranda tertawa kecil. “Dia punya nama besar. Dan film ini, Selena... bukan film biasa. Ini proyek ambisius Eleanor Bryce. Genre-nya erotik psikologis. Bukan murahan. Bukan sekadar adegan ranjang saja.”
“Erotik?” sahut Selena, matanya menyipit.
“Iya. Tapi berkelas. Penuh simbolisme. Karaktermu sebagai Kiara, adalah seorang pemain cello yang kehilangan rasa percaya diri, dan menyewa Atlas—karakter Theodore—untuk ‘menyentuh’ sisi terdalamnya yang telah mati.”
“Dan apa kau pikir aku cocok untuk jadi Kiara?” tanya Selena pelan.
“Kalau kau tak bisa jalani ini, Hollywood hanya akan mengingatmu sebagai wajah cantik, bukan aktris besar.”
Selena menggigit bibirnya. “Kapan pembacaan naskahnya?”
“Besok pagi. Di kantor White Veil Studios, Brooklyn.”
*
*
Keesokan harinya, Selena memasuki ruang konferensi luas dengan jendela kaca yang menghadap kota New York. Ruangan itu tampak eksklusif, sunyi, dan sedikit menegangkan. Miranda berjalan di sampingnya.
“Bersikaplah biasa. Jangan terintimidasi,” bisik Miranda.
“Aku tidak takut,” balas Selena pelan. “Hanya penasaran.”
Saat mereka memasuki ruangan, semua kepala menoleh. Tapi hanya satu pasang mata yang membuat Selena tercekat—mata kelabu milik Theodore Roosevelt. Pria berusia 32 tahun itu duduk santai dengan tangan menyilang dan ekspresi dingin yang nyaris tak manusiawi.
“Selena, senang kau bisa hadir dan menerima film ini.” ujar Eleanor Bryce, sang produser, wanita elegan berambut perak yang memancarkan kekuatan tanpa berkata banyak.
“Duduklah di sebelah Theo,” tambah Jace Leclerc, sang sutradara asal Prancis yang dikenal eksentrik.
Selena mengangguk, lalu melangkah dengan tenang dan duduk di kursi kosong. Dan Theodore hanya meliriknya sekilas.
“Tidak mau berjabat tangan?” tanya Selena setengah menyindir ke arah Theodore.
“Aku tidak biasa menyentuh orang yang belum ku tahu bisa berakting atau tidak,” balasnya datar.
Selena mengangkat alis. “Sombong, sekali ya Anda ternyata?”
“Aku jujur,” jawab Theo, matanya kembali ke naskah.
“Baiklah,” ujar Jace. “Kita mulai dari halaman dua. Adegan pertama pertemuan Kiara dan Atlas.”
Suasana mendadak sunyi.
Selena menghela napas, lalu mulai membaca:
Kiara: “Ini nama asli kau?”
Atlas: “Apa itu penting?”
Kiara: “Bagiku, ya.”
Atlas: “Kau datang bukan untuk kebenaran. Kau datang untuk melupakan bahwa ia pernah ada.”
Selena tertegun. Suara Theo... dingin tapi menggugah. Kalimat itu menghujam seperti belati tipis yang menari di kulitnya.
Kiara: “Aku datang karena aku tak bisa merasakan apapun kecuali saat disentuh orang lain.”
Theo berhenti sejenak, lalu melanjutkan.
Atlas: “Kalau begitu, kita akan cocok.”
Diam. Semua terdiam. Bahkan Miranda yang biasanya suka mengganggu dengan catatan pun menahan nafas.
Jace tersenyum tipis. “Bagus. Sangat bagus!”
Saat sesi selesai, semua orang mulai berdiri. Tapi Selena masih duduk, matanya menyipit menatap Theo.
“Kau selalu bicara seperti teka-teki, ya?”
Theo akhirnya menoleh penuh. “Hanya kalau lawan bicaraku belum layak dapat jawaban.”
“Dan menurutmu aku belum layak?”
“Kau masih gemetar, Kiara.”
“Namaku Selena,” balasnya dingin.
“Mulai sekarang, tidak,” jawab Theo singkat, lalu bangkit dan pergi begitu saja.
★★★
Di luar gedung, Selena duduk di dalam mobilnya. Tangan kirinya memegang kemudi, tapi pikirannya entah di mana.
Miranda masuk dari sisi lain.
“Bagaimana menurutmu?” tanya wanita itu.
“Aku membencinya.”
“Tapi kau suka suaranya, kan?” ejek Miranda.
Selena menghela napas dalam.
“Aku ambil peran ini. Tapi bukan karena dia.”
“Lalu karena siapa?”
Selena menatap kaca spion. “Karena aku ingin dunia berhenti melihatku sebagai boneka cantik.”
Selena kemudian menegakkan punggungnya, lalu beralih memandangi gedung White Veil Studios lewat kaca jendela. Langit New York sore itu mulai berubah warna—abu-abu dengan semburat oranye keemasan. Tapi suasana hatinya jauh dari tenang.
“Aku tidak suka caranya bicara,” gumam Selena sambil menyenderkan kepala ke sandaran.
Miranda menoleh cepat. “Kalau semua aktor harus disukai, Hollywood sudah lama runtuh. Kau tak ada di sini untuk bersahabat, Sayang. Kau di sini untuk membakar layar.”
“Dia terlalu... sok tahu,” Selena mendesis. “Seolah dia satu-satunya aktor yang pernah main dalam film serius.”
“Karena mungkin itu memang benar, di ruangan tadi.”
Selena mendelik. “Miranda.”
Wanita itu tertawa kecil, lalu membuka tablet dari tas kerjanya. “Kau butuh lawan yang bisa membuatmu marah. Karena dari situ, biasanya chemistry tumbuh. Atau konflik. Keduanya bagus untuk kamera.”
“Aku tidak butuh dia untuk jadi bagus,” sela Selena.
“Lalu kenapa wajahmu memerah sejak dia bilang kau gemetar?”
Selena mendengus dan menutupi wajahnya dengan telapak tangan. “Aku tak percaya dia bilang begitu di depan semua orang.”
“Tapi lihat sisi baiknya, kau masih bisa jawab balik dengan cerdas. Tak semua aktris muda punya nyali melawan Theodore Roosevelt.”
“Jangan bilang ‘melawan’. Aku bukan mau perang.”
“Belum,” bisik Miranda, tersenyum licik.
Selena menoleh cepat. “Apa maksudmu?”
Miranda menyandarkan tubuh, lalu menjawab dengan nada tenang, “Film ini akan memaksamu berinteraksi dengannya tiap hari selama beberapa bulan ke depan. Kau tahu betul seberapa intens naskah ini. Velvet Midnight bukan hanya soal tubuh—ini tentang dominasii, kepercayaan, dan kehilangan kendali. Aku hanya bilang... akan ada tarik-menarik. Entah di layar atau di luar layar.”
Selena menatap kosong ke luar. “Aku tak mau kehilangan kendali. Itu hal terakhir yang kuinginkan.”
Miranda menatapnya dalam. “Kadang justru ketika kita kehilangan kendali, kita menemukan versi terbaik dari diri kita. Atau terburuk.”
“Dan kau berharap aku jadi yang mana?”
“Yang membuat namamu naik ke atas papan Oscar,” jawab Miranda cepat.
Selena tertawa hambar. “Itu terdengar terlalu ambisius.”
“Lalu kenapa kau terjun ke dunia ini, kalau bukan untuk jadi besar?”
Selena terdiam. Lalu pelan, ia berkata, “Dulu, aku hanya ingin didengar. Aku ingin orang tahu aku lebih dari sekadar wajah.”
Miranda memelankan suaranya. “Kau akan didengar, Selena. Tapi jalan menuju sana... akan berat. Dan jika Roosevelt menjadi alasan kau makin kuat, maka biarkan dia menekanmu.”
Selena terdiam lagi. Lalu menggumam, “Dia menyebalkan... tapi suaranya meresap ke tulang.”
Miranda mengerling. “Kau menyukainya?”
“Tidak,” potong Selena cepat. “Tapi aku mengerti kenapa banyak yang terobsesi padanya. Dia itu berbahaya.”
“Bahaya bisa jadi candu,” ucap Miranda lirih, sambil menutup tabletnya.
“Lalu siapa manajer si Theodore?” tanya Selena tiba-tiba.
Miranda menyeringai. “Namanya Joshua Makarim. Separuh Inggris, separuh Arab. Mantan aktor theater. Sekarang dia lebih sering terlihat di belakang layar, mengurus segala urusan Theo. Tapi... dia bukan tipikal manajer biasa.”
“Kenapa?”
“Dia seperti bayangan. Selalu tahu apa yang terjadi sebelum orang lain menyadarinya. Dia yang memilih naskah untuk Theo. Termasuk Velvet Midnight.”
Selena mencengkeram ujung jaketnya. “Berarti... dia juga yang memilihku?”
“Bisa jadi. Tapi bukan dia yang punya suara terakhir. Itu Theodore sendiri.”
“Jadi dia... benar-benar melihatku?”
Miranda mengangguk. “Pertanyaannya, kau ingin dia terus melihatmu, atau kau ingin memalingkan wajahnya?”
Selena diam, lalu perlahan tersenyum tipis. “Aku ingin dia tahu, aku bukan sekadar gadis muda yang bisa dia remehkan.”
“Bagus.” Miranda mengangkat alis. “Karena mulai minggu depan, kau akan masuk pelatihan karakter dengan dia. Intensif. Satu lawan satu.”
Selena menoleh cepat. “Apa?! Kau belum mengatakan soal itu!”
“Aku baru saja mengatakannya.”
Selena mendesah, lalu menatap langit yang mulai gelap.
“Baiklah, Miranda. Aku siap.”
Miranda mengangkat bahu. “Kalau kau siap... maka pertarungan akan segera dimulai!”