Chapter 7

1054 Kata
Badai itu datang untuk menghancurkan kebahagiaan yang kubangun selama sembilan tahun. *** Aku tidak pernah tahu, apa itu cinta? Apakah itu perasaan ingin memiliki satu sama lain, ataukah perasaan saling menghargai dan menjaga satu sama lain, ataukah perasaan menggebu yang membuat pelakunya ingin melakukan aktifitas panas di atas ranjang? Aku bingung. Perasaan mana yang kumiliki untuk Raga. Tapi, yang kutahu adalah aku akan selalu setia dan akan selalu menjaga komitmen yang telah kuambil sebelum kuputuskan menerima lamaran darinya. Tidak peduli dengan perubahan fisik Raga yang mungkin akan lebih dulu menua mengingat perbedaan usia kami yang sangat jauh. Dua puluh tahun. Jika sekarang aku berumur dua puluh tujuh tahun, maka usia Raga adalah empat puluh tujuh. Sebuah usia yang digadang-gadang rentan mengalami pubertas kedua. Sebagai istri, tentu aku pernah menanyakan hal itu pada Raga. Tentang kemungkinan Raga mengalami pubertas kedua dan memiliki keinginan untuk menikah lagi. Namun, sejauh ini, jawaban Raga masih sama. Tidak ada rencana menikah lagi. Aku saja sudah cukup. "Aku sih nggak keberatan kamu mau menikah lagi. Tapi, kamu harus nikah sama seperti dulu kamu menikahi aku. Tinggal dikontrakan dengan gaji tiga ratus ribu rupiah," kelakarku diantara obrolan kami. Diam-diam kulihat wajah Raga yang tengah duduk menonton televisi. Wajahnya berseri-seri, namun dalam hitungan detik langsung berubah masam. "Sadis banget, Ma." "Iyalah, biar perempuan lain tahu gimana susahnya aku menemani kamu dulu. Nggak adil lah kalau dia langsung menikmati semuanya. Sementara aku kudu susah dulu." Obrolan kami terus berlanjut. Berawal dari membahas kasus seorang ustad di televisi yang diam-diam ketahuan memikiki istri kedua, hingga cerita layangan putus yang tengah viral di salah satu grup kepenulisan yang digagas oleh Bunda Asma Nadia. "Aku nggak ngerti, kenapa laki-laki selalu begitu. Nikah diam-diam dengan atas nama sunah. Padahal...." "Kan memang nggak diharamkan sama Allah. Yang penting bisa adil. Lagian dosa hukumnya menentang poligami." Entah perasaanku saja atau feeling, aku merasa ada yang aneh dengan Raga. Dia selalu rada ngegas tiap kali aku ikut-ikutan membahas kasus poligami yang marak terjadi di kalangan ustad selebriti. "Maksudnya Papa mau ikut poligami?" kutatap wajah Raga dengan tatapan menyelediki. Ada yang beda. Seperti ada yang ditutupi. Dia terlihat lebih kalem, lebih tepatnya berusaha mengontrol emosi dengan kalimat 'no comment' setiap kali aku larut dalam cerita. "Papa mah nggak mau jawab. Nanti serba salah. Di jawab ini salah, itu juga salah," katanya sambil memindahkan chanel televisi ke kabel USB. Memilih menonton film animasi ketimbang melanjutkan FTV drama rumah tangga yang kebanyakan mengangkat tema pelakor yang sering kutonton beberapa hari ini. "Sini, mending kita nonton aja. Papa baru dapat film baru. Thrillernya seru." Raga meraih tanganku, mengajak berbaring dan memeluk tubuhku. Kami berdua pun larut ke dalam cerita. Sebuah film action yang dibintangi Crish Hemswort yang merupakan aktor paforitku, benar-benar memukau kami berdua. Adegan demi adegan kami tonton dengan serius. Hingga akhirnya tiba pada adegan romantis, Crish terlibat ciuman dengan lawan mainnya yang tidak kuketahui namanya. Diam-diam tangan Raga mulai nakal, menelusup ke dalam kaos yang kukenakan. "Ayo!" bisiknya sambil mengerlingkan mata.  *** "Kakak buruan Mandi! Kita kan mau silaturahmi ke rumah Tante Sella dan Om Doni yang baru pulang umroh," aku berteriak dari dalam kamar. Kepalaku menyembul dari balik pintu untuk mengecek apakah anak-anak masih anteng bermain lego atau sudah bersiap-siap mandi? Sementara, dalam waktu bersamaan kedua tanganku sibuk membuka minyak telon dan lotion bayi milik bayi kecilku. "Kak, dengerin mama nggak sih? Pah... anaknya itu tolong mandiin dong. Udah telat ini," aku yang tidak kunjung melihat Kakak masuk ke kamar mandi yang letaknya bersebelahan dengan kamarku, langsung menginterupsi Raga. Lelaki yang tengah anteng memainkan laptop dan ponsel itu menengok ke arahku lalu bangkit untuk memandikan Kakak. "Sebentar lagi. Ini sedikit lagi robotnya mau jadi," rengekan anak laki-laki berusia tujuh setengah tahun itu ambyar. Suasana rumah yang ramai semakin ramai oleh tangisannya yang bisa dikategorikan sangat keras. Khas banget, dan sudah terkenal oleh orang-orang komplek perumahan kami. "Nanti kan bisa dilanjutkan lagi. Mandi dulu, kalau nggak nanti ditinggal." Raga berusaha membujuk, dan meski tidak langsung menurut, nyatanya anak itu tidak bisa menolak lagi ketika Raga mengatakan akan membelikannya es krim. Suatu cara yang membuatku jengah karena membuat anak-anak terbiasa meminta imbalan. Tapi, untuk mendebat aku tidak berani. Raga selalu punya cara untuk menyangkalnya. "Mama, kapan berangkatnya?" Kris mendatangi kamarku, duduk disamping adiknya yang tengah kupakaikan bedak. "Aa udah nunggu dari tadi," kini giliran anak keduaku yang merengek karena bosan. Iya, berbeda dengan kakaknya yang cenderung santai dan hanya akan beranjak kalau kesabaranku sudah menipis, Kris justru sebaliknya. Anak laki-laki yang umurnya beda dua setengah tahun dari Kakak itu bisa dikatakan lebih mandiri. Diusianya yang baru menginjak empat tahun, ia sudah terbiasa makan dan mandi sendiri. Lebih dari itu, biasanya kalau aku sibuk, dia bisa kusuruh untuk membeli bumbu ke warung Abah yang ada di depan gerbang perumahan. "Sebentar lagi, Sayang. Tuh sekarang dede bayinya udah selesai pake baju. Tinggal nungguin kakak mandi." Aku mengusap rambut cokelatnya dengan perasaan sayang. "Tungguin adeknya sebentar ya? Mama mau mandi dulu. Habis itu kita langsung berangkat." Aku buru-buru meluncur ke kamar mandi setelah Kakak dan Raga ke luar. Mandi sekilas, berpakaian, lalu memoles wajah dengan make up tipis. "Cantik," batinku memuji diri sendiri. Sebuah kebiasaan baru yang sering kulakukan untuk menghibur diri, karena nasibku yang menikahi laki-laki dewasa seperti Raga membuatku harus tabah dengan sifatnya yang tidak romantis. Kami pergi mengendarai motor menuju travel yang kebetulan hanya berjarak satu kilometer dari rumah. Namun, sesampainya di sana, aku hanya menemukan kantor yang sepi. Entah aku yang kepagian atau memang jadwal kepulangan yang mundur. Tapi, dari pada nunggu lama akhirnya kami memutuskan untuk melihat rumah baru kami, lalu mampir ke rumah kakak ipar yang kebetulan di sana sedang ada adik iparku yang dari Jakarta. "Pah, pinjam hape kamu dong. Aku mau kirim pesan ke kakak buat nanyain mereka udah pulang atau belum? Hapeku dari kemarin matot udah minta dilem biru," kataku memberi kode. Lalu, tanpa persetujuannya aku langsung membuka aplikasi w******p untuk mengetikkan pesan. Namun urung, ketika tanpa sengaja aku melihat pesan masuk dari perempuan bernama 'nona'namun memiliki profil yang sama dengan kontak yang beberapa minggu lalu meminta uang pada Raga. Dia.... "Kenapa kau membohongiku? Kau masih berhubungan dengan gadis itu? Dan apa maksud semua ini? Kenapa kamu mengubah namanya dan membuat grup yang isinya hanya kalian berdua?" Aku tidak bisa menahan emosiku. Marah dan sakit secara bersamaan mengetahui kenyataan Raga memiliki hubungan dengan perempuan lain. [] ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN