Satu minggu sebelum badai.
Aku pernah menonton berita di televisi dengan judul 'seorang istri tega mengajak kedua anaknya menegak obat serangga setelah mengetahui suaminya menikah lagi'. Sang ibu bersama anak bungsunya yang masih balita meninggal, sementara si anak sulung dikabarkan dirawat di ruang ICU sebuah Rumah Sakit di Ponorogo.
Saat itu, aku yang tidak tahu sesakit apa diselingkuhi dan mengetahui lelaki yang mengikat janji sehidup semati denganku mencintai perempuan lain, hanya bisa mencemooh perempuan itu. Menuduhnya sebagai perempuan paling bodoh karena menyia-nyiakan nyawanya demi laki-laki sinting yang memiliki hobi mengoleksi isi s**********n atas nama sunnah. Suatu penomena yang belakangan marak terjadi di negaraku. Menikah lagi secara diam-diam, membohongi istri pertama dan saat ketahuan akan berkata sedang menjalankan sunnah dan memaksa istri pertama untuk ikhlas. Lalu, jika tidak akan diceraikan dan memilih hidup bersama istri keduanya yang dari segi fisik memang lebih fresh dan lebih muda ketimbang istri pertama.
[Bodoh banget, ya? Kalau aku yang jadi dia, mending minta cerai aja. Habis itu nyari nyari laki-laki lain yang lebih baik dari mantan suaminya.]
Itu adalah bunyi komentarku yang kukirim pada status temanku yang kebetulan memposting berita tersebut.
[Iya. Heran bisa cinta mati begitu?]
[Padahal sama sekali nggak ganteng.]
[Gantengan kucing aku.]
Kami terus melempar komentar yang hampir seluruhnya membuli perempuan itu. Tetap menganggap dia bodoh karena terlalu larut dalam kesedihan hingga tidak mampu berpikir jernih lagi. Bunuh diri karena patah hati. Sungguh sia-sia sekali hidupnya.
Aku termenung. Duduk menghadap meja kerja di kamarku dengan kepala terkulai di atas meja. Dalam diamku, kilasan bayangan itu muncul satu-per satu ke dalam pikiranku. Membuatku yang sudah bermuram durja kian sedih. Apakah aku akan mengalami hal sama seperti perempuan itu? Apakah aku akan ikut serta menyeret ketiga anakku ke dalam permasalahan kami? Mengajak mereka pergi untuk selamanya dari dunia ini?
"Ya Allah...," kuusap wajahku. Lalu melafalkan doa dan sholawat untuk mengusir bisikan yang satu bulanan ini selalu tekun menyuruhku untuk menyelesaikan masalah dengan cara bunuh diri. Entah dari mana datangnya? Yang jelas telingaku selalu mendengarnya.
"Ambil pisau di dapur, lalu potong pergelangan tanganmu. Niscaya Raga akan menyesal seumur hidup. Kehidupan dia di masa depan pasti akan kacau karena perasaan berdosa."
Bisikan itu kembali datang. Kututup telingaku menggunakan tangan. Dan... bukannya pergi, bisikan itu malah semakin menggila. Tidak hanya menyerang pendengaranku, tapi mulai merambat menyusup ke dalam pikiranku.
"Lakukan saja, Kim! Raga pasti akan dihantui rasa bersalah seumur hidupnya."
"Tidak! Aku belum siap mati! Aku takut masuk neraka!" aku berteriak. Kedua tanganku bergerak dari telinga ke kepala. Menjambak rambutku dengan kekuatan ekstra. Berharap rasa sakit yang kurasakan bisa mengusir bisikan itu.
"Kalau begitu kau hanya perlu membuat luka kecil saja. Luka yang hanya membuatmu pingsan."
Kepalaku semakin pening dan kosong. Di dalam sana, nama Raga dan gadis ikan itu menari dengan erotis. Seperti musik disko yang menghentak-hentak. "T-tidak, kumohon pergilah! Pergi!" Kuhempaskan kepalaku ke dinding, berulang kali, tidak peduli dengan kemungkinan otakku bisa mengalami cidera. Yang kuinginkan hanyalah mengusir bisikan dan kembali hidup tenang.
"Mama?" tiba-tiba saja Kris masuk tanpa mengetuk pintu. Dia berdiri, memandangku dengan tatapan terkejut. Dari sorot matanya, aku melihat ada ketakutan sekaligus iba. "Mama kenapa nangis? Papa nakal lagi? Nggak ngasih uang ke Mama?" tanyanya polos sembari beranjak menghampiriku. Tangan mungilnya ia rentangkan sebelum akhirnya menarik tubuhku ke dalam pelukannya.
"Nggak apa-apa, Sayang. Mama cuma pusing aja," kataku sambil mengurai pelukan kami. Kutatap matanya dan kuusap pipi tembemnya dengan perasaan sayang. "Sana, main lagi sama kakak. Nanti kalau perasaan Mama udah tenang, Mama akan menyusul."
Kris mengangguk lalu pergi. Meninggalkan diriku, sendirian di dalam kamar yang mulai gelap seiring senja yang semakin meredup dan akan berganti jadi malam.
Di sini, aku kembali teringat sosok perempuan yang ada di dalam berita. Sebelum bunuh diri, apakah perempuan itu mengalami hal yang sama sepertiku? Kalau iya, berarti aku salah. Aku tidak pantas menyebutnya sebagai perempuan bodoh, meski bunuh diri pun bukan pilihan baik untuk dilakukan, bahkan dihukumi haram oleh agama. Dia pasti sakit hati dan tidak kuat lagi menanggung luka dan beban hidup yang sangat berat secara bersamaan.
"Tuhan... maafkan aku! Tolong kuatkan aku, dan jangan biarkan aku mengalami hal sama seperti perempuan itu. Aku... ingin hidup lebih lama lagi untuk menyaksikan anak-anakku tumbuh." Kupanjatkan doa di atas sejadah. Meminta ampunan serta kekuatan pada Tuhan.
***
Berada dalam situasi sulit, membuat diriku kesulitan mengontrol emosi. Terutama saat berhadapan dengan Raga. Entah kenapa, semenjak kejadian itu, Raga seperti memiliki aura negatif. Tensi darahku bisa naik secara spontan, ingin marah-marah dan kadang ingin mencakar lelaki itu dengan brutal.
"Ma?"
"Hmmm...?"
"Hari ini mau jualan tidak?" Raga menghampiriku yang sedang duduk menonton televisi yang sedang menayangkan FTV religi paforit emak-emak Indonesia. Seorang istri yang ditinggal nikah lagi oleh suaminya sukses menjadi pengusaha catering.
"Ini aku sudah belanja. Mau julan nggak? Kalau mau Papa bikin adonannya sekarang," kata Raga, berusaha mengalihkan perhatianku dari televisi. Entah karena merasa tersindir oleh cerita yang sedang kutonton, atau takut kalau-kalau emosiku akan tersulut lagi setelah nonton FTV yang sebelumnya dicap sebagai "provokator" oleh Raga.
"Terserah," kataku cuek. Mataku masih tetap anteng ke layar televisi. Bukan karena ceritanya seru, melainkan aku malas melihat wajah Raga. Wajah melas yang sepintas tampak alim dan dianggap mustahil telah berkhianat itu memang selalu membuatku muak semenjak dia ketahuan berselingkuh.
"Ya sudah. Kita jualan aja. Sayang soalnya hasilnya buat kita makan. Harga kebutuhan pokok pada naik semua. Gaji Papa nggak bakalan cukup."
Aku menoleh, "Sudah sadar ya kalau gaji Papa itu kecil? Aku lho istri yang bantu kamu mencari uang tambahan. Tapi kenapa saat lagi dapat rezeki lebih kamu malah memberikannya pada gadis itu? Kamu bahkan sampai berbohong masalah gaji kamu untuk kamu tilep biar bisa memanjakan dia. Kamu pikir sekarang aku masih sudi berjualan? Enggak."
Mood aku hancur seketika. Boro-boro ingin membuat adonan dan memasak untuk berjualan. Yang ada, aku ingin membanting semua belanjaan yang dibawa Raga. Rasanya sakit. Sangat sakit. Hingga membuatku dadaku sesak setiap kali mengingat isi percakapan mereka. Gadis itu yang membiarkan Raga kegeeran dan percaya kalau gadis pujaannya memiliki perasaan yang sama. Saling tertarik. Karena gadis itu tidak pernah marah setiap kali Raga mengatakan rindu.
Tuhan... Kenapa kau beri aku cobaan seberat ini? Kenapa?
"Kalau kamu mau jualan, masak sendiri. Aku mau tidur," kataku sambil berlalu, masuk kamar. Meninggalkan Raga yang kini tengah memandangku nanar. Biarkan saja! Biarkan dia berpikir kalau aku bukan aku yang dulu. Aku telah berubah. []
***