|
Berulang kali Mer mengembuskan napasnya, lelah. Lelah hati maksudnya. Bagaimana tidak, gadis itu dikerjai habis-habisan Markus. Sesuai perjanjian tempo hari, untuk mengganti kerugian sang mucikari, Hana harus menyuruh atau menumbalkan salah satu temannya menjadi 'gadis' Markus.
Mer sudah di jemput si Kribo di kosan Hana. Mau tak mau Mer harus mau. Mer tak mau berurusan dengan lelaki bar-bar, kejam dan tak punya hati itu. Si Kribo bukan lawannya. Istilah kata, Si Kribo itu berurat kawat, berotot baja, laksana makhluk titisan dari kawah candradimuka atau sejenis dengan 'hellboy'. Benar-benar bukan lawannya. Kalau Mer nekad melawan, mungkin dia tinggal nama atau bisa juga jadi mayat hidup, mati enggan, hidup pun tak mau. Mer bergidik dan senantiasa berdoa semoga ia tak sampai harus berurusan dengannya.
Mer tahu saat ini lelaki itu menatapnya bagaikan pemindai bernyawa. Setiap gerak-geriknya diperhatikan sedetail mungkin.
"Dari mana orang bisa nilai lo kayak laki-laki? Apa karena itu lo?" Si Kribo menunjuk dadanya.
Sialan!
Mer menyilangkan kedua tangannya.
Kalau orang lain, telunjuk itu sudah Mer patahkan tanpa aba-aba. Nah ini, Si Kribo, kalau dia menyalak, maka habislah dia menjadi abon! Ah, tidak. Mer tak mau jadi abon manusia. Dia memilih hidup daripada menyerah mati. Mati di tangan Si Kribo pasti menyakitkan.
"Turun!"
Mer bergeming, secepat ini sudah sampai di salon dan butik langganan Markus.
"Turun! Dipaksa mau?!"
"Eh, iya... Kaget aja Bang, udah nyampe lagi. Perasaan baru tadi naik mobil," komentar Mer.
Si Kribo mendengkus, dia memang tak pernah mau membalas komentaran orang-orang. Apa yang di titahkan Markus padanya, akan dia lakukan. Karena itu pekerjaannya dan titah Bosnya itu adalah sabda. Mer heran, kenapa orang sekuat baja seperti Si Kribo patuh sekali pada lelaki macam Markus? Padahal kalau mau, Si Kribo bisa mengalahkan Markus. Mer melirik laki-laki hitam, kribo dan bergelang bahar itu. Menilik ada luka codet sepanjang 7 centi menyilang dari alis kiri sampai sisi pangkal hidung kanannya. Sebelah manik matanya berwarna kelabu, sebelahnya lagi sehitam biji klengkeng. Begitulah tampilan Si Kribo yang mengerikan. Sedang perawakannya biasa saja, cuma terdiri dari buntalan otot-otot. Mer sangat tak menyukai bentuk tubuh dengan banyak bantalan otot-otot seperti itu.
"Masuk!" Si Kribo membukakan pintu salon.
Si pelayan entah si empu salon menyambut mereka. Ternyata Markus sudah memberi kabar sebelumnya akan kedatangannya. Pantas saja.
"Pilih dulu gaunnya yuk," seorang mirip Steven, pacar Alford, mengajak Mer masuk ke sebuah ruangan lain. Di sana berderet lemari yang bergantungan gaun-gaun mahal dan mewah serta elegan. Yang hanya bisa Mer lihat di perhelatan selebritis papan atas negeri ini.
"Mau yang dalam atau luar negeri?" tanya orang itu. Mer sampai bingung harus memanggil apa, Mbak atau Mas?
"Dalam negeri aja," sahutnya berusaha kalem.
"Oke, akika pilihin aja ye? Gimana kalo ini? Cucok, kulit yey eksotis kan, nih.." dia melekatkan gaun itu di tubuh Mer.
"Tapi warnanya hitam, aku bakal kayak invisible gitu dong..." celetuk Mer.
"Ngelawak ya? Ck, cucok nih. Atau coklat, tapi ... kesannya kucel. Udeh, item bagus, elegan. Orang n***o aja cantik pake item. Item tuh kemana-mana cucok, yey harus tahu yaa... Ilmu nih," cerocosnya, jemarinya yang lentik mengelus gaun hitam itu.
Mer mencibir lalu menggigit pipi dalamnya. Kalau dia cari masalah saat ini, apa akan berkepanjangan?
"Ya udah, gimana mbak-mas aja deh. Aku ngikut. Ngapain suruh milih kalo gitu," cebiknya.
Orang itu mengerling,"Hih, gilingan deh! Gampang ye buat akika ngaduin yey ke Bang Markus,"
"Iyeee.... Gimana ente ajalah, cepetan. Bos lo pengen gue keliatan cantik kan? Awas aja kayak ondel-ondel!" gertak Mer.
Lagi-lagi orang itu mengerling, kesal mungkin karena Mer banyak maunya. Lagi pula bukan banyak mau, Mer hanya tak nyaman. Gaun, higheels, make-up. Lipstik juga kadang-kadang, kalau dia bekerja sambil menyamar karena tugas dari Jayusman.
"Udah mandi kan?"
"Iye, udah."
"Berarti pake gaunnya dulu, baru make-up."
"Iye, terserah."
Sebenarnya Mer malas harus menyahuti Mbak-Mas itu. Tapi apa boleh buat, setelah ini dia tak mau berurusan lagi dengan Markus!
Mer tak terlalu memperhatikan sejak dia di make over tadi, mulai dari gaun yang ia pakai sampai make-up. Namun sekarang ia tertegun di depan cermin, seolah bayangan di sana bukanlah dirinya.
Sumpeh lo itu gue?
"Nah, pangling kan yey?" kerling orang itu sambil senyum-senyum.
Mer bungkam. Benar-benar bungkam. Kalau dirinya seperti ini, bukan tak mungkin Markus mewujudkan keinginannya menjadikan Mer salah satu jajaran 'gadis'-nya Markus. Tidak!
Mer meremat sisi gaunnya. Ini tak boleh terjadi, ia harus memutar otak, bagaimana caranya menghindar dari semua ini? Ia tak mungkin kabur begitu saja sedang di sana Si Kribo tetap mengawasi. Kalau dia sampai dengan selamat ke tujuan, artinya berakhir pula hidupnya. Mer memejamkan mata, merapalkan doa dalam hati. Semoga ia mendapat pertolongan, apa pun bentuknya.
Menyambar tas selempangnya, belum apa-apa, orang mendandaninya merebut tasnya.
"Ganti, pake clutch ini."
"Iye, ntaran aja di sana. Ini isinya hidup gue, gila aja gue sampe nuker idup sama tas yang nggak muat apa-apa!" sembur Mer tak tahan lagi.
Bibirnya sudah ingin mencerca sejak tadi. Orang tadi langsung kicep.
"Pokoknya kerjaan lo udah oke, good job! Tahu kok gue, lo cuma dibayar Bos Markus. Apa lo tahu abis ini gue mau di kirim ke mana?" desah Mer.
Si Mbak-Mas itu menggeleng, menatap iba padanya.
"Gue bakal dikirim ke neraka!" geram Mer. Lalu dengan langkah lebar ia menghampiri Si Kribo yang sudah menunggu.
"Jangan banyak bacot sama orang asing! Bos nggak suka," tegas Si Kribo galak.
"Hm,"
Mer meringis. Mengingat tenggat waktu untuk melarikan diri sudah hampir habis. Apalagi dengan dirinya yang memakai gaun hitam pendek di atas paha dan tanpa lengan. Dirinya merasa telanjang. Markus benar-benar b******k!
Gadis itu duduk dengan gelisah, Si Kribo sudah pasti meliriknya terus, mungkin untuk mengantisipasi reaksi Mer. Entah apa yang akan dihadapinya nanti di sana. Apakah ini akhir dari perjuangannya? Bagaimana dia bisa menolong Hana, sedang menolong dirinya sendiri pun saat ini tak mampu! Bodoh!
Mer semakin resah, sering mendesah, perasaannya tak menentu. Keringat dingin mulai menjalari tubuhnya. Dia benar-benar merasa muak dan mual sekarang. Dia butuh pertolongan. Dia butuh udara.
"Bang, bisa berenti? Gue nggak kuat nih," cicit Mer.
"Kenapa lo?"
"Beneran, gue mual. Buruan menepi!"
Untung Si Kribo tak protes apa-apa. Dia segera menghentikan mobilnya, Mer cepat turun dan memuntahkan apa yang ingin dimuntahkan. Perutnya bergejolak, air matanya sampai keluar. Yang dia butuhkan saat ini adalah minum tapi Si Kribo sungguh tak peka.
"G-gue butuh minum," kata Mer.
Si Kribo menatap wajah pucat Mer, lalu,"Nggak ada."
Tanpa basa-basi lagi, Mer menyebrang yang lalu diikuti Si Kribo. Selain dirinya pusing dan mual, Mer memang berniat untuk kabur dari Si Kribo.
Mer masuk ke dalam mini market yang langsung mendapat perhatian dari pengunjung. Beberapa lelaki tak melepas tatapannya dari Mer. Ada yang terang-terangan menunjukkan ketertarikannya dengan langsung menghampirinya. Namun, belum apa-apa Si Kribo sudah menjegalnya.
Mer menyambar dua botol air mineral dan sebungkus permen loli. Membawanya ke kasir dan membayarnya. Mer melirik Si Kribo dari balik bahunya. Lelaki hitam itu sedang tatap-tatapan dengan lelaki yang tadi akan menghampirinya. Memasukkan sebotol air mineral dan permen ke dalam tas selempangnya dengan cepat. Kemudian Mer berlari keluar dari mini market. Untung ada ojol yang tengah nongkrong di depan mini market.
"Bang, demi Tuhan! Tolong cepet bawa saya pergi, saya mau dijual nih! Cepet!" Mer langsung naik dan memaksa si Bang Ojol menstater motornya.
"Serius Neng?"
"Cepet gue bilang! Ntar nyawa kita melayang!" serunya.
Maka si Bang Ojol pun cepat membawa Mer menjauh. Sempat ia melihat Si Kribo berusaha berlari menyusulnya.
"Ke jalan yang rame Bang, yang macet, biar dia nggak bisa nyusul!" heboh Mer.
Mer lalu mengeluarkan ponselnya dan menghubungi Jayusman.
"Lo di mana?"
"Di rumah, Mer--"
"Oke,"
Pip!
Mer memutus sambungan. Lalu menyebutkan alamat Jayusman pada si Bang Ojol. Meski begitu, Mer belum tenang. Ia tak tahu apakah ini jalan terbaik atau bukan. Yang penting saat ini ia harus menjauh dulu dari Markus. Berbagai pikiran buruk menghantuinya.
Gimana kalo Markus berbuat nekad sama Ibu dan adik-adik?
Gimana kalo Hana di--
"Udah sampe, Neng."
"Oh," Mer turun,"bang, makasih banget. Ini ongkosnya,"
"Iya Neng, hati-hati ya..."
Setelahnya Mer masuk ke jalan komplek perumahan. Setahunya di jam-jam segini, di depan rumah Jayusman itu ada warung yang selalu ramai anak-anak nongkrong. Namun, pas Mer melongok ke sana, warung itu tutup dan tak ada yang nongkrong. Mer merasa lega. Berjalan dengan cepat membuka pagar, benar saja motornya terparkir di teras, yang menandakan Jayusman ada di rumah.
Diketuk pintu rumah lelaki itu. Entahlah ia juga tak tahu kenapa dia memilih rumah Jayusman sebagai pelariannya.
Pintu terbuka, raut kaget tergambar di wajah lelaki gondrong itu yang kini tengah mengenakan sarung. Sepertinya baru habis menunaikan kewajibannya.
"Mer?"
"Boleh masuk?"
"Ya, silakan masuk." Jayusman membuka pintu lebih lebar. Mer langsung duduk lemas.
Jayusman menilik penampilan Mer malam ini. Namun seketika matanya melotot dan menyambar tubuh Mer ke dalam dekapannya.
"Kamu... Kamu diapain sama Markus?"
|
bersambung...