Matahari bersinar cerah pagi ini, burung-burung berkicau lembut. Namun sayangnya, sinar dan kicauan burung itu mengusik seorang yang tadinya tidur dengan nyamannya di dalam dekapan lelaki tampan yang beberapa jam lalu sah menjadi suaminya.
Mora mengerjapkan matanya karena silau matahari. Aroma sabun yang harum dan menenangkan masuk ke dalam indra penciumnnya, Mora mendongakkan kepalanya menatap Arka yang masih memejamkan mata.
Mora mencoba menyingkirkan tangan Arka yang melingkar di pinggangnya sejak semalam. Tapi usahanya sia-sia karena Arka makin mengeratkan pelukannya. Jadi mau tak mau Mora masuk lagi dalam dekapan Arka.
"Mau kemana,Ra?" tanya Arka serak khas bangun tidur. Mora mendongakkan kepalanya menatap Arka yang masih memejamkan matanya tapi dia tahu Arka sudah terjaga dari tidurnya.
"Bangun, Ka. Udah pagi banget ini,gue mau mandi."
Mora mencoba lagi melepaskan tangan Arka tapi tetap sama hasilnya. Dia tak bisa melepaskan diri dari dekapan Arka.
"Bentar Ra, gue nyaman kayak gini." Arka menunduk dan menenggelamkan kepalanya di lekukan leher Mora.
Mora menahan kuat-kuat dirinya agar tak bergerak, karena rambut tajam Arka yang menusuk-nusuk lehernya. "Ka, jangan gitu, geli tau."
Bukannya menjauh Arka makin menenggelamkan kepalanya di lekukan leher Mora. "Ka, geli sumpah. Gue ngak tahan." Mora mulai memberontak, mencoba lepas dari Arka.
Arka dengan sengaja menghembuskan napas hangatnya di leher Mora. "ARKA!" teriak Mora karena terkejut.
Reflek Mora menjambak rambut Arka. Bukannya menggerang sakit Arka malah menampilkan senyuman menggodanya pada Mora. "Kenapa, Sayang? Mau lagi?" tanya Arka menggoda.
Rona pipi Mora seketika berubah merah padam membuat Arka tak bisa menahan lekungan senyum tipis di wajahnya.
"Gemes banget gue sama lo." Arka mencubit kedua pipi Mora.
Membuat gadis itu mengaduh kesakitan. "Nyebelin lo! Sakit tau!" Maki Mora begitu Arka melepaskan cubitannya dan kembali medekap Mora. Karena kesal Mora menghempaskan Tangan Arka dengan kuat dan kasar kemudian berjalan menuju kamar mandi untuk membersihkan dan menyegarkan tubuhnya.
===0o0o0===
Mora turun ke ruang makan, di sana sudah ada Nia, Revan, Lusi, Kenan, Aria dan Arga—kembaran identik Arka. "Pagi semuanya," sapa Mora.
"Pagi, Sayang." kompak para orang tua.
"Pagi, kakak ipar" kompak dua adik kembar Arka.
"Arka mana, Ra?" tanya Nia pada putrinya yang sudah duduk di kursinya yang biasa.
"Mandi, Ma." jawab Mora seadanya.
Mora menatap dua iparnya yang nampak santai. "Lo berdua nggak pada sekolah?" tanya Mora pada Arga dan Aria.
"Nggak, nanggung kalo masuk sekarang. Besok juga libur. Sekalian aja masuk lusa," jawab Aria santai yang diangguki oleh Arga.
Mora mengangguk mengerti. "Eh iya Ga, lo satu sekolah sama gue, kan? Kok gue nggak pernah liat lo sih?" tanya Mora penasaran, dia ingin tahu sejak dulu kenapa dia tak pernah melihat Arga di sekolah. Kalau dilihat dari wajah Arga yang lumayan tampan itu, tak mungkin Arga tak famous di sekolahnya. Pastinya Arga sudah menjadi salah satu dari barisan para most wanted boy di sekolahnya.
Mora mengambil selembar roti tawar dan mengolesinya dengan selai coklat kesukaannya. Aria cekikikan sendiri mendengarkn pertanyaan Mora. "Mana lo bisa liat Ar-"
"Pagi, semuanya."
Ucapan Aria terpotong karena kedatangan Arka. Arka segera duduk di sebelah Mora. Dengan sigap Mora mengambil selembar roti tawar untuk Arka, mencontoh apa yang biasa dilakukan Mamanya saat sarapan, menyiapkan sarapan untuk Papanya. "Mau selai apa?" Tanya Mora pada Arka yan sudah berada di sebelahnya.
"Coklat aja, jangan banyak-banyak. Nggak suka manis." Mora mengangguk mengerti. Dia mengambilkan selai sesuai pesanan Arka.
"Oh iya Ar, tadi lo mau ngomong apa?" tanya Mora sambil mengolesi roti dengan selai.
Arka menatap adik perempuannya penasaran."Oh itu, lo nggak bakal liat Arga di sekolah, kan kalau sekolah namanya bukan Arga tapi Satria," ucap Aria santai.
Arga hanya diam, membiarkan Aria yang menjelaskan.
"Satria? Kayak pernah denger deh. Kelas apa sih lo?" Tanya Mora pada Arga.
Mora ragu dengan apa yang sedang berputar di kepalanya saat mendengar nama Satria karena setahu Mora siswa di sekolahnya yang bernama Satria tidak banyak dan tidak menonjol dengan wajah tampan mereka. "IPS 1," jawab Arga santai.
"HA!!" kaget Mora saat mendengar jawaban Arga.
"Mora, suaranya!" Tegur Revan.
"Maaf. Mora kaget sampai nggak sadar kalau teriak," ucap Mora sambil terkekeh kecil.
"Ini rotinya, Ka." Mora memberikan roti buatannya pada Arka yang disambut dengan hangat oleh Arka dan ucapan terima kasih untuk istrinya.
"Sumpah, lo Satria? Satria yang tompelan, kacamata owl, dan bulukan itu?" tanya Mora tak percaya, tapi melihat Arga mengangguk dan memamerkan senyuman tipisnya membuat Mora yakin.
"Masa segitunya, Sayang?" Tanya Nia pada Arga.
"Iya, Mama, emang Arga gitu kalau sekolah. Dia itu aneh-aneh aja. Udah alhamdulillah punya wajah ganteng, malah sekolah kayak gembel gitu wajahnya," serobot Arka sambil menggejek saudara kembarnya.
“Malu-maluin wajah gue aja Lo, Ga.” Arka memberikan seringaian tipis pada Arga yang jelas membuat Arga melotot tak terima.
"Emangnya gak kena bully di sekolah?" tanya Revan pada Arga.
"Aduh, Pa. Dia itu bukan korban bully lagi, Tapi babu," Serobot Mora.
Arga menatap tajam ke arah Mora. "Kamu serius, Mora?" tanya Lusi. Mora dengan santainya menganggukkan kepalanya.
‘Dasar! Suami sama istri sama-sama tukang serobot sama ember mulutnya,’ batin Arga kesal.
Lusi menatap Arga dengan tajam. "Kamu pindah ke sekolah Papa Revan! Nggak ada penolakan atau bantahan dan nggak ada nyamar-nyamaran lagi!" Perintah Lusi mutlak.
"Bunda,kok gitu sih," protes Arga.
Lusi tak bergeming, dia tetap dengan keutusannya. Kenan juga tak berniat membantu Arga karena dia memiliki pemikiran yang sama dengan istrinya, jika Arga di sana menjadi bahan bully lebih baik sekolah di tempat Revan. Arga dengan berat hati mengiyakan perintah mutlak Bundanya.
Tiba-tiba sebuah ide cemerlang melintas di kepala Arga untuk membalas Mora, Arga menatap Mora tajam sambil menyeringai. "Bunda, aku mau pindah, besok dipindahin juga nggak apa apa, aku terima kok. Tapi ada syaratnya, Bunda," nego Arga sok misterius.
"Apa syaratnya?"
"Mora juga harus pindah." Mora tersedak mendengar namanya disebut.
"Kok bawa-bawa gue juga sih? Nggak ada! Ngapain gue pindah coba?" Protes Mora.
"Gue kan nggak tega ya liat kakak ipar gue dibully mulu tiap hari sama gengnya cabe kriting gocengan," kata Arga sambil menampilkan wajah iba dan prihatinnya.
Revan dan Nia tersedak, "Bully? Kamu jadi korban bully Mora?" Tanya Revan pada Mora, karena anak gadisnya itu tak pernah mengatakan kalau dia di-bully di sekolahnya.
"E-enggak, Pa, Mora nggak pernah kena bully kok. Arga ngaco, Pa!" Kata Mora mencoba meyakinkan Papanya.
"Nggak Pa, dia beneran di bully habis-habisan sama gengnya cabe-cabean. Tiap hari itu, Pa ya, kalo nggak dilempari tepung ya telur, udah gitu telurnya busuk. Pernah juga itu-"
"Stop Ga! Lo nggak tahu gue di sekolah! Jangan asal ngomong nanti yang ada malah jadi fitnah, dosa lo fitnah orang, ingat fitnah itu leih kejam daripada pembunuhan," ucap Mora kesal pada adik iparnya yang ternyata cerewet sampai dia tak sadar sudah meneriaki Arga.
"Kata siapa gue nggak tahu lo,Lo itu Amoura Revania P anak IPS 2, kan? Yang biasanya ke sekolah kepangan dua, kacamata besar, rok semata kaki, lengan panjang. Terus apa lagi ya." Arga nampak berpikir mengingat ingat seorang gadis culun yang menjadi langganan bully di sekolahnya.
Sementara Mora ketar-ketir takut di tempat duduknya mendengar ucapan Arga yang menyadari siapa dirinya jika di sekolah. Mora merutuk dalam hati karena tadi sempat membocorkan kalau Arga itu pesuruh di sekolah.
"Besok lo pindah ke sekolah gue. Nggak ada penolakan atau bantahan dan nggak ada nyamar-nyamaran!" ucap Arka tajam dan dingin pada Mora persis seperti Lusi tapi sedikit lebih menakutkan menurut Mora membuat dia tak berani menatap Arka, jadilah dia menundukkan kepalanya dalam-dalam sambil duduk diam di kursinya.
"Aku duluan Pa, ma, Bunda, Ayah," pamit Arka meninggalkan meja makan dan menaiki tangga menuju kamar. Mora memandangi kepergian Arka. Jujur dia bingung dan takut melihat sikap Arka barusan.
"Udah marah aja tuh si Abang," kata Aria melihat sikap dingin Arka yang menguar.
"Ini gara-gara lo! Kenapa coba lo ember!" kesal Mora pada Arga.
"Lah, kok jadi gue sih. Yang mulai duluan kan lo. Kalo lo nggak ember gue nggak bakalan pindah, dan nggak bakal gue buka mulut," balas Arga tak terima disalahkan oleh Mora.
"Ish, bete gue sama lo!"
Mora meninggalkan meja makan menyusul Arka setelah pamit pada keempat orang tuanya. Mereka yang ada di ruangan itu hanya menggelengkan kepalanya melihat Mora dan Arga berdebat.