Part 1
Di sebuah pemukiman berada di kota Jakarta, sebuah keluarga yang tercipta dari hasil adopsi salah satunya tampak gembira dan harmonis. Pagi yang dimulai dengan canda tawa meski satu anggotanya hanya bisa terkekeh tak bersuara. Seorang istri, ayah, dan dua anak. Benar-benar keluarga idaman.
Athaya, gadis bisu yang berntung memiliki keluarga angkat sebaik ini yang tak pernah mempermasalahkan kecacatan fisiknya lantas membedakannya dengan sang anak kandung—Hasna. Dalam setiap detiknya menunggu kantuk menjemput, dia tidak pernah berhenti bersyukur pada Tuhan yang masih memberinya kebaikan atas nasib malangnya.
"Ay, kamu gak perlu ke panti aja deh ya," kata seorang wanita yang duduk di samping Athaya, sang kakak angkat Hasna. Wanita itu kelihatan modis dengan pakaian colorfull dan tubuhnya yang terlihat terawat.
Athaya tersenyum simpul lalu tangannya bergerak. [Aku sudah janji.] Athaya mengambil piringnya dan hendak menaruhnya ke wastafel, tapi asisten keluarga mereka—Tini—keburu mengambilnya. Nonanya yang satu ini memang sering sekali melakukan tugas rumah, tak peduli berapa kali Angela dan Tini melarangnya.
"Ah, kamu janji-janji terus." Hasna cemberut. Dia memang belum fasih bahasa isyarat, tetapi kata itu adalah kata yang setiap hari diperagakan Athaya setiap kali Hasna membujuknya untuk diam di rumah. "Terus kapan kamu di rumahnya selain weekend?"
"Gak papalah, Has. Kasihan Ay kalau di rumah aja. Kan kalau ke panti dia banyak kegiatan," nasihat sang Mama. Wanita berumur hampir setengah abad itu sibuk melayani sang suami.
"Tapi Ma, Ay 'kan juga perlu me time buat dirinya sendiri. Ayolah, Hasna gak ajak yang aneh-aneh kok. Cuma salon atau spa. Kasian rambut kamu lepek terus, Ay." Wanita dengan pengetahuan fashion yang mumpuni itu mengusap surai Athaya. Dia mengernyit merasakan betapa berbeda tekstur rambut Athaya dengan rambutnya. "Rambut kamu udah persis sapu lidi."
"Hush," tegur sang Papa, Gabrian. Meski Athaya bukan tipe orang yang mudah tersinggung, kebiasaan mengkritik Hasna memang tak pernah dibiarkannya. "Kamu ini, Has, mau papa potong uang bulanan?"
Athaya tiba-tiba berdiri menyilangkan tangannya membentuk huruf x sambil menggeleng cepat, membuat ketiga orang di meja makan menatapnya penuh tanda tanya.
"Kenapa, Ay?" tanya Gabrian bingung.
[Jangan potong,] isyarat Athaya. [Kasian kakak.]
Gabrian terkekeh geli. "Iya iya, gak Papa potong. Lagian Hasna itu udah kerja, jadi model. Masih aja minta uang sama papa."
Hasna berdecak begitu pekerjaannya diungkit. "Pah, i still need your money. Upahku dari modeling enggak sebesar itu buat menuhin kebutuhan fashion aku. Lagian uang Papa kalau enggak buat aku, buat siapa coba?"
"Hasna, ada banyak hal yang akan disesali di masa depan kalau kamu sibuk berfoya-foya dan menghamburkan uang. Lihat Ay, dia tidak pernah minta. Harusnya kamu bisa menjadi contoh untuk adik kamu, bukan—"
"Yeah, whatever."
Athaya tersenyum tipis dalam kesibukan mulutnya mengunyah buah yang disodorkan Angela. Begitu baik Tuhan menempatkannya di keluarga yang melimpahkannya dengan kasih sayang meski dia anak adopsi dan cacat fisik. Tidak ada faktor pembeda antara Athaya dan Hasna di mata Gabrian dan Angela. Athaya diperlakukan layaknya pion berharga.
Kakaknya, Hasna, yang memiliki ketertarikan di bidang fashion selalu menawarkan pada Athaya segala keperluan sehari-hari dengan harga yang fantastis. Tapi kalaupun Athaya menerima, kedua orang tua angkatnya tidak mempersalahkannya. Mereka menganggapnya wajar. Tentu saja Athaya menolak. Uang untuk satu jenis baju bisa ditukar dengan bahan makanan selama dua minggu.
Athaya merasakan secuil keajaiban dari naas nasibnya yang dibuang karena cacat. Secercah harapan yang membuat harapan hidupnya kembali muncul.
"Ay," panggil Angela membuyarkan lamunan Athaya. "Nanti kamu pulang cepat ya? Temani Mama belanja."
Athaya mengangguk sambil mengacungkan ibu jarinya. Wanita dengan cardigan usang kesayangannya itu sudah terlihat rapi dengan tas jinjing biru pudar, berisi buku yang biasa dipinjamkannya kepada anak panti asuhan.
Gadis itu berdiri setelah menumpuk piring kotor berisi lauk yang sudah habis, menjadikannya satu dengan piring kotor lain. Hanya menumpuk, Tini sudah pasti akan kembali merebutnya. Dia lalu bergerak menyalami Angela dan Gabriel.
"Kamu mau berangkat sekarang, Ay?" tanya Hasna melihat arlojinya, masih begitu pagi untuk jam modeling-nya yang seringnya siang. Athaya mengangguk. "Tunggu sebentar, aku anter."
Athaya menggeleng. [Enggak perlu,] isyaratnya.
Hasna yang terburu-buru menghabiskan potongan daging sapinya mengernyit samar. Dia masih belum menguasai kosa kata pada buku isyarat yang dibelinya dulu. "Ehm, apa, Pa?" tanyanya pada Gabrian.
"Kamu ini. Makanya belajar, bukan sibuk cat kuku," ujar Papanya. "Katanya gak usah."
"Enggak. Kamu itu enggak boleh keseringan jalan kaki, Athaya. Kan ada aku, Papa, atau pak Tije yang bisa anterin kamu. Jarak dari sini ke panti itu jauh," kata Hasna bersungut-sungut. Jarang sekali adiknya ini mau diantarkannya.
Bukannya menunggu seperti yang diperintahkan kakak angkatnya, Athaya malah langsung pergi setelah mengecup pipi Gabriel dan Angela. Terdengar pekikan kesal Hasna dari dalam, tapi Athaya tak menghentikan larinya. Dia tidak boleh keseringan menumpang mobil Hasna atau nanti dia akan merasa malas jalan kaki.
Jarak dari rumahnya ke panti asuhan tidak jauh, Hasna hanya melebih-lebihkannya agar Athaya mau diantar. Dengan jalan kaki, waktu yang diperlukan sekitar 20 menit. Athaya tidak keberatan karena sebanding dengan pemandangan yang dilihatnya dan udara yang tergolong masih bersih itu.
Panti asuhan yang menjadi tempat Athaya sering datang adalah panti asuhannya dulu. Dia tidak lantas lupa dengan anak-anak di sana setelah diadopsi keluarga yang kaya raya. Selain bosan, beberapa dari mereka yang merupakan teman Athaya bisa bahasa isyarat sehingga wanita itu tidak akan merasa tersisihkan.
Athaya berhenti di zebra cross karena harus menyeberang. Jarak ke panti tak jauh lagi.
“Eh, nanti kita ke bioskop yuk. Ada film bagus Minggu ini.”
Wanita itu menoleh ke kanan, ke tiga orang anak SMA yang berangkat sekolah dan kebetulan menunggu lampu hijau sepertinya. Mereka tampak berbincang seru sekali sampai tidak sadar akan keberadaan Athaya. Dia tertegun, lagi-lagi mempertanyakan kenapa suaranya tak pernah terdengar bahkan oleh dirinya sendiri.
Setelah semua takdir baik yang diberikan, Athaya masih saja menyimpan satu bagian besar atas ketidakberuntungan nasibnya. Kenapa dia bisu? Kenapa ibunya harus membuangnya dulu? Kenapa harus dia?
Memikirkannya membuat Athaya tidak fokus. Dia menyeberangi jalan tanpa melihat kanan-kiri karena merasa aman lampunya sudah berwarna hijau. Tanpa disadari, dari arah kanan ....
Tin!!
Tubuh Athaya terjatuh di aspal, sementara mobil range rover merah mengerem tak jauh di dekatnya. Wanita itu merasakan sakit yang luar biasa pada sekujur kaki kanannya, bawah lututnya mengeluarkan darah dan sekitarnya membiru. Athaya nyaris tak bisa merasakan kakinya beberapa saat.
Yang bisa dilakukannya hanya meremas roknya tanpa bisa mengerang atau berteriak kesakitan. Banyak orang yang melihatnya, tapi tak ada yang menolongnya. Mereka hanya melihat dan menunggu seseorang bereaksi.
“Duh! Punya mata gak sih lo?!”
Pengemudi mobil keluar mobil dengan membanting pintu, wajahnya terlihat marah. Dia memutari kap mobil, dan memeriksa bamper mobilnya. Pria itu berdecak, lalu melepas kacamata hitamnya. Lantas mendekati Athaya.
Athaya tak berani mendongak pun melihat kakinya, memejamkan mata erat-erat. Air matanya merembes perlahan-lahan sebagai bentuk rasa sakit yang pernah dirasakannya.
“Heh, bangun lo,” suruh si pria dingin. Dia tak tampak peduli atau merasa bersalah. “Lo modus doang, ‘kan? Alahh, palingan ini darah boongan.” Tanpa perasaan, dia menendang kaki Athaya di bagian yang luka, sontak membuat darah yang keluar semakin banyak.
“Hhh!” Orang-orang di sekitar memekik, tapi belum ada yang tergerak untuk menolong Athaya. Mereka bimbang untuk ikut campur karena sepertinya si pengemudi cukup beruang dan yang ada mereka kena masalah.
Rahang Athaya mengetat kuat ketika rasa sakit itu semakin terasa, bahkan bibirnya berdarah saking kuat digigitnya. Athaya akhirnya mendongak, menatap si pria penuh permohonan sambil mengatupkan tangan di d**a dan menyilangkan tangan.
Dahi pria itu mengernyit, lalu berujar sinis, “Apaan sih lo, hah? Lo mau duit? Ngomong! Bukan gerak-gerak gak jelas kayak autis!”
Athaya menggeleng keras ketika pria itu merogoh kantong dan mengeluarkan sejumlah uang dari dompetnya. Meski tak yakin orang ini akan mengerti, Athaya berbicara dalam bahasa isyarat. [Antar aku ke rumah sakit.]
“Heh, gila! Lo kalau mau drama jangan buang-buang waktu gue dong! Gue sibuk gini masih aja lo tipu pake trik murahan gini.”
“Katanya antar dia ke rumah sakit.” Seseorang dari kerumunan itu angkat suara, lalu merangsek ke depan dan melirik Athaya yang kesakitan. “Jelas dia terluka, ini bukan trik atau apa pun. Tidak lihat darahnya semakin banyak? Antar dia ke rumah kalau Anda orang yang bertanggung jawab.”
Pria berjas hitam itu mendengus, lalu memandang remeh pada lelaki berpakaian santai itu. “Sayangnya gue orang sibuk. Nganter dia ke rumah sakit cuma buang-buang waktu. Kenapa gak lo aja yang anter kalau lo kasian sama dia?”
“Lebih mudah Anda ‘kan karena Anda membawa mobil dan tak sengaja menabraknya.”
Orang-orang itu terus berdebat tanpa sadar Athaya yang semakin melemah merasakan sakit dan darahnya yang terus keluar. Dia tidak bisa berbicara apa pun di saat wajahnya memucat. Posisinya yang di tengah jalan itu tak memungkinkan untuk menepi sedangkan dia butuh untuk berpegangan pada sesuatu. Jadi dia mencengkeram setelan pria yang menyerempetnya ini sebelum kesadarannya semakin menipis.
***
Miguel Chandra Winata.
Pria itu terus-terusan menggerutu setiap kali melihat kaca mobil dan mendapati wanita yang diserempetnya tadi tidak sadar juga. Ahh, jika bukan karena orang-orang itu mendesaknya, mana mau dia harus repot-repot mengantar orang ini ke rumah sakit.
“Ck. Mana gue lagi ditunggu Papa lagi. Dasar cewek sialan!” umpatnya lalu membanting setir memasuki area rumah sakit dan memarkirnya tepat di depan UGD.
Miguel tidak turun. Dia hanya menurunkan kaca mobilnya dan menyuruh salah seorang suster yang membawa brankar mendekat. “Urus cewek ini. Soal administrasi, gue yang tanggung semuanya,” ujarnya lalu memberikan cek kosong ke suster tersebut.
“Tapi, Pak, soal—”
“Terserah mau lo rawat gimana nih cewek, yang jelas urusan gue sudah selesai.”
Setelah Athaya dipindahkan ke brankar, Miguel langsung tancap gas meninggalkan rumah sakit. Dia sempat menyelipkan kartu namanya di antara cek kosong sehingga kalau ada apa-apa mereka bisa menghubunginya. Miguel tak mau repot-repot mengurus wanita itu di saat dengan uang saja sudah bisa menyelesaikannya.
“Ke mana aja kamu?”
Begitu sampai di ruang sang Papa, pria paruh baya itu langsung menodongnya dengan pertanyaan menanyakan alasan Miguel yang membuatnya harus menunggu lama. Wajah pria itu terlihat merah padam, mengundang tanda tanya pada Miguel. Dia hanya telat setengah jam, kenapa Papanya begitu marah?
Dia mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan. Kosong. Tak ada siapa pun selain Papanya. “Investor kita mana, Pah?”
“Masih berani kamu nanya investor?” Winata berkata sinis. “Sekarang Papa yang tanya. Ke mana lima ratus juta dari keuntungan proyek dua bulan lalu?”
“Kenapa malah jadi bahas itu sih, Pa? Udah lama juga.” Miquel melewati Papanya lalu duduk di sofa dengan kakinya yang terangkat dan ditumpu pada lutut kakinya yang lain. Dia tak menyadari keadaan Winata yang tampak marah dan meliriknya penuh emosi.
“Kamu berfoya-foya lagi, ‘kan dengan Viona?” tanya Winata duduk di meja kebesarannya.
Miguel terkekeh pelan. “Kenapa sekarang Papa peduli ke mana semua uang yang kupakai? Papa gak pernah protes sekalipun aku kasih semuanya ke Viona.”
Winata menggebrak meja, tapi tak membuat Miguel terkejut. “Karena sekarang keadaannya berbeda, Miguel!”
“Maksud Papa?”
Pemilik Winata Corp itu membanting sebuah buku tabungan ke depan Miguel dengan napas yang terengah-engah karena emosi. Amarahnya tersulut ketika Miguel malah membuang-buang harta perusahaan untuk wanita yang tidak lagi penting bagi keluarga Winata.
Tadi, seharusnya keadaan perusahaan tidak segawat ini kalau saja Miguel datang tepat waktu dan mengikuti rapat pribadi, investor itu akan setuju dan menanam saham di perusahaannya yang nyaris bangkrut itu. syarat mereka ingin bertemu dengan barisan pemilik perusahaan untuk bekerja sama dan sepakat mengalokasikan sejumlah dana. Akan tetapi, yang dilakukannya malah datang di saat semuanya terlalu lama menunggu dan memutuskan untuk tidak jadi menanam saham.
Terlebih, putranya itu malah menghamburkan uangnya untuk tunangannya, Viona.
Miguel melirik tak peduli ke arah buku rekening yang dilempar Papanya. Saldo terakhir hanya berjumlah tujuh digit sebelum koma. “Maksudnya apa ini?”
Dikuasai amarah, Winata bangkit dan menghampiri Miguel dengan rahangnya yang mengeras. Dia mencengkeram kerah putranya dan menajamkan tatapannya tepat pada mata Miguel. “Kita bangkrut, Miguel! Semua karena kamu! Dan kamu malah memberikan semua uang perusahaan pada Viona!” teriak Winata murka.
Tangan Winata sudah terangkat hendak menampar Miguel, begitu pula Miguel refleks memejamkan mata. Namun, bukannya tamparan yang diterima, terdengar gebrakan dari arah pintu dan seseorang berseru, “Stop, Pa!”
Di depan pintu, berdiri seorang wanita paruh baya menghalau aksi suaminya. Dia mendekat saat Winata kembali berupaya menampar putranya. Dewi, wanita itu berdiri di tengah-tengah anggota keluarganya dan membentangkan tangan guna melindungi Miguel. “Udah, Pa, stop. Nampar Migi juga gak bakal ngembaliin semuanya,” katanya membela Miguel.
Miguel membalas tatapan tajam Papanya. Bukan salahnya asal menghabiskan uang dengan nominal besar, sedari dulu kedua orang tuanya selalu memanjakannya dan tak pernah angkat suara atas kebiasaan buruknya berfoya-foya. Bahkan ketika dia tanpa ragu membelikan sejumlah properti untuk tunangannya, tak ada yang protes.
“Ya terus gimana, Ma? Kita bangkrut karena dia seenaknya menghamburkan uang perusahaan.”
“Sudah,” Dewi mendorong d**a Winata ketika pria itu mencoba meraih Miguel. “Mama punya solusinya.”
“Apa?” Miguel langsung bertanya pada Mamanya.
Dewi berbalik, lalu menyentuh kedua bahu Miguel. “Kamu harus mau nikah sama anak teman Mama, Nak. Kamu harus mau dijodohkan.”