Chapter I. 07 : Saras

2939 Kata
Penjelahanku menyusuri kota, tak semudah yang aku perkirakan. Jalanan begitu ramai dan dipenuhi teriakan dari pedagang yang menjajakan dagangan mereka. Tapi, tujuanku yang pertama adalah menuju sebuah Butik atau tempat pedagang pakaian. Butik yang kutuju adalah butik mbok Rondo. Butik itu terkenal dengan kebaya-kebaya berkelas dan menawan. Bahkan selir istana sering sekali mampir kesini untuk mempercantik tubuhnya. Sampailah aku di toko butik itu. Banyak pakaian mahal terpajang disana. Ada yang berbentuk kain dan ada pula yang sudah jadi. Hampir semua bahannya terbuat dari satin tipis sehingga bisa menerawang lekuk tubuh pemakainya. Sesaat setelah aku memasuki butik itu, seorang gadis menyapaku. "Selamat siang mas, mau cari kebaya untuk istrinya ya?" Ujarnya penuh goda. Mataku langsung menoleh ke arahnya. Sesaat aku tertegun dengan kecantikan bidadari muda itu. Kulitnya coklat dengan alis tipis. Senyumnya dihiasi lesung pipit yang membuat wajahnya begitu manis. Ditambah lagi dengan bola matanya yang kecoklatan dan bening tak bernoda. Kebaya coklat dan tranparan sangat proporsional di tubuhnya. Stagen dan kendit yang mengikat pinggangnya, seakan membusungkan buah dadanya yang ranum. Tapi, yang lebih membuatku tergoda adalah bongkahan pantatnya yang membuat siapapun tergoda. "Mas, kenapa diam saja. Nanti kesurupan lho." Celetuknya seraya tertawa. Saat Ia tertawa, telapak tangannya menutupi bibirnya, seakan tak membiarkan siapa saja melihat giginya yang putih. "Ah, aku ingin cari kebaya wanita dan pakaian untuk gadis berusia 8 tahun." "Oh. Sebelah sini mas. Silahkan!" Ia memanduku melewati beberapa tumpukan kain yang membumbung tinggi. Aku mengikutinya dari belakang seraya menikmati lenggokan pantatnya yang bergoyang. Kekiri dan kekanan, bagai seorang penari ronggeng. Setelah melewati lorong-lorong yang bersekat dengan tumpukan kain. Sampailah kami di sebuah pojokan. Disitu, terpampang kebaya khusus gadis kecil yang warna-warni. "Kita pilih untuk anak mas dulu." Katanya seraya berbalik menghadapku. "Anak mas, usia berapa?" Aku masih termenung menatap matanya yang sayu. Kuikuti setiap gerakan bola mata lentiknya. Namun, aku terperanjat ketika ia protes. "Mas!" katanya dengan sedikit membentak. "Ah, 8 tahun." "Hmn, mas dari tadi lihatin apa sih?" "Ah, tidak lihatin apa-apa, cuman...." "Cuman apa?" Dahinya mengernyit penasaran. "Cuman, kok gadis secantik kamu bisa kerja disini sih." "Lha mau kerja dimana lagi sih mas?" "Kan bisa kerja di kedaton. Lumayan, upahnya besar!" Godaku padanya. "Gak ah mas. Nanti digodain Pangeran." "Hmn, bisa aja kamu." Aku terkekeh pelan seraya memilih warna kebaya yang sekiranya cocok untuk kulit Niar. "Eh, bener lho mas. Katanya, pangeran kedaton orangnya m***m, sering nyabulin gadis-gadis kota." "Ah, apa iya." "Iya mas, terakhir malah sampai hamil. Itulah sebabnya Prabu sakit-sakitan memikirkan ulah anaknya. Mau jadi apa Kota ini jika Prabunya nanti mesum." "Ya, jadi tempat mesum." Ia terkekeh seraya mencubit tubuhku, namun cubitannya tepat mengarah ke putingku. Rasanya sedikit geli dan membuat tubuhku bergidik. Aku berpikir, liar juga gadis satu ini. Berani memegang tubuh pria yang tak dikenalnya. Aku kembali menatap dirinya. Darahku berdesir hebat di otak. Aku tak biasa dengan rasa ini. Tiba-tiba saja, gairahku bangkit dan batang kejantananku seakan memberontak dari celanaku. Sehingga meninggalkan tonjolan halus dibalik kainnya. Beribu cara aku pikirkan. Dari mulai mengajaknya makan siang ini atau menunggu Ia pulang kerumah. Namun tak mungkin, waktuku tak banyak disini. Dan juga, walau toko ini sepi, kuyakin masih ada orang yang akan masuk kemari. "Tak seperti biasanya, kenapa butik ini sepi." Ujarku basa-basi. "Iya mas, orang pada pergi ke kedaton." "Lho, ada apa di kedaton." "Tak tahu, mungkin sedang ada acara." Katanya seraya melipat beberapa kebaya yang ter-umbuk begitu saja. "Sebentar lagi butik ini juga akan tutup. Eh, kebetulan mas datang, jadi di tunda dulu tutupnya." Secercah cahaya memancar begitu cerah dari pikiranku. Sepertinya keberuntunganku kembali lagi, setelah kejadian mengesalkan tadi. Kupirkan cara untuk menggaulinya, sekarang juga. Tapi, aku bukanlah pemerkosa murahan yang hidup dalam keblisatan setan. Harus kulakukan secara hati-hati dan dengan hati. "Jadi, aku ganggu nih." "Ah, tidak mas. Silahkan pilih dulu." Sanggahnya karena takut aku tersinggung. Lalu, aku menangadah. Kulihat beberapa kebaya berukuran kecil berada di barisan paling atas tumpukan itu. Lalu, aku menunjuknya. "Bisa lihat yang itu." "Bisa mas." Ia berpaling dan berlari kecil untuk mengambil sebuah bangku kayu yang sedikit reot. Lalu Ia berdiri di atasnya untuk mengambil pesananku. Sejenak, kunikmati lekukan pantatnya yang menungging secara alami. Sungguh menyenangkan jika kejantananku yang sudah tegang bersentuhan dengan kelembutan yang mengkal itu. Mendadak aku teringat pada Saras yang jauh disana. Aku ingat ketika pertama kali melihat pantatnya yang sekal dan lembut. Hal ini membuat kejantananku semakin mencuat membentuk sebuah lereng tajam di celanaku. "Mas, yang mana mas?" Tanyanya. Namun aku hanya terdiam terpaku melihat dirinya yang sibuk memilih kebaya. "Masssss!" Protesnya dengan nada sedikit panjang. Tubuhnya bergoyang seakan memberontak dari tatapan liarku. "Oh, yang merah itu." Ia lalu menarik kebaya itu dengan sedikit kesal. Dan aku sedikit merasa bersalah dengan tingkahku tadi. Tapi, Ia tetap pelayan yang baik. Ia berusaha untuk tetap tersenyum. Setelah memilih pakaian untuk Niar. Sekarang aku akan memilih pakaian untuk Saras. Kami menyusuri beberapa koridor dan sampai di bagian kebaya khusus wanita dewasa. "Sekarang untuk istri mas. Modelnya bagus-bagus dan pasti cantik jika istri mas yang pakai." Rayunya basa-basi. "Hmn, yang atas itu." Ujarku saraya menunjuk bagian yang lebih tinggi tapi tak setinggi pemilihan kebaya Niar tadi. Jadi Ia harus berjinjit untuk mengambil kebaya pilihanku. Namun, Ia tak juga sampai. Ia sedikit meloncat, sehingga pinggul dan dadanya bergoyang. Aku berdiri tepat di belakangnya dan tertegun melihat tingkahnya yang seksi itu. Lalu, sebuah muncul dari benakku. "Biar kubantu." Kataku seraya berjinjit. Posisiku yang tepat di belakangnya memaksa kejantananku yang sudah tegang bersentuhan dengan pinggangnya. Hal itu membuatnya sedikit tertekan ke arah tumpukan kain yang tinggi. Aku seperti kejatuhan durian runtuh. Ia tak beranjak dari gencetanku. Seakan Ia menerima lengkuhanku yang pura-pura tak sengaja. Aku yang tahu, tak ingin cepat melepaskannya. Sengaja kupilih-pilih bagian atas. Sembari menggesekan kejantananku yang sekarang tepat mengenai bongkahan pantatnya yang kenyal. "Hmn, yang ini, ah bukan, yang ini, terlalu mencolok." Gumamku seraya menikmati setiap gesekan tongkatku. Kurasakan aroma harum dari rambutnya yang disanggul. Serta desahan nafasnya yang mulai mendengus. Tapi, setelah cukup lama, aku melepaskannya. Aku tak ingin kelepasan begitu saja. Kulihat wajahnya memerah dan bahasa tubuhnya salah tingkah. Ia berubah menjadi linglung. Bibirnya yang sedari tadi tersenyum,  sekarang sedikit terbuka. Seakan lubang hidungnya tak cukup lebar untuk menghela nafasnya. "Yang ini mas." Ujarnya. "Hmn," kataku seraya mengusap kain halus kebaya itu. "Ada yang lebih besar sedikit dari ini." "Ada mas." Ia berjalan menyusuri lorong berdinding tumpukan kain-kain jarik. Aku yang dipenuhi birahi tetap mengikutinya, seakan tak ingin menyia-nyiakan setiap detik bersama gadis ini. Ia membimbingku di bagian dimana kebaya berbagai ukuran tersusun rapi disana. Tiba-tiba, Ia berhenti, sehingga terbeslit sepersekian detik ide untuk menabraknya. Aku sengaja tetap berjalan, hingga menabraknya belakang. Hal itu memaksa kejantananku bertubrukan dengan pantatnya lembut. Kejantananku yang mengacung keras menusuk selangkangannya yang terbungkus kain jarik yang sedikit kendor. Panjangnya juga sebatas lututnya saja. "Auch!" Lengkuhnya. Entah lengkuhan nikmat atau kesakitan. Tapi sepertinya, Ia tak jua menjauh dariku. Ia seakan mengabaikan sentuhan kejantananku yang mengacung keras dan mengganjal selangkangannya. "Sebentaarrr masss, akuuuh aambilkan." ujarnya dengan nada sedikit melengkuh karena nafasnya naik turun ketika mengatakan itu. Matanya tertuju pada beberapa tumpukan dibagian bawah. Tanpa melepaskan sentuhan pantatnya, Ia menekuk badannya ke depan untuk mencari pesananku. Birahiku menjadi-jadi ketika Ia menungging sehingga kejantananku sedikit leluasa bergesekan dengan bagian sensitifnya. Lalu, kugesekan pelan kejantanku. Maju, mundur, maju, mundur, kekiri dan kekanan. Sehingga membuat darahku berdesir dan kakiku bergetar. Cukup lama ia mencari kebayaku. Entah, Ia sedang mencari atau menikmati. Kulanjutkan perlakuanku, kali ini kedua tanganku berada di pinggangnya, sehingga kejantananku terasa lebih mudah menekan selangkangannya. Lalu, Ia bangkit dari tunggingannya dan berbalik ke arahku. Caranya membalikan badan sungguh memberikan sensasi cemerlang di tubuhku. Dari selangkangannya, pantatnya, pinggangnya sengaja disapukan ke kejantananku. Hal itu membuatku menggelinjang nikmat dan melengkuh lirih. "Ini mas, ukuran yang sedikit besar." Ia mengatakan itu dengan tatapan sayu. Engahan nafasnya seakan disembunyikan dariku. "Kurang besar sepertinya, buah d**a istriku besar." Aku meracau tak tahan. "Oh, sebesar apa? apa lebih besar dari punyaku." Katanya seraya melirik kebawah kearah buah dadanya. Dadanya membusung sengaja diperlihatkan agar lebih besar. "Coba lihat." Aku yang sudah kesetanan meremas dadanya di balik kain kebayanya, walau tak sebesar milik Saras. Namun cukup membuat tanganku meresap. Jemariku merengkuh dan memijat, sehingga Ia melengkuh. "Sebentar, aku carikan lagi, yang lebih besar." Ujarnya seraya membalikan badannya. Lagi-lagi, Ia melakukan hal yang sama seperti tadi. Aku yang sudah tahu posisi itu, langsung menancapkan kejantanku ke selangkangannya. Kali ini aku semakin berani, tanganku membelai pahanya yang halus dan menyingkap jariknya. Ia sepertinya tak menghiraukanku. Entah pura-pura tak tahu atau memang tak tahu. Dengan sigap, kukeluarkan kejantananku yang hanya mengintip saja di balik celanaku. Tanpa di perintahnya lagi, aku mencari sebuah lubang di rimbunnya rerumputan hitam nan sembab itu. Ternyata, bulunya begitu lebat dan dipenuhi dengan lendir yang sedikit menetes di pahanya.  Dengan segala upaya, aku menusuk bagian kewanitaan yang ternyata sudah longgar itu. Serasa licin dan basah. Tapi yang aku heran, Ia tetap melakukan pekerjaannya mencarikanku kebaya. Sungguh, sebuah dedikasi yang tinggi untuk sebuah pekerjaan daripada menikmati kenikmatan bersamaku. Pinggulku bergerak perlahan, mengikuti alur rongga yang licin itu. Tak lama, Ia bangkit dengan kejantanan menancap di rongganya. "Aaahhhh mas, Iiinniii cuukuupp gaaakk?" Katanya dengan nafas tersengal. Kepalanya tak tegak lagi, lehernya lunglai mengikuti setiap sodokanku yang semakin lama semakin cepat. Aku tak menjawab pertanyaannya. Aku hanya terbius dalam nafsu yang menggebu. Kutarik kedua tangannya ke belakang, sehingga Ia seperti seorang tahannya yang terikat. Posisiku seperti layaknya seseorang yang sedang menunggang kuda dengan tali kekang berubah menjadi kedua tangannya. Kuda itu berlari kencang dan bergoyang, seolah tak pernah berlari lagi. Tapi, aku salut dengan dirinya. Walau Ia sudah sangat basah, bibirnya tetap mencoba untuk berlaku sesuai pekerjaannya sebagai pelayan toko. “Maaas, maaauh caaariii aaapaahh laaagihh?” katanya mendesah, rupanya ia tetap menikmati sodokanku yang kian cepat. Dengan nafas berat dan berpacu senada dengan hentakan pinggulku, aku mencoba untuk mendekatkan bibirku ke daun telinganya yang mulai berkeringat. “Aku ingin beli stagen, kendit, jarik dan kutang. Masing-masing dua buah.” Lalu, kusentil daun telinganya dengan lidahku. Ia menepisnya dengan menjauhkan kepalanya bibirku. Hal itu membuat kepalanya meleng, namun leher yang jenjang terpampang di hadapanku. Segera saja, kudaratkan kecupanku di lehernya yang jenjang. Ia berkelit karena geli, tubuhnya bergoyang merasakan sensasi tak tertahankan. Kulancarkan gelitikan ringan dengan lidahku yang menari nakal. Seakan lehernya adalah sebuah lantai dansa. Perlakuanku lidahku bergerak dari pangkal bahu sampai pangkal lehernya. Kegiatan itu membuatnya merem melek. Tapi, ia masih sangat profesional. Ia tetap ingin mengantarku ke tempat dimana pesananku berada. “Masssss!” “Hmn, ada apa?” “Lepas dulu, anunya?” “Kenapa?” “Kita harus pindah tempat!” Aku tak rela kejantananku terlepas begitu saja, sehingga memikirkan ide untuk tetap menancapkan kejantananku di tempatnya. “Ndak usah dilepas, hmn. Sambil jalan saja.” Ujarku seraya menjilat daun telinganya, sehingga Ia menggelinjang pelan merasakan sapuan lidahku. “iiii--ih, gimanah caraanyaahhh aaauhhh?” Sejenak, kuhentikan genjotanku. Kurasakan pantatnya bergoyang, seakan sedari tadi ia sudah mengimbangin perlawananku. Pantatnya bergoyang berputar, sehingga menimbulkan rasa ngilu di kejantananku yang seperti diplintir oleh dinding rahimnya yang berlendir. Lalu, kulingkarkan tanganku. Telapak tanganku mencekik lehernya, namun tak benar-benar mencekik, hanya meraihnya saja agar kepalanya lebih dekat dengan bibirku. Punggunya bersandar di dadaku dan kepalanya terkulai di bahuku. “Jalan saja, kemana kita harus mencari yang lain!” Tangan yang menunjuk lunglai arah yang kami tuju. Sebuah tumpukan kain yang jauh lebih dalam di toko yang besar itu. “Disanahhh massss ssshhh!” “Baik, ayo jalan.” Kulingkarkan tangan satunya tepat di perutnya. Kukerahkan sedikit tenagaku untuk menarik tubuhnya sedikit keatas. Kakinya yang berjinjit membuat lubangnya semakin luas. Pantatnya semakin menungging dan tangannya terkulai kebelakang, sehingga dadanya membusung. Lalu, Ia mulai berjalan pelan. Kami berjalan sepelan mungkin agar bagian tubuh kami yang menyatu nikmat. Sungguh nikmat ketika ia melangkah, langkah kakinya membuat pahanya bergerak, sehingga memberikan rasa gesekan yang membengkok. “Uhhhhh, eennnaaaakkk!” aku meracau. Kaki-kaki kecilnya seakan semakin merapat, sepertinya ia tahu dengan kesukaanku. Setelah hampir lima puluh langkah, kami berdua sampai di areal tumpukan jarik. “Pilih yang mana masss!” “Yang inii!” Kujawab ia dengan nada sedikit membentak diiringi dengan hentakan pinggangku yang beradu dengan pantatnya. “Auhh, yaang manahhhh?” “Yang iniiiiih!” kuulangi lagi peelakuanku yang membuat dirinya terdorong kedepan hampir jatuh. Namun tangan kekarku dengan sigap menarik dirinya. Percakapanku ini sebenarnya bukan tentang jarik, tetapi tentang rongganya yang semakin basah. Kurasakan sensasi licin ketika kutarik kenjantanku, saat kudorong rasanya kesat dan peret. “Yang maannaaa masss? Yangg iniiih yaahhh!” “Yang inihhhh!” Kali ini kulancarkan sodokanku berkali dari belakang ke selangkangannya. Pinggulku dan pantatnya beradu sehingga menghasilkan bunyi tepukan yang kuat. “Auuhhhh, Ihhhh, ihhhh ihhhh ihhh!” desahnya lirih senada dengan hentakanku. Ia semakin tak terkendali, tubuhnya melengkung kedepan dan pantatnya menungging. Kepalanya mendongak dan ikatan gelung rambutnya sudah mulai kendor. Setelah cukup lama aku menghentak dirinya. Rasa kejut bagai tersengat petir melanda diriku. Darahku mengalir cepat dari bawah kaki ke otakku. Mengisi setiap sel-sel super kecil nan halus. Bagai sebuah percikan kembang api yang disulut api. Tubuhku mengejang dengan kejantanan terbenam semakin dalam. Ia juga melakukan hal sama, pantatnya bergerak erotis dan menekanku. Seakan kami saling menekan satu sama lain. Sejenak kunikmati sensasi tabu itu. “Huuhhh, aku keluar.” gumamku seraya mencabut kejantananku padanya. Aku menatap dirinya yang berdiri mengangkang. Wajahnya tertunduk seakan penasaran dengan perubahan bentuk kulit luar kewanitaannya yang tadi kencang, sekarang memerah dan bergelambir, belum lagi cairan kental seputih s**u sedikit menetes di pahanya. Lalu, kulihat jemari rampingnya mengusap bagian kenikmatannya untuk membersihkan sisa-sisa lendir kenikmatanku. Ia tersenyum menatapku, pipinya yang lesung pipit sekarang merah merona seakan kebahagiaan menghampiri dirinya. Kebahagiaan yang tak pernah ia dapatkan sebelumnya. Berbeda denganku, aku telah kelewatan. Cairanku telah menembus rahimnya dan membuat gadis itu hamil tak lama lagi. Mataku membelalak seakan memikirkan bagaimana selanjutnya hidupku, apakah aku akan kembali ke desa bersamanya, dan hidup berempat dengan dua wanita cantik dan seorang gadis kecil. Tetapi, apakah Saras akan menerima gadis ini. Apabila iya, aku akan menjadi seorang pemuda desa dengan istri dua. Aku dapat menggauli mereka kapan saja dan dimana saja. Aku harus mengatakannya, “maaf, aku akan bertanggung jawab, sekarang ikutlah denganku kembali ke desa.” Ia yang menatapku panik, hanya tersenyum. Senyumnya berkata lain dengan dugaanku. “Kenapa mas minta maaf, harusnya aku yang berterima kasih.” Apa, kenapa Ia berbicara seperti itu! Kata batinku. “Tapi--” “Sudah-sudah, biar aku jelaskan?” Ujarnya menenangkan kepanikanku, “Sudah dua tahun aku menikah tapi tak punya momongan, ayah dari suamiku menyarankannya untuk berpisah denganku. Tapi saat melihat mas tadi, terbeslit pikiran untuk menanamkan benih orang lain di rahimku. Semoga benih ini subur di perutku. Itulah sebabnya aku berterima kasih dengan mas.” Aku tertegun dengan keberanian gadis belia ini. Kata-katanya yang lugu menghanyutkanku dari jurang kesedihan mengalir ke muara kebahagian. Sungguh pelik kehidupan ini, disaat pria menginginkan ini itu, sang wanita harus sedia menyediakannya. Aku salut dengan keberanian sang gadis yang dari tadi sengaja merayuku. Aku lihat ia mengelus perutnya seakan jabang bayi hasil hubungan haram sudah tertanam di rahimnya. Lalu matanya sembab, sembab bukan karena penyesalan, tapi kebahagian yang sangat ia tunggu. Aku hanya bisa terdiam, tak berkata apapun. Aku merasa, setiap perkataanku akan salah dihadapannya. “Siapa namamu mas?” Aku kembali menatapnya, walau sebenarnya aku tak pantas untuk berada dihadapannya. Aku berpikir bahwa tadi ia adalah seorang setengah p*****r yang dapat dirayu siapapun. Namun aku salah besar, sebenarnya ia adalah gadis paling berani yang pernah aku kenal, walau aku belum menanyakan siapa namanya dan baru ketemu hari ini. Bibirku bergerak senada dengan getaran badanku, “Ahras.” “Ahras, nama yang bagus, aku akan menamai bayiku dengan nama itu. Jika ia laki-laki. Ia akan seganteng dirimu dan memiliki batang yang memanjakan setiap wanita.” Ia mengatakan itu seraya mendekatkan wajahnya kepadaku. Kurasakan setiap hembusan nafasnya ketika bibirnya mengecupku. Sejenak, aku membiarkannya menikmati setiap gerakan lidahku yang tertaut dengan lidahnya. Senja telah melanda kota Ardaka. Para pedagang mulai menutup toko-tokonya. Hiruk pikuk terjadi diiringi dengan gemuruh mega yang menghitam menutup intipan sang mentari yang biasanya berwarna jingga. Aku menyusuri jalanan perkotaan yang mulai lenggang. Kakiku masih lunglai karena pergulatan rahasia dengan gadis penjaga butik. Namanya Lastri, ia mengatakan itu sebelum kami berpisah dengan perasaan bahagia. Tak henti-hentinya ia berterima kasih denganku karena telah memberikan benihku padanya. Alhasil, ia memberikan secara cuma-cuma barang yang kubeli. Walau tak enak hati, tetapi hari ini keberuntunganku. Uang hasil menjual kainku masih utuh dan aku dapat menikmati rongga kewanitaannya yang kesat. Aku menuntun kereta kudaku melewati sebuah kedai kopi tempat aku biasa menjual kopiku. Aku berencana untuk mampir sebentar dan menikmati hasil kebunku sendiri. Lagipula, aku tak enak dengan pak Sumiran, pemilik kedai. Kedai pak Sumiran adalah pemilik kedai yang menjadi langgananku dan langganan kakekku. Menurutnya, biji kopiku berbau seperti arang, sehingga apabila diseduh akan menghasil bau yang harum yang menyengat. Rasa pahitnya juga sangat pas di lidah. Setelah menambatkan kudaku, aku memasuki kedai pak Sumiran yang terkenal ramai. Racikan tuak, kopi dan tehnya nomor satu di kota Ardaka ini. Terlihat banyak pengunjung yang hadir di kedai itu. Ada yang hanya sekedar duduk termenung, mengobrol dan bermain gaple. Semuanya hingar bingar dalam situasi yang riuh. Lalu, aku duduk disebuah meja kosong di ujung ruangan. Aku tak melihat pak Sumiran disini, mungkin ia berada di belakang. Hanya ada beberapa pelayan wanita saja yang terlihat. Tak lama aku duduk, seorang pelayan berjalan kearahku. “Ahras,” sapa seorang wanita yang bernama Ratih itu. Ia adalah istri keempat dari pak Sumiran. Usianya masih kepala tiga menurutku. Tetapi menurut gosip yang beredar pak Sumiran tidak pernah memperistri wanita lain, kecuali istri pertamanya yang meninggal tiga tahun lalu. Hal ini hanya untuk melindungi pegawainya dari para hidung belang yang mabuk di kedainya. Tak segan-segan, pak Sumiran yang dulunya adalah mantan pasukan penjaga, mengeluarkan kerisnya untuk menakuti para pengunjung yang membuat onar ini. “Nyi Ratih,” aku membalas sapaannya. “Apa gerangan kau kemari, biji kopimu masih banyak.” “Ah, tidak nyi. Aku hanya kebetulan mampir. Bisa bawakan aku segelas kopi dan beberapa makanan kecil.” Ratih tersenyum dan berbalik menuju dapur. Kulihat lenggokan badannya yang gemulai menghindari beberapa kursi yang mempersempit ruangan ini. Sebenarnya, Ratih masih sangat cantik di usianya yang ke-30. Kulitnya masih kencang, pinggangnya yang ramping dan dadanya yang tidak terlalu besar, tapi cukup untuk membuat pria terangsang. Dikabarkan ia seorang janda korban perang. Sejenak, birahiku sedikit naik ketika melihat Ratih. Apalagi, saat aku membayangkan mendesah di bawah dekapan tubuhku. Sungguh, keberuntungan besar jika aku sampai mendapatkannya, terutama hari ini.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN