“Ya ampun, Ay! Kamu kenapa bisa sampai masuk UGD sih?”
Mama angkat Athaya, Angela, menghampirinya dengan wajah khawatir. Wanita itu langsung memperhatikan keadaan Athaya dari kepala sampai kaki, lalu terhenti di lututnya yang diperban. “Pasti sakit, ya? Kenapa tadi kamu gak nurut aja sih diantar Hasna, Ay?”
Athaya hanya tersenyum. Mendapatkan perhatian sedemikian besarnya saja sudah mampu membuatnya melupakan rasa sakit. [Aku gak apa-apa.]
“Siapa yang nabrak kamu, hah? Kurang ajar. Kamu Mama jaga malah seenaknya disakiti begini. Siapa dia? Mana orang itu?”
Inginnya Athaya menjawab lebih banyak, tapi tubuhnya masih lemas. Dia tak sanggup mengangkat tangannya lebih lama atau menuliskan sesuatu di kertas. Dia ingin minta maaf karena tidak bisa menemani Angela berbelanja.
Akan tetapi, Athaya mengambil note book yang selalu dibawanya. Lalu menuliskan: Maaf, ma. Ay gak bisa nemenin mama belanja.
“Astaga, Ay, kamu lagi sakit begini malah mikirin Mama,” omel Angela. Dia tidak mau Athaya lebih mementingkan orang lain dibanding dirinya sendiri. Putri angkatnya itu terlalu baik dan mudah dimanfaatkan orang lain mengkhawatirkannya.
[Maaf.]
“Jangan begitu, Ay. kamu harus utamakan diri kamu sendiri.” Angela menghela napas, lalu mengusap kepala Athaya lembut. “Kamu itu anak yang berharga buat Mama terlepas bahwa kamu bukan anak kandung Mama. Kamu sama pentingnya seperti Hasna. Lain kali jangan sungkan terima bantuan kami atau merasa kamu bukan bagian dari keluarga ini, kamu anak Mama, Ay.”
Air mata perlahan berkumpul di kelopak mata Athaya membuatnya menunduk untuk menyeka. Dia mengangguk sambil tersenyum lebar.
“Kamu bisa jalan atau perlu kursi roda? Kita pulang sekarang.”
Athaya menggeleng, lalu menunjuk tongkat kaki milik pasien di sebelahnya.
“Ya udah. Kamu tunggu di sini dulu, Mama tebus biayanya sambil beli tongkat ya.”
Sementara Angela pergi, perhatian Athaya tertuju pada ponsel mamanya yang tertinggal bersama dengan tasnya. Ponsel itu terus berdering, tapi Athaya tidak ada kewenangan apa pun menjawabnya. Jadi dia hanya mendiamkannya sampai berhenti, akhirnya kelupaan memberi tahu Angela.
***
Orang-orang rumah sama ributnya seperti Angela mengetahui Athaya masuk UGD. Bahkan Gabrian sampai pulang dari rumah untuk memastikan kondisinya, begitu juga Hasna yang langsung pulang meski jadwal pemotretannya belum selesai.
“Ay! Kaki kamu—” Hasna tidak meneruskan ucapannya, refleks menutup mulutnya yang terbuka lebar. “’kan, kamu kenapa coba gak mau aku anter? Jadinya—”
“Shut! Nanti lagi ngomelnya, Has. Tuh Ay baru pulang juga,” sela Angela ikut memapah Athaya keluar dari mobil.
Gabrian menimpali, “Hasna, kamu jangan dulu ke mana-mana sampai Ay sembuh.”
Hasna cemberut, lalu memprotes, “Pa, ‘kan aku model yang sibuk. Gak bisa dong asal batalin kontrak, jadwal aku lagi padet nih.”
“Gak usah, Pa, biar Mama aja yang jaga Ay,” ujar Angela, “kita masuk dulu. Nanti ngobrolnya di dalem aja.”
Gabrian mengangguk, lalu mereka membantu Athaya masuk ke dalam. Meski disangga tongkat, Athaya kewalahan berjalan karena belum terbiasa. Gerak kakinya juga terasa sulit jika harus menyeimbangkan dengan ayunan tongkat. Karena terlalu jauh untuk ke kamar atas, Athaya mengistirahatkan kakinya di ruang keluarga.
“Ma, rumah sakit tau siapa yang nabrak Ay?”
Angela menggeleng. “Mereka tau, tapi gak mau ngasih tau Mama. Katanya yang nabrak udah bertanggung jawab dengan bayar semua biaya rumah sakit Ay. kayaknya orang itu cukup berada sampe rumah sakit aja nunggu persetujuannya dulu buat ngasih tau Mama.”
“Gak bisa begitu dong. Nabrak ya tetep bersalah, kalau bayar kita juga mampu. Paling enggak dia ‘kan—”
Athaya melerai mereka dengan merentangkan tangannya, wajahnya tampak tak nyaman mendengar mereka mengungkit kembali kejadian tadi. [Aku gak apa-apa]
Sang papa angkat berjongkok di depan Athaya, kemudian menggenggam tangannya. Tatapan matanya teduh menatap sang putri. “Ay, kamu tau siapa orangnya? Gak perlu takut atau khawatir. Kami gak akan melaporkan dia, cuma Papa rasa dia belum sepenuhnya bertanggung jawab.”
[Aku gak tau. Udah, tolong.]
“Sudahlah, Pa, mungkin Ay juga gak mau memperpanjang masalahnya. Kita fokus aja jaga Ay sampai sembuh,” timpal Angela. Athaya terlihat tidak nyaman setiap kali ditanyai kecelakaan tadi, bahkan saat di rumah sakit dan di perjalanan pulang.
Hasna beranjak mengambil tempat di samping Athaya. “Lain kali, awas ya kamu kalau gak mau aku anter lagi. Kamu gak aku izinin ngajar lagi di panti.”
Athaya mengangguk-angguk, dia lebih takut kalau tidak diperbolehkan ke panti lagi. Sebulan pertama dia berada di keluarga ini tanpa rutinitas apa pun, Athaya lebih banyak di kamar. Mau membantu pun Angela tak memperbolehkannya.
Ah, Athaya jadi teringat pria menakutkan tadi. Semoga dia tidak akan bertemu dengannya lagi.
***
“Bagaimana, Ma? Diangkat?”
Dewi mengerang. “Enggak, Pa. Angela gak angkat telepon kita sama sekali. Tapi tenang aja, Mama akan pastikan mereka membantu perusahaan kita entah itu menikahkan anak kita atau tidak.”
Sementara kedua orang tuanya gelisah menunggu jawaban telepon, Miguel gusar memikirkan masa depannya. Tidak mungkin dia harus meninggalkan Viona di saat mereka saling mencintai, hanya karena perusahaan. Di matanya, tidak ada wanita yang bisa menandingi kualitas Viona baik itu di ranjang atau menjadi pendampingnya.
Sayang, perusahaan orang tua Viona juga tidak mujur sehingga tidak bisa membantu mereka.
Miguel bangkit dari duduknya, lalu meraih jas beserta kunci mobilnya.
Winata bertanya sinis, “Mau ke mana kamu?”
“Viona.”
“Heh, belum sadar kamu.” Winata ikut berdiri meski hanya diam di tempat. “Jika sampai perjodohan ini gagal, rumah, mobil, serta semua aset kita akan dijual atau disita bank. Jadi jangan sampai kamu mengacau lebih jauh lagi, Miguel.”
Miguel berdecih, tak serta merta perkataan Winata membuatnya mengurungkan niat. Kini dia merasa hanya sebagai aset orang tuanya yang tak lebih untuk dimanfaatkan demi uang. How annoying they are.
*
Mobil yang tadi pagi sempat melukai seseorang itu berhenti di sebuah rumah yang terletak di sebuah perumahan elite Jakarta. Properti yang akan ikut lenyap jika sampai mereka bangkrut. Rumah itu dibelinya setengah tahun lalu untuk sang tunangan, Viona.
Sebenarnya Miguel merasa buruk untuk menemui Viona saat rumah ini terancam disita atau dia akan mengkhianati tunangannya, tetapi hanya tempat ini yang sering didatanginya belakangan ini. Ah, dan klub malam, tapi siang begini tidak seru jika ke sana.
Baru saja dia menutup pintu mobil, Viona sudah bertengger di depan pintu dengan raut wajah cerianya menyambut. Miguel hanya menatapnya datar, lalu masuk ke rumah tanpa membalas senyuman itu. menggariskan senyum saja Miguel tak selera.
Viona mengernyit bingung sambil menyusul Miguel. Dia merangkul tangan Miguel tanpa sadar suasana pria itu sedang tidak baik. “Kamu kenapa, Sayang? Kok gak balas senyum aku?”
"Gue lagi banyak pikiran," ujar Miguel dingin tanpa melirik Viona.
Jawabannya memancing kernyitan mendalam di dahinya. Miguel hanya menggunakan 'lo-gue' ketika pria itu marah atau berada dalam mood yang tidak bagus. "Kamu kenapa, sih? Aku ada salah?"
Miguel menatap Viona dengan pandangan yang tidak dapat diartikan.
"Kenapa?" Viona kembali bertanya.
"Aku ngerasa bersalah," lirih Miguel. Tatapannya melunak, sarat akan rasa bersalah.
"Iya, bilang sebenarnya ada apa." Wanita itu inisiatif menggenggam tangan Miguel karena merasa tunangannya itu sedang ada masalah. "Cerita sama aku apa pun yang mau kamu ceritain."
Genggaman tangan Miguel mengetat. "Aku makin gak rela ngelepas kamu."
Mengalirlah cerita Miguel tentang keadaan perusahaan dan keuangan keluarganya, tentang opsi yang harus dia pilih antara melepas Viona atau menjadikannya kedua jika kelak calon istrinya setuju. Namun, jikapun wanita itu tidak setuju, bagaimana bisa Miguel melepas wanita semengagumkan Viona?
Setelah mendengar penjelasan itu, Miguel menanti respons Viona dengan jantung berdebar-debar. Pasalny raut wanita itu tidak terbaca sama sekali, hanya diam dengan wajah datar. "Viona?"
"Aku ... gak apa-apa jadi simpanan kamu.*
***
Oh ya, aku lupa bilang. Tanda [] kan harusnya buat percakapan via telepon, tapi di sini aku pakai untuk isyarat Athaya. Bukan bermaksud menyalahi aturan, cuma keyboard-ku susah pijit tombol kurung biasa. Jadi harap maklum ya.
Untuk percakapan via telepon, aku pakai [“”] biar enggak keliru. Okayy??