TAK ada yang lebih membahagiakan bagi Lea pagi ini selain melihat senyuman Eyang tercintanya. Gadis itu langsung menghambur ke pelukan sang Eyang yang masih terbaring lemah dengan suka cita.
"Syukur Alhamdulillah Eyang udah bangun. Lea khawatir banget." katanya setengah terisak.
Eyang terkekeh pelan dan mengusap kepala Lea. "Eyang baik - baik saja."
Bibir Lea makin mengerucut. Air mata mengucur lebih deras dari dua kelopak matanya.
"Pokoknya Eyang harus janji nggak akan kayak gini lagi. Oke?"
Eyang hanya tertawa. Dan bukannya memenuhi cucunya, beliau malah menanyakan hal lain pada Lea. "Udah jam berapa sekarang?"
"Jam enam kurang sepuluh menit Eyang." Dan…Lea juga cepat saja dipengaruhi.
"Eyang lapar loh Le. Mbok Sar kok belum nyampe ya?"
"Bentar ya Eyang, biar Lea telpon dulu."
Belum sempat menelpon, getar handphone diatas meja sudah terlebih dulu mengejutkan Lea. Begitu juga dengan Diandra, Lili dan om Mahes yang sedang terlelap diatas sofa. Ketiganya serempak bangkit dari tidur dan memandang berkeliling dengan raut bingung. Menunggu nyawa mereka terkumpul sepenuhnya.
"Hallo... Ya Pak Min, oh, udah nyampe? Oke, ya, Lea tunggu disini."
"Kenapa sopir gue nelpon lo?" tanya Lili. Gadis itu menghampiri brankar dengan wajah bantal sambil menunggu gilirannya menggunakan kamar mandi. "Wah, Eyang udah bangun! Kami khawatir banget sama Eyang..."
"Bukan pak Amin Li, tapi pak Yamin." Kata Lea sembari meletakkan ponselnya kembali keatas meja.
Lili membulatkan mulutnya dan mengangguk kecil. Gadis itu masih memeluk Eyangnya dengan manja. "Kayaknya nanti gue harus minta pak Yamin buat ganti nama, deh!"
"Kenapa harus Pak Yamin? Pak Amin aja. Pak Amin kan lebih tua. Ngalah sama yang muda..." sahut Lea tak terima.
"Sudah... Sudah... Pembahasan kalian ini gak mutu banget lho! Mana Pak Yamin sama mbok Sar nya Lea? Masih dijalan?" Eyang menengahi debat kedua cucunya itu.
"Udah mau nyampe katanya Eyang. Tunggu sebentar ya..."
Lima menit kemudian, dua orang yang ditunggu - tunggu itu akhirnya datang juga. Mbok Sar membawa dua termos berisi bubur panas untuk Eyang dan s**u coklat untuk Lea. Juga aneka roti dan nasi goreng untuk keempat orang yang menjaga Nyonya besar itu. Pak Yamin juga ikut masuk menenteng bungkusan yang berisi air mineral dan buah - buahan.
Lea menggelengkan kepalanya. Mbok Sar memang selalu royal dalam hal makanan. Kondisi Eyang yang sakit tak menyurutkan semangatnya sama sekali untuk tetap memasak. Sejak dulu Lea suka bertanya - tanya, apakah Mbok Sar ini penganut keyakinan 'Hidup untuk makan?' tapi kata Eyang, memasak memang passion Mbok Sar, terutama masakan nusantara yang kaya bumbu dan rempah - rempah. Beliau selalu bangga dengan masakannya. Nasiblah yang membawa beliau sampai ke dapur rumah Eyang.
Dulu Eyang selalu menawarkan Mbok Sar modal untuk membuka usaha sendiri. Minimal rumah makan kecil - kecilan dulu lah. Tapi Mbok Sar langsung menolak. Karena selain katanya merepotkan, gaji yang didapat dari bekerja di rumah Eyang juga besar, sehingga ia tak butuh penghasilan tambahan lagi. Simple thought. Padahal diluar sana banyak orang yang bertungkus lumus sampai menggadaikan sertifikat rumah ke bank guna mencairkan uang buat modal usaha.
Mbok Sar hidup sebatang kara. Anak dan suaminya meninggal karena kecelakaan motor dua puluh tahun yang lalu dan beliau tak pernah menikah lagi. Sejak saat itu, rumah Eyang adalah rumahnya. Beliau adalah saksi hidup bahwa seorang Sudarma Adiwangsa yang otoriter pernah hidup, dan papanya Haydan Adiwangsa yang sempurna pernah menjadi anak - anak dan sering berbuat kesalahan.
Lamunan Lea buyar begitu mendengar isakan dari Mbok Sar. Wanita berbadan tambun itu berkali - kali menyusut air matanya dengan ujung selendangnya. Selain ahli memasak, Mbok Sar juga cengeng. Setiap kali Eyang masuk rumah sakit, tangisan Mbok Sar lah yang lebih keras melebihi tangis siapapun. Terkadang Lea rasanya geli sendiri.
Lea, om Mahes, Lili, Diandra dan Pak Yamin menyantap sarapan mereka sambil bercengkrama sementara Mbok Sar menyuapi Eyang dengan buburnya.
"Bapak belum sempat sarapan di rumah tadi. Bangun tidur langsung mandi dan sholat. Membersihkan halaman sebentar, panaskan mobil trus langsung diseret kesini..." cerita Pak Yamin. Di rumah Eyang semua orang baik majikan dan pembantu diperlakukan sama. Mereka tak sungkan duduk di satu meja dan makan bersama. Tak seperti di rumah ketiga anak Adiwangsa yang otoriter dan mengutamakan kemuliaan keturunan itu. Eyang benar - benar berusaha sangat keras untuk menerapkan kebiasaan ini. Karena bagaimanapun juga, seorang asisten rumah tangga seringkali punya banyak alasan untuk tidak duduk semeja dengan majikan mereka. Levelnya nggak sama, derajatnya timpang, sampai gaji yang takut dipotong. Halaaahh...
Lea tak tahu apa enaknya hidup kaku seperti Papa dan Mamanya. Mengatur diri sendiri saja terkadang mereka kewalahan, malah sok - sokan mengatur hidup orang lain.
Ok, skip that!
"Kalian nggak ada jadwal kuliah hari ini?" tanya Om Mahes.
Lea, Diandra dan Lili menghentikan suapan mereka. "Lea sama Di masuk jam sepuluh Om."
"Aku masuk jam sembilan. Pak Min, abis ini tolong anterin Lili sama Diandra pulang ya Pak? Kembaran Pak Min lagi ke Bogor soalnya, jemput Tuan Besar sama Nyonya Besar."
Pak Yamin mengangguk cepat sambil menandaskan kopinya.
"Ngapain pulang lagi? Kan baju udah dibawa..." tanya Diandra heran.
"Gue lupa buku... Hehehe."
Diandra hanya menggeleng, tak heran dengan sifat pelupa Lili.
"Anterin saya juga Pak." kata Om Mahes.
"Om pulang juga?"
"Iya, Om mau ganti baju dulu, sekalian jemput Tantemu. Nanti siang setelah selesai mengurus sedikit masalah di kantor Om kesini lagi."
Lea mengangguk. "Oke deh..."
Lea dan Diandra langsung mengemasi bekas sarapan setelah mereka selesai makan. Lili mencomot sebuah apel hijau dari dalam plastik dan mencucinya asal - asalan sebelum menggigitnya. Lea hanya bisa bergidik sambil geleng - geleng kepala. Gak higienis banget! Padahal kan Lili calon dokter, tapi hukum kesehatan pertama yang mudah saja diabaikan!
"Lo berangkat ke kampus nanti gimana Le? Bareng gue gak?" tanya Diandra seraya meletakkan tupperware dan termos di samping pintu.
Lea mengerutkan kening. "Kayaknya gak usah deh Di, hari ini biar aku sama Pak Yamin aja yang jemput kamu. Kasian Didi pasti capek..."
"Oke kalau gitu. Eh, tapi tugas Bu Inge lo udah selesai, kan?"
Jlebb
Jantung Lea berhenti seketika. Nasi goreng yang tadinya terasa lezat seakan berubah jadi pasir seketika. Tugas Bu Inge? Dia tak ingat sama sekali. Sumpah!
"Mati!" katanya lirih. Wajahnya sudah pucat pasi seolah baru dilemparkan dari atas tebing.
Sementara Diandra hanya tenang - tenang saja.
Ya iyalah! Dia kan pintar, lima belas menit sudah cukup untuk mengerjakan lima nomor soal materi pengantar akuntansi II yang notabenenya bermain dengan angka - angka, beda dengan Lea yang otaknya under superior kalau untuk urusan hitung - hitungan.
Diandra mengulurkan ransel berisi laptop dan buku dengan jengah ke pangkuan Lea. "Kerjain dulu, gue mau pulang!"
Om Mahes, Diandra, Lili dan Pak Yamin keluar dari ruang inap setelah berpamitan pada Eyang. Meninggalkan Lea, Mbok Sar dan Eyang di ruangan itu. Lea berusaha fokus sekuat tenaga menyelesaikan tugasnya sambil sesekali melirik kearah Eyang yang sibuk bercengkrama dengan Mbok Sar. Mungkin Eyang tahu cucunya itu sedang dalam situasi siaga satu, jadi beliau tak mengajak Lea bicara sama sekali.
Setelah melalui dua jam yang panjang dalam kegelisahan dan ketegangan, akhirnya lima soal itu berhasil ia selesaikan meskipun ia tak yakin dengan jawabannya. Dahinya serasa dilipat sepuluh karena terlalu bingung dengan soal - soal di depannya. Hampir saja ia mengumpati dirinya sendiri karena bisa - bisanya lupa dengan tugas itu, tapi ia berhasil mengendalikan diri. Mengumpat itu bukan spesialisasinya, tapi spesialisasi Lili dan Diandra.
Ia meregangkan tubuh dan beranjak dari kursi menuju kamar mandi setelah merapikan lima lembar kertas HVS dan memasukkannya kedalam ransel. Ya, lima lembar. Satu lembar untuk satu soal. Bu Inge, dosen pengantar akuntansinya itu memang kejam dan sadis. Hobinya 'ngasih' oleh - oleh lima soal setiap kali selesai pertemuan.
Jangan berani - berani untuk mengerjakan asal - asalan ataupun tidak mengerjakan sama sekali. Maka semester depan terancam mengulang! Lea sampai heran sendiri, bagaimana bisa Bu Inge memeriksa semua lembar jawaban itu, sedangkan beliau punya banyak kelas yang harus diajar selain kelasnya. Atau mungkin saja asistennya yang memeriksa? Entahlah...
Yang jelas, Lea hanya ingin memastikan dia pass dengan baik mata kuliah dosen yang satu itu. Meski tak bisa dapat nilai A seperti Diandra, setidaknya dia tak perlu mengulang mata kuliah yang sama tahun depan! Papa dan Mama bisa - bisa benar tak menganggapnya anak lagi kalau sampai hal itu terjadi.
Lea sudah siap berangkat kuliah dengan dress hitam bermotif bunga melati selutut membaluti tubuh mungilnya. Gadis itu sekali lagi mengemasi peralatan perangnya sebelum berangkat. Diktat, note, laptop, emm...
Semuanya lengkap.
"Eyang, Lea berangkat kuliah dulu ya, nanti abis kuliah Lea kesini lagi. Eyang jangan lupa minum obat dan please, jangan membantah kata dokter. Mbok, Lea titip Eyang ya..." ia mencium tangan Eyang dan Mbok Sar bergantian.
"Hati - hati..."
Lea mengangguk dan bergegas berjalan menuju pintu. Tapi belum sempat tangannya menyentuh handle pintu, tiba - tiba pintu itu dibuka dari luar.
"Lea..."
Suara yang penuh semangat milik wanita paruh baya itu langsung membuat Lea meneguk ludah kasar.
"Mo... Mommy Tya?"
Sang pemilik suara yang tak lain adalah Mommy Tya itu memeluk Lea sekilas dengan erat. "Kenapa gak kasi tau Mommy kalau Eyang masuk rumah sakit?"
"Ma... Maaf Mommy, Lea lupa. Sejak kemarin sibuk banget, jadi gak kepikiran buat nelpon Mommy..."
Ya iyalah lupa! Malah Lea baru kembali teringat bahwa kemarin dia sudah mundur dari pertunangannya dengan Raja setelah melihat wajah Mommy Tya pagi ini. Di depan pintu ruang rawat Eyang!
Bibir Mommy Tya mengerut, tapi sedetik kemudian wanita paruh baya itu kembali tersenyum manis. "It's okay. Mommy ngerti. Untung Pak Ihsan ngasi tau tadi pagi. Hm... Heran Mommy, padahal kemarin kan dia ngantar kamu kesini, tapi kenapa baru tadi pagi ngasi tau Mommy ya? Tapi udahlah, nggak apa - apa. Eh, ini kamu mau berangkat kuliah ya?"
Lea hanya mengangguk.
"Ya sudah, kamu berangkat sana. Nanti telat. Mommy mau ketemu bu Wita dulu."
Lea menggigit bibir pelan begitu Mommy Tya meninggalkannya untuk menghampiri Eyang. Ia khawatir. Bagaimana kalau tiba - tiba nanti Mommy Tya memberitahukan Eyang tentang kejadian semalam? Kondisi Eyang masih lemah, dan mengejutkan beliau dengan berita ini bukanlah hal yang tepat untuk saat ini. Tapi Lea juga sangat mengenal Mommy Tya. Mommy kak Elang itu adalah seorang yang baik hati. Tidak mungkin Mommy membahas hal itu disaat seperti ini.
Tak terasa, langkahnya sudah sampai di parkiran. Pak Yamin tampak antusias menunggu kedatangannya.
"Non Lea, tadi non Diandra nelpon. Katanya kita nggak usah jemput dia di rumah. Katanya nanti diantar sama abangnya."
Alis Lea berkerut. "Kok dia nelpon bapak? Kenapa gak kasi tau ke Lea?"
"Katanya nelpon non dari tadi gak diangkat."
"Oh iya, handphone saya silent mode, Pak!" Lea tersenyum lebar seraya merogoh handphonenya dari dalam tas. Tapi yang dicarinya tak kunjung ia temukan.
"Pak, bentar deh. Kayaknya handphone Lea nggak ada di tas. Kemana ya?"
Pak Yamin yang sudah memasang seatbelt di tubuhnya mengurungkan niat untuk menghidupkan mesin. "Coba cari lagi, non."
"Nggak ada Pak!"
"Coba non Lea ingat - ingat lagi. Atau ketinggalan di kamar?"
Lea menerawang sejenak kemudian tertawa kikuk. Pak Yamin benar. Handphonenya memang ketinggalan di kamar. Ia baru ingat terakhir kali ia meletakkannya diatas nakas disamping brankar Eyang.
"Tunggu bentar ya Pak. Lea ambil dulu keatas." katanya sambil membuka pintu mobil dan berlari secepat kilat masuk ke dalam gedung rumah sakit.