Chapter I. 06 : Saras

3393 Kata
Nafas Saras begitu berat ketika lengannya diangkat, sehingga Niar harus bersabar dan merelakan kepergian perkakas kesayangan untuk sementara dari bibirnya. Ketika Saras berdiri, Kain jariknya lolos sempurna tubuhnya dan meliuk jatuh ke tanah. Saras ingin berjongkok dan mengambilnya, tapi waktu telah habis. Aku mencengkeram lengannya dan membalikkan tubuhnya membelakangiku. Tangannya bertumpu pada batang pohon tumbang tempat dirinya duduk tadi. Kusapukan tangan nakalku menyentuh bagian belahan pantatnya, sehingga Ia harus menungging seiring dengan sapuan jemariku. Pinggulnya menekuk seakan membukakan pintu bagiku untuk menerobos pintu surga dunia itu. Lalu, kejantananku yang sudah tegak lurus kuarah pada liang berlendir itu. Aku memerlukan tanganku untuk mencari lubang sempit yang sering berkedut itu. Seperti layaknya seorang penjahit yang memasukan benang kedalam lubang jarumnya. Perlu sasaran yang tepat untuk meloloskan kejantananku ke dalam daerah kewanitaannya. Pandanganku teralih kepada Niar yang duduk melihat kegiatan kami, ketika aku berhasil meloloskan seluruh batangku tenggelam dalam lubang terdalam milik ibunya. Niar melihat kami dengan perasaan ingin tahu. Pipinya mulai terlihat merah merona ketika aku mulai menggoyangkan pinggulku untuk memantapkan posisi kejantananku yang sedikit terjepit. Perlakuan itu membuat Saras menjerit, entah jeritan nikmat atau kesakitan. "Auuchhh, Sakit!" Pinggulku bergerak ke kiri dan ke kanan untuk memperlebar dinding rahimnya yang sudah terlampau licin. Setelah itu, kutarik perlahan dan kutusuk keras kearah lubang kewanitaannya. Kuperlakukan itu selama beberapa kali. Tak lupa, aku memperhatikan Niar yang duduk dengan dengusan nafas yang menggebu. Ia seakan ingin melakukan sesuatu tapi entah apa itu. Ia tak menolak atau memberontak jika ibunya aku perlakukan seperti ini. Mungkin di benaknya, Ia bertanya-tanya apa yang dilakukan oleh kedua pasangan dewasa ini. Tak membutuhkan waktu lama untuk mengeluarkan cairan pelumas dari rongga kewanitaan wanita yang memunggungiku ini. Kedua tangannya bertumpu pada batang kayu dan pinggulnya menungging semakin tinggi, seakan memberikan ruang gerak yang leluasa untukku. Gerakanku semakin cepat seiring dengan suara tepukan akibat pinggangku bersentuhan dengan pantatnya yang mengkal. Desahannya selalu bersamaan dengan goyangan buah dadanya yang menggantung bagai buah pepaya kembar yang siap dipetik. Dari hentakanku yang cepat dan tanpa henti, aku merasakan kedutan yang seakan memijat kejantananku dari dalam. Tetapi tak begitu kuhiraukan hal itu. Entah berapa kali Ia mendesah lirih dengan kepala yang memengadah. Aku tetap mencoba menggerus dinding kewanitaannya dengan gerakan memutar dan melingkar, dan juga gerakan menusuk maju mundur. Aku yakin, Saras sudah mencapai puncaknya beberapa kali. Namun, Nafasku masih terlalu panjang untuk mengakhiri pergulatan sengit kami. Sejenak kuhentikan gerakan tusukanku. Ia menolehku seakan memohon agar tak kuhentikan. Perlahan kulepaskan kejantananku yang sudah basah karena lendir membasahinya. Sekarang, aku duduk di batang pohon itu. Saras yang tahu maksudku, langsung duduk mengangkangiku. Ia seperti kesetanan ketika bibirnya melumat bibirku. Hisapan mulutnya sebanding dengan gairah nafsunya yang sulit untuk terpuaskan. Ia lupa, bahwa Niar berada disampingnya. Kami berdua bagai sepasang guru yang sedang mengajari seorang gadis kecil cara bercinta. Dengan nafas menggebu, tangannya meraih kejantanku yang masih keras. Dari cara menggenggam, Ia tak risih atau jijik, seakan milikku sudah menjadi mainan baginya. Tangannya membimbing kejantananku memasuki liang kewanitaan miliknya. Sekarang, rasanya begitu lembut dan longgar. Seakan ukuran lubang kewanitaannya sudah sangat cocok dengan kerasnya kejantananku. Tanpa diperintah, pinggulnya bergoyang kedepan dan kebelakang. Rasanya begitu nyilu, tapi nikmat. Batang keperkasaanku seakan diputar-putar bergesekan dengan dinding daging yang berlendir. Lama kelamaan, Saras bergerak semakin binal.  Pinggulnya ke atas dan kebawah seakan memompa diriku. Alhasil, kedua buah dadanya melompat kesana kemari dan terpampang tepat di hidungku. Sungguh pemandangan yang lebih indah dari pegunungan manapun. Aku mencoba meraih p****g susunya dengan bibirku. Aku sedikit kesulitan karena gerakannya semakin cepat. Alhasil, aku hanya menjulurkan lidahku saja, berharap lidahku bersentuhan dengan putingnya yang mengeras. Aku melirik Niar yang melirikku dengan mata nanar. Wajahnya yang putih seputih ibunya, merah padam. Ia seperti lupa mengedipkan matanya yang kecil. Terbeslit dipikiranku untuk menyentuhnya, namun kuurungkan karena belum saatnya Ia menerima rangsangan yang mendesir melalui otaknya yang masih belia. Aku merasakan denyutan hebat di area kejantananku, seakan denyutan itu menghisapku semakin dalam. Tak kuasa aku larut dalam dekapan tangannya yang melingkar di leherku. Wajahku terbenam dalam kelembutan dan kekenyalan buah dadanya. Aroma tubuhnya yang khas menusuk hidungku, seakan aroma ini sebagai pembius kesadaranku. Kubiarkan Saras menikmati sisa puncaknya, pinggulnya mengejang seiring dengan nafasnya yang tercekik. Hal itu memberikan reaksi getaran semu yang menawarkan sejuta rasa tak terhingga dalam diriku. Lalu, kejangan berhenti, dan tubuhnya lunglai memeluk tubuhku. Tak ada daya lagi dalam tubuh Saras. Ia seperti menempelkan tubuhnya kepadaku, dan tentu saja pasrah dengan perlakuanku selanjutnya. Aku yang masih belum mencapai puncak kenikmatanku, mengangkat tubuh Saras seperti layaknya seseorang yang menggendong anaknya. Kejantananku masih terbenam di rongga lembab yang dipenuhi bulu basah. Aku berbalik dan kutidurkan Ia di batang pohon. Batang pohon ini layaknya sebuah arena pergulatan kami saat ini. Matanya tertutup sempurna saat aku mulai menusuk rongga tak berujung itu. Tusukanku semakin lama semakin cepat dengan tempo yang tak beraturan. Kurasakan hembusan nafasnya tak beraturan lagi. Ia mendengus-dengus pelan dan matanya setengah terbuka. Mulutnya sedikit ternganga sehingga menggoda lidahku untuk bertaut dengan lidahnya. Kulumat seluruh rongga mulutnya yang berakibat nafas kita bersatu padu. Desahannya mulai terdengar lagi di telingaku. Desahan yang mambangkit nafsu pria mana saja, termasuk diriku. Cukup lama aku memompa daerah kewanitaannya, sehingga kejantananku mulai berkedut. Rasa pegal tak kurasakan ketika hentakanku semakin cepat dan tak terkendali. Sesaat kemudian, kucabut kejantananku yang berkedut. Kulihat mata Saras melotot ketika semburan cairan kental memuncrat melewati hidungnya. Lalu melesat, tepat diwajah putrinya Niar. Semprotan pertama sangatlah kencang sehingga melewati dirinya. Niar yang lugu hanya bisa mengusap wajahnya seraya keheranan dan penuh pertanyaan. Muncratan kedua mengenai wajah Saras, tepat di atas bibirnya, sehingga Ia menggunakan lidahnya untuk membersihkannya. Yang ketiga, mengenai buah dadanya yang kenyal tepat di salah satu putingnya. Yang terakhir mendarat di perutnya. Lalu, tubuhku tumbang di atasnya. Kucoba untuk mengembalikan energi tubuhku dengan merasakan hangat tubuhnya. Saras mengusap-usap rambutku seperti seorang yang menidurkanku. Lalu aku tertidur. Mentari sudah mengintip mengawali pagi yang sunyi. Tanah basah bercampur embun selalu mendinginkan suasana. Siapa saja, pasti enggan untuk bangun pagi itu. Tapi tidak denganku. Pagi ini, Saras memaksaku untuk bangun. Terutama membangunkan kejantananku. Kami berdua keluar kamar tanpa perasaan malu. Saling telanjang satu sama lain. Saling memandang barang masing-masing. Kuperhatikan belahan p****t dan bongkahan d**a yang menggantung ketika Ia merebus air untuk menyeduh kopi untukku. Lalu, aku melangkah mendekatinya dan mendekap tubuhnya yang terpapar panas dari tungku. Kudaratkan bibirku di bahunya dan bergeser ke arah pangkal lehernya. Kuulangi hal itu selama enam kali, dan kehentikan ketika Ia mendesah menahan geli. Tak lupa, tanganku meremas bukit kembarnya yang terus membesar. Kulit putingnya yang berwarna merah meluas dan mengeras. Jemariku memilin miliknya, seakan miliknya adalah milikku. "Jaaanngggaaannn! Kau harus pergi!" ujarnya seraya berbalik dengan kedua lengannya memisahkan dekapanku. Pipinya membulat kemerahan seperti menyungingkan senyum dan rengekan palsu. Aku tahu, ini saat yang tak tepat untukku. Dengan sekali helaan nafas, aku berkata, "Hmn, baik! Tapi..." Tatapannya berubah ketika ada 'Tapi' dikalimatku. "Tapi, apa?"   "Jaga dirimu dan putrimu baik-baik!" ujarku sesaat sebelum mengecup bibirnya dan merasakan setiap detil bibirnya dengan bibirku. Lalu kecupanku beralih ke pipinya dan kuseret bibirku melewati lekukan lehernya yang jenjang. Lalu, tepat di depan dadanya. aku berkata, "Jaga juga biji kopiku!" Dengan sekali gigitan, kulumat p****g susunya yang telah mengeras. Kujulurkan lidahku memainkan daging kecil keras nan elastis itu. Kulakukan itu di kedua p****g susunya. Setelah memainkan bongkahan dadanya, bibirku mengarah keperutnya dan menuju selangkanganya yang tertutup bulu halus. Sejenak aku melirik ke wajahnya yang mendengus nafsu. Lalu aku berkata, "Jangan lupa jaga rumahku!" Kujularkan lidahku menyapu kelentitnya. Aroma anyir dan rasa panas pegah terasa di lidahku. Kugoyangkan lidahku cepat sehingga memberikan reaksi pada pinggulnya yang seakan menyodorkan rongga bawah itu padaku. Aku memang tak sedang ingin bercinta pagi ini. Jika kuteruskan, bisa keblabasan dan aku urung ke kota. Dengan sekali kecupan, aku mengakhiri rangsangan pada dirinya. Lalu, aku berdiri tegak dan berkata padanya. "Mengerti?" tanyaku sambil menyentuh dagunya dengan ujung jariku. "He-em." Jawabnya singkat dengan bibir sedikit terbuka disertai anggukan pelan. Aku meninggalkannya berdiri disamping tungku dengan hasrat membekas tak terpuaskan. Kuguyur badanku dengan air sumur. Sejenak, nafsu-nafsuku luntur bersama dengan kucuran air yang menetes ke tanah. Rasanya begitu dingin seakan memompa jantung lebih cepat lagi. Setelah selesei membersihkan badanku dan mempersiapkan semuanya. Aku berpamitan dengan Saras, tentu saja dengan ciuman mesra layaknya suami istri yang akan berpisah dalam waktu yang lama. Sebenarnya, kami berdua sama-sama menahan gejolak yang mendera di dalam diri. Namun hari ini, kami harus sama-sama menahannya. Aku menitipkan salam kepada Niar yang masih tertidur pulas padanya. Dan dengan sekali lecutan, kudaku berlari pelan menembus jalanan desa. Pagi hari, Desa sangat sepi. Begitu sepi entah penduduknya belum bangun atau sudah berangkat ke ladang. Desa kami larut dalam kesibukan sendiri-sendiri karena jarak memisahkan rumah satu dengan rumah yang lain. Kulalui kesendirian sementaraku dengan bayang kepeng emas yang akan kubelikan pakaian untuk Saras dan Niar. Aku berpikir untuk pergi ke butik Mbok Rondo di kota Ardaka. Butik yang menjual berlusin baju wanita dan kebanyakan pelanggannya adalah para p*****r kota. Aku yakin jika aku menggeledah lemari milik Saras di rumahnya, aku pasti akan menemukan puluhan pakaian yang menggugah selera para pria. Perjalananku hari ini tak ada yang mengejutkan. Sejenak, kuberi makan kudaku yang tertaut di sebuah pohon. Tak lupa, aku juga mengisi perutku. Cuaca sangat cerah sehingga cahaya mentari masih menghiasi langit senja di sore itu. Butuh waktu tiga hari berkuda untuk sampai di kota Ardaka. Kota yang penuh dengan orang berlalu-lalang dan pedagang menjajakan.   Tiga hari kemudian, Aku telah sampai di sebuah gerbang. Gerbang yang terbuat dari batu yang kokoh dengan pintu kayu. Biasanya, gerbang itu selalu terbuka jika para penjaga melihat pendatang dari jauh. Mereka membuka dan sekedar memeriksa dan mengambil sedikit pajak yang sebenarnya adalah upeti sitaan paksa. Tapi gerbang kota yang dipenuhi orang korup tak juga terbuka saat hidung kudaku hampir menyentuh pintu kayunya. Biasanya seorang penjaga berdiri di belakang dinding kota. Ialah yang menyuruh penjaga lainnya. Namun, tak ada seorangpun di balik dinding tebal yang kebal pedang itu. Aku berpikir, mungkin penjaganya sedang sibuk atau pergi, sehingga mereka tak melihatku datang. Kusiapkan lima kepeng perunggu sebagai bayaran atas usaha mereka mendorong pintu kayu yang besar. Kuketuk pintu kayu itu sekeras mungkin. Sehingga menimbulkan kegaduhan di dalam. Lalu, sebuah jendela kecil selebar jengkal bergeser dan munculah wajah seseorang dengan alis tebal, mata sedikit katarak dengan hiasan codet membelah pipinya. Wajahnya tegas seperti melihat harimau yang siap memangsa. Mungkin luka codetnya juga bekas cakaran harimau juga. "Siapa kau?" Tanyanya garang. "Namaku Ahras, aku dari desa Banduwangi." "Mau apa kau kemari?" "Aku ingin berdagang," ujarku seraya mengacungkan lima kepeng perunggu tepat di depan hidungnya. Matanya yang bulat terlihat silau pada kepingan perunggu yang sebenarnya berwarna merah buram dan penuh noda. Lalu, tangannya menjulur dan meraih paksa kepengan perunggu itu. "Buka gerbangnya!" Ia berteriak dan seketika bunyi deritan katrol kayu terdengar. Perlahan tapi pasti, pintu kota terbuka. Aku menuntun kudaku beberapa meter kedalam gerbang. Dari kejauhan terlihat keramaian rumah-rumah penduduk yang saling berjajar. Namun, perjalananku terhenti disaat aku baru saja memasuki gerbang. Seorang Penjaga menghentikanku, "Tunggu!" Katanya seraya mengambil sebuah kayu tatakan berisi perkamen kertas lengkap dengan bulu angsa dan tintanya. "Siapa namamu?" "Ahras," jawabku. "Teman anda sudah menanyakannya tadi." Bulu angsa itu menari di atas kertas setelah sebelumnya ujungnya tercelup di kubangan tinta. Sepertinya Ia sedang mencatat namaku. "Kau berasal dari mana?" "Dari desa Banduwangi." "Apa gerangan kau kemari?" "Aku ingin berdagang." "Apa yang kau perdagangkan?" Setelah melalui proses tanya jawab yang tak masuk akal dari penjaga. Aku terkejut ketika penjaga itu menanyakan sesuatu padaku. "Apa kau melihat seorang wanita? rambutnya panjang,  kulitnya kuning langsat. Ia bersama seorang gadis kecil berusia sekitar 8 tahun." Ujarnya seraya tangannya mengambang, seakan mengukur tinggi badan Niar. Jantungku seperti menceplos keluar dan nafasku berantakan. Lalu aku menjawabnya, "Tidak, aku tak bertemu siapapun di hutan." "Oh, baiklah." Hatiku lega ketika penjaga itu tak sempat melihat wajahku memerah. Aku kembali nafasku agar Ia tak curiga. "Biaya masuknya 10 kepeng perunggu." Ujarnya seraya menengadahkan tangannya kepadaku. Penjaga itu seperti pengemis yang meminta-minta secara paksa. "Tapi tadi temanmu sudah menerima uang dariku." "Itukan temanku, aku belum!" Ujarnya seraya menatap keji terhadapku. Aku tak ingin kena masalah disini. Alhasil, dengan terpaksa aku merogoh kocekku untuk membayar upeti yang entah dibuat apa. Sungguh miris memang tinggal di kota ini. Banyak penjaga yang semena-mena dan menindas rakyat kecil. Terutama para pedagang, mereka berdalih bahwa para pedagang mempunyai banyak kepeng. Namun tidak semua, banyak pedagang yang merugi karena kurangnya para pembeli. Petualanganku di kota tak begitu menyenangkan karena ada perasaan yang mengganjal. Seorang Penjaga tadi menanyaiku soal keberadaan wanita dan seorang gadis yang hilang. Tentu saja, Wanita dan gadis itu adalah Saras dan Niar yang sudah berada jauh dari kota ini. Kuharap mereka tak perlu mengerahkan kuda-kuda mereka untuk mencari kedua wanita itu di desaku. Jarak yang jauh membuatku sedikit merasa lega dengan keadaan ini. Siang ini, sinar mentari tertutup oleh awan mendung yang mengitari seluruh bagian kota Ardaka. Namun para penduduk dan pedagang tetap berlalu lalang tak tentu tujuan. Banyak pedagang kaki lima yang berjejer rapi di depan tanah lapang. Diantara dari mereka menjajakan buah duku segar dan buah-buahan lain. Adapula yang menjual kalung pernak-pernik dari batu pualam yang dihaluskan. Mataku tertuju kepada pernak-pernik itu. Bentuknya bulat sempurna dan warna-warni, lalu diikatkan menjadi satu bagai sebuah kalung dan gelang. Aku yakin, Niar pasti suka dengan benda-benda yang menyilaukan mata seorang anak gadis ini. Lalu, aku mencoba untuk bertanya kepada penjualnya. Penjualnya adalah seorang nenek tua dengan kulit seluruhnya keriput. Saking keriputnya, sampai-sampai kulit kelopak matanya menggantung menutupi bola matanya yang kecil. Aku kagum kepada nenek ini, disaat usianya sudah sangat senja dan mendekati ajalnya, Ia masih gigih menjual pernak-pernik ini walau tak ada yang melirik dagangannya, kecuali diriku. Kusapukan jemariku untuk memilih beberapa kalung dengan butiran batu berwarna ungu. Sungguh cantik dan cocok dengan kulit Niar yang kuning langsat. "Nek, ini berapa?" Tanyaku seraya mengulurkan kalung berwarna ungu muda. Tiba-tiba, nenek tua itu mencengkeram pergelangan tanganku. Cengkeramnya tak begitu kuat, namun aku tak tega menghempaskan tanganmya. Lalu, Ia menatapku dengan bola mata putih sempurna. Aku terkejut melihat nenek itu seperti kesurupan. Lalu, dari bibirnya yang pecah, terdengar desisan layaknya ular yang berbisik. "Kau akan mendapat masalah besar. Namun jika kau melewatinya, kau akan menjadi orang paling beruntung di dunia ini." Mataku tertegun dan mulutku ternganga mendengar rintihan nenek tua yang tak kukenal ini. Suara rintihan itu menggema seakan tercetak jelas dalam memori otakku. Lalu, terdengar suara teriakan seorang pemuda dari sampingku. "Nenek!" Pemuda itu dengan sigap menggenggam pergelangan tangan nenek itu. Aku yakin, pemuda berkulit hitam dan berambut keriting ini adalah cucu dari sang nenek. Dengan segala upaya, pemuda itu melepaskan cengkeraman tangan neneknya dari pergelangan tanganku. Rasanya tak wajar, nenek bertangan renta itu mencengkeram tanganku sedemikian kuat, sehingga membekas merah padam di pergelangan tanganku. Setelah menenangkan neneknya. Pemuda itu bangkit dan menatapku, "Maaf soal nenekku, Ia sering kesurupan dan berbicara tak jelas." Aku hanya tersenyum menatap pemuda itu, "oh, tak apa. Aku hanya menanyakan berapa harga gelang mainan ini?" "Ambilah secara cuma-cuma, sebagai permintaan maaf kami." "Ta-- tapi..." "Ah, sudahlah. Sekali lagi, maaf atas ketidaksengajaan ini." Dengan terpaksa aku menerima gelang itu secara cuma-cuma. Lalu, aku melangkah meneruskan perjalananku menyusuri perkotaan. Sejenak, aku kembali menatap nenek itu. Entah apa yang terjadi, nenek itu seakan membisikan sebuah pertanda bagiku. Ia masih menatapku dari kejauhan, dan bibirnya berkomat-kamit seakan berbicara padaku. Pemuda yang menjadi cucunya, hanya bisa mengelus punggung neneknya dengan maksud menenangkannya. Kau akan mendapat masalah besar. Namun jika kau melewatinya, kau akan menjadi orang paling beruntung di dunia ini. Lagi-lagi, perkataan hambar dari nenek tua itu melantun di telingaku. Bagaikan sebuah mantra yang mengutukku. Ingin kutepis, namun selalu datang dan datang lagi. Pikiranku kacau dan otakku seperti menghubungkan sebuah teka-teki tak terjelaskan. Baru kali ini, aku berpikir seberat ini. Biasanya aku hanya memikirkan biji-biji kopiku dan menghapal nama kedai kopi yang mau membeli biji kopiku dengan harga mahal. Sekarang, aku harus berpikir tentang dua hal besar sekaligus. Pertama, tentang Saras dan Niar yang menjadi buronan. Kedua, tentang perkataan nenek tua tadi. Kuharap perkataan itu hanya sebuah ilusi karena kejiwaan nenek yang terganggu. Tetapi, kenapa kata-kata itu justru selalu hinggap di benakku. Dengan perasaan campur aduk, aku memasuki sebuah toko yang menjual karpet bulu, milik seorang pria tua bernama Pak Karni. Wajahnya putih tak seperti orang asli penduduk sini. Alisnya tebal dan hidungnya mancing, serta kumis tipis yang menggoda setiap ibu-ibu setengah baya yang datang berkunjung. Saat aku memasuki toko karpet itu, Pak Karni langsung menghampiriku. Tubuhnya masih tegak di usianya yang telah uzur. Kumisnya telah memutih dengan balutan kepala membentuk surban. Mata batu berlian berwarna biru dan sehelai bulu burung merak menghiasinya penutup kepalanya itu. "Ah, kau Ahras bukan?" Sapanya seraya membuka kedua tangannya seakan ingin memelukku. Aku hanya mengangguk seraya menyimpulkan senyum di tepi bibirku. Aku takjub, Ia masih ingat padaku, seakan Ia ingat siapa saja yang pernah memasuki tokonya. "Mari, silahkan. Hidung tuaku mencium bau seekor Rusa dari kejauhan, tetapi kenapa yang datang adalah kau, cucu dari sahabat lamaku." Aku semakin takjub dengan keahlian pak Karni. Sepertinya Ia tahu bahwa hari ini aku akan menjual kulit Rusa yang masih segar padanya. Dengan tergagap, aku berkata, "Aku ingin menjual kulit Rusa yang masih segar." Tanganku meraih sebuah bungkusan kain dengan beberapa bercak darah yang masih menempel. "Hmn," pak Karni meraih kulit Rusa itu seraya dagunya memanggut. Seakan Ia menera seberapa bagus kulit ini. "Aku bisa membayarnya 10 kepeng emas. Jika kau mau?" Seperti dugaanku. Kulit Rusa memang seharga 10 kepeng emas di pasaran. "Baik, aku setuju." Dengan tersenyum, pak Karni merogoh sakunya dan mengeluarkan sebuah kantung dengan suara gemerincing. "Ini, ambilah." Setelah aku mengambil kepingan emasku, aku menghitungnya agar tak salah dalam berdagang. Namun, "Ini dua belas keping, pak Karni." Ujarku. "Ya. Yang dua keping, belikan selendang untuk nenekmu, sebagai hadiah dariku." Ia berkata tanpa melihatku, matanya nanar tertuju pada kulit Rusa barunya. "Tapi, aku tak bisa menerimanya. Sebab, nenekku sudah meninggal setahun yang lalu." Lalu, Ia terperanjat. Matanya sayu melihatku. Kuharap aku tak menyinggung perasaannya karena tak memberitakan kabar kematian nenekku. "Kalau begitu." Pak Karni kembali merogoh koceknya dan memberikan 3 kepeng emas itu padaku, "ini, ambilah, sebagai tanda bela sungkawaku." Aku hanya tertunduk lesu dengan tangan menengadah seperti pengemis, namun aku tidak sedang mengemis. Aku mendengar desahan nafas Pak Karni yang berat dan mulai serak. "Hidup memang sangat singkat, nak." Ujarnya seraya termenung meratapi kesedihannya. Aku juga turut diam dan berpikir. Nenekku tutup usia diumur 98 tahun, dan 98 tahun menurutku bukanlah waktu yang singkat. Bahkan disaat-saat terakhirnya, beliau mengatakan bahwa Ia sangat bersyukur diberikan umur yang sangat panjang. Lalu, Pak Karni yang sudah tak berminat lagi dengan kulit Rusanya, menepuk bahuku. Sentuhannya seakan aku adalah bocah kecil yang baru saja ditinggal mati orang tuanya. Pandangannya tajam menatapku seakan menerawang apa yang ada di otakku. Kemudian Ia berkata, "Apakah kau makamkan Nenekmu dengan baik?" "Ya, aku sendiri yang memasukannya di liang lahat. Ia dimakamkan di sebuah bukit, tepatnya disamping makam kakekku." "Ah, syukurlah. Mereka berdua pasangan yang baik. Tanpa mereka, aku tak akan jadi seperti ini." Ujarnya lirih dan pelan, seakan menceritakan bahwa pak Karni pernah berutang budi dengan kakek dan nenek. "Baiklah, Jika kau butuh sesuatu, jangan sungkan untuk bicara padaku, Ahras." Aku hanya tersenyum dan mengangguk, menikmati segala keramahtamahan dan kebaikan pak Karni. Walau Ia sangat kaya, Ia begitu terbuka dengan pemuda miskin seperti aku. Sungguh Ia orang yang sangat langka di kota ini. Akupun berpamitan dengannya, namun sebelum aku meninggalkan tokonya. Ia kembali memanggilku, "Ahras, sini sebentar, ada yang terlupa!" Ujarnya terburu-buru. Aku menoleh ke arahnya dan melihatnya menyahut sebuah karpet berwarna coklat tua. Bulu-bulunya mencuat dan berbentuk kasar, namun sangat halus jika disentuh oleh kulit. "Ini karpet dari wilayah utara seberang dari Benua. Para pelaut datang menggunakan kapal dua hari yang lalu. Mereka berkata, bahwa karpet ini berasal dari bulu binatang buas. Saat berjalan, binatang itu berjalan dengan keempat kaki. Dan saat menyerang, mereka tegak dengan dua kaki." Pak Karni, sejenak terhenti. Mata mengernyit untuk mengingat sesuatu yang akan terceletuk dari ujung lidahnya. "Sebentar, apa namanya. Aku lupa! sebentar sebentar." Jemarinya menyusuri dahi yang disusuri keriput itu. Lalu, "Ber-, beru--, Beruang. Ya! itu nama hewannya.  Jika kau bertemu dengan beruang ini, tangkaplah satu untukku. Akan kubayar 100 kepeng emas untuk selembar kulitnya yang halus. Mengerti?" "Ya, pak." jawabku datar karena tak begitu mengerti dengan perkataannya. Binatang buas disekitar sini hanya ada macan dan harimau, kecuali badak karena mustahil menguliti kulitnya yang super keras. "Berjuanglah menemukan binatang itu, Ahras. Aku bisa kaya kalau menjual karpet halus ini. Ha ha ha..." Tak kuhiraukan kegembiraan pak Karni yang berlebihan. Karena mustahil menemukan binatang itu di daratan ini. Jika Ia bilang, karpet itu dari negeri seberang lautan, berarti hewan bernama beruang itu berada jauh disana. Atau jika mereka bernyali untuk berenang kemari. Uh,,, sungguh menjengkelkan hari ini. Tapi aku bersyukur, di kota yang munafik ini, masih ada orang baik seperti dirinya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN