7. bekas operasi

1473 Kata
| Martinah melihat gelagat aneh putri sulungnya yang terlihat kelelahan. Pernah suatu hari tak sengaja Martinah mendengar rintihan Mer. Tubuhnya agak demam waktu itu hingga dia pikir gadisnya tengah mengigau. Perempuan itu pernah mengungkapkan keberatannya kalau putrinya itu jangan bergaul dengan Hana. Wajar, kekhawatiran seorang ibu melihat anaknya bergaul dengan perempuan seperti Hana.  Namun, Mer menjawab kekhawatiran ibunya itu.  "Bu, lalu apa bedanya dengan Bapak? Aku juga takut Dika, Desta ikut-ikutan jadi pemabuk dan penjudi. Apalagi terikat darah, buah jatuh tak akan jauh dari pohonnya..." lontar Mer saat itu dan membuat Martinah bungkam.  Martinah semakin resah, dengan desah napas tertahan putrinya. Ia tak dapat memicingkan mata sekejap pun. Semakin malam semakin terdengar lenguhan rasa sakit itu. Perempuan itu memberanikan diri berbalik menghadap sang putri. Ternyata benar, Mer tengah tertidur sambil meringkuk dan memegangi perutnya. Napasnya tak teratur seperti sedang menahan sakit. Martinah tak tahu apakah anaknya itu sedang bermimpi atau memang kesakitan.  "Mer..." panggilnya lembut. Tak ada respon. Lalu tangan Martinah  terulur menyingkap atasan  piyama Mer. Dahinya berkerut, di bagian perut ada luka keloid. Luka apa itu? - Martinah mengernyit dalam, melihat luka sebesar itu belum pernah ia melihatnya sama sekali. Hingga fajar menyingsing, ayam Pak De' berkokok dan kumandang azan Subuh berakhir,  Martinah belum mengistirahatkan tubuhnya. Dia sibuk dengan pemikirannya tentang luka itu.  Karena mendengar ibunya bangun dan beranjak dari tempat tidur mereka, Mer ikut membuka mata. Ia memang merasa sangat lelah. Setelah mengurus ini dan itu di rumah sakit, menunggui Hana, belum soal kekonyolannya membanting Jayusman dan ketegangannya dengan Markus, semua seolah menyerap tenaganya bersamaan hingga terkuras habis. Dan kini ia sangat lelah! Mer bangun, mengalungkan handuk di leher, pagi ini ia berencana menjemput Hana pulang. Kasian Noni dimintai tolong terus, sedang dia juga harus berjualan.  "Mau pake air hangat, Mer?" tawar Martinah. Mer menggeleng dengan mata yang masih merem-melek, lalu menguap, meregangkan badannya hingga berbunyi, kretek! "Biar seger Bu. Aku tuh jangan dimanjain," sahutnya sambil lalu masuk ke dalam kamar mandi. Sebentar lagi dia pasti rebutan dengan tiga adiknya. Biasanya Dika mengalah dari adik-adiknya kalau soal mandi. Toh dia bisa naik sepeda, sedang kedua adiknya berjalan kaki menuju  sekolah. Kalau dia mandi air hangat, yang ada dia kesiangan. Byur! Byur! Mer sepertinya harus meringkas waktu mandinya. Lagi pula ia tak pernah melakukan ritual paginya itu dengan berlama-lama di di kamar mandi. Mandi apa semedi? Baginya, time is change. Kalau dia lelet, dia akan kehilangan banyak kesempatan. Kesempatan apa saja. Itulah yang ada di pikirannya semenjak kejadian sepuluh tahun lalu. Andai ia mengambil kesempatan untuk belajar  bela diri waktu itu, ia tak akan pernah mengalami hal buruk tersebut. Meskipun Hana bilang bahwa itu semua adalah takdir dan nasib yang harus ia terima, tetapi Mer tetap berkelit kalau nasib masih bisa diubah.  Mer tak ingin hidup sebagai pecundang. Sebab itu Mer menganggap kalau waktu itu kesempatan.  Martinah masih memperhatikannya dari kejauhan. Meskipun mata tuanya   sudah rabun, bukan berarti ia tak bisa menangkap siluet luka pada tubuh putrinya. Ketika Mer memakai dalamannya, Martinah mencekal tangan gadisnya itu yang tengah menggenggam sepotong kaos. "Apa ini, Nduk?" Martinah menyentuh koloid memanjang itu.  "I-itu... Aku terluka Bu,"  jawabnya ambigu. "Luka apa ini? Semalaman kamu tidur gelisah, luka ini seperti sudah lama. Tapi luka apa? Lalu kenapa kamu masih keliatan kesakitan?" berondong Martinah dengan tatapan  intimidasi.  "Bu--" "Jujur sama Ibu!" bentaknya. Mer lalu melepas cekalan Martinah dan memakai kaosnya. Rambutnya yang masih di ikat kemudian digerai, Martinah bergerak cepat merebut sisirnya.  "Duduk," titahnya. Mer patuh, duduk membelakangi Martinah dan ibunya itu menyisir rambut lurus putrinya.  "Kapan kamu potong rambut?" tanya Martinah. "Ada dua minggu," jawab Mer dengan masih mereka-reka kiranya apa yang mesti ia katakan tentang luka itu.  "Kapan kamu dapet luka itu?" "Setahun lalu," lirih Mer hampir tak terdengar.  "Luka apa?" Martinah masih menyisir rambut Mer.  Sekarang Mer bingung mesti menjawab apa. Apa ibunya itu akan menerima alasannya? "Luka operasi..." Mer menunduk, begitu sisiran di rambutnya terhenti. "Operasi? Operasi apa?" hentak Martinah hingga Mer berbalik karena suara kencangnya. "Sstt," Mer melekatkan telunjuk di bibirnya,"ibu, aku nggak mau adek-adek tahu. Aku, aku menjual sebelah ginjalku." Martinah terhenyak, seolah dihempas jatuh ke bumi. "Apa?! Gi-ginjal?" Mer mengembuskan napasnya, terasa berat untuk jujur saat ini. Padahal dirinya sudah berusaha agar tak satupun yang tahu tentang hal itu. Bahwa dia telah menjual sebelah ginjalnya demi membayar utang yang disebabkan Suroso. Suroso kalah judi dan ia menimpakan seluruh pembayaran utangnya pada Mer. Dari mana ia mendapatkan uang 50 juta? Maka pantas rasanya bila ia menghentikan segala bantuannya pada lelaki yang seharusnya ia panggil Bapak! "Berani-beraninya kamu, Mer...." desis Martinah antara sedih dan marah. "Lalu, aku harus melakukan apa, Bu? Menjajakan diri, kayak Hana? Atau menjual kegadisanku pada bangkot tua yang kerjanya kawin cerai?" erang Mer seraya menggelengkan kepalanya. "Aku bukan pemeran dalam novel roman dimana aku harus menjual kegadisanku demi rupiah. Atau ibu ingin aku kayak pemeran novel itu?" imbuhnya. "Siapa yang berani membelinya? Atau kamu dipaksa, iya?" "Ibu, udahlah. Toh ginjalku udah tinggal sebelah, nggak mungkin balik lagi. Uangnya udah habis untuk melunasi sewa rusun setahun ke depan, untuk sehari-hari. Banyaknya untuk bayar utang suami Ibu! Jadi nggak ada yang maksa aku," papar Mer terpaksa. "Apa, utang Bapakmu?" wajah tua perempuan itu semakin layu. "Aku nggak mau disebut pengadu, tapi alasan apa lagi yang harus kubilang, kalo emang kenyataannya bapak punya utang banyak. Ibu pikir aku berontak, marah sama bapak, karena apa?" "Kenapa? Kenapa Nduk, seharusnya biarin aja bapakmu," sesal Martinah.  Mer mendesah,"Biarin gimana? Kalo dibiarin apa utangnya akan lunas? Kalo dibiarin apa bapak akan sadar? Kalo dibiarin aku dan adik-adik yang jadi korban, Bu. Aku mungkin akan jadi p*****r atau wanita simpanan pejabat kayak impian Ibu, dan adik-adik akan mengamen di jalanan lalu kena razia, atau mereka mendapat pelecehan seksual kayak tetangga kita dulu! Ibu pilih mana?" Tercekat napas Martinah kala mendengar itu semua. Benarkah dunia sekejam itu? Kemana saja dirinya selama ini? Apa saja yang dikerjakannya selama ini sebagai seorang ibu? Dia hanya buruh cuci dan hanya memikirkan kerja, uang, kerja, dan uang.  Napas Mer tersengal kala mengumbar emosinya sejauh dan seterus-terang itu.  Pagi yang diharapkannya cerah-ceria ternyata harus semendung ini. Terlebih tercabik rasanya saat ia melongok ke pintu, di sana tiga adiknya menatapnya nanar dan penuh rasa iba.  "Mbak..." Dika yang pertama memeluknya. Lalu menyusul kedua adiknya. Meskipun Mer yakin Desta dan Diva belum paham apa yang didengarnya. Namun melihat ketiganya memeluknya seperti ini, Mer makin trenyuh lalu membalas pelukan mereka.  "Mbak Mer sakit?" tanya Diva. "Mbak nggak apa-apa kok," geleng Mer. "Sekarang Mbak harus makan, ayo. Mbak harus sehat, mbak harus kuat. Ayo," Dika menarik tangannya keluar dari kamar. Dika melayani kakaknya itu, mengambilkan lauk dan menyediakan segelas teh manis hangat.  "Kalian jangan manja-manja lagi sama Mbak Mer, oke? Lakukan apa yang bisa kalian lakukan," ujar Dika.  "Baik Mas," sahut keduanya kompak. "Kalian juga  yang banyak makannya, nanti Mbak cari uang yang lebih banyak lagi. Kalian harus rajin belajarnya, biar bisa sekolah tinggi. Jangan kayak Mbak," pesan Mer. "Siap Bos!" "Bos? Ya ampun!  Aku harus cepet pergi," Mer mengambil kotak makannya lalu memasukkan sisa makan yang tak habis tadi ke dalamnya.  "Bu aku pergi dulu," pamitnya. "Mbak, minum dulu teh hangatnya." Desta menunjuk gelas berisi teh manis hangat itu. "Ah, iya." Gluk. Gluk. Gluk. "Terima kasih," Mer mengusap kepala Desta. Setelah Mer memakai sepatunya, Diva menghampiri dan memakaikan topi di kepalanya. "Mbak Mer selalu cantik," puji Diva. "Kamu juga cantik," balasnya sambil tersenyum.  Semoga pagi ini tak berubah mendung lagi. Walaupun tadi ia sempat khawatir adik-adiknya berpikir yang tidak-tidak, ternyata semua di luar dugaannya. "Desta, jaga adiknya." "Oke," Desta mengacungkan dua jempolnya. "Mbak pulang dua hari lagi, oke?" Ketiganya serempak mengangguk. Lekas setelah mengucap salam, Mer berlalu. Dia harus bergegas ke rumah sakit, kalau tidak bisa saja nanti ia bertemu Markus dan ia tak mau hal itu terjadi.  "Lama banget sih, aku udah lumutan nunggu di sini. Tanpa secangkir kopi dan sarapan," keluh seseorang tiba-tiba. "Jay? Ngapain lo di sini?" "Kamu mau jemput Hana kan?" Jayusman malah balik bertanya. "Ya ampun! Lo masih mikirin yang kemarenan?" decak Mer. Jayusman menggendikkan bahunya, dia memakai helmnya lalu mengulurkan helm satunya lagi pada Mer. Mau tak mau Mer terpaksa ikut, yaa... walau dia pun bersyukur tak harus mengeluarkan ongkos transport. Hanya saja Mer tak ingin terlalu banyak berhutang budi pada lelaki itu. Dia takut setelah ini ia justru mendapat luka lain di hatinya. Sudah terlalu banyak luka, rasanya cukup. "Pegangan yang betul, Mer. Peluk aku,  udara pagi ini dingin..." Jayusman melingkarkan dua tangan Mer di perutnya.  Senyum puas tergambar di bibirnya kala tak mendapat penolakan seperti biasanya.  Sedang Mer masih menerka kenapa lelaki itu menjemputnya dan kenapa dia mendadak ber-aku-kamu? "Burung-burung pun memberikan salam, dalam kesejukan dan indahnya pagi...."  Mer menahan tawa begitu terdengar Jayusman bersenandung. "...Seandainya suasana pagi ini Kan sepanjang hari... Betapa bahagia...."  Tanpa terasa siang kan menjelang Hari pun berganti... Aku pun berlalu Burung-burung pun memberikan salam... Selamat pagi... Betapa bahagia.... Lanjut Mer dalam hati. |
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN