Lebih Deras dari Hujan
“Bu Ris… tolong sekali ini saja…” bisik pemuda itu.
Ia tahu, Dani sedang tersiksa. Akhirnya Risa melakukan sesuatu yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Ia menutup matanya rapat-rapat, seakan ingin melupakan kenyataan bahwa ia sedang melakukan sesuatu yang seharusnya tidak boleh ia lakukan kecuali dengan suaminya...
**
HUJAN deras mengguyur, membuat Perumahan Cinta Permai banjir. Air sungai yang meluap perlahan memasuki rumah-rumah, yang menciptakan kepanikan para penghuni perumahan tersebut.
Di rumah mungil di Blok A, Risa sibuk mengamankan barang-barangnya.
Sementara itu, di rumah sebelahnya, Johan bersama keluarganya bahu-membahu menyelamatkan barang-barang mereka.
Dani, adik Johan, mendapat tugas memindahkan sepeda motor ke tempat yang lebih tinggi. Dani langsung bergegas.
Setelah memastikan motor kakaknya di halaman kantor kelurahan, ia kembali ke komplek.
Saat melintas di depan rumah Risa, matanya melihat sepeda motor yang masih terparkir di luar.
Tanpa ragu, Dani mengetuk pintu rumah Risa. Tak lama, pintu terbuka dan sosok Risa muncul dengan senyuman lembut.
Baju lengire yang dikenakannya melekat pada tubuh kuyupnya, sehingga membingkai keanggunannya dalam siluet yang samar namun mempesona.
Cahaya lampu di belakangnya menciptakan bayangan yang lembut di tubuhnya, mempertegas betapa Risa tetap memesona di usianya yang sudah menginjak kepala empat.
Dani menelan ludah. Ada sesuatu dalam dirinya yang meronta, sebuah perasaan yang sekian lama ia tekan dalam-dalam.
"Bapaknya belum pulang ya?" tanyanya, mencoba terdengar biasa saja.
Risa menghela napas pelan. "Belum, Dani. Suamiku malam ini lembur, "
Dani mengangguk. "Kalau begitu, saya bantu pindahkan motor Ibu ke tempat yang aman?"
Risa tersenyum lega. "Wah, terima kasih banyak."
Setelah Risa memberikan kuncinya, Dani segera menaiki motor. Saat tubuhnya menduduki jok sepeda motor itu, ada sensasi aneh.
Jok motor terasa hangat meski udara malam begitu dingin. Di benaknya, ia menyadari bahwa tempat yang kini ia duduki adalah tempat yang setiap hari diduduki Risa.
Ada jejak halus kehadirannya di sana—kehangatan samar, aroma lembut yang entah mengapa menyeruak di tengah hujan.
Dani menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan debaran di dalam dadanya. Ia menggenggam stang motor dengan lebih erat, berusaha fokus berkendara.
Dani memarkirkannya di samping motor kakaknya. Setelah memastikan aman, ia mengeluarkan ponselnya dan memotret motor Risa.
Ia ingin memastikan bahwa posisinya terlihat jelas, sebagai tanda bahwa motor Risa sudah terparkir aman. Iia menatap layar ponsel sesaat.
Sementara itu, di dalam kamarnya, Risa tetap sendirian, masih sibuk membereskan barang-barang. Dengan hati-hati, ia menaruh lembaran dokumen ke atas lemari, memastikan semuanya tetap kering.
Tiba-tiba, suara notifikasi ponsel terdengar dari meja rias. Risa menghentikan pekerjaannya dan melangkah ke sana. Risa mengambil ponselnya, membuka layar, dan melihat sebuah pesan w******p dari nomor tak dikenal.
Pesan itu berisi foto motornya yang terparkir di halaman kantor kelurahan, disertai teks singkat: "Bu, motornya diparkir di sini."
Risa tersenyum kecil. Ia langsung tahu, itu dari Dani. Dengan cepat, ia menyimpan nomornya dan menamainya: "Adik Pak Johan."
Risa penasaran dan mengklik foto profil Dani. Ia menatap foto Dani, memperhatikan wajah pemuda itu, yang selama ini sering ia temui sekilas.
Ada sesuatu yang menghangat di dadanya. Ia tak bisa menjelaskan perasaan itu. Lambat laun, senyum tipis terukir di bibirnya.
Risa menatap cermin di depannya. Ia mengamati bayangan wajah dan tubuhnya sendiri.
Lengire berbahan satin yang membalut tubuhnya begitu anggun, menampilkan keindahan tubuh yang terjaga. Keremangan lampu kamar menambah kesan magis pada kulitnya.
Di depan cermin, ia menatap wajahnya, menyibakkan rambut panjangnya, menghela napas pelan. Matanya berbinar sejenak, tanpa sadar ia tersenyum sendiri.
Tiba-tiba, suara ketukan di pintu membuyarkan lamunannya.
"Permisi ," suara yang terdengar ragu.
Risa beranjak, dan dengan langkah ringan, berjalan dan membukanya. Dani berdiri di ambang pintu.
Mata mereka bertemu sesaat, sebelum Dani menunduk sedikit seraya mengulurkan tangannya yang menggenggam sebuah kunci motor.
"Ini kuncinya, Bu,"
Risa tersenyum. " Terima kasih, Dani."
Saat tangannya terulur untuk mengambil kunci, jemari mereka bersentuhan. Seketika, keduanya membeku.
Sebuah getaran aneh merayapi kulit mereka, seperti percikan api yang tak terduga. Mata Dani sedikit melebar, sementara Risa menahan napasnya.
Ada sesuatu yang melintas dalam sorot mata pemuda itu—sesuatu yang asing, tapi tentu saja tak bisa diabaikan.
Hening. Udara di antara mereka terasa berat. Dani menggenggam jemarinya sendiri, seolah ingin menghapus sensasi yang baru saja dirasakannya, tapi percuma.
Risa, di sisi lain, merasa ada sesuatu dalam dirinya yang terbangun, sesuatu yang sudah lama tertidur.
"Dani," panggilnya pelan. "Bisa minta tolong bantu angkat kulkas?"
"Tentu, Bu Risa," jawabnya.
Dani mengikuti Risa masuk ke dalam rumah. Tanpa banyak bicara, Dani segera membantu mengangkat kulkas, memindahkannya ke atas meja besar. Dani menatap wajahnya Risa yang tampak lelah tapi tetap memancarkan keanggunan yang selama ini diam-diam ia kagumi.
Hujan masih deras. Suasana di dalam rumah terasa hangat meski di luar banjir mengancam. Mata mereka sempat bertemu sejenak. Dani segera mengalihkan pandangannya, berusaha menahan gejolak yang berkecamuk di hatinya.
Risa tersenyum, entah menyadari kegugupan Dani atau hanya sekadar mengungkapkan rasa terima kasihnya.
"Terima kasih banyak, Dani."
“O, ya… ngomong-ngomong, dari mana kamu punya nomor saya? Perasaan saya gak pernah ngasih nomor sama kamu…”
“Maaf, Bu… di HP kakak saya ada WA grup ibu-ibu warga komplek. Aku menyalinnya dari sana…” Dani sedikit malu.
Risa pun tersenyum. Kemudian ia teringat sesuatu.
"Dani! Tolong sekalian pindahin mesin cuci ke dalam kamar ya. Ada meja cukup tinggi di sana!" seru Risa sambil menunjuk ke arah dalam rumah.
"Baik, Bu."
Dengan sigap, Dani mengangkat mesin cuci, sementara Risa berjalan di belakangnya, memastikan langkah mereka tidak tergelincir di lantai. Mereka masuk ke kamar, dan tepat saat Dani meletakkan mesin cuci di atas meja, tiba-tiba listrik padam.
Kegelapan seketika menyelimuti ruangan.
"Aduh, aliran nih!" Risa tersentak, langkahnya terhenti. Dalam gelapnya ruangan, Risa kehilangan keseimbangan.
Kakinya tersandung sesuatu, dan tanpa sempat menahan diri, tubuhnya terdorong ke depan. Sesaat kemudian, ia merasakan dadanya menabrak sesuatu yang kokoh. Dani..
Keduanya jatuh ke atas kasur. Dani telentang, sementara Risa berada di atasnya, tangan mereka saling bertaut seolah mencari pegangan.
Nafas mereka beradu dalam jarak yang begitu dekat. Jantung Risa berdegup kencang, ia bisa merasakan kehangatan tubuh Dani.
Hening. Hanya suara rintik hujan di luar dan gemuruh air hujan.
"Bu Risa..." suara Dani lirih, hampir berbisik.
Risa tersadar, secepatnya ia berusaha bangkit, namun di saat bersamaan, Dani juga menggerakkan tubuhnya. Dahi mereka nyaris bertemu, membuat mereka sama-sama terpaku.
Mata mereka saling bertaut dalam kegelapan, hanya diterangi cahaya samar dari luar.
Untuk sesaat, waktu seolah berhenti. Ada sesuatu yang tidak seharusnya muncul di antara mereka, sesuatu yang asing namun begitu nyata.
Jantung mereka berdegup kencang. Hawa panas di antara mereka semakin membakar. Hasrat dan perang batin berkecamuk.
Tanpa sadar, mereka terjebak dalam momen yang penuh gairah—hingga tiba-tiba, lampu kembali menyala, membawa mereka kembali pada kenyataan yang menyesakkan.
Lampu menyinari wajah Risa yang masih berada di atas tubuh Dani. Matanya membesar, napasnya memburu.
“Dani… kita nggak boleh…” suara Risa bergetar, antara ketakutan dan ketidakmampuan menolak apa yang baru terjadi.
Dani menatapnya dengan tatapan penuh hasrat yang tertahan. Tubuhnya masih dipenuhi bara yang belum padam. Tangannya mengepal di atas kasur, berusaha menahan gejolak yang hampir tak terbendung.
“Bu Ris…” suaranya lirih, nyaris seperti erangan.
Risa menggeleng cepat, lalu buru-buru duduk dan merapikan pakaiannya. Napasnya pendek-pendek, dadanya masih naik turun dengan cepat.
“Ini salah!” katanya dengan suara yang lebih tegas, meski ada getaran yang jelas terasa.
Dani maju sedikit, mendekat. Tatapannya penuh keteguhan.
“Kalau ini salah, kenapa Bu Risa juga tadi…emmm”
Risa menutup matanya, merasa tertampar oleh kata-kata itu. Ia tak bisa menyangkal.
Tubuhnya, hatinya, dan bahkan pikirannya—semuanya tadi ikut larut dalam gejolak yang sama. Tapi ini tidak boleh berlanjut. Tidak boleh!
Dani menunduk, menekan dahinya dengan tangannya sendiri, mencoba mencari akal untuk meredam keinginannya yang membara. “Bu Ris… tolong sekali ini saja…”
Risa menggigit bibirnya, batinnya kembali berperang. Ia tahu Dani sedang tersiksa, tapi ia juga tahu, jika mereka melangkah lebih jauh, tidak akan ada jalan kembali.
Tiba-tiba, tangan Risa bergerak sendiri, meraih tangan Dani dan menggenggamnya erat. Ia menatap pemuda itu dengan sorot mata yang penuh perasaan.
“Saya… nggak bisa memberikan lebih dari ini,” bisiknya.
Dani terkejut saat merasakan sentuhan tangan Risa mulai membelai jemarinya, lalu turun ke pergelangan tangannya.
Perlahan, dengan gemetar, tangan Risa menyelinap ke suatu hutan lebat, mencari sebuah pohoh yang sudah menjulang kokoh.
Saat pohon itu dalam genggaman Risa, maka terhenyaklah Dani dan dadanya semakin berdebar.
Risa melakukan sesuatu yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Ia menutup matanya rapat-rapat, seakan ingin melupakan kenyataan bahwa ia sedang melakukan sesuatu yang seharusnya tidak boleh ia lakukan kecuali dengan suaminya.
Dani terdiam, merasakan setiap sentuhan tangan Risa yang penuh keraguan namun tetap menggoda.
Napasnya memburu, tubuhnya semakin panas. Ia tahu ini bukan yang ia inginkan seutuhnya, tapi setidaknya… rasa dahaganya terobati.
Beberapa saat kemudian, dengan erangan tertahan, Dani mencapai puncak. Ia memeluk Risa dengan eratnya. Dan selanjutnya tubuhnya melemas, sementara napasnya masih tersengal.
Risa buru-buru menarik tangannya, berbalik, dan berdiri dengan cepat. Tangannya gemetar.
“Bu Ris… terimakasih…. Terimakasih banyak.” Bisik Dani.
Malam itu, banjir bukan satu-satunya yang memenuhi hati Dani. Ada sesuatu yang lebih deras dari hujan di luar—perasaan yang selama ini ia pendam akhirnya meluap lebih deras.
"Bu!" terdengar suara dari luar.