Lamunan binalku terhenyak ketika aku mendengar suara ketukan gelas yang menyentuh meja kayu. Kopi dan makanan kecilku sudah datang di meja. Aku melihat belahan dadanya ketika Ratih sedikit membungkuk untuk meletakan pesananku. Tapi aku hanya tersenyum saja kepadanya, untuk memberi keakraban lebih. Sejenak, kunikmat serutupan kopi racikan kedai pak Sumiran. Rasanya pahitnya pas dan panasnya tak menyengat bibir. Aku pernah sekali melihat pak Sumiran menyeduh kopi. Ia menyaring air panas dari teko menggunakan kertas tipis agar panasnya terserap di kertas, sehingga rasa kopinya tidak menguap karena panas berlebih. Sepertinya aku bisa menirunya di desa, tapi kertas harganya mahal. Aku tak yakin dengan hal itu. Tiba-tiba dari pintu kedai, masuklah beberapa pasukan penjaga yang bertubuh kekar

