[Pah, hari ini jangan lupa. Papa sudah janji mau nganter mama ke bank buat ngeprint buku tabungan.]
Kukirim pesan melalui aplikasi w******p pada kontak suamiku yang telah berubah nama jadi Pak Kumis. Sapaan khas anak didiknya ketika dia berada di Sekolah. Tidak ada alasan khusus kenapa aku menggunakan nama itu pada kontak ponselku. Hanya iseng sekaligus membiasakan diri jikalau kemungkinan buruk terjadi pada pernikahan kami. Tidak mungkin kan aku masih menyimpan kontaknya dengan nama 'suamiku' jika pengadilan memutuskan statusku jadi janda cerai.
Dua puluh menit telah berlalu, namun ponselku masih membisu. Tidak ada balasan dari Raga meski sudah kutelepon. Berulang-ulang hingga akhirnya aku tidak bisa menunggu lagi. Bosan.
Kuputuskan untuk mengirim pesan kepada salah satu keponakan Raga yang sebelumnya cukup dekat denganku. Membuang semua pikiran buruk tentang kemungkinan dia tidak akan membalas pesanku karena membenci diriku. Iya, karena aku telah membuat pamannya malu.
Aku sempat memposting perselingkuhan Raga di status f*******: dan w******p, yang otomatis membuat semua orang yang menjadi friend list-ku tahu tentang keburukan Raga. Termasuk keluarga Raga yang hampir semuanya adalah temanku di kedua aplikasi tersebut. Salah satu dari mereka bahkan sempat ada yang bertanya tentang siapa perempuan yang menjadi idaman Raga sekarang dan terkejut begitu tahu perempuan itu masih gadis belia.
[Assalamualaikum...]
[Neng, tolong bilangin sama Om Raga. Cepat balas pesan w******p dari tante. Tante tunggu!]
Aku menanti balasan dengan perasaan cemas. Apakah akan dibalas? Apa dia akan menelepon balik untuk menanyakan keadaanku setelah sebelumnya aku memposting wajah ancurku di status w******p? Atau....
Lamunanku pecah berbarengan dengan suara notifikasi dari ponselku. Sebuah pesan dari keponakan Raga masuk. Begitu kubuka,satu pesan lainnya pun ikut muncul.
[Lagi sibuk kali, Tan.]
[Waalaikum slm...]
Aku nyaris bengong, tidak bisa berkata apa-apa mendapat balasan singkat itu. Tidak ada pertanyaan untuk sekadar basa-basi, terutama mengenai kondisiku sekarang setelah didamprat oleh Raga.
Aku menarik nafas dalam-dalam lalu membuangnya perlahan. Oke, sepertinya kali ini aku terlalu banyak berharap. Terlalu naif untuk berpikir baik-baik saja, hingga menganggap dia akan tetap memperlakukanku sama seperti sebelumnya.
"Oh... come on, Kim! Kamu sudah mempermalukan Raga dengan kabur ke Kantor Polisi." Sebagai keluarga, tentu saja mereka tidak akan menerima itu, meski mereka tahu sikap ganjen Raga adalah biang kerok dari semuanya.
Sambil tetap menunggu balasan dari Raga, aku pun mulai mengingat-ingat ucapan kakak tertuaku tempo hari. Ada sebuah peribahasa bahasa Sunda yang diucapkan Kak Sella padaku. Kurang lebih seperti ini, 'Sagoreng-gorengna ge adi, tetep we adi sorangan'
Sebelumnya, aku mengira itu tidak akan terjadi pada keluarga Raga. Kukira mereka akan peduli padaku setelah kebersamaan kami selama hampir sembilan tahun. Kukira mereka akan cemas padaku. Kukira....
Aku buru-buru membuang semua pikiran itu. Stop! Kualihkan pikiranku dengan mengajak bermain si kecil bersama keponakan laki-lakiku yang umurnya dua tahun lebih muda dari Kris namun memiliki tubuh yang sama. Aku mengajak mereka bermain kuda-kudaan yang otomatis akulah yang menjadi kudanya. Dan, meski lelah, aku sangat bersyukur. Karena dengan ini, aku bisa melupakan semua permasalahanku yang sekaligus menyelamatkan diriku dari depresi. Tadi, kalau aku tidak segera mengalihkannya, emosiku sudah hampir meledak.
***
Ponselku masih tetap redup hingga suara adzan duhur berkumandang. Selama itu, Raga hanya membalas pesanku satu kali. Dia mengatakan akan datang sehabis sholat jumat karena harus menyelesaikan pekerjaan rumah dulu. Ada banyak baju kotor yang harus dicuci dan dia harus segera mencucinya supaya Kakak bisa memakai seragamnya hari senin nanti. Jadwal libur Raga memang berbeda, liburnya hari jumat dan minggu. Tidak seperti orang lain yang dapat jatah libur sabtu dan minggu.
Dulu, meski aku tergolong istri pemalas, aku tetaplah seorang istri rumahan yang mengerjakan semuanya. Mencuci, menjemur, nyetrika, masak dan lain sebagainya. Meski begitu, aku juga tidak menampik kalau Raga sering membantuku menyelesaikan salah satu tugasku. Hal sederhana yang membuatku sangat bersyukur memiliki suami seperti Raga. Berbagi tugas saat aku sibuk mengurus si kecil yang masih bayi.
Aku tidak akan menampik kalau aku kasihan dan tidak sampai hati membayangkan Raga mengerjakan pekerjaan rumah sendirian. Segesit apa pun dia, Raga tetaplah laki-laki yang tidak bisa segesit dan serapi aku dalam hal ini. Aku yakin, jika tidak disetrika, baju hasil jemurannya akan mirip gulungan mie. Kusut.
Aku ingin pulang untuk membantunya. Tapi, mengingat kembali ucapan Raga yang terlampau menyakitkan, membuatku urung. Aku harus membiarkan Raga mengurus semuanya untuk memberi dia pelajaran. Setidaknya, sampai dia sadar kalau pekerjaan rumah itu lebih berat ketimbang bekerja di kantor atau sekolah. Biarkan dia merasakan apa yang kurasakan selama ini. Jika dia tidak bisa menyadari dan tetap menuduhku sebagai istri tidak sempurna, berarti Raga benar-benar sudah gila. Tergila-gila oleh gadis belia itu hingga membuat otaknya tidak berfungsi lagi.
Aku tidak tahu, apa yang ada dalam Raga sampai melupakan janjinya. Dia mengatakan akan datang sehabis sholat jumat, tapi tanpa pemberitahuan dia menundanya hingga pukul empat belas.
Dia datang sembari mengatakan maaf karena molor hingga dua jam. Alasannya, Kris tertidur saat makan dan dia tidak tega membangunkannya. Sementara, dititipkan juga tidak mungkin. Kakak-kakaknya sibuk.
Seketika, jiwa jahatku bergeliat. Aku tertawa melihat Raga yang kelelahan. "Rasakan! Kamu kira hidup tanpaku enak? Makannya jangan loyal sama orang lain kalau saat susah seperti sekarang mereka sama sekali tidak membantumu."
"Kamu sengaja kan ingin mengulur waktu? Kamu takut aku mengetahui kebusukanmu? Kenapa?" Aku sudah tidak bisa menahan amarahku sesaat setelah membaca pengumuman "close" di pintu kaca bank. Iya, akibat ulah molor Raga, aku tidak bisa mengeprint dua buku tabungan Raga yang menyimpan bukti perselingkuhannya dengan gadis ikan itu.
Berbagai spekulasi negatif pun muncul ke dalam pikiranku. Membuat emosiku meluap dan tidak terkendali.
"T-tidak!"
"Tuhan... apa yang terjadi padaku? Kenapa aku bisa bersikap seperti orang gila? Kenapa aku tidak bisa mengendalikan emosiku? Kenapa kau membiarkan mereka menyakitiku dan membuatku hancur seperti ini?"
"Pergi!" Aku menepis tangan Raga yang berusaha meraih tubuhku. Ajakan pulang darinya terus aku tolak. Sebaliknya, di luar kendaliku, kakiku terus melangkah, tanpa arah.
"Ayo pulang. Aku minta maaf. Maaf sudah menghianati kamu. Maaf sudah membuatmu terluka. Tapi, aku juga tidak bisa mengulang waktu. Semuanya sudah terjadi." Raga berusaha membujuk. Tapi tetap kutolak. Aku tetap melanjutkan langkahku sembari mengumpat pada Raga.
"Jangan ajak aku pulang. Pergi! Bawa gadis sialan itu ke hadapanku dan suruh dia beraujud padaku! Baru aku akan memaafkan kalian!" []
***